Kamis, 18 Juni 2015

Memetakan Potensi Biomasa Kayu Untuk Energi

Ketika kebutuhan energi terbarukan dari biomasa kayu semakin besar, maka pada level tertentu biomasa kayu yang berasal dari limbah-limbah penggerjajian (sawmill), atau industri-industri pengolahan kayu dan sebagainya menjadi tidak mencukupi sehingga perlu diupayakan sumber lain yang mampu untuk memenuhi maksud tersebut. Kebun atau hutan energi dengan jenis tanaman rotasi cepat atau SRC adalah skenario terbaik untuk tujuan tersebut. Saat ini masih sangat banyak kawasan hutan di Indonesia tersedia apabila akan digunakan untuk pembuatan hutan atau kebun energi tersebut, seperti pada skema dibawah ini.





Pemetaan secara mendetail untuk mengidentifikasi berbagai hal yang dibutuhkan akan sangat dibutuhkan karena akan sangat terkait pada besarnya investasi untuk pembuatan hutan atau kebun energi. Penginderaan jarak jauh atau remote sensing melalui satelit, pesawat terbang, balon udara dan semacamnya adalah salah satu tahap untuk mendapatkan pemetaan secara mendetail. Lokasi dari hutan atau kebun energi sebelumnya telah ditentukan, lalu dengan penginderaan jarak jauh tersebut berbagai informasi lebih detail akan dicari, misalnya batas-batas wilayah, topografi, jenis-jenis tanaman yang sudah ada di lokasi, umur tanaman, tinggi tanaman, dan jenis tanah.  Citra atau photo udara dari penginderaan jarak jauh yang biasanya terlihat hanya perbedaan warna dan bentuk lalu akan diterjemahkan untuk bisa diolah, dianalisa dan didapat informasi sesuai yang diinginkan.


Selanjutnya survey lapangan di kawasan tersebut juga perlu dilakukan untuk meningkatkan akurasi informasi dari tahapan sebelumnya. Survey lapangan biasanya dilakukan oleh beberapa tim dengan membuat plot luasan-luasan dalam kawasan tertentu yang dijadikan sebagai sampel dan dianalisa untuk mencari informasi-informasi yang dibutuhkan. Metode tertentu juga digunakan untuk menetukan lokasi plot dan jumlahnya, sehingga semakin banyak plot sebagai sampel diambil dalam kawasan tersebut maka akan semakin akurat informasi pemetaan.





Selanjutnya setelah keseluruhan informasi telah didapat maka pengambilan keputusan akan bisa segera dilakukan. Wood pellet adalah bentuk energi biomasa yang sangat populer untuk pasar internasional baik untuk sektor pembangkit listrik atau panas. Semakin hari kebutuhan diprediksi akan wood pellet akan semakin meningkat, atau pada tahun 2024 produksi wood pellet global akan 50 juta ton. Tanaman-tanaman lama dalam lokasi untuk hutan atau kebun energi juga bisa dimanfaarkan untuk produksi wood pellet apabila secara kualitas dan kuantitas sesuai untuk bahan baku wood pellet sebelum nantinya menggunakan biomasa kayu dari kebun atau hutan energi tersebut. Informasi dari pemetaan tersebut juga akan sangat berguna untuk rencana pengembangan selanjutnya termasuk integrasi industri wood pellet dengan aktivitas lainnya.



Rabu, 03 Juni 2015

Proses Pemelletan Biomasa dan Menjaga Stabilitas Produksi Pabrik Wood Pellet


Karakteristik biomasa akan menentukan proses produksi termasuk bentuk die dan karakteristik produk wood pelletnya. Biomasa kayu adalah biomasa yang paling umum dan populer dari pemelettan biomasa tersebut. Bentuk die tidak bisa umum digunakan atau generik untuk semua jenis biomasa karena memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Proses pemelletan (pelleting) yang efisien akan dihasilkan produk pellet dengan jumlah serbuk atau powder atau fine yang sangat sedikit artinya hampir semua partikel bahan yang diumpankan ke dalam pelletiser terkonversi menjadi pellet  tersebut. Ditinjau urutan proses yang terjadi dalam pelletiser maka biomasa akan mengalami hal-hal sebagai berikut sebelum akhirnya terbentuk menjadi pellet.



Sejumlah  bahan dari kayu tertentu ada yang mengembang lagi ketika keluar dari pelletiser atau secara umum pada alat pemadatan (densificator). Fenomena ini lebih mudah terlihat pada briket karena ukurannya lebih besar daripada pellet. Hal tersebut terjadi karena bahan tersebut menyerap lagi udara dari atmosfer sehingga menambah kelembaban pada pellet atau briket tersebut, padahal ketika partikel bahan masuk ke dalam die dengan adanya tekanan yang kuat dan suhu tinggi maka sejumlah uap air dalam partikel bahan akan keluar serta begitu juga lignin yang berfungsi sebagai perekat akan keluar pada tahap ini.


Pada wood pellet secara spesifik juga ada sedikit perbedaan tentang kualitas, logistik dan kebutuhan konsumen antara Eropa dan Amerika Serikat. Perbedaannya antara lain khususnya yaitu pada wood pellet untuk pasar Eropa umumnya menggunakan die dengan ukuran 6 mm sedangkan untuk pasar Amerika Serikat umumnya menggunakan die dengan ukuran seperempat inch atau 6,35 mm atau bisa juga menggunakan peralatan yang lebih cocok, misalnya untuk Eropa menyesuaikan dengan EN method sedangkan Amerika dengan ASTM method. Tetapi sektor yang berbeda juga memungkinkan penggunaan ukuran pellet yang berbeda. Sebagian besar retailer di Eropa menggunakan ukuran pellet 6 mm, sehingga apabila menggunakan U.S. standard dengan ukuran seperempat inch atau 6,35 mm dan setelah produksi juga biasanya akan ekspansi menjadi 6,5 mm membuat kurang diterima pasar Eropa. Selain itu pasar Eropa juga menyukai wood pellet dengan panjang 1,5 – 2 cm, sehingga tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. Durability juga menjadi faktor penting untuk target pasar tersebut, Eropa mengeluarkan persyaratan durability limit adalah 97,5 terutama untuk bulk industrial market, akan tetapi untuk bulk residential delivery sebagian besar distributor mencari produk dengan durability 98,5 – 99,0. Hal ini karena pada residential delivery pada umumnya menggunakan pneumatic conveyor dan adanya keinginan kuat untuk mengurangi fine (powder).    



Target pasar akan menentukan bagaimana proses produksi dari wood pellet tersebut. Pasar Asia dengan umur relative baru belum memiliki persyaratan seketat Eropa atau Amerika dengan target pengguna atau user juga ada perbedaan.  Jumlah permintaan yang besar dengan kualitas yang ketat juga membuat kebutuhan akan peralatan atau mesin yang handal menjadi mutlak dibutuhkan. Sejumlah produsen pelletiser untuk wood pellet juga telah menerapkan teknologi sensor panas pada pelletiser yang mereka buat sebagai pilihan bagi produsen wood pellet. Teknologi ini termasuk pemasangan sensor panas tinggi langsung pada roller untuk memantau secara real time suhu kritisnya. Tujuan penggunaan teknologi tersebut adalah untuk mengurangi downtime dan kecelakaan yang disebabkan oleh overheating pada roller dan bearing shaft sehingga target produksi bisa dicapai dengan mudah.




Sedangkan untuk supplai pasokan bahan baku wood pellet, limbah-limbah penggergajian kayu maupun limbah pengolahan kayu bisa digunakan tetapi kebun atau hutan energi akan menjadi pilihan terbaik terutama untuk orientasi jangka panjangnya. Manajemen atau pengelolaan hutan (forest management service) yang baik akan menghasilkan pasokan bahan baku yang berkesinambungan (sustainable). Optimalisasi penggunaan lahan di sejumlah lokasi, pemilihan jenis tanaman yang sesuai dan ditunjang kondisi iklim tropis yang menunjang adalah beberapa hal yang mendukung integrasi kebun atau hutan energi dengan usaha wood pellet. Tanaman SRC atau spesies tanaman dengan rotasi cepat seperti kaliandra sangat sesuai untuk tujuan tersebut. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena lokasi di Indonesia yang beriklim tropis membuat produktivitas tanaman kaliandra bisa 4 kali lebih cepat daripada yang beriklim sub tropis atau konkritnya 4 tahun poplar dan willow di Eropa sama seperti 1 tahun kaliandra di Indonesia. Faktor ketersediaan bahan baku merupakan salah satu faktor kunci kesuksesan usaha wood pellet sehingga perlu perhatian khusus tersendiri.

Dari Karbon Netral ke Karbon Negatif : Pengembangan Baterai, Wood Pellet, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Biochar

Riset untuk pengembangan baterai kapasitas besar terus dilakukan sehingga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan ...