Indonesia di sisi lain memiliki potensi yang luar biasa
untuk menjadi produsen pisang terbesar di dunia antara lain karena ketersediaan
dan suburan tanahnya, ketersediaan air dan sinar matahari sepanjang waktu.
Sayangnya di Indonesia masih juga mengimpor pisang dalam jumlah besar, yakni
setara 10 ribu hektar perkebunan pisang. Tentu dibuahkan perjuangan panjang dan penuh
kesabaran untuk mencapai ‘swasembada’ pisang apalagi menjadi produsen pisang
terbesar di dunia dan selanjutnya diikuti swasembada buah-buahan lainnya.
Produktivitas perkebunan pisang di Indonesia juga pada
umumnya rendah, hal ini terutama karena ketrampilan bertani yang rendah dan
pengelolaan yang ala kadarnya. Produktivitas pisang di Indonesia hanya berkisar
15 ton/hektar/tahun, lebih jelasnya lihat tabel dibawah. Rute tercepat untuk
menangkap peluang tersebut adalah dengan segera menjadi produsen pisang
tersebut.
Pada saat panen buah pisang, pohon pisang tersebut akan
menjadi limbah. Pada perkebunan intensif dengan kita ambil rata-rata ada 3.000
pohon setiap hektarnya, maka minimal ada 3.000 batang pisang yang menjadi
limbah. Berat pohon pisang dewasa kurang lebih 40 kg
dengan kadar 60% setelah dikeringkan dengan kadar air 10% (kering) beratnya
menjadi 15 kg atau 1 hektar beratnya 45.000 kg (45 ton) kering. Salah satu pemanfaatan atau
pengolahan pohon pisang tersebut yang bertujuan untuk mendongkrak atau
menggenjot produktivitas buah pisang itu sendiri adalah mengolahnya menjadi
arang (biochar). Kenapa menjadi biochar? Dan bagaimana mengolahnya karena pohon
pisang juga banyak airnya?
Biochar atau arang pertanian terutama akan menjadi rumah
bagi mikroorganisme tanah dan menahan pupuk atau nutrisi tanaman tersebut
sehingga tidak larut dan hanyut terbawa air. Hal ini karena biochar memiliki
pori-pori atau rongga-rongga ukuran mikro yang sangat banyak atau ibaratnya
seperti spon. Pertanian organik cocok dan sejalan dengan penggunaan biochar
tersebut karena pupuk-pupuk kimia cenderung akan menghambat dan mematikan
pertumbuhan microorganisme tanah tersebut. Proses produksi biochar dengan
pirolisis atau karbonisasi juga masih mempertahankan unsur-unsur yang dibutuhkan
tanaman seperti kalium, kalsium, phosphor dan sebagainya.
Pohon pisang yang basah karena tingginya kandungan air
selanjutnya dikecilkan ukurannya dengan alat chipper, setelah ukurannya cukup
kecil lalu diturunkan kandungan airnya atau dikeringkan dengan mesin press
mekanik dengan screw press sehingga prosesnya juga bisa kontinyu. Pengeringan
selanjutnya yakni dengan mesin pengering kontinyu seperti drum dryer. Hasil
chip pohon pisang yang sudah kering tersebut selanjutnya bisa diumpankan ke
reaktor karbonisasi (pyrolysis) ataupun dilewatkan hammer mill terlebih dahulu
sebelum dimasukkan ke reaktor karbonisasi tersebut. Output dari reaktor
karbonisasi (pyrolysis) tersebut sama-sama arang, hanya bedanya ukurannya saja.
Alat atau teknologi pirolisis tertentu akan lebih cocok dengan jenis ukuran
bahan baku salah satunya. Berdasarkan perhitungan diatas dengan konversi 30%
maka setiap hektarnya akan menghasilkan 15,000 kg (15 ton) biochar. Penggunaan arang dalam
bentuk serbuk pada umumnya lebih baik karena memiliki luas permukaan (surface
area) lebih besar sehingga kemampuan berkontak dengan pupuk ataupun
mikroorganisme lebih besar juga.
Biochar yang ada didalam tanah akan mampu bertahan hingga
ratusan tahun didalam tersebut dan memiliki efek yang baik bagi tanah dan
keberlanjutan pertanian itu sendiri. Ketika tanah telah memiliki kadar karbon
atau C dari biochar tersebut kurang lebih 30% maka tanah tersebut tidak perlu
ditambahkan biochar lagi. Penggunaan
biochar yang memadai akan mampu meningkatkan produktivitas panen hingga 50%.
Selain itu ketika usaha pertanian dengan meminimalisir limbah bahkan zero waste
tentu akan berdampak positif pula bagi lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar