Selasa, 29 Januari 2019

Pemanfaatan Limbah Kayu Land Clearing Untuk Sawdust Charcoal Briquette

Luas kebun sawit di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Kebutuhan CPO maupun PKO terus meningkat sepanjang tahun. Hal tersebut seiring dengan semakin meningkatnya minyak makan (edible oil) dan juga energi dunia khususnya energi terbarukan. Perluasan kebun sawit banyak dilakukan dengan cara membuka hutan (land clearing), yang tentu saja harus legal atau mendapat ijin dari yang berwenang. Pembukaan hutan tersebut menghasilkan banyak kayu limbah yang seharusnya tidak terbuang percuma tetapi memberi keuntungan. 

Para calon pengusaha sawit tersebut juga berpikir keras untuk pemanfaatan kayu limbah menjadi produk yang menguntungkan. Hal itu selain jumlah kayu limbah tersebut banyak jumlahnya, juga mindset pengusaha untuk memaksimalkan keuntungan kalau bisa didapatkan dalam waktu singkat. Sebagai contoh misalnya setiap 1 hektar menghasilkan 50 ton limbah kayu, maka untuk 10.000 hektar akan dihasilkan 500.000 ton limbah kayu, suatu jumlah yang sangat banyak tentunya.
Salah satu pemanfaatan limbah kayu tersebut sehingga memberi keuntungan ekonomi adalah dengan produksi sawdust charcoal briquette. Sawdust charcoal briquette memiliki pasar yang masih sangat terbuka yakni untuk Turki, Timur Tengah dan Arab Saudi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Untuk menghasilkan produk sawdust charcoal briquette berkualitas tinggi maka faktor konsistensi bahan baku harus terpenuhi. Limbah kayu dari pembukaan hutan tersebut bisa dikelompokkan yakni jenis kayu lunak dan kayu keras. Selanjutnya untuk bahan baku sawdust charcoal briquette tersebut komposisi kayu lunak dengan kayu keras harus diusahakan sedemikian rupa sehingga bisa tetap atau konsisten. 




Kualitas sawdust charcoal briquette dari kayu-kayu limbah hutan ini seharusnya juga tidak akan kalah dengan sawdust charcoal briquette yang dibuat dari limbah-limbah kayu  industri pengolahan maupun dari penggergajian kayu. Dengan kualitas yang bersaing dengan produk sawdust charcoal briquette berbahan limbah-limbah kayu industri pengolahan dan penggergajian kayu, maka otomatis harga jual dari sawdust charcoal briquette dari limbah kayu hutan juga bersaing. Nah, masalahnya bagaimana produksi sawdust charcoal briquette dari limbah kayu hutan bisa dilakukan? Bukankah itu membutuhkan listrik? Bagaimana mendapatkan listrik di tengah hutan?

Listrik tersebut adalah hal vital untuk produksi sawdust charcoal briquette tersebut. Listrik dari PLN adalah mustahil untuk lokasi tersebut, sedangkan apabila dengan minyak diesel (solar) sebagai bahan bakar penggerak generator harganya mahal, yakni sekitar Rp 15.000,- untuk setiap liternya. Solusinya adalah dengan produksi listrik dengan limbah kayu itu sendiri. Hal itu berarti sebagian limbah kayu digunakan untuk produksi sawdust charcoal briquette dan sebagian untuk produksi listrik. Gasifier atau teknologi gasifikasi bisa digunakan untuk produksi listrik dari pengolahan limbah kayu hutan tersebut. Limbah kayu hutan dibuat chip dan digunakan untuk bahan bakar gasifier tersebut. 

Lalu bagaimana untuk bisnis jangka panjang untuk sawdust charcoal briquette ? Apakah juga berarti selesai setelah kayu limbah pembukaan hutan tersebut habis? Tentu saja ada sejumlah hal bisa dilakukan untuk terus menjaga bisnis sawdust charcoal tersebut terus berlanjut. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan membuat kebun energi dari tanaman jenis rotasi cepat sebagai sumber bahan baku sawdust charcoal briquette tersebut. Tanaman rotasi cepat yang bisa ditanam sebagai contohnya adalah kaliandra, untuk penjelasan lebih detail bisa dibaca disini.

Sabtu, 26 Januari 2019

Eco-Tourism Dengan Perkebunan Sawit

"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud)

Pangan, energi dan air atau FEW (food, energy, water) adalah masalah materi essential bagi kehidupan manusia. Generasi penerus dan anak-anak harus dikenalkan dan dipahamkan tentang hal ini. Diantara sekian banyak subyek atau mata pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah, maka topik bahasan tentang FEW harus juga mendapat porsi yang cukup. Dalam level makro kita saksikan suatu negara dan bangsa tidak akan mandiri dan berdaulat jika tidak mampu mandiri dan berdaulat pada urusan FEW. Dengan dikenalkan sejak awal maka akan tertanam pemahaman yang benar tentang FEW baik bagi kehidupan biologis manusia hingga peran strategis dalam kancah percaturan dunia.

Indonesia adalah negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan luas perkebunan mencapai 12 juta hektar, produksi minyak sawit (baik CPO dan PKO) mencapai lebih 40 juta ton/tahun dengan lebih dari 1000 pabrik pengolahannya. Sebagai upaya menanamkan pemahaman FEW maka perkebunan sawit bisa digunakan sebagai sarana edukasi dengan dikemas menjadi eco-tourism perkebunan sawit. Daerah-daerah produsen minyak sawit bisa membuat eco-tourism tersebut. Lokasi perkebunan sawit yang mudah aksesnya, tinggi produktivitasnya, dirawat dengan baik, pemandangannya indah mungkin dengan adanya danau, air terjual dan sebagainya serta dilengkapi berbagai sarana dan prasarana penunjang akan sangat baik pembangunan eco-tourism tersebut.
Para pelajar di daerah non produksi sawit seperti di Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara masih banyak yang tidak mengenal pohon sawit walaupun setiap hari makan makanan yang digoreng menggunakan minyak sawit. Padahal di daerah-daerah tersebut sebagian besar penduduk Indonesia berada atau daerah-daerah padat penduduk. Apabila anak-anak dan generasi penerus tidak mengenal potensi bangsanya tentu ini sangat disayangkan. Diharapkan dengan mengunjungi obyek wisata berbasis lingkungan (eco-tourism) perkebunan sawit tersebut para pelajar dan generasi penerus menjadi terbuka matanya dan lebih peduli untuk memaksimalkannya. Dengan kunjungan ke obyek wisata tersebut mereka bisa menyaksikan bagaimana sawit ditanam, dirawat hingga terus bisa produksi serta tetap memperhatikan aspek lingkungan hingga industrialisasinya dan memberi keuntungan sehingga menjadi pilihan profesi bagi sebagian orang serta berkontribusi pada negara.
Eco-tourism kebun sawit juga sebagai media untuk melawan black campaign minyak sawit yang saat ini banyak dilakukan oleh negara-negara barat. Selain itu promosi minyak sawit juga bisa dilakukan di obyek wisata tersebut. Selain wisatawan domestik khususnya para pelajar, obyek wisata tersebut juga bisa menarik wisatawan dari mancanegara. Dengan pengelolaan wisata yang baik maka tujuan yang diharapkan bisa tercapai. Saat ini wisata halal (Halal Tourism / Islamic Tourism) juga sudah mulai dipromosikan, dan wisata berwawasan lingkungan kebun sawit bisa menjadi bagian wisata halal tersebut. Pengelolaan wisata berbasis Islam tidak hanya sebatas tujuan duniawi yang bersifat material, tetapi juga memberi berkah dan ridho Allah SWT yang berdimensi akhirat.

Kamis, 24 Januari 2019

Integrasi Peternakan Sapi dan Pabrik PKO

Pabrik PKO atau pabrik minyak inti sawit memiliki peluang lebih besar untuk mengintegrasikan peternakan khususnya sapi pada bidang usahanya. Hal tersebut karena pada produksi minyak inti sawit (PKO / palm kernel oil) dihasilkan produk samping berupa bungkil sawit atau PKE (palm kernel expeller) atau PKC (palm kernel cake) yang bisa digunakan untuk pakan sapi tersebut. Pabrik minyak inti sawit tidak perlu menjual bungkilnya tetapi memanfaatkan untuk keperluan internal yakni untuk peternakan sapinya. Sapi-sapi tersebut juga akan lebih baik apabila digembalakan dengan tambahan makanan berupa bungkil sawit tersebut. Bagi perusahaan sawit tentu bukan suatu masalah untuk menyediakan lahan penggembalaan untuk beberapa puluh atau beberapa ratus hektar, karena banyak perkebunan sawit yang mencapai ribuan hingga puluhan ribu hektar. Selain peternakan sapi, peternakan domba juga bisa dikembangkan bersama, karena sejumlah penelitian menunjukkan penggembalaan sapi dan domba menunjukkan hasil positif.

Pabrik PKO jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pabrik CPO. Banyak perusahaan sawit yang memiliki pabrik-pabrik CPO tetapi tidak memiliki pabrik PKO. Hal tersebut disebabkan antara lain rendahnya rendemen minyak inti sawit dibandingkan dibandingkan minyak sawit (CPO) dan penanganan produk minyak inti sawit juga lebih sulit dibandingkan CPO. Pabrik PKO menghasilkan produk samping berupa bungkil sawit sedangkan produk CPO tidak. Ketersediaan bungkil sawit untuk integrasi dengan peternakan sapi akan menjadi kelebihan tersendiri, karena faktor pakan adalah faktor vital bagi usaha peternakan. Pakan adalah komponen biaya tertinggi yang mencapai sekitar 70% pada usaha peternakan tersebut. Dengan adanya ketersediaan pakan yang lebih memadai dan dikombinasikan dengan penggembalaannya, maka produksi daging sapi dengan cara penggemukan di peternakan tersebut bisa dipercepat dan dioptimalkan. Rencana pemerintah Indonesia untuk mengimport daging kerbau dari India sebanyak 100.000 ton/tahun harus dibatalkan dengan mengusahakan peternakan sendiri. Peredaran daging haram yakni daging babi hutan yang menimbulkan keresahan masyarakat juga bisa diberantas apabila daging tersedia secara mencukupi.
Porsi Asupan Protein Menurut Al Qur'an
Program swasembada daging yang menjadi visi pemerintah Indonesia dalam sektor pangan hanya bisa tercapai bila pemerintah mendorong tercapainya hal tersebut secara sungguh-sungguh. Menggalakkan peternakan serta mempermudah jalur distribusi pemasarannya dengan berbagai kebijakan mendukung akan membuat program tersebut terlaksana dengan lancar. Tentu saja semua orang berakal sehat akan mendukung program positif tersebut apabila dilakukan dengan cara yang baik, bukan sekedar retorika dan pencitraaan saja. Protein adalah sumber pangan essential bagi tubuh manusia sehingga apabila kebutuhannya tidak terpenuhi akan menimbulkan masalah. Al Qur'an juga mengindikasikan sumber protein dari ternak besar menempati porsi terbesar dibanding unggas dan ikan. Sumber protein hewani yakni dari ternak besar terungkap dalam setidaknya 7 ayat atau 64%, dari ikan terungkap dalam 3 ayat atau 27% dan dari unggas terungkap dalam 1 ayat atau 9%. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhan protein prioritasnya adalah dari ternak besar seperti sapi.

Rabu, 23 Januari 2019

Burung Hantu, Ular Kobra Atau Asap Cair Untuk Mengusir Tikus Di Kebun Sawit?

Tikus adalah hewan yang menganggu berbagai aktivitas manusia sehingga harus diusir atau dibunuh. Banyak cerita dari para petani yang mengalami kegagalan panen akibat hama tikus yang merajalela tersebut. Demikian juga pada perkebunan sawit, tikus-tikus akan merusak buah sawit. Upaya penanggulangan secara biologis yang banyak dilakukan yakni dengan burung hantu dan ular kobra. Sedangkan upaya lain yang bisa dilakukan yakni dengan asap cair. Asap cair tersebut selain bisa digunakan untuk pupuk juga bisa untuk mengusir tikus-tikus tersebut. Aroma yang kuat dan sifatnya yang asam akan membuat tikus-tikus menjauh dari pohon sawit yang telah diberi asap cair tersebut. Semakin lama efek asap cair di pohon sawit semakin lama tikus-tikus menjauh dari pohon sawit tersebut.
Asap cair tidak membahayakan manusia and bisa diproduksi dalam jumlah besar. Selain itu asap cair juga berasal dari (pirolisis) biomasa sehingga merupakan bahan kimia ramah lingkungan dan dari sumber terbarukan. Tandan kosong (tankos) atau EFB yang selama ini pada umumnya belum dimanfaatkan oleh pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi asap cair. Selain asap cair juga dihasilkan biochar yang juga sangat bermanfaat pada perkebunan sawit, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Produksi asap cair dan biochar dari EFB atau tankos juga akan menjadi solusi penanganan limbah padat berupa tandan kosong tersebut. Produksi biochar dan asap cair untuk skala besar yakni dengan unit pirolisis kontinyu, untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Sementara ketika biochar dan asap cair digunakan di perkebunan sawit, maka produk pirolisis berupa syngas dan biooil bisa digunakan untuk bahan bakar boiler. Ketika syngas dan biooil digunakan sebagai bahan bakar maka cangkang sawit (palm kernel shell) dan sejumlah mesocarp fiber bisa dijual atau di export seperti halnya CPO. PKS (palm kernel shell) atau cangkang bisa langsung di export ke Jepang atau Korea. Sedangkan mesocarp fiber bisa dibuat pellet ataupun briket sebelum di export. Produksi pellet atau briket dari mesocarp fiber hampir sama dengan produksi wood pellet atau sawdust briquette, untuk referensi bisa dibaca disini dan disini.
Kembali ke laptop. Jadi produksi asap cair dari pirolisis tandan kosong sawit lebih dimungkinkan sebagai solusi mengatasi hama tikus selain berbagai keuntungan lain bagi perkebunan dan pabrik sawit. Selain itu asap cair tersebut juga bisa digunakan untuk pupuk dan tidak membahayakan. Bahkan untuk optimalisasi penanggulangan hama tikus tersebut sangat dimungkinkan dengan kombinasi asap cair dengan burung hantu maupun ular kobra.

Selasa, 22 Januari 2019

EFB Biochar dan Penghematan Pupuk Pada Perkebunan Sawit

 
Produktivitas kebun sawit tinggi serta rendemen minyak tinggi selalu menjadi tujuan pada bisnis kelapa sawit. Estimasi nutrient yang dibutuhkan untuk menghasilkan 25 ton TBS/ha/tahun adalah 192 N, 11 P, 209 K, 36 Mg, dan 71 Ca dalam kg/ha/tahun. Dengan produksi 25 ton TBS/ha/tahun akan dihasilkan minyak mentah sawit atau CPO sekitar 6,5 ton (25% dari TBS). Analogi dalam bidang peternakan dimana komponen pakan memegang 75% dari biaya produksi atau menjadi komponen biaya tertinggi, demikian juga dengan pupuk khususnya pada perkebunan sawit. Pupuk merupakan biaya termahal atau 60% dari total biaya pemeliharaan. Untuk mencapai produktivitas tersebut perhitungan kebutuhan secara praktis kurang lebih sebagai berikut : suatu afdeling dengan luas 1.000 hektar dengan 1 hektar terdiri 143 pokok, maka terdapat 143.000 pokok pohon sawit. Apabila dosis/pokok 2,5 kg, maka kebutuhan pupuk adalah 357.500 kg (357,5 ton), dengan harga pupuk kimia non subsidi misalnya Rp 10.000/kg maka biaya yang dikeluarkan adalah 3.575.000.000 (Rp 3,575 milyar). Apabila kebun seluas 10.000 hektar berarti kebutuhan pupuk Rp 35,75 milyar sedangkan apabila kebun sawit seluas 20.000 hektar berarti mencapai Rp 71,50 milyar. Suatu jumlah yang tidak sedikit tentunya.
Pertanyaannya adalah upaya apa yang bisa dilakukan untuk menekan biaya pupuk tetapi produktivitas sawit meningkat. Suatu hal yang kontradiktif sepertinya karena mengurangi pasokan pupuk tetapi mengharap produktivitas tinggi. Disinilah perlunya kita mengkaji dan mendalami fakta yang terjadi di lapangan. Dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi membuat pupuk yang tercuci (leaching) besar. Suatu kondisi misalnya di daerah berbukit dan bergelombang maka ketika turun hujan pupuk yang tercuci sangat besar, bahkan sia-sia saja pemupukan yang dilakukan karena tidak terserap oleh pohon sawit sebagai targetnya. Tingginya tingkat ketercucian dari pemakaian pupuk oleh air hujan tersebut membuat pupuk yang tersedia secara riil hanya sedikit saja atau sejumlah analisis rata-rata hanya tersisa 50% saja. Dengan pupuk yang tersedia hanya sedikit otomatis juga sedikit pula yang terserap oleh pohon sawit tersebut. Ketika misalnya ketercucian (leaching) bisa dikurangi hingga 30% saja berarti pupuk yang masih tersedia menjadi 70%, sehingga pupuk terserap semakin banyak dan produktivitas sawit juga meningkat.
Tahap awal yang bisa dilakukan adalah yakni dengan biaya pupuk yang sama tetapi produktivitas sawit bisa meningkat hingga misalnya 30%. Selanjutnya jika hal tersebut bisa dicapai, konsumsi pupuk diturunkan misalnya hingga 30% tetapi produktivitas sawit bisa dipertahankan pada level tersebut. Hal tersebut dimungkinkan terjadi ketika biochar telah menjadi koloni mikroba dan kualitas tanah meningkat sehingga serapan pupuk maksimal. Biochar adalah salah satu media yang bisa digunakan untuk hal tersebut. Tandan kosong sawit atau EFB (empty fruit bunch) yang banyak tersedia di pabrik-pabrik sawit dan umumnya belum dimanfaatkan bisa sebagai bahan baku produksi biochar. Pabrik sawit dengan kapasitas produksi 60 ton/jam TBS akan menghasilkan EFB atau tankos 13,2 ton/jam sehingga jika pabrik sawit tersebut beroperasi 20 jam/hari maka EFB atau tankos yang dihasilkan 264 ton/harinya. Pada produksi biochar dengan pirolisis juga bisa dihasilkan asap cair (liquid smoke) yang bisa juga digunakan sebagai pupuk.
Mengapa biochar bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit bahkan mengurangi konsumsi pupuk ? Hal tersebut karena biochar dengan pori-porinya dengan luas permukaan sekitar 200 m2/gram mampu menahan pupuk tersebut dari pencucian, menjaga kelembaban dan banyak mikroba tanah yang bisa hidup dalam pori-pori tersebut sehingga memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Biochar bisa bertahan hingga ratusan tahun di dalam tanah sehingga tidak perlu ditambahkan setiap tahun ketika jumlahnya telah memadai. Implementasi biochar bisa dimulai dari skala kecil hingga skala yang massif. Untuk mengolah tandan kosong pada pabrik sawit tersebut menjadi biochar dibutuhkan alat pirolisis kontinyu, untuk lebih jelas bisa dibaca disini. Untuk memonitor efektifitas biochar pada perkebunan sawit saat ini bisa menggunakan teknologi internet atau IoT (Internet of Things) dan untuk lebih detail bisa dibaca disini dan disini.

Senin, 21 Januari 2019

Ternak Sapi Dengan Kebun Sawit Sudah, Ternak Domba Dengan Kebun Sawit ?

"Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. ” (QS 16:10)

Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54)

"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud)
Minimnya produksi daging di Indonesia yang diindikasikan dengan tingginya rencana import daging yang mencapai 100.000 ton daging kerbau dari India adalah sesuatu yang disayangkan. Terlebih lagi seringnya terdengar berita tentang penyelundupan daging haram seperti daging babi hutan di sejumlah daerah. Hal ini mengingat begitu besarnya potensi peternakan yang bisa dikembangkan di Indonesia. Banyaknya perkebunan besar di Indonesia sangat potensial untuk diintegrasikan dengan peternakan, sebagai contoh perkebunan kelapa sawit yang mencapai luas 12 juta hektar dengan produksi minyak sawit (CPO dan PKO) mencapai lebih dari 40 juta ton/tahun. Dengan luasan tersebut tentu sangat banyak ternak bisa dikembangkan sebagai produsen utama daging. Sedangkan perkebunan-perkebunan lainnya juga potensial seperti perkebunan kelapa dengan luas 3,7 juta hektar, karet 2,5 juta hektar, sengon lebih dari 1 juta hektar dan sebagainya.

Peternakan sapi yang diintegrasikan dengan perkebunan sawit telah dilakukan di sejumlah tempat di Indonesia. Ini sesuatu hal yang baik dan perlu didukung. Optimalisasi peternakan sapi di perkebunan sawit bisa dilakukan yakni dengan menggunakan teknik penggembalaan yang baik. Apabila saat ini hampir semua masih menggunakan teknik penggembalaan kontinyu (continous grazing) yang kurang memperhatikan kualitas, kuantitas dan keberlangsungan padang rumput sebagai tempat penggembalaan ternak tersebut, maka upaya mengoptimalkannya bisa dilakukan dengan penggembalaan rotasi (rotation grazing). Dengan penggembalaan rotasi ini faktor kualitas, kuantitas dan keberlangsungan padang rumput sebagai sumber pakan ternak tersebut bisa dioptimalkan khususnya pada konversi menjadi daging.
Domba sebenarnya memiliki banyak keunggulan dibandingkan sapi antara lain bisa memakan hampir semua jenis rumput, penggemukan dan perkembangbiakkan cepat, mobilitas tinggi sehingga distribusi kotoran untuk pupuk padang rumput lebih merata, dan bulunya bisa untuk produksi wol. Dalam Islam domba juga memiliki banyak keutamaan dibandingkan sapi, lebih rinci bisa dibaca disini, bahkan semua Nabi dan Rasul pasti pernah menggembalakan domba yang hikmahnya bisa dibaca disini. Untuk itulah seharusnya peternakan domba juga harus digalakkan, khususnya di perkebunan-perkebunan besar seperti di perkebunan sawit. Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, domba juga banyak dibutuhkan di negara-negara Timur Tengah khususnya Arab Saudi yang setiap tahun kurang lebih membutuhkan 2 juta ekor dengan seperempatnya pada musim haji. Bagi umat Islam dengan beternak domba juga bisa diniatkan untuk terus mendukung syariat Qurban yang dilaksanakan setiap 10 dzulhijah. Apabila rata-rata 1 ekor domba adalah 80 kg maka untuk mengeliminasi import 100.000 ton daging kerbau dibutuhkan 1,25 juta ekor domba pertahun. Dan apabila rata-rata berat sapi 300 kg dengan porsi 50% dipenuhi dari daging sapi maka kebutuhan sapi 166.667 ekor sapi dan 50% dari daging domba menjadi 625.000 ekor domba.
Integrasi peternakan domba dengan perkebunan sawit juga sangat mungkin dilakukan, bahkan dengan penggembalaan campuran (mixed grazing) dengan sapi juga akan lebih baik. Sejumlah penelitian penggembalaan campuran domba-sapi ternyata menghasilkan konversi daging lebih tinggi dibandingkan dengan penggembalaan domba saja maupun sapi saja. Bagi perkebunan sawit dengan integrasi peternakan tersebut juga akan mengurangi kebutuhan pupuk kimia non-subsidi yang selama ini menjadi menjadi pupuk utama dan memakan biaya tinggi. Kesimpulannya dengan menggunakan teknik penggembalaan yang baik dan juga pemilihan hewan ternak yang sesuai maka bisnis perkebunan sawit menjadi optimal, lebih menguntungkan dan yang tidak kalah penting yakni semakin ramah lingkungan.

Minggu, 20 Januari 2019

EFB Charcoal Briquette Untuk Subtitusi Sawdust Charcoal Briquette

Kontinuitas atau keberlanjutan pasokan bahan baku adalah hal pokok bagi keberlangsungan suatu produksi, demikian juga dengan industri sawdust charcoal briquette. Kurangnya atau bahkan terhentinya pasokan sawdust atau limbah kayu sebagai bahan baku sawdust charcoal briquette membuat produksinya terganggu bahkan terhenti. Dan kondisi seperti itu saat ini sudah mulai dialami oleh pabrik sawdust charcoal briquette. Padahal dari sisi pasar kebutuhan sawdust charcoal briquette sangat besar, terutama di Turki, Arab Saudi dan Timur Tengah. Alternatif bahan baku yang kontinyu ketersediaannya serta tersedia dalam jumlah besar menjadi pilihan. Tandan kosong (tankos) sawit atau EFB (empty fruit bunch) bisa sebagai pilihan tersebut. Mengapa? EFB adalah limbah padat pabrik sawit yang jumlahnya besar dan pada umumnya belum dimanfaatkan. Pabrik sawit dengan kapasitas 60 ton/jam TBS menghasilkan limbah EFB sebanyak 13,2 ton/jam atau 264 ton/harinya. Dan saat ini sudah ada kurang lebih 1.000 pabrik sawit di seluruh Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kualitas charcoal briquette yang dibuat dari EFB bisa bersaing dengan sawdust atau limbah kayu ? Ditinjau dari penggunaannya untuk bahan bakar atau energi, maka kualitas EFB lebih rendah dibandingkan sawdust atau limbah kayu yang tergolong biomasa kayu-kayuan (woody biomass) sedangkan EFB merupakan biomasa limbah pertanian (agro waste). Ukuran kualitas tersebut bisa ditunjukkan terutama dari nilai kalor, dan kadar abu. Nilai kalor EFB charcoal briquette lebih rendah dan kadar abu lebih besar dibandingkan sawdust charcoal briquette. Berdasarkan kondisi tersebut sudah semestinya harga sawdust charcoal briquette sedikit lebih rendah dibandingkan sawdust charcoal briquette. Tetapi sebagai upaya untuk mengatasi masalah limbah dan bisa menambah penghasilan, maka keuntungan dari produksi EFB charcoal briquette seharusnya masih sangat menarik.
Implementasi produksi EFB charcoal bisa bekerja sama dengan pabrik sawit yakni sebagai penyedia bahan baku sekaligus penyedia listrik untuk operasionalnya. Sejumlah pabrik sawit dengan kelebihan limbah biomasanya seperti cangkang sawit dan mesocarp fiber nya bisa digunakan untuk produksi listrik tersebut. Jika masih kurang, limbah di kebun seperti pelepah dan daun juga bisa digunakan bahan bakar pembangkit listrik tersebut. Lokasi pabrik sawit yang banyak berada di pedalaman dan tidak ada sumber listrik lain yang memadai membuat pabrik sawit juga otomatis sebagai pembangkit listrik yang umumnya digunakan secara internal tetapi juga bisa ditingkatkan untuk penggunaan eksternal. Sedangkan secara management dan bisnis, bisa saja produksi EFB charcoal briquette diintegrasikan dengan pabrik sawit maupun terpisah yang dikelola tersendiri. Tentu saja pilihan tersebut sangat tergantung pada pola manajemen perusahaan yang bersangkutan khususnya pada divisi pengembangan bisnisnya.

Dari Karbon Netral ke Karbon Negatif : Pengembangan Baterai, Wood Pellet, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Biochar

Riset untuk pengembangan baterai kapasitas besar terus dilakukan sehingga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan ...