Sabtu, 29 Oktober 2022

Redesign Pabrik Sawit Untuk Produksi IVO : Menggunakan Pirolisis, Gasifikasi atau Biogas ?

Produksi biodiesel / green diesel dengan bahan baku RBD PO terlalu bagus (overspec) dan terlalu mahal, sehingga perlu diganti dengan bahan baku yang lebih murah, yakni IVO (industrial vegetable oil). Untuk maksud tersebut maka perlu merancang ulang (redesign) pabrik sawit sehingga sejumlah produksi ekstraksi TBS menjadi CPO yang dilakukan di pabrik sawit sawit perlu dimodifikasi alur prosesnya. Proses sterilisasi bisa dihilangkan sehingga tidak perlu air untuk produksi kukus demikian juga boiler dan turbine uap untuk produksi listriknya. Unit pengolahan air (water treatment) juga bisa tidak dibutuhkan lagi ataupun bisa tetap dibutuhkan tetapi untuk proses yang berbeda. 

Salah satu hal lain yang penting adalah penyediaan energi khususnya listrik bagi pabrik sawit tipe baru tersebut. Hal ini karena sebagian besar alat yang digunakan di pabrik sawit adalah alat mekanik yang bekerja dengan mengkonsumsi listrik. Sebagai pabrik yang memiliki banyak limbah biomasa tentu bukan hal sulit untuk dilakukan, bahkan selama ini pabrik sawit memproduksi sendiri listriknya dengan membakar fiber dan cangkang sawit di boiler. Tetapi pada pabrik sawit tipe baru dengan konfigurasi berbeda maka bisa saja boiler tidak dibutuhkan atau tetap dibutuhkan tetapi ada perbedaan dengan sebelumnya. Pada dasarnya tentu saja bagaimana mencapai tingkat efisiensi tertinggi dengan proses baru tersebut.

Faktor lainnya adalah bagaimana proses produksi yang baru tersebut juga memberikan manfaat lebih besar bagi industri sawit tersebut misalnya juga dihasilkan produk biochar. Produk biochar tersebut nantinya digunakan pada perkebunan sawit untuk memperbaki kesuburan tanah dan juga sebagai carbon sink dan menyerap gas N2O, yang merupakan gas rumah kaca. Carbon credit dari aplikasi biochar sebagai carbon sink tersebut juga akan memberi penghasilan tambahan bagi industri sawit yang nilainya juga tidak sedikit. Saat ini banyak perkebunan sawit yang berada pada tanah masam atau ber-pH rendah membuat produktivitas sawit rendah sehingga perlu dinaikkan dan juga pada operasional perkebunan sawit biaya pupuk adalah komponen biaya tertinggi, dan untuk itu biochar adalah solusi mengatasi problem tersebut. Dengan tingginya produktivitas TBS dengan treatment tersebut maka pembukaan lahan sawit menjadi tidak diperlukan lagi, sehingga sorotan perkebunan sawit yang membuat deforestasi juga berkurang. 


Untuk produksi listrik selain dengan membakar fiber dan cangkang sawit di boiler, lalu kukus yan dihasilkan menggerakkan steam turbine, cara lain adalah pirolisis dan gasifikasi biomasa. Dengan pirolisis (slow pyrolysis) produksi biochar lebih banyak atau sebagai produk utama. Sedangkan dengan gasifikasi produk biochar lebih sedikit dengan produk gas lebih utama. Biogas dari limbah cair (POME) adalah sumber energi lain yang bisa digunakan. Pada dasarnya tergantung pada tujuan dan kebutuhan, seberapa besar listrik yang dibutuhkan, seberapa besar kebutuhan biochar dan sebagainya. Tetapi dengan luasnya perkebunan sawit yang mencapai puluhan ribu hektar, maka kebutuhan biochar akan sangat besar, sehingga pirolisis akan lebih cocok diterapkan. Dan jika kebutuhan listrik cukup besar, maka listrik dari biogas juga bisa sebagai tambahan selain listrik dari pirolisis.

Bahkan dengan pirolisis tersebut juga akan dihasilkan produk lain yang bermanfaat untuk perkebunan sawit seperti asap cair (liquid smoke). Liquid smoke ini bisa sebagai biopestisida yang aplikasinya bisa menggunakan drone pertanian dengan kecepatan 16 hektar/jam bahkan lebih. Produk biooil dari pirolisis juga bisa digunakan untuk bahan bakar langsung dengan menggunakan burner maupun dimurnikan lebih lanjut menjadi bahan bakar kendaraan. Pembakaran bahan bakar gas ataupun cair akan memberikan emisi lebih bersih pada pabrik sawit dibandingkan pembakaran bahan bakar yang dilakukan selama ini. 

Digestate dari biogas bisa digunakan bersamaan biochar sehingga bisa memberikan hasil maksimal di perkebunan sawit. Dengan stuktur biochar yang berpori maka digestate plus biochar akan menjadi pupuk organik lepas lambat (slow release fertilizer) sehingga penggunaan pupuk akan lebih efisien. Selain itu dengan banyaknya potensi limbah biomasa di industri kelapa sawit juga memungkinkan sejumlah pengembangan usaha terutama apabila ada pasokan energi yang memadai. Sebagai contoh adalah produksi arang aktif (activated carbon) dari cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) ataupun pengolahan kernel menjadi minyak kernel (palm kernel oil). Dengan mengoptimalkan semua potensi khususnya limbah biomasa sehingga bisa memberi manfaat ekonomi dan lingkungan, maka industri sawit akan semakin menarik. 

Kamis, 27 Oktober 2022

Kompor Wood Pellet Untuk Masyarakat

Photo diambil dari sini
Tungku atau kompor kayu bakar masih banyak ditemui diberbagai daerah di Indonesia. Selain tidak efisien tungku atau kompor kayu bakar tersebut juga menghasilkan polusi asap yang mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. Polusi asap dari tungku atau kompor kayu bakar tersebut dilaporkan sebagai penyebab terjadinya kematian  jutaan orang di dunia setiap tahunnya. Selain itu kayu bakar yang digunakan juga banyak berasal dari kayu hutan yang menyebabkan deforestasi (penggundulan hutan). Sedangkan dampak lanjut dari penggundulan hutan adalah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. 

Memasak adalah salah satu aktivitas penting manusia untuk mendapatkan makanannya sehingga menjadi hal penting pula untuk bisa diupayakan dengan baik. Termasuk bagian dari upaya itu adalah menjaga keberlangsungan bahan bakar, harga bahan bakar terjangkau, kesehatan hingga aspek lingkungannya. Saat ini sebagian besar bahan bakar untuk memasak di Indonesia adalah LPG tetapi kenyataannya LPG yang digunakan tersebut hampir 80% berasal dari import atau nilainya sekitar 60 trilyun. Pertamina sebagai produsen tunggal LPG di Indonesia saat ini pasokannya malah cenderung menurun. Padahal kebutuhan LPG terus meningkat. Kebutuhan LPG pada 2011 tercatat sebesar 4,35 juta ton. Kebutuhan ini terus meningkat tiap tahunnya hingga menembus dua kali lipat menjadi 8,55 juta ton pada 2021. Kondisi tersebut tentu tidak baik, karena membuat ketergantungan terhadap import, padahal di Indonesia ada sejumlah sumber daya yang bisa digunakan untuk mengatasi hal tersebut. 

Berbagai hal berbasis potensi Indonesia untuk mengatasi hal tersebut antara lain penambahan kilang minyak baru sehingga produksi LPG bisa digenjot, gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME (Dimethyl Ether) yang karakteristiknya mirip LPG, ataupun menggunakan gas alam dengan jaringan pipa gas. Dari sisi kemandirian energi hal tersebut bisa dilakukan apalagi memang bahan bakunya cukup tersedia, tetapi dari sudut pandang bioekonomi dan dekarbonisasi (mengganti bahan bakar fossil ke energi terbarukan) yang juga semakin meningkat kecenderungannya, hal tersebut kurang sesuai. Energi terbarukanlah seharusnya yang semaksimal mungkin diupayakan sebagai solusinya. Wood pellet adalah bahan bakar atau energi terbarukan dari biomasa yang ideal untuk subtitusi LPG tersebut. Sebagai negara tropis maka Indonesia kaya akan biomasa karena matahari bersinar sepanjang tahun, sedangkan di negara sub-tropis ketika musim dingin tumbuh-tumbuhan berhenti tumbuh. Bahkan bisa dikatakan produsen terbesar biomasa adalah daerah tropis atau daerah yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga sebagai anugerah Allah SWT kita harus mensyukurinya. 

Kompor wood pellet yang efisien dan rendah emisi adalah solusi terbaik. Mengapa bukan kompor biomasa saja? Mengapa limbah-limbah biomasa khususnya limbah-limbah kayu perlu diolah menjadi wood pellet terlebih dahulu? Dengan dibuat wood pellet maka selain bentuk dan ukuran seragam, kering, kepadatan tinggi, juga mudah dalam penyimpanan dan pemakaiannya. Bahkan pada musim penghujan bisa jadi sulit mencari kayu bakar kering di sejumlah daerah, dilain sisi wood pellet bisa sangat praktis digunakan. Jadi dengan produk yang standar sesuai spesifikasi tersebut di atas maka wood pellet akan menjadi bahan bakar padat superior dan terbarukan, sehingga kompor wood pellet akan bekerja dengan optimal. Sedangkan apabila bahan bakarnya dari sembarang biomasa dengan spesfikasi beragam maka performa kompor tidak optimal. 

Bahan baku untuk produksi wood pellet bisa menggunakan limbah-limbah kayu dari penggergajian kayu (sawmill), industri-industri pengolahan kayu maupun limbah-limbah hutan. Limbah-limbah tersebut banyak belum termanfaatkan dan bahkan mencemari lingkungan tersebut menjadi bermanfaat dan bernilai ekonomi. Kapasitas produksi pabrik wood pellet juga perlu ditentukam sehingga sesuai kebutuhan penggunaanya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setingkat desa atau kecamatan pabrik wood pellet bisa dibangun dengan kapasitas 500-1000 ton/bulan. 

Terkait pengurangan CO2 di atmosfer yang sejalan dengan dekarbonisasi dan bioekonomi, sejumlah perusahaan saat ini juga melakukan proyek karbon, yakni dengan membuat hutan konservasi sebagai media menyerap CO2 dari atmosfer (carbon sink) dengan mendapat kompensasi berupa carbon credit. Hutan konservasi tersebut dijaga sedemikian rupa sehingga proyek karbon tersebut sukses. Terjadinya deforestasi pada area hutan konservasi merupakan suatu hal yang harus dihindari. Untuk menghindari hal tersebut program kompor wood pellet bisa sebagai solusi. Masyarakat sekitar hutan konservasi yang menggunakan wood pellet untuk kompor-kompor masak mereka membuat kayu bakar tidak lagi digunakan dan deforestasi tidak terjadi. 

Jumat, 14 Oktober 2022

Produksi Wood Pellet Untuk Menembus Pasar Eropa

Kondisi perang Rusia-Ukraina yang terjadi memiliki dampak pada industri wood pellet yakni terjadinya kekurangan suplai di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Upaya untuk menambah pasokan telah mereka lakukan untuk mengamankan ketersediaan wood pellet tersebut. Kekurangan wood pellet tersebut baik untuk penggunaan industri maupun rumah tangga (pemanas ruangan). Produksi wood pellet dari Rusia menjadi tidak bisa diterima oleh pasar Eropa padahal jumlahnya besar (Rusia mengekspor lebih dari 870.000 ton ke Denmark saja tahun lalu) dan kondisi diperkirakan terjadi minimal sampai 12 bulan mendatang. Kekurangan pasokan wood pellet diperkirakan mencapai 3,4 juta ton yang merupakan produksi dari Rusia, Ukraina dan Belarus. Konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan harga wood pelet yang tinggi karena berbagai alasan, terutama karena kelangkaan wood pelet dan bahan bakar lain yang masuk ke Eropa dan harga listrik yang tinggi.

Kebutuhan wood pellet juga terus meningkat seiring program dekarbonisasi (subtitusi bahan bakar fossil ke energi terbarukan). Menurut data Hawkins Wright, dari 2020-’21, permintaan wood pellet untuk industri global tumbuh sebesar 18,4%, dengan produksi hanya tumbuh 8,4%. Apalagi saat ini dengan menghilangnya Rusia membuat harga wood pellet lebih tinggi yang mencapai $300 per ton, tetapi dengan harga tinggi pun pasokan wood pellet tetap terkendala. Tingginya harga bahan bakar fossil juga telah menciptakan kenaikan permintaan wood pellet, terutama rumah tangga-rumah tangga di Eropa yang beralih ke wood pellet untuk pemanas ruangan dan diperkirakan peningkatan permintaan itu mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2022 ini, menurut laporan proPellets Austria.   Di Austria—dan sebagian besar representatif dari mereka di seluruh Eropa — harga wood pellet memecahkan rekor dengan meningkat lebih dari 53% dibandingkan tahun sebelumnya tanpa tanda-tanda turun dalam waktu dekat. Bahkan survei bulan Juni 2022 yang diselesaikan oleh proPellets Austria menghasilkan harga rata-rata wood pellet naik 66% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, terlepas dari peningkatan itu, wood pellet masih menawarkan keunggulan harga 82,7% dibandingkan untuk minyak pemanas dan 18,3% dibandingkan dengan gas alam. Adapun wood pellet kemasan (bagged pellets) naik 52,8% dibandingkan dengan tahun lalu.

ProPellets Austria juga melaporkan untuk merespon permintaan wood pellet tersebut khususnya untuk memastikan kebutuhan jangka panjang, industri wood pellet Austria membangun 11 pabrik wood pellet baru dengan percepatan pemanfaatan residu kayu. Energi internasional pasar berada dalam keadaan pergolakan, paling tidak karena invasi Rusia ke Ukraina, dan ini juga mempengaruhi pasar wood pellet secara global khususnya di Eropa.  Sedangkan Inggris juga  telah menghadapi kekurangan 200.000 ton wood pellet di pasar pemanas domestik / rumah tangga dan bahwa jalan rantai pasokan baru sedang dieksplorasi, import dengan volume lebih besar adalah salah satu solusi. Dengan pasar yang sangat ketat, pasokan kemacetan rantai, inflasi dan efek riak perang yang sedang berlangsung, maka strategi, kreativitas dan fleksibilitas rantai pasokan  akan dibutuhkan dari  wood pellet stakeholder. Adapun apakah pasokan wood pellet global diperkirakan akan menjadi lebih dekat untuk dapat memenuhi permintaan, itu kemungkinan tidak akan ada dalam waktu dekat, menurut kepada Matthews, konsultan biomasa dari Hawkins Wright. . Kekuatan ekonomi akan memiliki efek dari waktu ke waktu — harga tinggi adalah kekuatanpendorong investasi pabrik wood pellet baru. Industri wood pellet saat ini sedang berinvestasi ratusan juta Euro jadi bahwa pasokan dijamin dalam jangka panjang, tetapi mereka juga membutuhkan dukungan dari pengambil keputusan politik. 


Indonesia dengan luas wilayahnya dan beriklim tropis sangat potensial mengembangkan produksi wood pellet kapasitas besar termasuk penggunaan kebun energi. Produksi wood pellet Indonesia yang saat ini masih kecil atau diperkirakan hanya 200 ribu ton per tahun perlu digenjot sehingga merespon kebutuhan Eropa tersebut. Walaupun selama ini untuk Asia, Jepang dan Korea adalah target pasar wood pellet, tetapi perkembangan terbaru kondisi Eropa juga menjadi daya dorong baru. Tingginya harga wood pellet di Eropa akibat perang Rusia-Ukraina membuat suplier-suplier di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) juga mulai menyuplai ke Eropa. Bahkan peluang tersebut juga ditangkap oleh sejumlah supplier dari Asia. Vietnam adalah negara pengeksport terbesar kedua di dunia untuk wood pellet. Volume dan nilai ekspor wood pellet terus meningkat sejak Oktober 2021 dan harga ekspor melonjak hingga mencapai rata-rata hampir US$150 per ton, naik lebih dari 27% dibandingkan dengan harga rata-rata yang tercatat tahun lalu. Itu kenaikan tajam dalam volume dan harga ekspor dapat dikaitkan dengan peningkatan permintaan yang tiba-tiba dari Uni-Eropa. Dengan kapasitas produksi yang luar biasa tersebut industri wood pellet Vietnam ternyata mulai memdapat sejumlah tantangan yakni keterbatasan bahan baku dan persyaratan yang lebih ketat yang diminta oleh importir seperti sertifikasi keberlanjutan. Kondisi ini seharusnya bisa dilihat sebagai peluang bagi industri wood pellet di Indonesia. 

Beli Wood Pellet atau PKS (Palm Kernel Shell) ?

Kebutuhan bahan bakar biomasa sebagai upaya dekarbonisasi karena merupakan bahan bakar terbarukan yang netral karbon semakin meningkat. Dua ...