Selasa, 23 Januari 2024

Mengapa Produksi Wood Pellet Kapasitas Besar dari Kebun Energi Kaliandra Belum Terealisasi ?

Sebagai negara tropis yang memiliki luas tanah terbesar di Asia Tenggara potensi untuk bahan bakar atau energi tebarukan dari biomasa khususnya wood pellet sangat potensial dan menjanjikan. Untuk menjaga kestabilan volume produksi kapasitas besar dan kontinuitasnya maka produksi wood pellet tersebut harus menggunakan bahan baku dari kebun energi atau kebun biomasa. Kebun energi dari tanaman rotasi dan pertumbuhan cepat (short rotation coppice & fast growing species) dari kelompok legum seperti kaliandra merah (Calliandra calothyrsus) telah menjadi perhatian cukup lama, tetapi mengapa produksi wood pellet kapasitas besar tersebut hingga saat ini belum terealisasi atau belum ada industri yang merealisasikannya ? Dibawah ini bisa jadi dua faktor utama penyebab hal tersebut :

1. Kualitas wood pellet kaliandra 

Karakteristik tanaman rotasi dan pertumbuhan cepat kelompok legum tersebut memiliki kandungan potassium / kalium dan sodium / natrium (K+Na) cukup tinggi pada kayunya. Potassium / Kalium memiliki sifat berupa titik leleh rendah sehingga akan bermasalah pada alat penukar panans (heat exchanger) di boiler pembangkit listrik pada umumnya. Kandungan potassium / kalium yang tinggi tersebut menyebabkan penggunaannya tidak cocok pada pembangkit listrik pada umumnya, yakni yang menggunakan pulverized combustion. Kaliandra merah (Calliandra calothyrsus)  secara khusus demikian juga, sehingga dengan kapasitas produksi besar  maka produk wood pellet yang berorientasi export tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan menurunkan kandungan terutama kalium dan natrium (K+Na) tersebut. 

Proses penurunan K + Na yang merupakan bagian ash content tersebut dilakukan dengan proses pencucian (leaching / washing). Unit ini menjadi perlu ditambahkan pada proses produksi wood pellet dari kaliandra merah tersebut.  Proses tersebut selain membuat kayu kaliandra bahan baku wood pellet menjadi lebih basah juga menghasilkan air limbah (waste waster). Hal ini akan menambah biaya produksi wood pellet kaliandra merah tersebut. 

Walaupun bisa saja proses leaching / washing tersebut tidak dilakukan sehingga wood pellet yang dihasilkan masih memiliki kandungan K + Na cukup tinggi juga masih berpotensi digunakan untuk pembangkit listrik tipe tertetu seperti yang berteknologi fluidized bed dan stoker. Tetapi tipe teknologi pembangkit listrik tersebut memang tidak sebanyak penggunaan teknologi pulverized combustion. Supaya penerimaan pasar untuk produksi wood pellet kaliandra besar atau bisa digunakan pada semua tipe pembangkit listrik maka sebaiknya proses leaching / washing tersebut perlu dilakukan.  


2. Pemanfaatan hanya bagian tertentu (parsial) dari tanaman, dan tidak menyeluruh (whole tree utilization) 

Ketika hanya memanfaatkan kayu saja untuk produksi wood pellet, berarti hanya sebagian saja dari tanaman yang dimanfaatkan (parsial) atau ada bagian lain dari tanaman tersebut yang tidak dimanfaatkan yakni daun dan bunga. Padahal dari kedua bagian tanaman ini akan mampu memaksimalkan pendapatan atau kentungan yang membuat daya dorong untuk akselerasi realisasi produksi wood pellet berkapasitas besar dari kebun energi tersebut. Besar biaya tambahan yang dikeluarkan untuk proses leaching / washing akan terkompensasi dengan pendapatan / keuntungan dari pengolahan daun dan pemanfaatan bunga.   

Daun kaliandra yang memiliki kandungan protein tinggi diolah menjadi pakan ternak khususnya menjadi tepung ataupun juga dipelletkan menjadi pellet pakan (feed pellet). Sedangkan dari bunga yakni nektarnya sebagai pakan lebah madu dengan peternakan lebah untuk menghasilkan madu kaliandra. Dengan memaksimalkan potensi dari seluuh bagian tanaman (whole tree utilization) kaliandra tersebut sehingga dihasilkan berbagai produk (multiple products) tersebut sehingga daya dorong untuk akselerasi realisasi produksi wood pellet kapasitas besar dari kebun energi semakin kuat.  

Salah satu bentuk syukur terhadap nikmat Allah SWT berupa negara beriklim tropis dengan tanah yang luas adalah memanfaatkannya secara berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Daerah tropis seperti Indonesia adalah “surga” bagi produksi biomasa, khususnya menjadi energi biomasa (bioenergy) berupa wood pellet tersebut. Optimalisasi potensi ini khususnya dengan produksi wood pellet kapasitas besar dan produk-produk tambahannya bisa menjadi rahmat dan anugerah yang mensejaherakan sekaligus sebagai solusi masalah iklim global (carbon neutral fuel).  Dan pada dasarnya juga dibutuhkan business judgement dari sisi pengusahanya sehingga pengusaha tersebut berani memutuskan untuk eksekusi peluang usaha ini.  

Rabu, 17 Januari 2024

2nd Generation Biofuel dengan Produksi Biodiesel dari Nyamplung dan sejenisnya

Produksi biodiesel dari CPO merupakan 1st generation biofuel dimana bahan bakunya bersaing dengan produk pangan, yang tentu saja kurang baik. Produksi biodiesel dari minyak-minyak yang tidak bersaing dengan produk pangan akan jauh lebih baik. Citra produsen bahkan negaranya juga akan terangkat apabila programnya bisa masif dilakukan. Ada sejumlah pohon-pohon yang menghasilkan minyak-minyak untuk produksi biodiesel tersebut. Selektivitas jenis tanaman terkait produktivitas, kondisi iklim dan sebagainya tentu menjadi pertimbangan serius apabila produksi tersebut pada skala industri. Minyak nyamplung (calophyllum inophyllum oil) adalah salah satu solusi terbaik karena selain produktivitas minyak tinggi, masa produktif panjang, dan batangnya pasca masa produktif juga ekonomis atau bernilai jual tinggi. 

 

Produktivitas minyak nyamplung bersaing dengan minyak sawit yang produktivitasnya kisaran 6 ton/hektar/tahun, tetapi perawatan pohon nyamplung lebih mudah dan murah. Sedangkan jathropha / jarak pagar memiliki produktivitas lebih kecil sehingga kurang menarik dan menguntungkan untuk dikembangkan. Pohon nyamplung yang tumbuh dengan baik di dataran rendah atau di pesisir pantai akan sangat cocok dengan Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 99.093 km  atau terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dan akan lebih baik lagi jika perkebunan nyamplung yang berada di pesisir pantai tersebut juga bersamaan dengan penanaman kelapa. Indonesia terkenal dengan negeri rayuan pulau kelapa, yang umumnya tumbuh baik di area pesisir pantai. Pohon kelapa juga memiliki banyak manfaat dari hampir semua bagiannya. Jika hal itu terjadi optimalisasi produksi energi terbarukan yakni biofuel berupa biodiesel dari minyak nyamplung dan produk pangan khususnya berbasis buah kelapanya.

Sektor transportasi sendiri berkontribusi pada emisi CO2 14% secara global atau 27% di Indonesia. Biodiesel yang diproduksi dengan reaksi transesterfikasi (rantai C6-C22) memiliki sifat sangat mirip dengan minyak diesel (solar) sehingga bisa digunakan 100% pada mesin diesel tanpa perlu modifikasi ataupun dicampur / blending dengan porsi tertentu. Biodiesel mengandung 10% oxygen dan zero sulphur, yang membuat pembakaran mesin lebih sempurna dan efisien. Bahan bakar cair juga memiliki keunggulan tersendiri dibanding bahan bakar gas antara lain mudah penggunaan dan penyimpanan, serta kendaraan yang ada sebagian besar menggunakan bahan bakar cair, jadi bisa langsung digunakan. Pengembangan biofuel sebagai bahan bakar carbon neutral perlu diprioritaskan sebagai bagian dari dekarbonisasi khususnya untuk  2nd Generation Biofuel ini karena tidak konflik atau berkompetisi dengan bahan pangan. 

Untuk 2nd generation biofuel dari biomasa atau lignocelullosic biomass (seperti kayu-kayu limbah), produksi biodiesel masih high cost. Ada dua rute proses untuk produksi biodiesel dari lignocelullosic biomass  yakni dengan gasifikasi untuk produksi syngas diikuti proses Fischer-Tropsch (FT) dan fast pyrolysis untuk produksi biooil diikuti proses hydrotreating dan catalytic cracking. Hal inilah yang membuat produksi biodiesel dengan cara tersebut tidak dilakukan walaupun secara teknis memungkinkan. Bahan baku untuk lignocellulosic biomass jauh lebih murah karena pada umumnya dikategorikan limbah biomasa. Walaupun begitu kompleksitas proses produksi membuat biaya produksi mahal, sehingga belum menjadi pilihan.

Sedangkan untuk 3rd generation biofuel yakni dari mikroalga walaupun potensinya sangat besar, bahkan produktivitasnya bisa lebih dari 16 kali produktivitas minyak sawit ataupun minyak nyamplung (6 ton/hektar/tahun pada minyak sawit dan nyamplung, sedangkan minyak dari mikroalga mencapai 100 ton/hektar/tahun) tetapi tampaknya masih butuh waktu untuk bisa masuk ke tahap komersialisasinya. Masalah terkat kultivasi, pemanenan, dan ekstraksi minyaknya juga masih membutuhkan riset yang panjang. Dengan produksi biodiesel dari minyak nyamplung maka bisa secara bertahap produksi biodiesel dari CPO bisa dikurangi. Semakin besar perkebunan nyamplung maka akan semakin besar produk biodiesel yang dihasilkan, sehingga minyak sawit atau CPO bisa dikhususkan sebagai minyak makan atau khususnya produk pangan saja. Demikian juga dengan minyak dari kelapa yang juga harapannya akan meningkat seiring tumbuh dan berkembangnya produksi biodiesel dari minyak nyamplung tersebut. 

Pabrik Sawit Masa Depan : Produsen CPO, Biochar dan Hidrogen Sekaligus

Faktor efisiensi, mengoptimalkan potensi dan perbaikan iklim seharusnya bisa dilakukan sekaligus pada industri kelapa sawit. Hal tersebut bisa dilakukan yakni dengan mengganti tungku pembakaran pada boilernya dengan pirolisis sehingga bahan bakar boiler terutama berupa biooil produk samping pirolisis, dengan produk utama biochar dan membangun unit biogas untuk produksi hidrogen sebagai produk akhir. Biochar akan digunakan sebagai pembenah tanah (soil amendment) bersama dengan pupuk sehingga menjadi pupuk lepas lambat (slow release fertilizer), sehingga efisiensi penggunaan pupuk (NUE : nutrient use efficiency) meningkat. Penggunaan biochar sebagai carbon sequestration yakni dengan penggunaan bersama pupuk tersebut juga akan memberi penghasilan tambahan dari carbon credit. Tanah-tanah masam ataupun tanah-tanah kering akan lebih baik kesuburannya dengan aplikasi biochar tersebut.

Selanjutnya limbah cair atau POME (palm oil mill effluent) digunakan untuk bahan baku biogas. Dengan komponen utama biogas berupa metana (CH4) maka dengan steam reforming metana tersebut akan bereaksi dengan kukus / steam pada suhu 700-1100 C dengan adanya katalis nikel menjadi hidrogen / H2 dan dan karbonmonoksida / CO. Untuk memaksimalkan produksi hidrogen H2 selanjutnya karbonmonoksida / CO yang dihasilkan dikenai shift reaction, maka akan terjadi produk hidrogen / H2 dan karbondioksida / CO2. Reaksi tersebut berjalan pada suhu 400-500 C ataupun pada suhu lebih rendah yakni 200-400 C. Pada suhu lebih tinggi shift reaction biasa menggunakan katalis besi oksida atau kromium, sedangkan pada suhu lebih rendah katalis yang biasa digunakan adalah tembaga, zinc oxide dan alumina, yang membantu mengurangi konsentrasi CO hingga dibawah 1%.

Pengolahan Limbah Kelapa Muda : Dibriket atau Dipelletkan saja!

Ketika cuaca sangat panas seperti akhir-akhir ini, minum air kelapa sangat menyegarkan. Hal ini karena air kelapa selain untuk memenuhi kebu...