Rabu, 30 November 2022

Biochar untuk Pembibitan Kelapa Sawit

Ada sekitar 250 produsen benih atau bibit kelapa sawit di Indonesia, dan dengan luas perkebunan sawitnya mencapai sekitar 15 juta hektar, produsen benih tersebut sebenarnya juga tidak banyak. Secara lebih spesifik Sumatera memiliki luas perkebunan sawit terbesar di Indonesia sehingga sebagai kegiatan ekonomi utama di daerah tersebut, karena 70 persen lahan kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera.  Dengan pola tanam misalnya 125 pohon per hektar maka untuk setiap 1.000 hektar dibutuhkan 125.000 pohon atau untuk 1 juta hektar 125 juta pohon, sedangkan untuk 15 juta hektar berarti dibutuhkan lebih dari 1,8 trilyun pohon sawit dengan produksi CPO saat ini mencapai lebih dari 40 juta ton per tahun. Jumlah yang sangat banyak tentunya. Tetapi bukan saja faktor kuantitas, faktor kualitas bibit lebih diutamakan sehingga memiliki produktivitas yang optimal. Kebutuhan bibit tentu juga tidak serta merta hingga jutaan atau trilyunan batang dalam waktu bersamaan, tergantung kebutuhan seperti penanaman baru dari kebun baru (ekstensifikasi) - yang saat ini masih dilakukan di Indonesia atau peremajaan kebun sawit (replanting) yang dilakukan secara berkala. 

Bibit kelapa sawit yang baik salah satunya ditentukan oleh kualitas media tumbuh. Media tumbuh bibit kelapa sawit pada umumnya terdiri atas tanah lapisan atas (topsoil) yang dicampur dengan pasir maupun bahan organik sehingga diperoleh media yang subur. Kompos atau pupuk kandang sering digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dengan menyuplai unsur hara ke tanaman. Dengan iklim tropis dengan curah hujan tinggi unsur hara bisa mudah tercuci, selain itu pH tanah yang rendah juga menjadi kendala tersendiri untuk pertumbuhan bibit tersebut. Dengan menggunakan biochar maka nutrisi atau hara tanaman menjadi lebih tersedia, kelembaban dan aktivitas mikroba akan meningkat. Biochar yang di manfaatkan sebagai media tanam tersebut dapat meningkatkan karbon tanah dari 0,4–0,7% menjadi 2%, meningkatkan: kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan air tanah, daya simpan pupuk untuk kebutuhan tanaman, kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas perkembang-biakan mikroorganisme tanah dan meningkatkan nutrisi tanah. Hal tersebut membuat kualitas media tanam bermutu tinggi, sehingga produk bibit sawit yang dihasilkan berupa perakaran, tinggi tanaman, jumlah daun dan berat tanaman adalah parameter yang diamati dengan penggunaan biochar tersebut juga semakin baik.

Dibandingkan penggunaan cocopeat, biochar memiliki sejumlah keunggulan. Baik cocopeat dan biochar memiliki kegunaan dalam bidang pertanian, tetapi ada sejumlah perbedaan antara keduanya. Cocopeat memiliki kegunaan terutama sebagai media tanam karena kemampuan menahan air (water holding capacity), sedangkan biochar selain memiliki kemampuan menahan air seperti halnya cocopeat juga menaikkan pH tanah, menahan atau membuat hara lebih tersedia (nutrient retention), dan juga menjadi koloni mikroba tanah sehingga bahan-bahan organik menjadi cepat terdekomposisi dan diserap tanaman. Cocopeat juga akan terurai dalam waktu tidak terlalu lama seperti kompos sedangkan biochar mampu bertahan dan tidak terdekompsisi hingga ratusan tahun. Dengan kondisi tersebut sehingga biochar juga digunakan untuk menyimpan CO2 (carbon sequenstration) dan mendapatkan carbon credit dengan mekanisme carbon sink. 

Pembibitan kelapa sawit merupakan titik awal yang paling menentukan pertumbuhan kelapa sawit selanjutnya di lapangan. Keberhasilan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di lapangan tersebut  sangat ditentukan oleh mutu bibit yang ditanam. Bibit yang pertumbuhannya baik di pembibitan memiliki daya adaptasi yang tinggi di lapangan. Pada prakteknya dengan dibuktikan sejumlah penelitian yang dilakukan penggunaan biochar memiliki efek positif pada produk bibit sawit. Penggunaan biochar pada kisaran 40% telah menjadi komposisi terbaik bagi media tanam bibit sawit tersebut. Hal tersebut seharusnya mendorong produsen - produsen bibit sawit untuk menggunkan biochar. Apabila ada kebutuhan biochar dalam jumlah besar untuk maksud tersebut, silahkan kontak kami. Data spesifikasi teknis (COA) dan sampel biochar juga bisa kami sediakan.

Sabtu, 19 November 2022

Green Economy di Industri Semen

Trend dekarbonisasi termasuk low carbon economy telah merambah ke berbagai sektor tidak terkecuali pada industri semen. Semen adalah produk paling umum di dunia yang dibuat manusia dengan konsumsi sekitar 0,5 ton per orang per tahunnya. Industri semen juga merupakan aktivitas penyumbang gas rumah kaca cukup besar yakni mencapai 21% (IPCC 2014), dengan kondisi tersebut membuatnya salah satu kontributor terbesar pada perubahan iklim. Dan karena industri semen memiliki sejarah sebagai kontributor utama untuk emisi gas rumah kaca tersebut, sehingga ada peluang hari ini untuk mengurangi emisi secara signifikan melalui peningkatan efisiensi dan inovasi di industri tersebut.

Peningkatan efisiensi energi pada produksi semen akan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan.  Bahkan di industri semen, penggunaan energi juga secara perlahan energi terbarukan atau energi alternatif mulai digunakan termasuk penggunaan RDF dari sampah kota atau sampah rumah tangga, yang sedikit banyak mengurangi polusi lingkungan. Sedangkan pada aspek produksi penggunaan bahan tambahan yang berasal dari limbah industri lain (circular economy) seperti slag dan fly ash atau SCM (supplementary cementious materials) juga sudah banyak digunakan.  Penambahan bahan-bahan ini tergantung jenis semen yang akan dibuat dan bertujuan mengurangi pemakaian clinker karena produksi clinker memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan gas CO2 hasil kalsinasi.  Sebagai contoh pada pembuatan slag cement menghasilkan 38% lebih sedikit emisi CO2 dibandingkan proses untuk produksi portland cement karena lebih sedikit batu gamping (limestone) dibakar untuk produksi slag cement daripada dibutuhkan untuk Portland cement. Selain itu sejumlah negara juga mendukung produksi dan penggunaan slag cement tersebut dalam rangka mendukung produk yang ramah lingkungan. Hal-hal di atas juga mengindikasikan kepedulian terhadap lingkungan dan keberlanjutan (sustainibility) semakin meningkat.

Pada industri semen sekitar 50% emisi berasal dari proses kalsinasi itu sendiri, 40% dari bahan bakar untuk memanaskan kiln, dan sisanya 10% dari menggiling (grinding) dan transport. Di dalam kalsiner terjadi proses kalsinasi yaitu peruraian CaCO3 menjadi CaO dan CO2 dan sedikit MgCO3 menjadi MgO dan CO2. Karena reaksi kalsinasi bersifat endotermis maka diperlukan panas yang cukup tinggi, sehingga dilengkapi dengan burner untuk pembakaran batubara memanfaatkan udara tersier dari cooler dan gas panas kiln. Pelepasan CO2 akibat reaksi di kalsiner ini menjadi isu lingkungan yang krusial di industri semen, volum gas CO2 hasil kalsinasi jauh lebih besar dari pada CO2 hasil pembakaran fuel (batubara) atau 50% berbanding 40%.  

Beragamnya jenis semen dengan kualitas yang berbeda-beda seringkali membutuhkan kualitas SCM yang spesifik juga. Dalam kondisi tersebut tinjauannya tidak hanya spesifikasi umum tetapi hingga ke kimia bahannya (material chemistry). Misalnya slag dari pabrik baja atau Granulated Blast Furnace Slag (GBFS) dengan kandungan kimia tertentu atau fly ash tetapi dengan kandungan  alkali rendah atau slag dari smelter nikel tidak cocok untuk jenis semen tertentu dan sebagainya. Untuk mendapatkan SCM spesifik seperti slag dan fly ash tersebut sangat terkait terkait dengan sumber slag dan fly ash tertentu, walaupun dalam sejumlah kasus bisa saja menambahkan bahan tertentu untuk mendapatkan komposisi kimia yang diinginkan. 

Dan pada industri semen emisi tidak mudah dikurangi dengan mudah. Emisi dari proses tidak bisa dikurangi dengan optimasi ataupun penggunaan energi terbarukan atau energi alternatif saja. Pada industri semen ketika mengikuti skenario-skenario yang dikembangkan oleh International Energy Agency (IEA) atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) jelas bahwa untuk mencapai batas kenaikan suhu bumi 2 C bahkan 1,5 C dibutuhkan CCS / CCU. Namun, lebih banyak diperlukan jika industri ingin memenuhi tujuan ambisius yang ditetapkan oleh Paris agreement tersebut.  Industri semen sangat ditantang oleh target tersebut karena karbon dihasilkan oleh energi yang digunakan dalam proses dan proses kalsinasi itu sendiri. Bahkan jika emisi berbasis energi dapat dihilangkan dengan beralih ke bahan bakar karbon-netral, emisi proses kalsinasi tersebut akan tetap ada dan akan membutuhkan unit penangkap karbon (CCS / CCU). 

Eropa telah menjadi pusat penelitian carbon capture dan storage (CCS) and carbon capture and utilization (CCU). Dari sejumlah teknologi penangkapan karbon (carbon capture) penyerapan berbasis amina (senyawa organik dan gugus fungsional yang isinya terdiri dari senyawa nitrogen atom dengan pasangan sendiri) adalah teknologi penangkapan karbon paling canggih dan sudah diimplementasikan di skala komersial. Teknologi carbon capture tampaknya memainkan peran penting dalam memerangi perubahan iklim khususnya pada industri semen.   

Pengolahan Limbah Kelapa Muda : Dibriket atau Dipelletkan saja!

Ketika cuaca sangat panas seperti akhir-akhir ini, minum air kelapa sangat menyegarkan. Hal ini karena air kelapa selain untuk memenuhi kebu...