Minggu, 31 Desember 2023

Indonesia dan Rayuan Pulau Kelapa

Indonesia terkenal dengan negeri rayuan pulau kelapa. Hal ini karena begitu luasnya perkebunan kelapa di Indonesia yang mencapai sekitar 3,7 juta hektar dengan sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Luasnya perkebunan kelapa tersebut menempatkan Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa terluas di dunia, dan Philipina menempati peringkat kedua. Pohon kelapa terutama tumbuh di sepanjang pantai, dan memang Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Walaupun luas perkebunan kelapa Indonesia no 1 di dunia tetapi produktivitasnya masih kalah dengan Philipina, sehingga Philipina juga sebagai produsen kelapa no 1 di dunia. Industri kelapa di Philipina juga lebih maju daripada Indonesia. Indonesia disini lain lebih memprioritaskan kelapa sawit dibanding kelapa. Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini sekitar 15 juta hektar atau lebih dari 4 kali luas perkebunan kelapanya. 

Khusus untuk produk VCO untuk pasar export selain butuh spesifikasi atau kualitas yang lebih baik juga pada umumnya diwajibkan dengan disertai sertifikasi organik. Sertifikasi organik tersebut adalah sesuatu hal yang tidak mudah apalagi untuk usaha kecil. Informasi dari APCC (Asia Pacific Coconut Community) bahwa Philipina adalah produsen terbesar VCO saat ini walaupun luas kebun kelapa masih dibawah Indonesia dengan volume export terus bertambah. Tercatat bahwa export VCO Philipina pada tahun 2006 sebanyak 461 ton selanjutnya sembilan tahun kemudian yakni pada tahun 2015 meningkat menjadi 36.313 ton. Industri kelapa di Philipina juga lebih berkembang daripada di Indonesia, hal ini nampak dari banyaknya komoditas exportnya dari produk kelapa. Philipina mengeksport 30 macam produk kelapa sedangkan Indonesia hanya 14 macam produk. 

Kelapa ibarat macan tidur. Sebagai negara tropis dengan garis pantai terpanjang di dunia, “macan tidur” perlu dibangunkan. Potensi besar itu harus dibangkitkan, bukan melenakkan, sehingga industrialisasi berbasis kelapa harus digenjot apalagi produktivitas kebun kelapa Indonesia terus menurun, ditambah bonus demografi sehingga potensi sumber daya alam harus dioptimalkan, dan visi Indonesia emas 2045. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi karena tidak dikelola dan diarahkan dengan benar. Jangan sampai Indonesia emas menjadi Indonesia besi tua atau bahkan Indonesia cemas. Optimalisasi sumber daya alam berwawasan lingkungan yang berkelanjutan adalah solusi ekonomi masa depan yang harus menjadi perhatian bersama. 

Sabtu, 30 Desember 2023

Size Reduction : Shredder atau Chipper ?

Banyak sekali proses produksi pengolahan biomasa yang membutuhkan pengecilan ukuran (size reduction). Dengan size reduction tersebut maka bahan baku biomasa memiliki ukuran dan bentuk yang lebih kecil dan seragam, sehingga memudahkan proses lanjutannya. Setelah dikecilkan ukurannya tersebut maka luas permukaan atau bidang kontaknya menjadi semakin besar sehingga proses pengeringan akan lebih efisien khususnya pada pengeringan kontinyu. Ukuran yang kecil dan seragam tersebut juga memudahkan handlingnya. Size reduction biasa digunakan pada proses awal / pretreatment sebelum proses utama / inti dari pengolahan suatu biomasa.

Biomasa khususnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam. Hal tersebut sangat mempengaruhi alat size reduction yang digunakan. Biomasa berserabut seperti sabut kelapa atau tandan kosong kelapa sawit akan lebih efektif dan efisien dikecilkan ukurannya dengan shredder daripada chipper. Hal tersebut karena struktur serabut yang dominan dan ulet tersebut lebih mudah dikoyak arau dicabik dan dihancurkan daripada dipotong-potong seperti menggunakan pisau. 

Sedangkan biomasa kayu-kayuan yang memiliki karakter keras, getas dan bentuk memanjang maka penggunaan chipper lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan shredder. Karakter kayu tersebut lebih mudah dipotong-potong dengan alat seperti pisau untuk size reductionnya. Output atau produk dari shredder dan chipper juga berbeda ditinjau dari ukuran dan bentuknya. Kayu produk dari mesin chipper biasa disebut wood chip (kayu serpih) dan bentuk seperti kayu yang dicacah-cacah, sedangkan output dari shredder berbentuk koyakan-koyakan. 

Produk pengolahan biomasa menjadi energi yakni dengan pemadatan (densification) menjadi pellet atau briket, maupun rute thermokimia seperti pirolisis, gasifikasi dan pembakaran banyak dilakukan saat ini. Apabila ukuran dan bentuk biomasa dari alat size reduction tersebut sudah sesuai, maka bisa langsung digunakan. Tetapi apabila bentuk dan ukuran belum sesuai maka perlu dilanjutkan dengan tahap size reduction berikutnya yakni penggunaan hammer mill sehingga didapat produk biomasa yang bisa seukuran seperti serbuk gergaji (sawdust). Pada produksi pellet dan briket ukuran partikel biomasa perlu dibuat sekecil sawdust tersebut, sehingga pemadatan (densifikasi) menjadi optimal. Sedangkan pada proses thermokimia, ukuran biomasa menjadi partikel kecil seperti sawdust biasanya untuk peralatan yang melakukan fluidisasi misalnya fluidized bed combustion. 

Jumat, 08 Desember 2023

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 7 : Penggunaan Bahan Bakar Biomasa Selain Subtitusi Clinker Pada Pabrik Semen

Pabrik semen memiliki keunikan atau perbedaan dibandingkan dengan pabrik pengolahan atau industri lainnya, yakni sebagian besar emisi karbon (CO2) dihasilkan bukan dari penggunaan bahan bakar tetapi pada produksi clinker. Emisi CO2 dari produksi clinker mencapai 60%, sedangkan dari penggunaan bahan bakar hanya 40%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa upaya dekarbonisasi pada pabrik semen harus memprioritaskan pada kedua hal tersebut.


Penggunaan bahan additif semen atau SCM (supplementary cementious material) sebagai subtitusi clinker telah berperan besar pada dekarbonisasi pada pabrik semen. Semakin besar penggunaan SCM tersebut atau rasio clinker terhadap semen semakin kecil maka semakin emisi karbon pada produksi semen tersebut. Penggunaan SCM pada umumnya produksi semen di pabriknya tetapi ada penggunaan SCM pada produksi beton bahkan dengan porsi malah lebih besar daripada dibanding diproduksi semennya yakni yang umum di Amerika Serikat. 

 

Pabrik semen pada umumnya adalah pengguna utama batubara dengan volume cukup besar sehingga harus secara bertahap dikurangi sebagai bagian upaya dekarbonisasi. Terkait emisi karbon pada penggunaan bahan bakar tersebut, pabrik semen sudah banyak menggunakan energi alternatif seperti ban bekas atau RDF dari sampah padat perkotaan. Idealnya penggunaan bahan bakar terbarukan akan mengurangi emisi karbon tersebut secara signifikan. Hal itulah sehingga sejumlah pabrik semen mulai menggunakan bahan bakar biomasa seperti limbah-limbah pertanian atau limbah-limbah industri perkayuan. Semakin besar porsi penggunaan bahan bakar terbarukan seperti biomasa limbah pertanian dan limbah-limbah industri perkayuan maka semakin rendah emisi karbon yang dihasilkan. 

 

Penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi bahan bakar juga mengurangi emisi karbon seperti penggunan preheater dan precalciner, karena terjadi penghematan penggunaan bahan bakar pada produksi clinker. Tetapi juga ada kondisi spesifik tertentu misalnya produksi semen tipe II/V atau tipe V (tahan sulfat tinggi) akan membutuhkan bahan bakar lebih banyak karena semen membutuhkan clinker dengan kandungan C3A (tricalcium aluminate) rendah yang prosesnya membutuhkan lebih banyak energi panas. 

Analogi pada PLTU batubara dalam upaya dekarbonisasi sebagai perbandingan, kurang lebih sama seperti pabrik semen. PLTU batubara adalah industri penghasil emisi karbon besar seperti halnya pabrik semen. Pada PLTU batubara upaya dekarbonisasi dimulai dengan cofiring batubara dengan biomasa. Rasio biomasa pada cofiring tersebut terus ditingkatkan seiring waktu. Semakin besar rasio cofiring atau porsi biomasa maka semakin rendah emisi karbon. Pada level tertentu PLTU batubara tersebut akan bisa 100% digantikan dengan biomasa (fulfiring).

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (nett zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Maksimalisasi penggunaan bahan bakar dan penggunaan SCM, juga tidak bisa mengurangi emisi karbon hingga nol (nett zero emission), karena proses kalsinasinya. Hal itulah sehingga untuk memcapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Idealnya ketika PLTU batubara mengkonversi bahan bakarnya 100% dengan biomasa maka emisi karbonnya nol (nett zero emission) dan apabila ditambah perangkat CCS maka menjadi carbon negative emission. Sedangkan pada pabrik semen penggunaan SCM yang optimum dan bahan bakar biomasa 100% tetap belum bisa untuk mencapai emisi nol karbon, sehingga perlu ditambah perangkat CCS untuk menangkap CO2 dari proses kalsinasi untuk mencapai nol karbon tersebut dan apabila ingin mencapai kondisi carbon negative emission maka CCS juga perlu digunakan untuk menangkap CO2 dari pembakaran atau penggunaan bahan bakar biomasanya.
 

Senin, 06 November 2023

Produksi Pini Kay Briquette dari Limbah Pabrik Kayu Lapis (Plywood) dan Veneer

Produksi plywood atau kayu lapis Indonesia diperkirakan lebih dari 10 juta meter kubik setiap tahunnya yang diproduksi dari ratusan pabrik plywood bahkan Indonesia pernah merajai industri kayu dunia pada periode 1980 hingga 1995. Adanya pabrik-pabrik plywood di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama, tetapi di dalam perkembangannya baru nampak setelah tahun 1972. Setelah periode tahun 1980-85 jumlah pabrik bertambah dengan pesat. Pada masa itu tidak kurang telah ada 110 pabrik berskala sedang sampai besar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Ada lima provinsi sebagai produsen plywood terbesar di Indonesia yakni Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Dan enam provinsi lain yang mulai berkembang yakni Banten, Papua, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Riau dan Jambi. Sebagian besar plywood tersebut untuk pasar export.

APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia) adalah wadah bagi pelaku industri kayu lapis (plywood) dan veneer. APKINDO saat dibentuk pada 12 Februari 1976 yang diprakarsai oleh 13 perusahaan kayu lapis, sedangkan saat ini beranggota lebih dari 125 industri yang tersebar di seluruh Indonesia. APKINDO bertujuan untuk memupuk persatuan dan kebersamaan serta menyuarakan kepentingan industri kayu lapis untuk memanfaatkan kayu bulat secara lebih efisien, menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan nilai tambah. Peran APKINDO masih terus dilakukan hingga saat ini, salah satunya untuk mendukung kebijakan SVLK yang diyakini dapat mengembalikan citra positif kehutanan Indonesia di mata dunia, sehingga akan mempermudah produk kayu Indonesia, khususnya kayu lapis, untuk memenangkan persaingan di pasar global.

Volume limbah kayu pada industri plywood cukup besar mencapai hampir 55% atau jumlahnya lebih dari 5 juta ton per tahun terhadap produksi plywood nasional tersebut. Potensi limbah tersebut cukup besar dan memiliki potensi besar untuk diolah menjadi pini kay briquette (wood briquette screw type). Mengapa mesti mengolahnya menjadi pini kay briquette (wood briquette screw type) ? Pini kay briquette menjadi pilihan untuk solusi masalah limbah plywood tersebut karena selain proses produksi lebih mudah, juga investasi mesin lebih murah. Hal ini karena limbah kayu pabrik plywood sudah kering sehingga tidak membutuhkan proses pengeringan. Alat pengering atau dryer selain cukup mahal juga biaya operasionalnya. Kualitas tinggi juga sangat mungkin didapat karena kadar abu yang rendah, karena kayu untuk produksi plywood tersebut telah dikupas kulitnya (debarking) sehingga kandungan bisa diturunkan hingga dibawah 1%.

Veneer adalah lembaran papan tipis untuk membuat plywood. Veneer-veneer tersebut disusun dan direkatkan, dengan jumlah gasal, sehingga menjadi kayu lapis atau plywood. Banyak produsen veneer yang tidak memiliki unit pembuat plywood, tetapi pada umumnya pabrik plywood memiliki unit produksi veneer. Pembuatan veneer bisa dengan pengupasan (rotary cutting), penyayatan (slicing), penggergajian dan perautan. Produksi veneer Indonesia saat ini juga cukup besar demikian juga dengan limbah yang dihasilkannya. Limbah tersebut juga akan memiliki nilai tambah yang besar dengan mengolahnya menjadi pini kay briquette, seperti halnya limbah kayu lapis (plywood) di atas. 

 

Proses produksi pini kay briquette bisa menggunakan limbah industri plywood dan veneer tersebut di atas. Sebelum dipadatkan menjadi pinikay briquette dalam mesin briquette atau screw press, maka limbah tersebut perlu diseragamkan ukurannya menjadi seukuran serbuk gergaji / sawdust dan juga tingkat kekeringannya sekitar 10%. Limbah kayu yang ukurannya besar perlu dikecilkan ukurannya terlebih dahulu dan tingkat kekeringan juga perlu diupayakan mencapai kisaran 10% tersebut. Dengan alat screw press / extruder tersebut biomasa kayu dari limbah-limbah tersebut bisa dipadatkan (densifikasi) hingga 1400 kg/m3 atau jauh lebih padat daripada wood pellet yang berada dikisaran 700 kg/m3. Produk pini kay briquette tersebut selanjutnya bisa dipotong-potong dengan ukuran tertentu dan siap dipasarkan khususnya pasar export. Kebutuhan pini kay briquette tersebut terutama sebagai bahan bakar pemanas ruangan. Lebih lanjut pini kay briquette ini juga bisa diolah lebih lanjut menjadi arang briket atau biasa disebut sawdust charcoal briquette. Dengan kepadatan tersebut maka waktu bakar arang briket dua kali arang biasa atau lebih. Sedangkan penggunaan utama arang briket adalah untuk barbeque. 

Untuk industri plywood dan veneer yang menghasilkan limbah biomasa kayu-kayuan bahkan hingga ribuan ton setiap bulannya sehingga berpotensi menjadi masalah lingkungan, maka produksi pini kay briquette bisa menjadi solusi jitu. Dan jika ada industri plywood dan veneer yang berminat untuk produksi pini kay briquette tersebut kami siap membantu pasarnya. 

Minggu, 05 November 2023

Reklamasi Bentuk Lain - Kebun Energi untuk Produksi Wood Pellet dan Integrated Farming

Reklamasi pasca tambang merupakan kewajiban perusahaan pertambangan / pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) sehingga mereka harus menyiapkan dana untuk hal tersebut. Selain menghutankan kembali pada area tambang di kawasan hutan, reklamasi bentuk lain lebih fleksibel karena banyak macamnya, tetapi tujuannya bisa memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Apabila perusahaan tambang tersebut tidak melakukan reklamasi akan mendapat sanksi berat yakni denda sampai 100 miliar rupiah. Pengelolaan usaha atau kegiatan pasca reklamasi juga fleksibel sesuai kesepakatan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan di atas.
 

Jumat, 03 November 2023

Jangan Salah Pilih Mesin : Pelletiser Kayu dengan Pelletiser Pakan, dan Extruder Kayu dengan Extruder Arang

Tampilan visual saja kadang memang tidak bisa dipercaya. Dua hal secara visual bisa tampak sama atau sangat mirip tetapi ternyata berbeda. Hal ini sering terjadi pada produksi wood pellet dan wood briquette (pini kay briquette / uncarbonised briquette). Dan parahnya lagi, alat tersebut adalah jantung dari proses produksi industri yang bersangkutan, yakni pelletiser pada industri wood pellet dan extruder pada industri wood briquette (pini kay briquette / uncarbonised briquette). Sehingga kesalahan dalam pemilihan alat tersebut juga berakibat fatal yakni tidak hanya target produksi tidak tercapai bahkan produk yang dimaksud tidak berhasil diproduksi. Hal inilah mengapa pembeli atau pengguna mesin tersebut harus cermat dan teliti terhadap mesin yang akan dibeli dan digunakan tersebut. 

Pada industri wood pellet, sering terjadi kesalahan yakni pelletiser untuk pakan ternak tetapi digunakan untuk pellet kayu atau wood pellet. Akibatnya bisa saja wood pellet tersebut tidak terbentuk sama sekali karena memang daya untuk pelletiser pakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pelletiser untuk kayu atau pada paroduksi wood pellet. Tawaran harga murah sering kali membuat pembeli atau pengguna tergoda dan tidak mencermati lebih jauh, sehingga akibatnya akan kecewa. 


Demikian juga pada industri wood briquette (pini kay briquette / uncarbonised briquette). Extruder kayu juga memiliki motor jauh lebih besar dibandingkan extruder arang. Briquette yang dihasilkan dengan extruder kayu selain tidak membutuhkan perekat tambahan juga lebih padat dan keras karena penggunaan motor berdaya besar. Kesalahan yang bisa terjadi adalah extruder arang digunakan utuk extruder kayu dan ini juga terjadi biasanya karena harga lebih murah. Briquette yang dihasilkan dari extruder kayu tersebut selanjutnya juga bisa dibuat arang sehingga menghasilkan produk akhir berupa briket arang. Walaupun produksi briket arang (charcoal briquette) dengan extruder arang juga akan menghasilkan produk tersebut, tetapi rute proses dan kualitas produknya berbeda. Dibawah ini rute proses produksi briket arang (charcoal briquette) tersebut. 

Bahan baku yang digunakan pada rute 1 adalah berupa serbuk kayu seperti serbuk gergaji (sawdust) lalu dipress atau dipadatkan dengan extruder kayu. Dengan kuatnya tekanan dan panas tinggi maka tidak dibutuhkan perekat tambahan, tetapi lignin yangmerupakan polimer alami yang berada pada kayu tersebut yang bertindak sebagai perekat. Briket yang dihasilkan selanjutnya bisa diarangkan dalam tungku karbonisasi dan produk akhir berupa briket arang. Sedangkan pada rute 2 bahan baku diarangkan atau dikarbonisasi dulu lalu arang tersebut dicampur perekat dan dipress atau dipadatkan dengan extruder arang. Penggunaan perekat tambahan karena pada arang, lignin telah terdekomposisi pada proses pengarangan atau karbonisasi sebelumnya. Produk akhir yang dihasilkan adalah juga briket arang. Kualitas briket arang pada proses rute 1 lebih baik daripada proses rute 2 karena selain lebih padat sehingga waktu bakar lebih lama demikian juga panas yang dihasilkan. 

Jadi supaya tidak salah pilih memang harus cermat dan teliti tentang spesifikasi peralatan tersebut, demikian juga perlu untuk mengetahui bahan baku maupun proses produksinya serta jangan mudah tergiur oleh tawaran harga murah. Semakin besar kapasitas produksinya maka kebutuhan peralatan pelletiser maupun extruder juga semakin banyak, sehingga apabila terjadi salah pilih maka resikonya fatal, karena alat-alat tersebut mahal harganya. Penting juga diperhatikan bahwa peralatan yang dibeli juga berasal dari pabrikan yang sudah teruji sehingga memiliki kinerja yang bisa diandalkan. 

Selasa, 31 Oktober 2023

Reklamasi Bentuk Lain : Kebun Energi Untuk Produksi Wood Pellet

Kegiatan reklamasi dan pasca tambang disesuaikan berdasarkan sesuai status peruntukannya. Hal ini sehingga perlu dicek status area reklamasi tersebut apakah area kawasan hutan sehingga perlu dikembalikan ke status semula (revegetasi) ataukah APL (area penggunaan lain). Jangan sampai kawasan hutan yang seharusnya dihutankan kembali seperti semula (revegetasi), malah digunakan sebagai reklamasi bentuk lain misalnya untuk usaha peternakan dan sebagainya, sehingga berpotensi mendapat sanksi. Sedangkan kalau lahan tersebut berstatus APL maka hal ini terbuka untuk program reklamasi bentuk lain. Perencanaan reklamasi dan pasca tambang ini mengacu pada pertama, dokumen lingkungan hidup dan kedua, dokumen studi kelayakan. Reklamasi bentuk lain yang bisa dilakukan yakni pembuatan sumber air, pemukiman, pariwisata dan pembudidayaan. Pembuatan kebun energi untuk produksi wood pellet ini masuk pada kelompok reklamasi bentuk lain pembudidayaan. Secara ringkas faktor-faktor yang diperhatikan untuk reklamasi adalah: perencanaan reklamasi, analisa lahan, pemetaan dan persiapan lahan. 

PP no 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang dan Kepmen ESDM No. 1827 K/30/MEM/2018 tentang pedoman pelaksanaan kaidah teknik pertambangan yang baik dan lebih rinci pada lampiran VI yang mengatur reklamasi dan pasca tambang termasuk reklamasi bentuk lain tersebut. adalah peraturan-peraturan yang digunakan terkait kewajiban reklamasi dan pasca tambang.  Dan apabila dalam prakteknya perusahaan pertambangan melakukan pelanggaran bahkan tidak melakukan kewajiban reklamasi tersebut maka akan dikenai sanksi yang berat yakni berupa ditahannya dana reklamasi yang sudah disetorkan hingga dengan yang bisa mencapai 100 milyar rupiah. 

Pembuatan kebun energi sebagai reklamasi bentuk lain memiliki banyak manfaat atau keuntungan dibandingkan reklamasi bentuk lain lainnya. Hal ini karena kayu sebagai produk utama dari kebun energi tersebut akan diolah menjadi produk wood pellet. Kebutuhan wood pellet khususnya di pasar global terus meningkat seiring trend dekarbonisasi. Kebun energi tersebut mengunakan tanaman-tanaman pionir, adaptif dan produktivitas kayunya yang tinggi. Jenis tanaman yang biasa digunakan adalah kelompok legum seperti kaliandra dan gliricidia. Tanaman tersebut juga menyuburkan tanah karena nitrogen dari atmosfer disimpan dalam bintil-bintil akar tanaman karena bersimbiosis dengan  bakteri rhizobium sehingga menyuburkan tanah karena menjadi pupuk. Bakteri rhizobium leguminosarum memiliki kemampuan untuk menangkap nitrogen bebas dari udara di atmosfer yang dapat digunakan oleh tumbuhan.  Perakarannya yang dalam juga mampu mencegah terjadinya erosi.

Kualitas lahan yang dibutuhkan juga tidak harus sebagus lahan untuk tanaman-tanaman lainnya karena karakteristik tanaman kebun energi seperti di atas, hal ini sehingga cocok untuk lahan reklamasi pasca tambang. Selain itu dari kebun energi tersebut akan menghasilkan produk samping berupa daun yang digunakan sebagai pakan ternak ruminansia bernilai jual tinggi karena kandungan nutrisi berupa sumber protein yang tinggi. Pada komposisi pakan ternak unsur protein adalah salah satu unsur terpenting dan juga harganya paling tinggi. Selain itu dari bunganya juga potensial untuk usaha peternakan lebah madu, dan madu dari kaliandra termasuk madu yang mahal harganya. Jadi pada dasarnya kebun energi tersebut juga harus dibuat untuk bisa berproduksi secara berkelanjutan yakni dengan menjaga keseimbangan antara produktivitas kayu untuk produksi wood pelletnya, fungsi lingkungan berupa menjaga erosi dan air tanah, dan volume kayu yang dipanen tidak boleh melebihi kecepatan tumbuhnya atau minimal sama (carbon balance) serta pemanfaatan produk samping untuk tambahan revenue seperti pemanfaatan daun untuk pakan ternak dan madu dari peternakan lebah madu.

Budidaya kelapa sawit juga sering digunakan dalam reklamasi bentuk lain. Selain kebutuhan kualitas lahan lebih baik sehingga treatment tanah akan lebih mahal, kebutuhan air yang tinggi pada tanaman sawit serta kebutuhan pupuk yang tinggi adalah kendala utama budidaya sawit tersebut. Bahkan pemupukan adalah komponen biaya tertinggi pada budidaya atau perkebunan kelapa sawit. Selain itu ada juga penggunaan lahan reklamasi tersebut untuk produksi listrik dengan pembangkit tenaga surya (PLTS). Listrik yang dihasilkan dari tenaga surya tersebut adalah listrik yang ramah lingkungan atau bersifat carbon neutral, karena tidak menggunakan bahan bakar atau energi fossil sehingga tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer.  Akan tetapi Indonesia sebagai negara tropis yang banyak mendung dan hujan maka produksi listrik dari tenaga surya tersebut akan banyak terkendala. Produksi kayu dari kebun energi lalu diolah menjadi wood pellet akan lebih baik, karena dengan iklim tropis maka pertumbuhan tanaman akan optimal, hal ini karena proses photosintesis membutuhkan air dan sinar matahari sebagai komponen utamanya. 

Seperti halnya PLTS, sumber energi dari biomasa khususnya wood pellet juga carbon neutral. Pada tambang-tambang batubara sebagai penghasil bahan bakar atau energi fossil yang berkontribusi utama naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer atau carbon positive, maka reklamasi bentuk lain berupa kebun energi untuk produksi wood pellet yang merupakan bahan bakar carbon neutral tersebut juga sebagai bagian solusi iklim sehingga tentu memberikan citra positif bagi perusahaan tambang tersebut. Penggunaan wood pellet adalah sebagai upaya mereduksi emisi CO2 dari pembakaran batubara tersebut atau bagian dari dekarbonisasi, untuk lebih detail baca disini.Selain itu, luasnya lahan reklamasi pada pertambangan batubara yang bisa mencapai ribuan hektar, juga membuat kebun energi semakin luas dan semakin besar produksi wood pellet, termasuk produk sampingnya. Aplikasi utama wood pellet adalah bahan bakar untuk pembangkit listrik terutama dengan cofiring dengan batubara. 

Program cofiring batubara dengan biomasa pada PLTU batubara adalah cara efektif, termudah dan bertahap bagi PLTU batubara untuk menggunakan energi terbarukan khususnya bahan bakar biomasa berupa wood pellet tersebut. Dan untuk pemasaran wood pellet tentu juga bukan hal sulit bagi tambang-tambang batubara tersebut karena produk batubara dari pertambangan tersebut digunakan oleh PLTU dan besar kemungkinan PLTU tersebut juga melakukan cofiring. Dengan tujuan reklamasi untuk memberi keuntungan ekonomi, sosial dan lingkungan maka tentu dicari opsi terbaik untuk mencapai tujuan tersebut dengan sejumlah parameter-parameter penilaian tertentu. Sehingga dengan sejumlah keunggulan tersebut maka kebun energi untuk produksi wood pellet adalah pilihan terbaik saat ini. 

Jumat, 13 Oktober 2023

Mengapa Sebaiknya Pabrik Sawit Menggunakan Pirolisis daripada dengan Tungku Pembakaran ?

Proses produksi pabrik sawit atau produksi CPO selalu membutuhkan kukus (steam) untuk sterilisasi, hal ini sehingga perlu boiler. Panas yang dibutuhkan boiler biasanya berasal dari tungku dengan bahan bakar berupa fiber dan cangkang sawit. Selain digunakan sterilisasi, kukus tersebut juga digunakan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Dengan pirolisis kontinyu maka panas untuk boiler tersebut bisa disuplai dari produk syngas dan biooil. Selain itu pirolisis juga menghasilkan biochar sebagai produk utama dan pyroligneous acid yakni semacam cuka kayu. Kedua bahan terakhir akan sangat bermanfaat pada perkebunan sawit. Penggunaan kedua bahan bakar tersebut (bahan bakar gas dan cair) akan membuat tungku  menjadikan asap lebih bersih dibandingkan dengan membakar bahan bakar padat berupa fiber dan cangkang sawit yang biasa dilakukan selama ini. 

Banyak perkebunan sawit berada pada tanah-tanah masam sehingga perlu dinaikkan pH-nya dan biochar bisa digunakan secara efektif. Biaya terbesar operasional perkebunan sawit yakni pada pupuk dan penggunaan biochar akan meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga mengurangi input pupuk dan menghemat biaya. Aplikasi biochar pada perkebunan sawit selain perbaikan kualitas tanah tersebut sehingga meningkatkan produktivitas buah kelapa sawit atau TBS juga sebagai bagian solusi iklim yakni carbon sequestration yang mendapat kompensasi berupa carbon credit. Carbon credit tersebut juga akan menjadi penghasilan tambahan bagi perusahaan sawit tersebut. Selain itu juga pyroligneous acid juga bisa sebagai pupuk dan biopestisida. 

Perkembangan teknologi pembakaran juga semakin berkembang yakni mulai dengan penggunaan moving grate hingga reciprocating grate digunakan untuk meningkatkan efisiensi boiler. Tetapi pertanyaan mendasarnya adalah seberapa menguntungkan penggunaan teknologi tersebut bagi perusahaan sawit secara umum ? Penggunaan tungku pembakaran tersebut hanya meningkatkan efisiensi boiler saja, sedangkan pada penggunaan pirolisis kontinyu selain panas boiler bisa dicukupi juga menghasilkan keuntungan lain berupa keuntungan lingkungan dan finansial. Keuntungan lingkungan dari perbaikan kondisi kesuburan tanah dan meminimalisir pupuk yang tercuci atau hilang ke lingkungan dengan teknik slow release fertilizer, untuk lebih detail baca disini dan juga pendapatan dari carbon credit yang jumlahnya juga besar. 

Aplikasi biochar tersebut untuk di perkebunan sawit sedangkan produksi biochar dari pabrik sawit sedangkan divisi kebun dan divisi pabrik merupakan dua organisasi terpisah dalam perusahaan sawit. Peran general manajer khususnya dibutuhkan untuk menangani hal tersebut sehingga tujuan besar perusahaan sebagai perusahaan yang menguntungkan, berwawasan lingkungan  dan berkelanjutan bisa tercapai. Faktor berupa memaksimalkan profit, perbaikan tanah dan lingkungan, serta bagian dari solusi iklim dengan carbon sequestration tersebut sehingga akan menjadi daya dorong yang kuat penggunaan pirolisis kontinyu dibandingkan tungku pembakaran. 

Rabu, 11 Oktober 2023

Dekarbonisasi Pada Pertambangan Batubara dengan Reklamasi untuk Kebun Energi Produksi Wood Pellet

Wood pellet sebagai bahan bakar carbon neutral sehingga tidak menambah CO2 di atmosfer, yang ini berbeda dengan bahan bakar fossil seperti batubara yang carbon positive, yakni menambah CO2 di atmosfer, merupakan bagian dari solusi iklim. Upaya net zero emission dan dekarbonisasi juga terakselerasi dengan penggunaan bahan bakar carbon neutral seperti wood pellet ini. Hal tersebut menjadi alasan penting dan utama produksi wood pellet pada perusahaan pertambangan khususnya batubara sehingga bisa mereduksi emisi CO2 dari pembakaran batubara tersebut. Lahan-lahan pasca tambang pada perusahaan batubara bisa direklamasi bentuk lain yakni dengan membuat kebun energi sebagai bahan baku produksi wood pellet. Ada jutaan hektar lahan bekas tambang yang potensial sebagai kebun energi tersebut, untuk lebih detail baca disini

Cofiring batubara dengan biomasa adalah pintu masuk yang mudah dan murah bagi PLTU batubara untuk secara bertahap menggunakan bahan bakar terbarukan. Seiring waktu cofiring ratio biomasa terhadap batubara bisa terus ditingkatkan sehingga semakin berkurang emisi CO2 dari batubara yang bersifat carbon positive tersebut. Secara teknis cofiring ratio hingga 5% belum membutuhkan modifikasi peralatan pada PLTU batubara yang bersangkutan. Jumlah CO2 yang bisa digantikan (carbon offset) dengan bahan bakar carbon neutral seperti wood pellet juga berpeluang mendapat carbon credit ataupun kompensasi lainnya. Penerapan pajak carbon (Carbon tax) juga semakin mendorong pengurangan penggunaan batubara di PLTU-PLTU serta sebaliknya yakni mendorong peningkatan penggunaan bahan bakar terbarukan khususnya wood pellet pada PLTU-PLTU tersebut atau peningkatan cofiring ratio bahkan idealnya bisa fulfiring yakni 100% menggunakan bahan bakar terbarukan. 

Pemberlakuan pajak karbon (carbon tax) di Indonesia direncanakan pada tahun 2025, setelah beberapa diundur. Tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (Rp 30.000 atau sekitar US$ 2 per ton CO2 ekuivalen). Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari usulan awal Rp 75. Dengan tarif Rp 30, Indonesia termasuk negara dengan tarif terendah di dunia untuk urusan pajak karbon. Dengan pembakaran 1 ton pembakaran batubara akan menghasilkan emisi CO2 sekitar 3 ton maka pajak karbon yang dikenakan akan mencapai Rp 90.000 per ton batubara. Sedangkan penggunaan bahan bakar terbarukan atau carbon neutral seperti wood pellet tidak dikenakan pajak karbon tersebut.  Selain itu perusahaan tambang juga berkewajiban untuk mereklamasi lahan pasca tambangnya, yang apabila tidak dilakukan akan dikenakan sangsi berat.  

Tanaman kebun energi merupakan jenis tanaman perintis, mudah tumbuh, efisien menggunakan air, menyuburkan tanah dan akarnya kuat untuk menahan erosi. Tanaman jenis legum seperti kaliandra dan gamal umum digunakan sebagai tanaman kebun energi tersebut. Integrasi pengolahan produk kebun energi tersebut harus dilakukan sehingga mendapat manfaat optimal, yakni produk utama kayu untuk produksi wood pellet, daun sebagai pakan ternak ruminansia dan madu sebagai pangan berkualitas tinggi. Kebun energi tersebut juga harus dibuat untuk bisa berproduksi secara berkelanjutan yakni dengan menjaga keseimbangan antara produktivitas kayu untuk produksi wood pelletnya, fungsi lingkungan berupa menjaga erosi dan air tanah, dan volume kayu yang dipanen tidak boleh melebihi kecepatan tumbuhnya atau minimal sama (carbon balance) serta pemanfaatan produk samping untuk tambahan revenue seperti pemanfaatan daun untuk pakan ternak dan madu dari peternakan lebah madu.

Senin, 02 Oktober 2023

Optimalisasi Produksi Wood Pellet dari Limbah-Limbah Kayu

Volume limbah perkayuan dari industri perkayuan di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta ton setiap tahunnya. Setiap pengolahan kayu akan menghasilkan limbah seperti serbuk gergaji, kayu serutan, potongan kayu dan sebagainya yang volumenya sekitar 40% dari bahan baku yang digunakan. Tetapi masih banyak limbah-limbah tersebut yang belum terolah sehingga malah mencemari lingkungan. Sedangkan perkembangan industri perkayuan Indonesia terus meningkat karena permintaan eksport yang tinggi walaupun sebenarnya realisasi industri kayu masih rendah.

Estimasi industri kayu Indonesia sebenarnya bisa dioptimalkan hingga kapasitas produksi mencapai 91 juta meter kubik per tahun, tetapi realisasi pada 2022 industri hasil hutan ini hanya mampu memproduksi 42,19 juta meter kubik per tahun atau sekitar 48,7% dari kapasitas optimumnya. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya realisasi industri perkayuan tersebut ada 3 faktor yakni, efisiensi industri perkayuan, masalah terkait dengan bahan baku dan ketersediaan pasar.

Efisiensi rendah industri perkayuan disebabkan karena penggunaan mesin-mesin tua atau cara tradisional untuk produksinya. Sedangkan masalah yang terkait dengan bahan baku disebabkan oleh berkurangnya area hutan karena banyaknya pembangunan yang membuat lahan hutan beralih fungsinya. Upaya untuk menjaga pasokan bahan baku kayu yang stabil dan berkelanjutan perlu dilakukan, diantaranya dengan program rehabilitasi lahan dan pembinaan terhadap masyarakat petani hutan rakyat. Pemetaan potensi kayu secara nasional juga perlu dilakukan sehingga industri bisa mendapatkan informasi terkait suplai bahan baku yang dibutuhkan. Ketersediaan pasar juga menjadi faktor penting berkembangnya industri perkayuan, sehingga kemampuan mengakses informasi dan mengidentifikasi aspek pasar baik domestik maupun internasional sangat dibutuhkan. 


Semakin meningkatnya industri perkayuan maka limbah-limbah perkayuan juga semakin banyak. Industri yang berwawasan lingkungan tentu sangat memperhatikan masalah limbah hingga idealnya bisa zero waste. Limbah-limbah tersebut adalah bahan baku wood pellet. Kebutuhan wood pellet terus meningkat seiring trend dekarbonisasi global. Seperti halnya industri perkayuan yang membutuhkan konsistensi untuk menjaga produk-produknya, demikian juga pada produksi wood pellet. Konsistensi campuran bahan baku wood pellet merupakan kunci kualitas wood pellet termasuk akan membuat produksinya menjadi optimal. 

Pada pabrik perkayuan besar produksi wood pellet bisa dilakuan cukup dengan menggunakan limbahnya sendiri, sehingga selain mengatasi masalah limbahnya sesuai konsep zero waste, juga sebagai pengembangan usaha baru.  Sedangkan pada industri perkayuan kecil – menengah karena limbah-limbah kayunya tidak mencukupi maka sebagian limbah kayu sebagai bahan baku wood pellet perlu mencari dari tempat lain. Pabrik wood pellet juga bisa  dibuat tersendiri yakni dengan bahan baku yang 100% berasal dari limbah-limbah pabrik perkayuan milik orang lain, artinya pabrik wood pellet tersebut tidak dimiliki oleh suatu industri pengolahan kayu. Jadi pada dasarnya pabrik wood pellet adalah pabrik atau instalasi pengolah limbah-limbah perkayuan yang menghasilkan produk bernilai jual tinggi dan sejalan dengan trend dekarbonisasi global.

 

Sabtu, 23 September 2023

Produksi Wood Pellet Kapasitas Besar Berorientasi Export

Ketersediaan bahan baku dan penguasaan pasar adalah 2 hal mutlak yang utama yang harus dipenuhi sehingga usaha produksi wood pellet bisa berkelanjutan. Investasi untuk peralatan yang mahal tidak akan berguna apabila dua hal tersebut diatas tidak dipenuhi. Pada produksi wood pellet kapasitas besar kualitas peralatan produksi yang digunakan sangat penting. Tujuan produksi untuk mencapai kapasitas besar tersebut akan tercapai apabila dilakukan dengan proses produksi yang efisien dan aman sehingga biaya produksi rendah. Peralatan produksi yang mampu bekerja non-stop 24 jam, operasional dan perawatan mudah dengan performa yang baik adalah hal vital. Terkait bahan baku selain ketersediaan yang kontinyu, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan adalah konsistensi bahan baku dan logistik yang murah sampai lokasi pabrik wood pellet.  

Memetakan potensi bahan baku perlu dilakukan dengan baik, demikian juga pasar wood pellet tersebut. Bahan baku wood pellet dari satu jenis kayu (single material) tentu lebih mudah dibandingkan dengan bahan baku campuran (mixed material) dari beberapa jenis kayu. Hal tersebut terkait pada komposisi campurannya, yang tentu tidak menjadi masalah apabila bahan baku dari satu jenis kayu (single material) yang homogen. Untuk mengupayakan bahan baku yang homogen bisa dilakukan dengan pembuatan kebun energi, sedangkan pada bahan baku campuran bisa diambil dari beberapa sumber pengolahan kayu seperti penggergajian kayu dan sebagainya. Kebun energi bahan bisa multifungsi sehingga memberikan banyak manfaat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara produktivitas kayu untuk produksi wood pelletnya, fungsi lingkungan berupa menjaga erosi dan air tanah, dan volume kayu yang dipanen tidak boleh melebihi kecepatan tumbuhnya atau minimal sama (carbon balance) serta pemanfaatan produk samping untuk tambahan revenue seperti pemanfaatan daun untuk pakan ternak dan madu dari peternakan lebah.  

Sedangkan dari aspek pasar, sejumlah persyaratan juga perlu dipenuhi sehingga terjadi transaksi yang berkelanjutan. Selain faktor teknis berupa spesifikasi wood pellet dan volume produksi, faktor non-teknis seperti sumber bahan baku terkait keberlanjutan lingkungan juga sering dipersyaratkan saat ini. Pengguna-pengguna wood pellet di luar negeri terutama pembangkit listrik dalam upaya dekarbonisasi melalui program cofiring dengan batubara. Upaya dekarbonisasi yang berkelanjutan biasanya membutuhkan sertifikat lingkungan seperti FSC terkait sumber bahan baku yang digunakan tersebut. Hal tersebut untuk membuktikan mata rantai bahan bakar terbarukan khususnya wood pellet memang sesuai standar keberlanjutan lingkungan yang bisa diterima bersama. Negara tertentu ada yang memberlakukan kontrak panjang untuk pembelian atau pengadaan wood pellet mereka tetapi juga ada yang memilih kontrak-kontrak jangka pendek. Tipikal pembeli atau pasar wood pellet ini juga perlu menjadi perhatian penting tersendiri.    

Senin, 11 September 2023

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 6 : Subtitusi Clinker Pada Pabrik Semen

Subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) berperan besar pada upaya pengurangan emisi CO2 pada pabrik semen. Subtitusi clinker ini menempati peringkat kedua setelah penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya pengurangan emisi CO2 atau dekarbonisasi di industri semen tersebut. Hal tersebut karena emisi CO2 terbesar pada pabrik  semen bukan pada pembakaran atau terkait bahan bakar tetapi pada proses kalsinasinya. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, tetapi subtitusi clinker lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Pada industri semen semua penggunaan bahan bakar dan sekitar 60% penggunaan listrik digunakan untuk produksi clinker mulai dari menghaluskan bahan baku, persiapan bahan bakar dan kiln semen. Semakin tinggi rasio clinker terhadap semen (C/S) maka semakin tinggi juga penggunaan listrik dan bahan bakar untuk setiap ton semen yang diproduksi. Rasio clinker terhadap semen (C/S) bisa diperkecil apabila semakin sedikit clinker yang digunakan pada produksi semen atau semakin banyak bahan tambahan atau SCM yang ditambahkan ke dalam clinker tersebut. Hal itu juga berarti bahwa subtitusi clinker dengan SCM dapat mengurangi secara signifikan penggunaan energi (listrik dan bahan bakar) untuk setiap ton semen yang dihasilkan. 

China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,9. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.  SCM paling umum digunakan saat ini adalah fly ash, ground granulated blast-furnace slag  (GGBFS) dan batu kapur halus (ground limestone). Sedangkan SCM lain seperti pozzolan dan calcined clay berpotensi untuk digunakan pada masa mendatang. 

Fly ash berasal dari produk samping atau limbah dari PLTU batubara. Dekarbonisasi PLTU batubara juga terus dilakukan yakni dengan cofiring batubara dengan biomasa tetapi hal tersebut dilakukan secara bertahap sehingga produksi fly ash masih banyak sampai sementara waktu. Fly ash dari limbah PLTU batubara tersebut sangat bermanfaat pada produksi semen karena memperkecil rasio clinker terhadap semen (C/S) sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk produksi semen atau dengan kata lain mengurangi jejak karbon pada produk semennya. Sedangkan GGBFS berasal dari limbah pabrik besi dan baja. Tidak semua pabrik besi dan baja menghasilkan limbah GGBFS ini, hal tersebut karena tergantung jenis tungku / furnace yang digunakan. Hanya pabrik yang menggunakan blas furnace – basic oxygen furnace (BF – BOF) saja yang bisa menghasilkan GGBFS, sedang yang menggunakan electric arc furnace (EAF) tidak. Sekitar 70% pabrik besi dan baja di dunia saat ini menggunakan proses BF – BOF sehingga menghasilkan cukup banyak GGBFS, bahkan di China lebih dari 90% menggunakan proses BF – BOF ini. Dekarbonisasi pada industri besi dan baja ditandai dengan beralihnya BF – BOF ke EAF yang berakibat pada ketersediaan GGBFS. Tetapi proses berjalan pelan dan bertahap, sehingga untuk sementara waktu jumlah GGBFS akan tersedia dan bisa mengurangi jejak karbon pada produksi semen. 

Penggunaan fly ash pada produksi semen biasanya dibatasi 25-35% untuk alasan performa teknis. Sedangkan GGBFS dapat digunakan pada porsi lebih besar dibandingkan fly ash ataupun SCM lainnya. Bahkan standard Eropa membolehkan penggunaan GGBFS hingga 95% tetapi prakteknya lebih rendah. SCM yang lain yang biasa digunakan adalah pozzolan dan calcined clay.   Pozzolan berasal dari pertambangan yakni dari deposit di alam. Pozzolan membutuhkan pengeringan dan penghancuran (grinding) sebelum digunakan pada produksi semen. Listrik yang digunakan untuk menghancurkan (grinding) pozzolan juga hampir sama dengan penghancuran clinker. Lempung kalsinasi (calcined clay) juga bisa digunakan untuk subtitusi clinker ini. Pada penggunaan awal lempung kasinasi (calcined clay) dengan porsi lebih tinggi menyebabkan penurunan kekuatan tekan (compressive strength) pada produk semen yang dihasilkan. Tetapi perkembangan selanjutnya dengan dengan kombinasi atau campuran lempung kalsinasi dengan bubuk batu kapur, berpotensi untuk subtitusi hingga 50% subtitusi clinker tanpa berpengaruh pada kualitas semen. Lempung kalsinasi diproduksi dari proses kalsinasi lempung yang membutuhkan energi, tetapi energi yand dibutuhkan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan energi untuk produksi clinker. Diprediksi pada tahun 2050 oleh IEA (International Energy Agency) / WBCSD (World Business Council for Sustainable Development) produksi semen dengan bahan kombinasi di atas mencapai lebih dari 25% di seluruh dunia.  

Penggunaan SCM ternyata tidak hanya sebagai subtitusi clinker pada produksi semen tetapi juga pada produksi beton / concrete. Penggunaan SCM pada produksi concrete ini juga tidak kalah dengan subtitusi clinker bahkan di Amerika Serikat SCM sebagian besar ditambahkan selama produksi concrete dan bukan pada produksi semen. Sebuah studi di Amerika Serikat melakukan estimasi bahwa hanya 5% SCM ditambahkan pada produksi semen dan sekitar 13% pada produksi concrete-nya. Tetapi pada dasarnya penambahan SCM baik pada produksi semen maupun pada produksi concrete telah mengurangi jejak karbon atau sesuai dengan dekarbonisasi. Hal yang menjadi masalah adalah kurangnya edukasi terhadap manfaat SCM khususnya pada produksi concrete menjadi penghalang peningkatan penggunaan SCM tersebut. Faktor lain seperti ketersediaan SCM, harga dan kaitannya dengan kualitas semen serta bangunan juga menjadi penghalang yang sama. Pembuatan standar-standar dan kode-kode baru terkait untuk peningkatan penggunaan semen blended dengan SCM dan produksi concrete perlu dikembangkan untuk mentransformasi pasar saat ini.  

Minggu, 03 September 2023

Biochar untuk Meningkatkan Porositas Tanah Rusak dan Tanah Marjinal

Pada dasarnya bahan atau material berpori akan memiliki luas permukaan yang besar. Semakin banyak pori maka bahan tersebut akan memiliki luas permukaan yang semakin besar juga. Upaya memperbanyak pori atau memperluas permukaan tersebut bisa dilakukan dengan banyak hal tergantung dari tujuannya. Jenis pori juga berpengaruh pada luas permukaan total dan juga penggunaan atau aplikasi suatu bahan tersebut. Sebagai contoh bahan yang lebih banyak atau dominan dengan pori-pori mikronya (micropore) akan memiliki luas permukaan lebih besar dan memiliki kegunaan spesifik yang berbeda dengan bahan yang dominan dengan pori-pori sedang (mesopore) maupun pori-pori besar (macropore). Merancang bagaimana suatu bahan supaya dominan micropore, mesopore atau macropore bisa dilakukan yakni dengan pemilihan bahan baku dan teknologi prosesnya, sebagai contoh biochar yang dihasilkan dari pirolisis akan menghasilkan luas permukaan lebih besar bila dibandingkan biomasa awalnya yang belum diproses tersebut. 

Pada tanah terkait halnya pada penggunaan untuk pertanian atau budidaya tanaman, aspek porositas atau pori-pori tanah tersebut menjadi aspek penting. Hal tersebut terutama terkait pada retensi hara dan air serta aerasi tanah tersebut. Memperluas pori-pori tanah akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas tanah sehingga mendukung keberhasilan pertanian atau budidaya tanaman tersebut. Tanah yang mempunyai ruang pori lebih banyak akan mampu menyimpan air dan hara dalam jumlah banyak juga. Tanah yang memiliki pori berukuran kecil (micropore) dan sedang (mesopore) yang tinggi akan cenderung menahan air dan hara lebih kuat dibandingkan tanah yang mempunyai banyak pori berukuran besar (macropore). Dan jika terjadi penguapan atau pengunaan air oleh tanaman ataupun terjadi proses leaching pada unsur hara maka pori-pori besar (macropore) dahulu yang ditinggalkan oleh air dan hara tersebut menyusul pori-pori sedang (mesopore) dan mikro (micropore). 

Pemberian bahan organik berupa kompos ke tanah umumnya digunakan untuk membentuk ruang pori mikro (micropore) menjadi lebih banyak. Semakin ruang pori mikro (micropore) yang terbentuk maka tanah akan mempunyai daya lengas yang semakin meningkat. Bahan organik tanah tersebut mempunyai pori-pori yang lebih banyak dibandingkan partikel mineral tanah, yang berarti luas permukaan penyerapan juga lebih banyak. Pemberian bahan organik berupa kompos tersebut selain meningkatkan jumlah pori atau porositas tanah juga menurunkan berat volume. Bahan organik atau kompos tersebut merupakan sumber energi bagi aktivitas mikrobia tanah, menurunkan berat volume tanah, memperbaiki struktur tanah, aerasi dan daya mengikat air. Tanah dengan pori total tinggi seperti tanah lempung, cenderung mempunyai berat volume yang rendah sedangkan tanah dengan pori total rendah seperti tanah pasir (tekstur kasar), cenderung mempunyai berat volume yang tinggi.  

Selain meningkatkan pori total, pemberian kompos juga meningkatkan pH tanah yakni pada tanah pasir, dan tanah masam antara lain entisol, ultisol dan andisol serta mampu menurunkan Al tertukar tanah. Peningkatan pH disebabkan adanya proses perombakan kompos tersebut. Hasil perombakan tersebut akan menghasilkan kation-kation basa yang mampu meningkatkan pH atau pelepasan kation-kation basa dari kompos ke dalam tanah sehingga tanah jenuh dengan kation-kation basa. Proses pelapukan atau dekomposisi kompos tersebut akan membebaskan kation basa yang menyebabkan pH tanah meningkat.  

C-organik tanah juga akan meningkat dengan pemberian kompos tersebut dan N (nitrogen) total. Semakin banyak bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah, semakin besar peningkatan C-organik dalam tanah tersebut. Kompos dari kotoran hewan memiliki rasio C/N terendah dibandingkan kompos dari tanaman. Bahan organik yang memiliki kandungan lignin tinggi maka kecepatan mineralisasi N akan terhambat dan rasio C/N akan tinggi. Padahal suatu dekomposisi bahan organik lanjut dicirikan dengan rasio C/N yang rendah. Sedangkan rasio C/N yang tinggi menunjukkan bahwa dekomposisi belum berlanjut atau baru dimulai. Dalam proses tersebut terjadi penurunan karbon / C dan peningkatan nitrogen / N. 

Kebutuhan kompos di lahan marjinal seperti lahan pasir juga jauh lebih besar yakni bisa mencapai hampir dua kali lipat dibandingkan lahan biasa atau standar. Sedangkan kebutuhan pupuk kimia lahan marjinal biasanya lebih sedikit dibandingkan lahan biasa / standar. Idealnya dengan penggunaan pupuk kompos dengan dosis optimal akan mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan melestarikan lingkungan. 

Berbeda dengan kompos yang akan habis terdekomposisi, sebagai pembenah tanah, biochar bisa bertahan ratusan tahun di tanah. Biochar yang memiliki luas permukaan besar besar juga memiliki banyak pori mikro (micropore) yang meningkatkan porositas tanah seperti halnya kompos. Kondisi pirolisis adalah hal penting dalam menentukan kualitas biochar selain bahan baku biochar itu sendiri. Pada tanah tekstur kasar seperti lahan pasir, biochar akan memperbaiki retensi air dan hara karena pori-pori mikronya memperlambat keluarnya (slow velocity). Kualitas biochar ini berbanding lurus dengan kemujaraban (efficacy) treatment biochar. Sejumlah parameter terkait aplikasi biochar untuk perbaikan / treatment tanah juga mirip dengan kompos antara lain : soil carbon content and mineralization, soil micro-structural & aggregation, bioavailable nitrogen, serta microbial activity & diversity. Hampir semua biochar bukan pupuk sebagaimana kompos, lebih detail baca disini, sehingga inokulasi (charging) biochar sebelum aplikasi bisa dilakukan dengan mengisi pori-pori biochar dengan air yang mengandung unsur kimia atau microba spesifik. Hal ini akan menghasilkan efek positif yang cepat dibandingkan dengan biochar saja. Selain itu biochar juga untuk pengurangan karbondioksida (CO2) di atmosfer sebagai carbon sequestration. Hal ini sangat sejalan dengan masalah perubahan iklim dan global warming saat ini. 

Biochar adalah zat heterogen yang kaya dengan karbon aromatik dan mineral. Biochar dihasilkan dari proses pirolisis (proses dimana bahan organik terdekomposisi pada suhu antara 350 sampai 1000 C dengan kondisi minim atau tanpa oksigen yang terkontrol dengan baik dan banyak digunakan untuk pembenah tanah (soil amendment). Kandungan karbon untuk biochar harus diatas 50%, sedangkan apabila produk pirolisis bahan organik dengan kandungan karbon kurang dari 50% tidak masuk kategori biochar tetapi disebut sebagai pyrogenic carbonaceous material (PCM). Kandungan karbon organik dari arang pirolisis (pyrolysed char) berfluktuasi antara kisaran 5% dan 95%, tergantung pada bahan baku dan suhu proses yang digunakan. Sebagai contoh kandungan karbon dari pirolisis kotoran ayam sekitar 25%, sedangkan dari kayu-kayuan sekitar 85% dan tulang kurang dari 10%. Ketika menggunakan bahan baku kaya mineral seperti lumpur endapan (sewage sludge) atau kotoran binatang, maka produk-produk pirolisis tersebut akan mengandung abu yang tinggi sehingga total pori lebih kecil. 

Selain itu biochar juga harus memiliki molar rasio H/Corg kurang dari 0,7 dan molar rasio O/Corg harus kurang dari 0,4.  Molar rasio H/Corg adalah indikator tingkat karbonisasi (pirolisis)-nya dan oleh karena itu sangat terkait dengan stabilitas biochar, yang merupakan salah satu karakteristik terpenting dari biochar. Rasio tersebut berfluktuasi tergantung pada jenis biomasa yang digunakan dan kondisi proses produksinya. Nilai rasio yang melebihi 0,7 mengindikasikan non-pyrolytic char atau kondisi proes pirolisis yang tidak memadai.  Sedangkan rasio O/Corg juga digunakan untuk membedakannya dari produk-produk karbon lainnya.  Luas permukaan spesifik juga merupakan ukuran kualitas dan karakteristik biochar, dan juga sebagai nilai kontrol terhadap metode pirolisis yang digunakan. Walaupun luas permukaan kurang dari 150 m2/gram dalam kasus tertentu bisa digunakan tetapi lebih dipilih atau disukai apabila lebih dari 150 m2/gram.

Dengan karakteristik seperti di atas, kompos dan biochar serta pupuk kimia bisa digunakan bersamaan, bahkan pada proses pengomposan biochar juga bisa ditambahkan untuk mengurangi N organik yang lepas ke atmosfer. Selain pori-pori mikro tanah semakin banyak atau pori-pori total semakin besar, hara dari kompos maupun pupuk kimia juga akan semakin lepas lambat (slow release). Seberapa lepas lambat (slow release) pupuk tersebut bisa dirancang sedemikian rupa tergantung kebutuhan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Ketika biochar ini digunakan dengan baik maka hal tersebut akan bisa memaksimalkan produktivitas panen, memperbaiki kesuburan tanah dan meminimalisir dampak lingkungan. Empat hal perlu diperhatikan pada aplikasi biochar yakni sumber biochar yang tepat (right source), lokasi yang tepat (right place), dosis yang tepat (right rate) dan waktu yang tepat (right timing).  Tidak semua jenis tanah dan tanaman akan menghasilkan peningkatan panen dari aplikasi biochar, sehingga menjadi hal penting untuk mengetahui jenis tanah seperti apa yang menghasilkan peningkatan produktivitas tersebut. Peta tanah (soil map) bisa membantu untuk mengidentifikasikan jenis tanah yang berpotensi memberikan manfaat atau keuntungan dari aplikasi biochar tersebut. Para petani bisa berkonsultasi dengan konsultan pertanian ataupun profesional di bidang tersebut untuk membantu pemilihan dan aplikasi biochar. 

Beli Wood Pellet atau PKS (Palm Kernel Shell) ?

Kebutuhan bahan bakar biomasa sebagai upaya dekarbonisasi karena merupakan bahan bakar terbarukan yang netral karbon semakin meningkat. Dua ...