Minggu, 19 Maret 2023

Biochar dan Emisi N2O Pada Pertanian

Pabrik Pupuk Urea
Produksi pupuk urea di dunia pada tahun 2020 mencapai sekitar 181 juta ton dan pupuk jenis urea ini adalah yang paling banyak digunakan. Dalam prakteknya pemakaian pupuk urea tersebut banyak yang tidak efisien, sehingga terbuang sia-sia dan mencemari lingkungan. Diperkirakan tingkat kehilangan urea dan mencemari lingkungan tersebut,  dalam pemakaian mencapai sekitar 40% atau 72,4 juta ton secara global. Upaya meningkatkan efisiensi pemupukan bisa dilakukan dengan memodifikasinya menjadi pupuk lepas lambat (slow release fertilizer / SRF) salah satu yang sangat direkomendasikan yakni dengan biochar, sebagai agen lepas lambat tersebut, lebih detail baca disini. Selain itu juga penggunaan urea menyebabkan terjadinya emisi N2O. N2O (dinitrogen monoksida) adalah salah satu gas rumah kaca dan pencemar udara, N2O termasuk gas yang berbahaya karena memiliki 298 kali pengaruh yang lebih kuat per satuan berat daripada CO2 dalam rentang waktu 100 tahun. Di udara, N2O bereaksi dengan atom oksigen membentuk NO, dan NO kemudian akan memecah ozon.

Urea adalah salah satu pupuk konvensional yang biasa digunakan di pertanian. Urea memiliki kandungan utama berupa nitrogen yang diserap tanaman dalam bentuk ammoium (NH4+) dan nitrate (NO3−). Kehilangan nitrogen dalam pupuk tersebut terjadi akibat penguapan sebagai amoniak (NH3), imobilisasi dalam pori-pori tanah atau tercuci oleh air baik air hujan maupun air irigasi. Selain kerugian secara ekonomis, pencemaran lingkungan akibat kelebihan nitrogen juga menyebabkan sejumlah efek negatif.  Nitrogen dari urea bisa hilang juga karena denitrifikasi nitrat sempurna menghasilkan gas nitrogen (N2) atau melalui denitrifikasi nitrat tidak sempurna menghasilkan gas nitrogen monoksida (NO) dan dinitrogen oksida (N2O), yang menguap dari tanah. Nitrat, gas nitrogen monoksida (NO) dan dinitrogen oksida (N2O) berkontribusi pada masalah lingkungan. Nitrat adalah zat yang berbahaya yang menyebabkan pencemaran air. Kelebihan konsentrasi nitrat pada air minum membahayakan kesehatan, terutama pada bayi dan wanita hamil. 

Sedangkan dinitrogen oksida (N2O) sekarang telah menjadi zat perusak ozon terbesar yang diemisikan pada abad ke-21. Sumber utama emisi dinitrogen oksida (N2O) global adalah pupuk berbasis nitrogen terutama pupuk urea.Kehadiran N2O di wilayah terendah atmosfer (troposfer) dapat menyebabkan efek rumah kaca atau pemanasan global karena N2O menangkap radiasi infra merah yang dipancarkan kembali dari permukaan bumi dan selanjutnya menghangatkan atmosfer. Selain itu, N2O dapat bermigrasi hingga ke stratosfer dimana N2O bereaksi dengan atom oksigen menghasilkan beberapa oksida nitrat (NO). Kemudian, penipisan lapisan ozon terjadi karena NO bereaksi dengan ozon stratosfer (O3) membentuk NO2 dan O2. Selanjutnya, NO2 bereaksi dengan O membentuk kembali NO. Menipisnya lapisan ozon meningkatkan sinar UV dari matahari yang mencapai permukaan bumi.

Aplikasi biochar telah disarankan sebagai strategi untuk mengurangi emisi dinitrogen oksida (N2O) dari tanah pertanian sambil meningkatkan stok karbon (C) tanah, terutama di daerah tropis. Perubahan iklim, khususnya peningkatan suhu, akan mempengaruhi kondisi lingkungan tanah dan dengan demikian secara langsung mempengaruhi volume N2O tanah. Terkait masalah iklim ada dua hal peran biochar, yakni sebagai carbon sequestration / carbon sink dan mereduksi emisi dinitrogen oksida (N2O), sedangkan terkait pertanian yakni meningkatkan kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas produk pertanian. Multimanfaat aplikasi biochar ini diprediksi akan semakin tren pada era bioeconomy, ketika aspek keberlanjutan (sustainibility), ketercukupan pangan dan sebagai solusi iklim menjadi satu paket lengkap dalam satu aksi. 

Upaya meminimalisir penggunaan pupuk urea yakni dengan memodifikasinya menjadi pupuk lepas lambat (slow release fertlizer) dengan biochar sebagai agen lepat lambat tersebut. Penggunaan dosis urea berlebih selain merusak lingkungan juga merupakan pemborosan. Penggunaan urea bisa tetap digunakan sampai batas tertentu yakni seluruh urea tersebut bisa terserap oleh tanaman dengan kehilangan atau pencemaran lingkungan seminimal mungkin. Ketika seluruh nutrisi / hara pupuk bisa terserap sempurna oleh tanaman itu berarti tidak ada residu di dalam tanah, sehingga kerusakan atau pencemaran lingkungan bisa diminimalisir. Residu tersebut terutama untuk jangka panjang akan menyebabkan kerusakan tanah yang parah. Pelepasan lambat dengan mendekati kecepatan penyerapan hara oleh tanaman adalah kondisi yang diupayakan atau NUE (nutrient use efficiency) semaksimal mungkin.  Teknik modifikasi pupuk urea menjadi SRF adalah kuncinya. 

Senin, 06 Maret 2023

Mengembangkan Sentra Produksi Wood Pellet di Indonesia

Lahan yang luas dan beriklim tropis dengan sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan tinggi adalah anugerah Allah SWT yang membuat Indonesia seharusnya menjadi sentra biomasa dunia. Produk-produk berbasis biomasa seperti energi dan pakan ternak sangat relevan pada era bioeconomy yang diprediksi akan menjadi trend dunia tidak lama lagi. Optimalisasi potensi harus dilakukan apalagi memang sudah sangat sejalan dan relevan dengan trend dunia (dekarbonisasi & sustainibility) pada umumnya dan kondisi spesifik nasional Indonesia pada khususnya. Di lain sisi kita bisa melihat sejumlah negara yang mayoritas ekonominya bergantung pada energi fosil khususnya migas seperti Arab Saudi dan Qatar atau negara teluk pada umumnya harus memutar haluan untuk berjuang mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya alam tersebut. Upaya untuk realisasi /implementasi dan akselerasi seharusnya segera dilakukan, walaupun sebenarnya sedikit terlambat dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya khususnya Vietnam, untuk lebih detail bisa dibaca disini, tetapi mengingat potensi dan arah ekonomi dunia mendatang, tentu selain mendesak juga penting untuk dilakukan. 

Sebagai referensi pengembangan industri wood pellet di Indonesia, kita bisa ambil contoh negara di Amerika Utara yakni Kanada khususnya di provinsi British Columbia. Provinsi tersebut memiliki konsentrasi tertinggi atau paling banyak terdapat pabrik wood pellet, yang diperkirakan mencapai sekitar 70% dari produksi negara tersebut. Dari penelitian yang dilakukan didapat bahwa 85% sumber bahan baku wood pellet yang digunakan adalah limbah sawmill/penggergajian kayu dan 15% sisanya berupa limbah hutan. Dan dari limbah hutan tersebut bisa dirinci lagi menjadi 11% kayu bulat kualitas rendah dan 4% tanaman semak. Jadi semua bahan baku yang digunakan di provinsi tersebut menggunakan limbah-limbah kayu yang dihasilkan dari sawmill / penggergajian kayu dan sisa-sisa dari hutan. Produksi wood pellet pada dasarnya memang harus menggunakan bahan baku dari limbah-limbah kayu ataupun kayu yang seharga kayu limbah. 

Dengan pemanfaatan limbah-limbah tersebut maka selain mengatasi pencemaran lingkungan bahkan operasional sawmill / penggergajian kayu menjadi zero waste, juga memberi tambahan pendapatan atau keuntungan ekonomi yang nilainya cukup besar. Limbah-limbah hutan di Indonesia seperti dari perkebunan akasia potensial dijadikan untuk produksi wood pellet tersebut. Sebagai contoh dengan perkebunan akasia, apabila setiap satu hektar dihasilkan 20 ton limbah kayu akasia, maka dengan luasan 20.000 hektar sudah dihasilkan 400.000 ton limbah kayu akasia. Luasan 20.000 hektar perkebunan akasia bukanlah sesuatu yang terlalu besar, hal ini karena ada sejumlah pemegang konsesi HTI (hutan tanaman industri) yang luasnya mencapai ratusan ribu hektar, sehingga volume limbah kayu yang dihasilkan juga sangat besar. Hutan atau kebun akasia di Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta hektar dan hampir semua hutan akasia tersebut untuk menyuplai pabrik pulp and paper. Setiap pabrik pulp and paper selalu memiliki hutan akasia dengan luasan ribuan hektar untuk memenuhi pabrik pulp and paper tersebut. Kayu akasia dengan diameter minimal 8 cm digunakan sebagai bahan baku tersebut, sedangkan yang memiliki diameter lebih kecil dari itu hanya sebagai limbah saja. Setelah pohon ditebang selanjutnya dilakukan penanaman baru (replanting). 

Produk-produk kayu berasal dari bagian-bagian pohon yang berbeda, setiap pohon memiliki potensi unik, tergantung sejumlah faktor diantaranya diameter dan kelurusan dari batang.Pada pohon akasia diameter batang adalah parameter utama.
Demikian juga pada industri penggergajian kayu, selain limbah berupa serbuk gergaji / sawdust, limbah kayu seperti potongan kayu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi wood pellet tersebut. Setiap tahap proses industri sawmill / penggergajian kayu akan menghasilkan limbah kayu, dengan bentuk bervariasi, ukuran, jumlah dan penggunaan. Estimasi limbah kayu dihasilkan dari sawmill / penggergajian kayu sekitar 40%. Faktor-faktor seperti ketrampilan pekerja, pengalaman operator, kondisi peralatan dan bentuk kayu berpengaruh terhadap limbah kayu yang dihasilkan. Berdasarkan pada prosentase limbah di atas, sawmill yang mengolah 1000 m3/bulan kayu bulat (log) akan menghasilkan total sekitar 400 m3/bulan limbah kayu. Rincian lebih detail seperti tabel dibawah ini :


 

Kebun energi adalah opsi lain bahkan merupakan opsi ideal untuk produksi wood pellet tersebut. Hal ini karena volume besar dan ketersediaannya bisa lebih terjamin, daripada mengumpulkan limbah-limbah kayu tersebut. Dengan kebun energi tersebut akan didapat bahan baku berupa kayu yang harganya seharga kayu limbah. Ribuan hingga puluhan ribu hektar kebun energi bisa dibangun untuk maksud tersebut. Selain kayu yang merupakan produk utama kebun energi tersebut, produk samping yang nilainya juga tidak kecil yakni dari daun untuk pakan ternak dan madu untuk peternakan lebah. Optimalisasi pemanfaatan seluruh pohon tersebut akan memberi nilai tambah maksimal dari pemanfaatan lahan tersebut. Daerah-daerah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua bisa menjadi sentra produksi wood pellet seperti provinsi British Columbia di Kanada tersebut.  

Rabu, 01 Maret 2023

Pentingya SRF (Slow Release Fertilizer) Dengan Biochar Pada Perkebunan Sawit

Biochar memang bukan pupuk sehingga bahkan kandungan hara pada biochar bisa diabaikan. Walaupun ada sejumlah biochar memiliki kandungan hara tertentu tetapi itu hal khusus dan sangat tergantung bahan baku yang digunakan. Biochar adalah pembenah tanah yang berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat tanah seperti struktur tanah termasuk meningkatkan porositas tanah / kegemburan tanah sehingga akar dapat menembus lebih dalam, aerasi tanah, ketersediaan air, memperpendek usia panen, menghambat perkembangan hama tanaman dan meretensi hara serta menurunkan kemasaman tanah. Dibandingkan pembenah tanah lainnya yang memiliki kelemahan antara lain dibutuhkan jumlah yang cukup besar dan kontinyu karena terdekomposisi dengan cepat, berpotensi berefek negatif terhadap iklim, dan memasukkan mikroba penyeban penyakit/hama, biochar memiliki banyak keunggulan antara lain volume kebutuhan tidak cukup besar, tidak kontinyu dan mampu bertahan di tanah (membantu konservasi karbon di dalam tanah) tidak terdekomposisi hingga ratusan bahkan ribuan tahun.  Hal tersebut di atas membuat biochar bisa berfungsi untuk memperbaiki kesuburan tanah dan solusi iklim (carbon sequestration / carbon sink) atau satu aksi untuk meningkatkan bahan organik pada lahan pertanian atau perkebunan dan mitigasi efek perubahan iklim. 

Walaupun demikian biochar dapat digunakan untuk pembuatan pupuk yakni pupuk lepas lambat (slow release fertilizer/SRF). SRF adalah pupuk yang pelepasannya diatur untuk memberi efek pertumbuhan yang maksimal atau SRF ini dirancang atau pupuk yang dimodifikasi untuk pemupukan terkendali yang sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga dapat memberikan peningkatan efisiensi penggunaan dan bersamaan dengan meningkatkan hasil atau panen. Hal tersebut dilatarbelakangi karena rendahnya efisiensi pemupukan sehingga bahkan lebih banyak yang terbuang daripada yang termanfaatkan atau NUE (nutrient use efficiency) yang rendah. Fungsi biochar pada SRF adalah sebagai agen lepas lambat pada pupuk tersebut karena memiliki struktur berpori. Dalam pembuatan SRF dapat menggunakan beberapa metode diantaranya dengan memperbesar ukuran (granulasi, pellet dsb), memperhalus permukaan pupuk, mencampurnya dengan bahan lain yang sukar larut (agen pelepas lambat) dan menyelimuti pupuk dengan bahan tertentu sehingga pelepasan pupuk menjadi lambat (coating). Penggunaan SRF menjadi populer untuk menghemat konsumsi pupuk, meningkatkan panen dan meminimalkan pencemaran lingkungan.


Kesuburan tanah adalah suatu sifat atau keadaan kompleks yang harus diusahakan tetap optimal khususnya terkait pemupukan tersebut. Komponen kesuburan tanah itu sendiri mencakup sejumlah hal yakni kedalaman solum tanah, struktur tanah, kandungan hara, kapasitas simpan, kandungan humus, jumlah dan kegiatan mikroorganisme tanah, dan kandungan unsur beracun. Tanah produktif yang kesuburan tanahnya tinggi, baik secara alamiah dan/atau karena perbuatan manusia, terutama disebabkan karena adanya sifat-sifat berikut : hara dalam tanah bersifat mobile dan mudah diperoleh, kemampuan tanah merubah pupuk menjadi bentuk-bentuk yang mudah tersedia, kemampuan tanah menyimpan hara yang terlarut dalam air tanah dari proses pencucian, kemampuan tanah dalam memberikan keseimbangan persediaan hara bagi tanaman secara alamiah, kemampuan tanah untuk menyimpan dan menyediakan air bagi tanaman, kemampuan memelihara aerasi tanah yang baik untuk menjamin ketersediaan oksigen bagi akar, dan kemampuan tanah untuk mengikat (memfiksasi) hara dan mengubahnya menjadi bentuk-bentuk yang tersedia bagi tanaman. Kesuburan tanah tersebut harus memberikan jaminan produksi yang tinggi, konsisten dan lestari. 

Pemahaman tentang komposisi hara pupuk dan mekanisme pelepasannya (release mechanism) akan membantu membuat rencana-rencana strategi untuk memperlambat pelepasan pupuk tersebut pada tingkat atau level tertentu. Dibandingkan dengan pupuk konvensional pupuk lepas lambat (SRF) memiliki kecepatan pelepasan sangat lambat bisa puluhan kali lipat lebih lambat sehingga efisiensi pemupukan semakin meningkat signifikan. Diperkirakan hingga lebih dari 50% terjadi pupuk terbuang percuma karena berbagai sebab diantaranya menguap, imobilisasi dalam tanah dan tercuci karena air misalnya karena hujan maupun irigasi. Ketidakefisienan pemupukan tersebut selain merugikan dari aspek ekonomi juga lingkungan yakni membuat tanah masam, membunuh mikroba tanah, dan pupuk yang terlarut air dapat meracuni air yang mungkin akan terkonsumsi oleh manusia dan binatang.

Saat ini di negara-negara berkembang penggunaan pupuk lebih dari 60 juta ton per tahun, sedangkan menurut Food Agriculture Organization (FAO) konsumsi pupuk dunia mencapai 190,4 juta ton pada 2015. Dengan rendahnya tingkat efisiensi tersebut, bisa dibayangkan betapa banyak pupuk yang terbuang percuma dan hanya mencemari lingkungan. Terkait SRF, dosis pemakaian biochar juga harus terukur dengan baik karena penggunaan biochar yang melampaui dosis akan menjadi tidak berguna. Hal ini karena sifat hidropobik biochar, sehingga kelebihan dosis tersebut tidak atau sedikit saja yang bisa melepas pupuk secara lambat tersebut. 

Sejumlah parameter untuk diamati pemberian biochar sebagai SRF adalah jumlah produksi TBS dan mutunya (rendemen CPO, dan kandungan ALB / FFA-nya), kontinuitas pembuahan sepanjang tahun, serta tingkat keseragaman kematangan buah dalam satu tandan. Dan ternyata penggunaan biochar tersebut memberikan hasil positif secara signifikan, yakni produksi TBS meningkat 20% lebih, tingkat keseragaman kematangan buah hampir 100%, rendemen CPO lebih dari 25%, dan ALB / FFA hanya 2-5%. Dengan tingginya produksi TBS dan rendemen CPO tersebut maka sudah semestinya intensifikasi perkebunan sawit dilakukan daripada ekstensifikasi yang dicurigai upaya alih fungsi hutan atau deforestasi yang cenderung mendapat sorotan negatif dari berbagai pihak untuk lebih detail baca disini. Masih sangat banyak hal yang bisa dioptimalisasi sehingga industri sawit efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan.  

Puluhan juta ton limbah tandan kosong di pabrik adalah bahan baku potensial untuk produksi biochar tersebut demikian juga puluhan juta hektar kebun sawit yang bisa digunakan untuk aplikasi biochar tersebut. Selain mengatasi masalah limbah biomasa, produksi biochar juga menghasilkan energi yang bisa digunakan untuk pabrik sawit itu sendiri, lebih detail bisa dibaca disini. Dibandingkan dengan produksi pellet bahan bakar dari tandan kosong (EFB pellet) dan produksi listrik dari tandan kosong tersebut, produksi biochar memiliki banyak kelebihan dan keuntungan baik secara ekonomi dan lingkungan. Pada akhirnya modifikasi pupuk yang sesuai dengan penggunaan biochar tersebut akan meningkatkan secara signifikan efisiensi penggunaan hara (NUE / nutrient use efficiency) dalam pupuk tersebut, memastikan sirkulasi efektif dari hara dan mitigasi perubahan iklim dengan carbon sequestration.   

Pengolahan Limbah Kelapa Muda : Dibriket atau Dipelletkan saja!

Ketika cuaca sangat panas seperti akhir-akhir ini, minum air kelapa sangat menyegarkan. Hal ini karena air kelapa selain untuk memenuhi kebu...