Kamis, 29 Februari 2024

Proyeksi Pengelolaan Sampah Indonesia Masa Depan : Produksi RDF dan kompos yang Diperkaya Biochar

Photo diambil dari sini

Masalah persampahan menjadi perhatian di sejumlah daerah saat ini. Hal ini karena sampah selain telah menjadi masalah lingkungan yang serius juga berdampak pada masalah sosial. Masyarakat mulai semakin menyadari tentang permasalahan sampah ini khususnya bagi masyarakat-masyarakat perkotaan yang sudah tidak memiliki lahan untuk menimbun atau membakar sampahnya dan ditambah lagi karena tempat pembuangan akhir (TPA) sudah tidak mampu lagi menampung sampah yang dihasilkan masyarakat tersebut.  Masalah banjir, pencemaran air tanah, polusi udara adalah beberapa masalah lingkungan tersebut yang apabila tidak diatasi akan menimbulkan sejumlah masalah lingkungan serius. Kesadaran masyarakat terkait sampah semakin hari seharusnya semakin baik, dan mengupayakan berbagai upaya untuk mengatasinya.

Pengomposan sampah organik di Depok, Jawa Barat

Saat ini pemerintah pusat dan juga pemerintah-pemerintah daerah sedang berupaya keras untuk mengatasi masalah sampah tersebut. Walaupun sudah berupaya keras tetapi umumnya baru sebagian kecil sampah tersebut yang bisa tertangani dan sebagian besar masih menumpuk dan terakumulasi sehingga terus menggunung. Sebagai contoh adalah masalah sampah di DKI Jakarta saat ini, yakni dengan volume sampah harian rata-rata 7.500 ton/hari baru sekitar 1.000 ton per harinya yang bisa diolah. Dengan unit produksi RDF di TPST Bantar Gebang, dengan bahan baku 2.000 ton sampah per hari yang berasal dari 1.000 ton sampah baru dan 1.000 ton sampah lama (landfill mining)  dihasilkan kurang lebih 700 ton/hari RDF. Jadi dengan hanya 1.000 ton/hari sampah baru yang bisa diolah itu artinya hanya 13% saja dari total volume sampah harian. Sedangkan kondisi-kondisi di sejumlah daerah di Indonesia juga hampir sama. 

Pengolahan sampah masa depan harus bisa mengolah sampah tersebut 100% atau zero waste. Selain itu juga produk pengolahan sampah tersebut juga harus memiliki nilai manfaat dan ekonomi. Salah satunya adalah produksi RDF dan kompos kapasitas besar. Hampir semua limbah organik bisa untuk dikomposkan sedangkan yang non-organik khususnya plastik dibuat RDF. Sampah-sampah lainnya seperti besi, kaca, keramik, dan logam-logam dipisahkan terlebih dahulu sehingga tidak menganggu proses produksi RDF dan kompos tersebut. RDF biasa digunakan sebagai bahan bakar alternatif terutama pada pabrik semen. Tetapi dengan kandungan klorin yang tinggi penggunaan RDF pada pabrik semen perlu dibatasi. 

Kadang jarak antara produksi RDF dengan pabrik semen yang jauh membuat biaya transportasi mahal dan produk RDF menjadi tidak kompetitif. Hal tersebut sehingga RDF perlu dipadatkan menjadi pellet RDF. Dengan menaikkan kepadatan dari RDF menjadi pellet selain menghemat biaya transportasi juga akan memudahkan handling, penyimpanan dan sekaligus penggunaannya. Sedangkan pada kompos untuk meningkatkan kualitasnya bisa ditambahkan biochar. Biochar tersebut ditambahkan pada saat proses pengomposan dan nantinya akan semakin banyak nutrient yang terkandung dalam kompos tersebut. Biochar dengan pori-pori mikronya akan digunakan sebagai tempat menyimpan nutrient tersebut. Selain itu penggunaan biochar sebagai carbon sink / carbon sequestration dan bisa bertahan di dalam tanah hingga ratusan bahkan ribuan tahun. Hal ini juga berpotensi sebagai tambahan pendapatan dari carbon credit. Produksi biochar dengan pirolisis juga akan menghasilkan energi panas yang bisa dimanfaatkan untuk pengeringan sampah pada produksi RDF maupun pirolisis bahan organik. 

Minggu, 25 Februari 2024

Dekarbonisasi Pada industri Baja

Produksi baja dunia mencapai 1,9 miliar ton pada tahun 2020, dengan komposisi China sekitar setengahnya dan diikuti negara-negara Uni-Eropa. Jerman dengan produksi tahunan dikisaran 42 juta ton adalah sebagai produsen baja terbesar di Eropa atau sekitar seperempat produksi baja Eropa, sedangakn seperempat lainnya adalah Italia dan Perancis, kemudian diikuti Belgia, Polandia, Spanyol. Industri baja ini berkontribusi menyumbang CO2 sebanyak 8% secara global, setiap ton produksi baja menghasilkan emisi CO2 rata-rata sebanyak 1,85 ton dan dibanding pertambangan bijih besinya, produksi besi dan baja berkontribusi jauh lebih besar pada emisi CO2. Upaya dekarbonisasi industri baja dimulai dengan pengunaan energi terbarukan untuk peleburan / smelter-nya. Bahan bakar berbasis biomasa berupa arang yang memiliki nilai karbon tinggi bisa menggantikan penggunaan kokas yang berasal dari batubara. Dan penggunaan hidrogen dari sumber energi terbarukan menjadi target puncak dekarbonisasi pada industri baja tersebut. 


Saat ini industri baja sebagian besar menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya dengan menggunakan blast furnace. Untuk mengurangi intensitas karbon maka digunakan bahan bakar gas atau gas alam sebagai bahan bakarnya. Penggunaan bahan bakar gas (BBG) berupa gas alam tersebut juga sebagai media transisi dan pada dasarnya karena berasal dari bahan bakar fossil maka juga merupakan bahan bakar karbon positif. Selain itu penggunaan BBG berupa gas alam juga sebagai bahan bakar transisi sebelum ke hidrogen dari energi terbarukan. Penggunaan bahan bakar karbon berbasis biomasa berupa arang memiliki efek lebih baik bagi iklim karena merupakan bahan bakar karbon netral. Selain itu secara teknis karena merupakan bahan bakar padat sama seperti batubara maka praktis tidak banyak bahkan tidak perlu perubahan atau modifikasi pada tungku peleburannya. Faktor ketersediaan arang berkualitas tinggi, volume besar dan suplai yang kontinyu masih menjadi kendala utamanya.

Penggunaan arang untuk metalurgi atau pembuatan baja sebenarnya sudah pernah menjadi hal biasa pada beberapa waktu lalu. Pada era awal tahun 1900an produksi arang dunia mengalami masa kejayaannya dengan produksi lebih dari 500 ribu ton. Pada tahun 1940an produksi arang mengalami penurunan menjadi hampir ½ dari era awal 1900an yang diakibatkan material karbon lainnya yakni batubara yang menggantikan arang pada pembuatan logam-logam.  

Dengan kondisi saat ini berupa penggunaan batubara sebagai bahan bakar utama pada tungku peleburan atau di blast furnace, maka akan dihasilkan slag. Slag atau GGBFS (Grounded Granulated Blast Furnace Slag) dari pabrik baja tersebut digunakan untuk pabrik semen sebagai bahan aditif semen atau  SCM (supplementary cementious material) sehingga mengurangi porsi clinker pada produks semen. Pada pabrik semen sendiri semakin banyak penggunaan slag atau SCM maka semakin mengurangi penggunaan clinker sehingga juga mengurangi emisi CO2. Pada produksi semen bagian produksi clinker-nya berkontribusi paling besar pada emisi CO2 yang dihasilkan sehingga penggunaan slag atau SCM tersebut merupakan bagian dekarbonisasi pada pabrik semen. Diperkirakan sekitar 70% produksi baja dunia menggunakan blast furnace atau proses BF-BOF yang menghasilkan jumlah GGBFS cukup banyak, bahkan di China lebih dari 90% produksi baja menggunakan proses BF-BOF tersebut. Perlu dicatat bahwa dekarbonisasi sektor baja mengakibatkan peralihan dari blast furnace, yang akan berdampak pada ketersediaan GGBFS di seluruh dunia pada dekade mendatang. Namun, perubahan ini akan terjadi secara perlahan dan bertahap dan, sementara itu, terdapat sejumlah GGBFS yang akan tersedia untuk digunakan sebagai SCM guna mengurangi jejak karbon pada semen dan beton.

Untuk bisa produksi arang dalam jumlah besar tentu juga dibutuhkan bahan baku dalam jumlah besar. Bahan baku berupa biomasa khususnya kayu bisa diproduksi dari kebun energi. Kebun energi dari tanaman rotasi cepat trubusan akan cocok untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut karena selain masa panennya cepat juga memiliki produktivitas yang tinggi. Selain itu juga tidak perlu menanam ulang atau replanting untuk setiap kali panen dan mudah tumbuh serta mudah dalam pemeliharaannya. Untuk produksi baja per ton dibutuhkan energi rata-rata 6.000 MJ (setara 50 kg hidrogen) atau setara 200 kg arang dan memerlukan bahan baku biomasa kayu sekitar 600-800 kg. Selain bahan baku dari kayu kebun energi, bahan baku dari limbah-limbah pertanian maupun perkebunan juga bisa digunakan. 

Industri sawit masa depan bisa saja sebagai penghasil hidrogen dari biogasnya. Setiap ton baja akan membutuhkan 50 kg hidrogen, sedangkan setiap pabrik sawit dengan kapasitas 30 tbs/jam bisa menghasilkan listrik 1 MWh, sedangkan untuk produksi 1 kg hidrogen dibutuhkan 50 KWh, sehingga dengan kapasitas pabrik sawit tersebut bisa menghasilkan 20 kg hidrogen. Daerah dengan konsentrasi pabrik sawit yang tinggi seperti provinsi Riau bisa saja membuat jaringan pipa hidrogen tersebut untuk pabrik baja yang ramah lingkungan. 

Dengan harga lebih mahal untuk baja yang dihasilkan dengan energi terbarukan (green steel), membuat pangsa pasar juga terbatas. Saat ini hanya penggunaan tertentu seperti otomotif yang membeli baja premium atau green steel tersebut. Upaya dekarbonisasi pada pabrik baja juga bisa dilakukan bertahap, seiring perkembangan energi terbarukan. Dengan semakin banyaknya suplai energi terbarukan maka harganya akan semakin turun sehingga baja ramah lingkungan (green steel) juga semakin kompetitif harganya. Pabrik-pabrik baja baru bisa mendekati sumber-sumber energi terbarukan yang murah tersebut sehingga bisa produksi green steel menjadi kompetitif.

Jumat, 23 Februari 2024

Perusahaan Batubara dan Pengembangan Usaha Baru di Energi Terbarukan (Wood pellet dan PKS)

Photo diambil dari sini

Batubara adalah bahan bakar fossil sebagai salah satu penyebab utama terjadinya gas rumah kaca khususnya CO2 yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Walaupun bahan bakar ini murah dan tersedia masih cukup melimpah di Indonesia tetapi penggunaannya akan semakin dikurangi seiring waktu untuk mencapai kondisi aman bumi. Indonesia adalah penghasil batubara terbesar no 5 di dunia dengan produksi berkisar 570 juta ton per tahun dengan cadangannya mencapai 38 miliar ton yang produksi utama berada di pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebuah perusahaan batubara besar di Indonesia setiap tahun bisa memproduksi batubara sebanyak 50 juta ton.

Kebijakan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil khususnya batubara juga terus dilakukan secara global. Untuk Asia sebagai contoh Jepang dan Korea dengan Feed in Tarrif dan Renewable Portofolio Standardnya (RPS) terdepan dalam penggunaan energi terbarukan khususnya wood pellet. Sedangkan di Eropa dengan Renewable Energy Directive II (RED II) energi terbarukan ditargetkan mencapai 32% pada tahun 2030, bahan bakar biomasa diprediksikan mencapai sekitar 75% dari porsi energi terbarukan tersebut dan targetnya batubara total tidak digunakan pada 2050. Jerman mengumumkan untuk tidak menggunakan batubara pada 2038, UK bahkan mentargetkan tidak lagi mengunakan batubara untuk produksi listriknya mulai Oktober tahun 2024. Amerika Utara yakni Amerika Serikat dan Kanada sebagai anggota G7 juga berkomitmen mengurangi konsumsi batubara, bahkan Kanada pada 2018 mengumumkan peraturan untuk tidak lagi menggunakan batubara untuk pembangkit listrik pada 2030. Di sisi lain proyek pembangunan pembangkit listrik batu bara yang dibiayai China di berbagai negara berguguran.Ditambah lagi negara G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) gencar memblokir penggunaan batu bara. Negara-negara yang masih mendukung penggunaan batu bara, seperti China dan Indonesia, semakin terisolasi dan bisa menghadapi lebih banyak tekanan untuk menghentikan kegiatan tersebut.

Melihat trend energi dunia yang mulai melakukan dekarbonisasi maka banyak perusahaan batubara yang kemudian mengembangkan usaha baru di sektor energi terbarukan. Sejumlah perusahaan batubara diketahui telah berencana untuk produksi wood pellet kapasitas besar dan juga menjadi eksportir cangkang sawit (pks / palm kernel shell). Dan melihat trend global penggunaan energi terbarukan yang terus meningkat khususnya bahan bakar biomasa tersebut maka bisa jadi dalam waktu dekat mereka akan segera mengeksekusi rencana tersebut. Dengan keuntungan besar dari bisnis batubara maka pengembangan usaha baru tersebut juga seharusnya lebih mudah. 

Bagi produsen-produsen batubara tersebut yang memang bidang usahanya dibidang energi, maka memasarkan produk bahan bakar biomasa tersebut juga seharusnya bukan hal sulit. Wood pellet maupun cangkang sawit / pks bisa digunakan untuk bahan bakar pada pembangkit listrik sama seperti batubara.  Bahkan pada sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara juga menggunakan bahan bakar biomasa tersebut dalam jumlah tertentu yang dicampur dengan batubara yakni dengan cofiring. Bahkan juga bahan bakar biomasa tersebut bisa digunakan100% pada jenis pembangkit listrik berteknologi tertentu seperti stoker dan fluidized bed. Sebagai sama-sama produk untuk energi lebih khusus lagi bahan bakar padat dengan pengguna yang sama memang bagi perusahaan batubara lebih mudah untuk mengembangkan ke industri wood pellet dan eksport cangkang sawit tersebut. 

Berbeda dengan cangkang sawit / pks yang merupakan limbah atau produk samping dari pabrik sawit atau pabrik CPO yang didapat dengan mengumpulkan dari pabrik-pabrik sawit,  produksi wood pellet untuk kapasitas besar memerlukan pasokan bahan baku yang stabil dan berkelanjutan dengan salah satu opsi terbaiknya yakni dari kayu kebun energi. Kebun energi dengan luasan tertentu perlu dibuat sesuai target produksi wood pellet yang hendak dicapai. Lahan-lahan pasca tambang bisa direklamasi untuk lahan kebun energi. Dan bagi perusahaan batubara mengembangkan energi terbarukan juga memberi citra positif karena berkontribusi pada program dekarbonisasi dan jika pada waktunya bisnis batubara harus dikurangi bahkan dihentikan mereka sudah siap dengan bisnis baru berupa energi terbarukan tersebut.   

Minggu, 04 Februari 2024

Menghidupkan “Baterai Hijau” Indonesia

Dengan posisi di khatulistiwa sehingga beriklim tropis maka pancaran sinar matahari akan diterima sepanjang tahun. Energi dari sinar matahari tersebut seharusnya bisa dimanfaatan secara optimal pada era dekarbonisasi saat ini. Supaya energi matahari tersebut bisa dimanfaatkan kapan saja, maka energi tersebut harus disimpan. Hal tersebut seperti mekanisme baterai dalam menyimpan energi, sehingga energi tersebut tidak lewat dan hilang begitu saja. Menyimpan dan mengubah energi matahari tersebut telah dilakukan secara alami sejak kehidupan ini ada yakni dalam biomasa tumbuhan. Dengan photosintesis pada tanaman, energi matahari dengan air dan CO2 diubah menjadi biomasa dalam bentuk kayu, buah, daun dan berbagai bagaian tumbuhan tersebut serta O2 untuk kita bernafas. Energi matahari tidak lewat dan hilang begitu saja tetapi tersimpan dalam tumbuhan tersebut sebagai sumber energi atau “baterai” yang bisa dimanfaatkan kapan saja.

Dengan paradigma tersebut tentu upaya memaksimalkan penyimpanan energi dalam “baterai hijau” tersebut harus dimaksimalkan sebagai upaya menuju bahan bakar rendah atau netral karbon. Dengan luas daratan juga terbesar di Asia Tenggara tentu upaya memaksimalkan “baterai hijau” menjadi lebih penting dan strategis. Pemanfaatan tipe fast growing species dan short rotation coppice akan sangat cocok dalam mengubah dan menyimpan energi matahari tersebut. Apalagi pada daerah beriklim tropis panen kayu tersebut juga lebih cepat dibandingkan pada negara sub-tropis atau daerah dingin, dikarenakan melimpahnya energi pancaran matahari tersebut. 

Luas tanah potensial untuk membuat “baterai hijau” tersebut sangat besar yakni mencapai puluhan juta hektar. Ditambah lagi lahan reklamasi yang mencapai jutaan hektar juga, lebih detail bisa dibaca disini. “Baterai hijau” tersebut berupa kebun energi yang kayunya dimanfaatkan untuk produksi wood pellet. Dalam bentuk produk wood pellet tersebut maka energi biomasa menjadi lebih mudah disimpan, dan digunakan kapan saja. Tidak seperti pembangkit listrik tenaga matahari atau angin ataupun air yang intermittent, bahan bakar biomasa berupa wood pellet tidak seperti itu. Penggunaannya bisa sesuai permintaan dan target yang dikehendaki, sehingga lebih praktis dan bisa diandalkan. Alasan mengapa “baterai hijau” berupa kebun energi tersebut belum berkembang bisa dibaca disini

Selain “baterai hijau” dari kebun energi, “baterai hijau” juga bisa berasal dari hutan produksi pada umumnya. Pada hutan produksi tersebut, produk utamanya kayu yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti kayu bangunan, mebel, plywood, flooring dan sebagainya. Limbah industri kayu tersebut yang selanjutnya digunakan untuk produksi wood pellet tersebut. Produksi wood pellet pada dasarya harus menggunakan limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu seharga kayu limbah seperti kayu dari kebun energi, sehigga industri wood pellet ekonomis dan menguntungkan. Diperkirakan ada limbah-limbah kayu sebanyak 25 juta ton/tahun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi wood pellet tersebut. Dan khusus dari industri plywood saja limbah kayu diperkirakan mencapai 5 juta ton setiap tahunnya.  

Estimasi industri kayu Indonesia sebenarnya bisa dioptimalkan hingga kapasitas produksi mencapai 91 juta meter kubik per tahun, tetapi realisasi pada 2022 industri hasil hutan ini hanya mampu memproduksi 42,19 juta meter kubik per tahun atau sekitar 48,7% dari kapasitas optimumnya. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya realisasi industri perkayuan tersebut ada 3 faktor yakni, efisiensi industri perkayuan, masalah terkait dengan bahan baku dan ketersediaan pasar.

Riset tentang baterai terus berlanjut seiring trend dekarbonisasi global dan transisi energi menjadi keniscayaan untuk mencapai target dekarbonisasi tersebut. Baterai berkapasitas besar sehingga energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan seperti angin dan matahari bisa disimpan menjadi target riset tersebut. Riset tersebut memakan biaya besar sekaligus waktu yang lama, diperkirakan 20 atau 30 tahun ke depan, baterai kapasitas besar tersebut baru akan tersedia. Sedangkan saat ini sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar fossil khususnya batubara. Upaya transisi energi pada pembangkit listrik tersebut bisa dilakukan dengan subtitusi batubara ke wood pellet tersebut. Apalagi sebagai daerah tropis maka energi biomasa seperti bisa tetap sebagai energi utama pada era nir-karbon masa depan. 


“Baterai hijau” Indonesia harus diaktifkan dan dikembangkan, karena selain fungsinya sebagai sumber energi, “baterai hijau” tersebut juga sebagai penyimpan CO2 atau carbon sink. Selama jumlah kayu yang dipanen lebih kecil atau maksimal sama dengan pertumbuhan kebun energi atau “baterai hijau” tersebut maka banyaknya CO2 yang terserap tanaman tidak berkurang atau CO2 yang lepas ke atmosfer tidak bertambah, demikian juga dengan hutan produksi pada umumnya. Ketika pada umur tertentu pertumbuhannya akan jenuh dan mulai menurun dalam penyerapan CO2, artinya hutan tersebut tidak bisa secara permanen menyimpan CO2 dalam volume tetap, sehingga perlu regenerasi / replanting. Sedangkan pada kebun energi karena karakteristik spesies tanamannya maka regenerasi / replanting tidak perlu setiap kali panen, tetapi bisa puluhan tahun kemudian. Dan lebih lanjut penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) pada pembangkit listrik yang telah menggunakan 100% bahan bakarnya dari wood pellet tersebut maka berarti CO2 yang dihasilkan tidak lepas ke atmosfer atau merupakan carbon negative, yang mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer. 

Pengolahan Limbah Kelapa Muda : Dibriket atau Dipelletkan saja!

Ketika cuaca sangat panas seperti akhir-akhir ini, minum air kelapa sangat menyegarkan. Hal ini karena air kelapa selain untuk memenuhi kebu...