Sabtu, 15 Agustus 2020

Produksi Pellet Daun Gliricidia Sebagai Solusi Pakan Ternak Non-GMO dan Sustainable


Pangan merupakan prioritas utama dibandingkan pakan dan energi. Hal tersebut memberi konsekuensi ketercukupan pangan bagi manusia dahulu sebelum pakan ternak maupun energi. Ketika pakan dan energi lebih diprioritaskan daripada pangan, maka akan terjadi berbagai gejolak sosial. Huru-hara tortila di Mexico beberapa waktu lalu adalah contoh bagaimana energi lebih diprioritaskan daripada pangan, yakni jagung lebih diutamakan untuk bioethanol. Demikian juga halnya jika pakan lebih diprioritaskan sehingga supplai pangan akan terganggu. Kedelai sebagai contoh merupakan sumber pangan tetapi juga sumber pakan. Produksi kedelai terbesar dari Amerika Serikat dan Brazil. Di sejumlah negara kedelai merupakan sumber pangan dan pakan karena minyaknya diekstrak menjadi minyak kedelai dan bungkilnya menjadi pakan ternak, tetapi di Indonesia kedelai terutama untuk pangan. Minyak nabati di Indonesia terutama dari minyak sawit dan minyak kelapa. Bahkan dalam sejarahnya minyak kelapa Indonesia dihancurkan oleh asosiasi minyak kedelai Amerika (American Soybean Association (ASA)) dengan isu negatifnya yang mempropagandakan minyak kelapa sebagai minyak jahat pada pasar minyak nabati internasional, sehingga sampai saat ini minyak kelapa belum kembali bangkit.

Produksi pakan ternak Indonesia juga sebagian besar mengandalkan sumber protein dari bungkil kedelai dan sawit. Bahkan karena kebutuhannya yang besar, maka juga import bungkil kedelai (soybean meal / SBM). Semakin berkembang industri peternakan maka semakin besar juga kebutuhan pakannya. Pakan dalam industri peternakan salah satu komponen kunci untuk kesuksesannya. Ketercukupan pakan dengan nutrisi yang baik, aman dan terjangkau sangat penting bagi usaha peternakan. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang berkisar 40 juta ton/tahun maka produksi bungkil sawit diperkirakan lebih dari 6,5 juta ton/tahun, apabila semua bungkil sawit tersebut dioptimalkan untuk industri pakan dalam negeri tentu sangat baik. Demikian juga bungkil kelapa. 

Daun Gliricidia / Gamal

Daun gliricidia juga merupakan sumber protein untuk pakan ternak khususnya ruminansia dan perikanan. Dengan kadar protein sekitar 20% daun gliricidia sangat potensial sebagai sumber protein tersebut. Apalagi program dari para asosiasi industri pakan sedang mereduksi atau bahkan menghilangkan ketergantungan dengan bahan baku transgenik (GMO) seperti kedelai dan faktor lingkungan berupa keberlanjutannya. Dengan program pembuatan kebun energi atau kebun biomasa yang juga semakin masif untuk berbagai industri berbasis material terbarukan dan berkelanjutan, maka produksi daun sebagai limbah samping juga semakin banyak. Potensi limbah daun yang diperkirakan mencapai hingga ratusan ribu ton bahkan jutaan ton akan sangat potensial untuk pakan ternak tersebut khususnya mengurangi pakan yang berasal dari bahan transgenik (GMO). Usaha-usaha yang produktif berwawasan lingkungan seperti ini untuk memenuhi kebutuhan manusia akan semakin mendorong bioekonomi. Daging halal adalah sumber protein yang sangat penting bagi pangan manusia, sehingga produksi pakan ternak merupakan bagian tak terpisahkan dari mata rantai tersebut.

Kecepatan pertumbuhan industri pakan juga berbeda-beda di setiap negara. Hal tersebut tergantung sejumlah faktor misalnya kebijakan pangan suatu negara, daya beli masyarakat, ketersediaan bahan baku dan sebagainya. Sebagai contoh : untuk negara di Eropa, sekitar 20 tahun lalu kapasitas rata-rata pabrik pakan di Italia adalah 11.000 ton/tahun, sedangkan industri pakan ternak di Belanda telah memiliki kapasitas rata-rata 45.000 ton/tahun atau lebih dari 4 kali lipat industri pakan di Italia dan juga telah melampaui kapasitas rata-rata Eropa hari ini. Saat ini, rata-rata pabrik pakan di Italia memiliki kapasitas rata-rata 29.000 ton/tahun (masih sekitar 3 kali dari 20 tahun lalu), tetapi dalam waktu yang sama pabrik pakan di Belanda telah memiliki kapasitas rata-rata 140.000 ton/tahun. Mayoritas produksi pakan ternak di Belanda adalah untuk pakan babi, sehingga tidak akan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Indonesia dengan mayoritas Islam maka produksi pakan ternak yang dikembangkan sebagai prioritas utama adalah untuk industri halal. Berdasarkan potensi bahan baku, potensi lahan untuk produksi pakan ternak dan sebagainya Indonesia seharusnya mengakselerasi industri halalnya salah satunya dengan menggenjot industri pakan ternaknya. Belanda dengan jumlah penduduk yang kecil dan luas lahan yang terbatas bahkan sangat kuat dalam mengembangkan riset-risetnya untuk mendukung industri pakan tersebut. Kita juga jangan mau kalah.

Selasa, 11 Agustus 2020

Activated Carbon Untuk Proses Flue Gas Desulphurisation (FGD)

Emisi gas buang terutama dari PLTU batubara harus dibuat seramah mungkin dengan lingkungan. Sekitar 60% listrik dunia saat ini bergantung pada batubara, hal ini dikarenakan PLTU batubara bisa menyediakan listrik dengan harga murah. Gas-gas buang yang mencemari dan membahayakan lingkungan perlu di treatment sedemikian rupa sehingga tidak lagi membahayakan lingkungan. Batubara adalah bahan bakar yang mengandung sulphur cukup tinggi yakni 0,5% (5 kg/ton batubara) sehingga ketika dibakar akan menimbulkan emisi gas SO2 dan SO3 atau kelompok gas SOx. Gas-gas tersebut apabila diemisikan di atmosfer akan menimbulkan hujan asam. Hujan asam tersebut akan membuat rusak tanah pertanian, hutan-hutan karena photosintesis tidak sempurna, matinya biota laut perairan dan korosi benda-benda logam baik kendaraan, bangunan dan sebagainya bahkan kesehatan manusia berupa gangguan pernafasan seperti asma, bronkhitis kronis hingga kerusakan paru-paru permanen. 

Sebagai contoh Cina menyatakan lebih setengah kota-kota di negara itu mengalami hujan asam dan hanya sedikit yang memiliki udara segar. Seperenam sungai-sungai besar sangat terpolusi sehingga airnya dipandang tidak baik untuk pertanian. Pengawas polusi menyatakan 16,4% sungai besar Cina bahkan tidak memenuhi standar pengairan pertanian. Air dari kota-kota besar seperti Shanghai, Tianjin dan Guangzhou dinyatakan sangat terpolusi. Hanya daerah pulau wisata Hainan dan sebagian pantai utara yang dianggap benar-benar sehat. Hanya 3,6% dari 471 kota yang dimonitor mendapatkan peringkat teratas dalam hal kebersihan udara.

 

Upaya meminimalisir emisi gas SOx (termasuk sulfur dioksida (SO2), sulfur monoksida (SO), dan sulfur trioksida (SO3)) dilakukan dengan treatment gas buang desulphurisasi atau istilahnya FGD (Flue Gas Desulphurisation). Pada Juni 1973, ada 42 unit FGD yang beroperasi, 36 di Jepang dan 6 di Amerika Serikat, dengan kapasitas mulai dari 5 MW hingga 250 MW. Pada sekitar tahun 1999 dan 2000, unit FGD sedang digunakan di 27 negara, dan ada 678 unit FGD yang beroperasi pada kapasitas total pembangkit listrik sekitar 229 gigawatt. Sekitar 45% kapasitas FGD berada di AS, 24% di Jerman, 11% di Jepang, dan 20% di berbagai negara lain. Sekitar 79% dari unit, mewakili sekitar 199 gigawatt kapasitas, menggunakan kapur basah (wet limestone). Sekitar 18% (atau 25 gigawatt) menggunakan spray-dry scrubbers atau sorbent injection systems. Penggunaan FGD tersebut saat ini, telah diperkenalkan ke berbagai tempat yang menggunakan bahan bakar fosil seperti insinerator batu bara dan insinerator limbah.

Pada dasarnya teknik FGD ada beberapa macam tetapi secara umum bisa dibedakan menjadi 2 yakni metode basah misalnya dengan penyerapan larutan kapur basah atau air laut, metode kering misalnya activated carbon dan metode semi-kering. Metode basah adalah metode paling banyak digunakan. "Metode gipsum kapur", yang merupakan salah satu metode basah, telah menjadi arus utama (mainstream) di dunia sebagai proses pengolahan gas buang berkapasitas besar terutama untuk pembangkit listrik tenaga panas. Pertimbangan untuk pemilihan teknik FGD tersebut diantaranya skala, biaya, jenis produk sampingan, dan aplikasinya. Metode kapur-gipsum mempersulit proses pemulihan gypsum dan proses pengolahan air limbah, sehingga tidak cocok untuk diaplikasikan pada boiler kecil. Oleh karena itu, di pabrik skala kecil, "metode magnesium hidroksida" yang menggunakan magnesium hidroksida, yang merupakan alkali murah di samping kapur, sering digunakan. Metode soda adalah metode basah yang biasa digunakan di pabrik pulp dan peralatan skala kecil pada paruh kedua tahun 1960-an, tetapi karena soda kaustik sebagai penyerap mahal dan biaya operasi tinggi, metode yang menggunakan magnesium hidroksida, yang merupakan penyerap yang lebih murah, telah diadopsi.

 

Pada tahun 1960an Jepang banyak mengembangkan teknik FGD kering dan sejak tahun 1980an teknik FGD basah mulai banyak digunakan sampai saat ini. Saat ini Jepang semua sudah memasang peralatan FGD tersesbut, namun dipastikan kebutuhan di China dan Asia Tenggara akan bertambah di masa mendatang. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar produsen alat FGD telah menyadari perkembangan teknologi yang diterapkan ke pasar luar negeri, dan pengembangan perangkat desulfurisasi sederhana yang sesuai untuk negara berkembang yang mudah dioperasikan dan berbiaya rendah sedang dilakukan. Ada juga produk samping dari FGD tersebut yang bernilai ekonomi yakni FGD gypsum. Di Indonesia baru ada satu PLTU yang menggunakan FGD dengan kapur basah (wet limestone) dan menghasilkan FGD gypsum yakni di PLTU Tanjung Jati, Jepara, Jawa Tengah.  Sedangkan PLTU yang lainnya masih menggunakan teknik basah dengan scrubber air laut (sea water absorbtion).

Metode desulphurisasi dengan activated carbon ternyata juga simultan dengan denitrasi serta fungsi untuk menghilangkan komponen lain seperti penghilangan dioksin dan penghilangan elemen logam berat. Metode adsorpsi activated carbon terdiri dari menara adsorpsi, menara desorpsi, dan perangkat transfer sirkulasi activated carbon. Ketika komponen lain seperti NOx juga teradsorpsi, modul yang terdiri dari sejumlah sel activated carbon membentuk menara adsorpsi, dan setiap komponen dalam gas buang dibuang saat melewati setiap modul.

 Pembangkit Listrik Dengan FGD Activated Carbon

Activated carbon yang telah mengadsorpsi SOx, dll. Di menara adsorpsi dikirim ke menara desorpsi, dipanaskan hingga 350 ° C atau lebih tinggi, dan diregenerasi. Karbon aktif hasil regenerasi didinginkan hingga 150 ° C atau lebih rendah di bagian pendingin, kemudian debu dipisahkan dengan penyaringan dan digunakan kembali di menara adsorpsi. Sebaliknya, gas SO2 pekat yang diperoleh dicuci dan dimurnikan, kemudian dioksidasi atau direduksi, dan akhirnya dipulihkan sebagai asam sulfat, unsur sulfur, atau sejenisnya.

 

Arang aktif (activated carbon) memiliki luas permukaan besar karena banyaknya pori-pori dari permukaannya. Pori-pori tersebut sengaja dibuat untuk meningkatkan efisiensi penjerapan (adsorption). Semakin banyak pori-pori terbentuk semakin luas permukaan activated carbon tersebut. Berdasarkan ukurannya pori-pori tersebut dibedakan menjadi macropore, mesopore dan micropore. Activated carbon dari tempurung kelapa memiliki banyak micropore, sedangkan activated carbon dari kayu didominasi mesopore dan macropore (micropore hanya memiliki porsi kecil) karena struktur kayu juga lebih terbuka. Untuk activated carbon dari batubara distribusi micropore, mesopore dan macropore hampir merata. Berdasarkan karakteristik diatas maka activated carbon tempurung kelapa banyak digunakan untuk menjerap molekul-molekul kecil dari gas dan cairan. Activated carbon dari tempurung kelapa dan cangkang sawit diperkirakan paling sesuai untuk proses FGD (flue gas desulphurisation) tersebut.  

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...