Photo diambil dari sini |
Memasak adalah salah satu aktivitas penting manusia untuk mendapatkan makanannya sehingga menjadi hal penting pula untuk bisa diupayakan dengan baik. Termasuk bagian dari upaya itu adalah menjaga keberlangsungan bahan bakar, harga bahan bakar terjangkau, kesehatan hingga aspek lingkungannya. Saat ini sebagian besar bahan bakar untuk memasak di Indonesia adalah LPG tetapi kenyataannya LPG yang digunakan tersebut hampir 80% berasal dari import atau nilainya sekitar 60 trilyun. Pertamina sebagai produsen tunggal LPG di Indonesia saat ini pasokannya malah cenderung menurun. Padahal kebutuhan LPG terus meningkat. Kebutuhan LPG pada 2011 tercatat sebesar 4,35 juta ton. Kebutuhan ini terus meningkat tiap tahunnya hingga menembus dua kali lipat menjadi 8,55 juta ton pada 2021. Kondisi tersebut tentu tidak baik, karena membuat ketergantungan terhadap import, padahal di Indonesia ada sejumlah sumber daya yang bisa digunakan untuk mengatasi hal tersebut.
Berbagai hal berbasis potensi Indonesia untuk mengatasi hal tersebut antara lain penambahan kilang minyak baru sehingga produksi LPG bisa digenjot, gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME (Dimethyl Ether) yang karakteristiknya mirip LPG, ataupun menggunakan gas alam dengan jaringan pipa gas. Dari sisi kemandirian energi hal tersebut bisa dilakukan apalagi memang bahan bakunya cukup tersedia, tetapi dari sudut pandang bioekonomi dan dekarbonisasi (mengganti bahan bakar fossil ke energi terbarukan) yang juga semakin meningkat kecenderungannya, hal tersebut kurang sesuai. Energi terbarukanlah seharusnya yang semaksimal mungkin diupayakan sebagai solusinya. Wood pellet adalah bahan bakar atau energi terbarukan dari biomasa yang ideal untuk subtitusi LPG tersebut. Sebagai negara tropis maka Indonesia kaya akan biomasa karena matahari bersinar sepanjang tahun, sedangkan di negara sub-tropis ketika musim dingin tumbuh-tumbuhan berhenti tumbuh. Bahkan bisa dikatakan produsen terbesar biomasa adalah daerah tropis atau daerah yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga sebagai anugerah Allah SWT kita harus mensyukurinya.
Kompor wood pellet yang efisien dan rendah emisi adalah solusi terbaik. Mengapa bukan kompor biomasa saja? Mengapa limbah-limbah biomasa khususnya limbah-limbah kayu perlu diolah menjadi wood pellet terlebih dahulu? Dengan dibuat wood pellet maka selain bentuk dan ukuran seragam, kering, kepadatan tinggi, juga mudah dalam penyimpanan dan pemakaiannya. Bahkan pada musim penghujan bisa jadi sulit mencari kayu bakar kering di sejumlah daerah, dilain sisi wood pellet bisa sangat praktis digunakan. Jadi dengan produk yang standar sesuai spesifikasi tersebut di atas maka wood pellet akan menjadi bahan bakar padat superior dan terbarukan, sehingga kompor wood pellet akan bekerja dengan optimal. Sedangkan apabila bahan bakarnya dari sembarang biomasa dengan spesfikasi beragam maka performa kompor tidak optimal.
Bahan baku untuk produksi wood pellet bisa menggunakan limbah-limbah kayu dari penggergajian kayu (sawmill), industri-industri pengolahan kayu maupun limbah-limbah hutan. Limbah-limbah tersebut banyak belum termanfaatkan dan bahkan mencemari lingkungan tersebut menjadi bermanfaat dan bernilai ekonomi. Kapasitas produksi pabrik wood pellet juga perlu ditentukam sehingga sesuai kebutuhan penggunaanya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setingkat desa atau kecamatan pabrik wood pellet bisa dibangun dengan kapasitas 500-1000 ton/bulan.
Terkait pengurangan CO2 di atmosfer yang sejalan dengan dekarbonisasi dan bioekonomi, sejumlah perusahaan saat ini juga melakukan proyek karbon, yakni dengan membuat hutan konservasi sebagai media menyerap CO2 dari atmosfer (carbon sink) dengan mendapat kompensasi berupa carbon credit. Hutan konservasi tersebut dijaga sedemikian rupa sehingga proyek karbon tersebut sukses. Terjadinya deforestasi pada area hutan konservasi merupakan suatu hal yang harus dihindari. Untuk menghindari hal tersebut program kompor wood pellet bisa sebagai solusi. Masyarakat sekitar hutan konservasi yang menggunakan wood pellet untuk kompor-kompor masak mereka membuat kayu bakar tidak lagi digunakan dan deforestasi tidak terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar