Sabtu, 02 September 2017

Proyeksi Pasar Wood Pellet Sampai 2025 Dan Peluang Indonesia

Pembuatan proyeksi pasar akan sangat dibutuhkan bagi semua pihak yang terlibat dalam bisnis wood pellet khususnya para produsen wood pellet itu sendiri. Peningkatan atau pengurangan produksi bahkan menghentikan produksi bisa saja dilakukan apabila situasi dan kondisi menunjang hal tersebut. Sebuah proyeksi yang mampu menyajikan data akurat akan memudahkan pengambilan keputusan tersebut. Tingkat akurasi data yang presisi dan tajamnya analisis serta disajikan secara informatif dan atraktif membuat sebuah proyeksi begitu bernilai dan dijadikan referensi utama bagi semua pihak yang berkecimpung dan menekuni bisnis ini. Dibawah ini kami mencoba menyajikan proyeksi pasar wood pellet sampai 2025 yang dihimpun dari berbagai sumber dan pengalaman pribadi. Semoga menjadi proyeksi yang bermanfaat bagi pembaca.


Pasar wood pellet secara umum dikelompokkan menjadi dua, yakni industri dan pemanas. Sektor industri yakni pembangkit listrik, sedangkan sektor pemanas yakni pemanas ruangan dan boiler. Kualitas wood pellet sektor industri (industrial wood pellet) lebih rendah dibandingkan sektor pemanas (premium wood pellet). Kebutuhan wood pellet untuk industri biasanya sangat besar bahkan pengirimannya atau transportasinya menggunakan kapal dengan kondisi curah (bulk shipment) sedangkan untuk kebutuhan pemanas jumlahnya lebih kecil yang biasa dikemas dalam jumbo bag lalu disusun dalam kontainer. Perbedaan lainnya adalah untuk wood pellet sektor industri pemasarannya sangat terpengaruh pada kebijakan negara yang bersangkutan (policy driven) sedangkan wood pellet untuk pemanas sangat dipengaruhi oleh harga bahan bakar lainnya, seperti minyak bumi dan gas. Hal-hal diatas yang mendasari karakteristik pasar wood pellet.

Beberapa tahun terakhir pasar wood pellet secara global (baik sektor industri atau pemanas) terlihat tidak terlalu menggembirakan bahkan terjadi kelebihan di sejumlah tempat. Mengapa hal ini terjadi?  Pertama, karena sejumlah kebijakan untuk pemakaian wood pellet belum efektif dilaksanakan karena pembangkit-pembangkit listriknya belum selesai dibuat atau dalam tahap pembangunan, dan sejumlah pembangkit listrik juga masih dalam tahap ujicoba co-firing dengan wood pellet. Kedua, harga bahan bakar kompetitor yang murah, terutama minyak bumi yang bahkan mencapai harga 30 dollar per barrel-nya yakni pada awal 2016. Kondisi ini bahkan sampai menggeser posisi wood pellet sebagai bahan bakar termurah untuk sektor pemanas. Ketika harga minyak bumi lebih dari 63 dollar per barrel-nya diprediksi pasar wood pellet akan membaik. Dan yang ketiga, akibat perubahan iklim maka musim-musim dingin di Eropa tidak dalam beberapa tahun terakhir lebih hangat atau tidak sedingin waktu-waktu sebelumnya. Tentu kondisi ini juga mengurangi konsumsi wood pellet. Logikanya ketika kondisi diatas bisa berubah menjadi sebaliknya tentu pasar wood pellet akan membaik.
Berbagai kawasan dan negara memiliki karakteristik pasar tersendiri. Eropa pada umumnya menggunakan wood pellet baik untuk industri maupun pemanas, bahkan khususnya Italia menggunakan wood pelletnya sebagian besar untuk pemanas ruangan. Kompor-kompor wood pellet  (pellet stove) disana bahkan telah bisa dioperasikan dengan aplikasi pada smartphone atau gadget. Sedangkan pasar di Asia penggunaan wood pellet banyak untuk pemanas khususnya untuk boiler, pengeringan dan memasak tetapi sangat jarang untuk penggunaan pemanas ruangan. Dalam beberapa waktu ke depan penggunaan wood pellet di Asia akan didominasi untuk sektor industri yakni pembangkit listrik ketika pembangkit-pembangkit listrik di Jepang dan Korea bahkan China menggunakan wood pellet sebagai bahan bakarnya. Sedangkan untuk pasar Amerika terutama Amerika Serikat dan Kanada penggunaan wood pellet sebagian besar untuk sektor industri bahkan dalam beberapa tahun ke depan ada kecenderungan untuk ditingkatkan. Bagaimana dengan kondisi di Australia dan Afrika? Sejauh ini belum ada kebijakan yang jelas terkait biomass fuel khususnya wood pellet di kedua benua tersebut. Penggunaannya baru sebatas untuk pemanas serta porsinya masih kecil dan lebih kecil lagi untuk sektor industri pada pembangkit listrik.


Tahun 2020 adalah tahun penting untuk pasar wood pellet karena tahun tersebut sebagian besar pembangkit listrik yang dibangun sudah beroperasi termasuk sejumlah kebijakan bisa efektif karena ditunjang fasilitas-fasilitas pembangkit tersebut.  Tahun 2020 juga berarti saat dimulainya pasar wood pellet secara massif, karena kebutuhan wood pellet meningkat secara signifikan. Estimasi FutureMetrics   kebutuhan wood pellet pada tahun 2025 akan sebesar 30 juta ton, sedangkan RISI menuliskan estimasinya 50 juta ton pada tahun 2024 dan Viridis Energy menyatakan nilai bisnis ini akan mencapai 9 milyar dollar Amerika pada tahun 2020. Futuremetrics lebih detail juga memberikan analisa pasar di Kanada dan Jepang. Beberapa indikasi lain yang menambah akurasi analisis tersebut yakni Korea menginvestasikan 11,6 milyar dollar tahun 2016 untuk energi alternatifnya dan menurut Korea Forest Biomass Association hal tersebut akan meningkatkan import wood pellet-nya dari 1,5 juta ton pada 2015 menjadi 8,5 juta ton pada 2022. Untuk bisa menangkap peluang tersebut tentu perlu persiapan dari saat ini, terutama bagi para produsen wood pellet.

Dimanakah dan siapakah pengguna wood pellet terbesar saat ini? Inggris adalah pengguna wood pellet terbesar saat ini dengan tiga pembangkit listriknya, yakni Lynemouth, MGT dan Drax. Kebijakan setiap negara lebih unik dan spesifik dengan kondisi negara yang bersangkutan walaupun biasanya tetap mengacu pada kebijakan yang lebih makro, seperti terjadi di negara-negara kelompok Uni-Eropa. Dalam kebijakan bioeconomy Eropa mereka memiliki target untuk 21% listrik dan 20% pemanas berasal dari energi terbarukan, lalu setiap negara memiliki kebijakan sendiri yang mengacu pada kesepakatan bersama tersebut. Belanda dengan akan program co-firingnya, juga akan meningkatkan permintaan wood pellet, walapun masih belum jelas,  tetapi bila terlaksana hal tersebut akan meningkatkan permintaan wood pellet sebesar 3,5 juta ton/tahun. Begitu juga co-firing pada Langerlo di Belgia juga akan meningkatkan permintaan wood pellet juga.  Jepang dan Korea Selatan yang mencanangkan penurunan emisi CO2 telah memiliki peraturan terkait pemakaian biomass fuel khususnya wood pellet.

Produksi pellet Eropa pada tahun 2015 yakni 14,1 juta ton, sedangkan  konsumsinya mencapai 20,3 juta ton artinya kurang sejumlah 6,2 juta  ton. Pemakaian untuk sektor pemanas mencapai 10,3 juta ton, atau berarti  51% dari total konsumsi atau mengalahkan penggunaan pellet untuk industri  yakni pembangkit listrik seperti Drax. Apabila dianggap setiap rumah di  Eropa mengkonsumsi 2,5 ton pellet per tahun, berarti ada sekitar 4 juta  konsumen. Sedangkan 6 produsen pellet terbesar di Eropa yakni, Jerman ( 2  juta ton), Swedia (1,7 juta ton), Latvia (1,6 juta ton), Estonia (1,3  juta ton), Austria (1 juta ton) dan Prancis (1 juta ton). Dan untuk lebih  rinci negara-negara konsumen utama  pellet untuk sektor pemanas di Eropa  yakni Italia (3,1 juta ton), Jerman (2,3 juta ton), Denmark (1,8 juta  ton), Swedia (1,6 juta ton), Prancis (1 juta ton), dan Austria (0,9 juta  ton). Kompor pemanas (pellet stove) juga mengalahkan boiler. Italia  dengan 95% konsumsi pellet untuk stove, dan boiler hanya 5%, sedangkan  Jerman 60% wood pellet dengan kompor (stove) dan boiler mencapai 40%.
China sejauh ini belum jelas tentang kebijakan terkait biomass fuel-nya, baik potensi produksi maupun penggunaan wood pellet. Tetapi data bahwa kawasan hutan di China sangat terbatas sehingga akan kesulitan untuk produksi wood pellet dalam jumlah besar, tetapi limbah pertaniannya sangat berlimpah. Pellet dari limbah pertanian ini memiliki keterbatasan pada kualitasnya, yakni klorin yang tinggi yang korosif terhadap logam-logam pipa boiler dan silica bersifat abrasif. Agro-waste pellet atau pellet fuel dari limbah-limbah pertanian tersebut menjadi tidak bisa digunakan pada sistem pulverized, karena terutama masalah klorin, atau kalau pun bisa digunakan maka porsinya sangat kecil sehingga masalah-masalahnya bisa diminimalisir. Masalah lainnya suhu leleh abu yang rendah ( low melting ash) akan menimbulkan slag atau clinker yang dapat merusak peralatan pembakaran pada pembangkit tersebut. Sehingga agro-waste pellet tersebut bisa digunakan pada sistem non-pulverized seperti pembakaran dengan moving grate (chain grate) maupun gasifikasi. Walaupun selalu ada pasar untuk setiap pellet fuel, tetapi karena mayoritasnya pembangkit listrik yang ada saat ini menggunakan sistem pulverized sehingga perlu mengganti sistem tersebut untuk bisa menggunakan agro-waste pellet dan ini tentu saja tidak mudah, cepat dan murah. Hal tersebut juga membuat target mengurangi CO2 (Carbon Reduction) juga sulit dipenuhi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan wood pellet dan berarti perlu import yang sangat banyak. Kandungan silica tinggi pada limbah pertanian menjadi masalah terutama saat produksi atau pemelletan dan penggunaannya. Contoh limbah pertanian yang tinggi kandungan silica-nya adalah sekam padi. Masih menurut perhitungan FutureMetrics apabila dengan porsi co-firing wood pellet hanya 5% saja dan itupun dilakukan hanya oleh 16% dari pembangkit listrik batubara di China, maka itu sudah bisa menimbulkan permintaan wood pellet hampir 40 juta ton/tahun.


Potensi Indonesia cukup bagus untuk bisa menjadi salah satu pemain utama wood pellet dunia. Dengan iklim tropis, curah hujan tinggi, tanah subur, letak geografis cukup dekat dengan Jepang, Korea Selatan dan China serta luasnya lahan baik hutan tanaman industri (HTI) yang luasnya sekitar 80 juta hektar, polikultur dengan kebun sawit, maupun lahan-lahan tidur dan marjinal yang bisa digunakan untuk kebun energi. Mengapa menggunakan kebun energi untuk memasok bahan baku kayu-kayuan bagi produksi wood pellet tersebut? Hal ini karena dengan kebun energi pasokan bahan baku untuk pabrik wood pellet bisa dalam jumlah besar dan stabil untuk jangka waktu yang panjang, lebih detail untuk kebun energi bisa dibaca disini. Indonesia juga terkenal sebagai produsen terbesar CPO  atau minyak mentah sawit dengan produksi 23 juta ton/tahun, tetapi dengan monokultur dalam perkebunan luas maka perkebunan akan rentan terserang penyakit dan produksinya juga tidak optimal, untuk itu polikultur dengan kebun energi adalah solusi jitu, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Hutan-hutan tanaman industri yang jumlahnya juga jutaan hektar juga bisa dioptimalkan dengan kebun energi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk merancang produksi wood pellet dari kebun energi bisa dibaca disini.

Demikian juga lahan-lahan tidur, lahan marjinal hingga lahan kritis juga akan memberi manfaat yang besar dengan kebun energi tersebut. Satu hal lagi yakni konsumsi protein khususnya daging bagi masyarakat Indonesia juga masih perlu ditingkatkan karena berada dibawah konsumsi rata-rata dunia, yakni 16 gram/hari, sedangkan rata-rata dunia yakni 31 gram/hari. Peternakan domba besar bisa dibuat dengan menggunakan pakan daun-daun dari hasil panen kebun energi leguminoceae yang kaya protein juga rendah kandungan taninnya dan rerumputan dengan penggembalaan di kebun-kebun tersebut. Dedaunan yang kaya protein tersebut memiliki konversi yang tinggi menjadi daging domba, yang nanti daging tersebut ujung-ujungnya dimakan manusia. Protein ini sangat penting bagi tubuh karena berfungsi untuk pertumbuhan sel-sel dan domba-domba tersebut juga akan menjadi harta terbaik kita. Jangan sampai Indonesia hendak menggenjot produksi daging dengan peternakan tersebut, tetapi di satu sisi juga malah menggenjot import pakan ternak seperti jagung dan kedelai karena kurang ketersediaan pakan ternak di dalam negeri. Selain itu pakan ternak domba dengan rerumputan dan dedaunan akan membuat dagingnya memiliki rasio omega 6 terhadap omega 3 mendekati 1, sehingga akan menjadi the world healthiest food. Berbeda apabila ternak tersebut diberi pakan biji-bijian maka rasio omega 6 terhadap omega 3 besar, bisa lebih dari 10 dan ini juga kurang baik.

Apakah Indonesia juga akan bebas halangan untuk menjadi salah satu produsen terbesar wood pellet dunia tersebut? Jawabnya tentu saja tidak. Negara-negara besar produsen wood pellet seperti Kanada yang kaya biomasa kayu dari kehutanan juga tidak tinggal diam dan berusaha merebut dan memimpin pasar wood pellet dunia. Bahkan Kanada sudah mentargetkan Eropa dan Asia sebagai pasar wood pelletnya, yakni produksi wood pellet dari Kanada bagian barat untuk pasar Jepang dan Korea serta dari bagian timurnya untuk pasar Eropa. Sementara itu kebijakan dalam negerinya juga membutuhkan wood pellet karena dengan pan-Canadian climate deal mentargetkan pembangkit listrik yang bebas batubara pada 2030. Eropa masih menjadi tujuan pasar paling penting untuk export wood pellet  dari Kanada yang terhitung 80% volume exportnya. Dan hampir semua  ditujukan untuk sektor industri listrik, yakni di Inggris, Belgia dan  Belanda serta hanya sedikit untuk sektor pemanas di Italia. Melihat  peluang tentang kekurangan pasokan wood pellet di Eropa, sejumlah negara  di Eropa juga sudah mulai muncul sebagai produsen wood pellet pada 2016,  seperti Ukraina 360 ribu ton (ditambah 1 juta ton pellet fuel yang  terbuat limbah pertanian seperti jerami dari  batang gandum, dan kulit  biji bunga matahari/sunflower husk), Serbia (250 ribu ton), Kroasia (232  ribu ton), dan Slovenia (110 ribu ton). Estonia dan Latvia, dua negeri  kecil di Eropa juga mulai menjadi rival bagi Kanada. Sedangkan negara- negara lain di Eropa juga sudah mulai meningkatkan produksinya. Berapakah  produksi wood pellet Indonesia saat ini? Produksi wood pellet di  Indonesia relatif kecil kurang lebih baru sekitar 80 ribu ton per tahun sedangkan Malaysia sudah lebih banyak yakni sekitar 180 ribu ton per tahun dan  sebagian besar untuk pasar Korea yakni lebih dari 70% baik dari produsen Indonesia dan Malaysia. Sedangkan yang di export ke Jepang masih sangat kecil. Terakhir ada beberapa hal  yang perlu diperhatikan yakni, pertama bukti tentang keberlanjutan  (sustainibility), kedua kualitas, ketiga kekuatan dan kehandalan  finansial, dan yang keempat yakni harga yang kompetitif.

Selain Kanada, Amerika Serikat dan Eropa adalah produsen-produsen terbesar saat ini, sekaligus juga pengguna wood pellet dalam jumlah besar. Tetapi ada perbedaan diantara ketiganya, yakni Kanada mengeksport sebagian besar wood pelletnya, Amerika banyak menggunakan wood pellet didalam negeri, sedangkan Eropa masih membutuhkan sangat banyak wood pellet dari negara lain. Sementara itu juga ada sejumlah produsen wood pellet di Asia, lebih khusus di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Luas tanah di Indonesia dan berbagai kondisi yang mendukungnya membuat potensi untuk menjadi pemimpin untuk produksi wood pellet di kawasan Asia Tenggara sangat besar. Faktor lainnya adalah rendahnya target pemerintah Indonesia untuk energi biomasa dalam bauran energi nasional yang menurut Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 hanya 5% itupun pada tahun 2025, sehingga mayoritas produksi wood pellet bisa diarahkan ke pasar wood pellet yang besar seperti Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan apabila untuk pasar pemanas yang lebih terpengaruh harga energi atau bahan bakar kompetitor, bukan karena kebijakan atau regulasi, maka harga bahan bakar kompetitor seperti batubara, minyak bumi, gas bahkan kayu bakar akan menentukan jumlah konsumsi wood pellet di dalam negeri. Kondisi di Indonesia pada dasarnya juga mendukung untuk pasar wood pellet untuk pemanas baik untuk industri maupun rumah tangga yang biasa menggunakan LPG (propane), karena harga wood pellet jauh lebih murah ditinjau dari kandungan energinya. Sayang belum banyak yang menggarap pasar ini, hal ini karena ada beberapa faktor penghalang yakni keterbatasan pasokan wood pellet dan kompor-kompor masak yang praktis untuk sektor tersebut.

Kesimpulan : Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama wood pellet baik sebagai produsen maupun pengguna sekaligus. Hal tersebut didukung oleh sejumlah kondisi alamnya, luas tanah dan posisi geografisnya. Tetapi berhubung belum ada kebijakan yang jelas untuk penggunaan bahan bakar atau sumber energi wood pellet untuk pembangkit listrik dan kebijakan energi nasional berdasarkan Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 hanya mentargetkan 5% untuk energi biomasa dalam bauran energi (energy mix) terbarukan sehingga peran sebagai produsen wood pellet dengan mayoritas produknya untuk pasar export lebih menjadi prioritas. Kebun energi sebagai cara untuk menghasilkan bahan baku industri wood pellet dengan jumlah besar, berkesinambungan dan stabil serta potensi menghasilkan pangan berupa protein dari daging domba adalah pilihan terbaik.Perbaikan generasi untuk menuju peradaban yang gemilang untuk mencahayai dunia, salah satunya dengan pangan berupa daging yang halalan thoyyiban yakni sehat, lezat dan berkualitas dengan ketercukupan kandungan gizi berupa proteinnya.Pengembangan energi dengan produksi wood pellet yang berasal dari kayu-kayu di pepohonan dalam kebun energi juga sejalan dengan petunjuk Al Qur'an.

5 komentar:

  1. Barang kali butuh wood pelet dengan sekala besar hub 085777865117

    BalasHapus
  2. Cari buyernya yg susah..itu cuma analisa dan data statistik....siapalah pembeli nya??????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Spesifikasi seperti apa?
      Ada sertifikat FSC?

      Hapus
  3. Yang punya Stock Besar Wood Pellets Siap export. Hubungi Pak Daniel Tambing. WA:
    +62 896 8490 4616

    BalasHapus

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...