Sabtu, 23 September 2023

Produksi Wood Pellet Kapasitas Besar Berorientasi Export

Ketersediaan bahan baku dan penguasaan pasar adalah 2 hal mutlak yang utama yang harus dipenuhi sehingga usaha produksi wood pellet bisa berkelanjutan. Investasi untuk peralatan yang mahal tidak akan berguna apabila dua hal tersebut diatas tidak dipenuhi. Pada produksi wood pellet kapasitas besar kualitas peralatan produksi yang digunakan sangat penting. Tujuan produksi untuk mencapai kapasitas besar tersebut akan tercapai apabila dilakukan dengan proses produksi yang efisien dan aman sehingga biaya produksi rendah. Peralatan produksi yang mampu bekerja non-stop 24 jam, operasional dan perawatan mudah dengan performa yang baik adalah hal vital. Terkait bahan baku selain ketersediaan yang kontinyu, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan adalah konsistensi bahan baku dan logistik yang murah sampai lokasi pabrik wood pellet.  

Memetakan potensi bahan baku perlu dilakukan dengan baik, demikian juga pasar wood pellet tersebut. Bahan baku wood pellet dari satu jenis kayu (single material) tentu lebih mudah dibandingkan dengan bahan baku campuran (mixed material) dari beberapa jenis kayu. Hal tersebut terkait pada komposisi campurannya, yang tentu tidak menjadi masalah apabila bahan baku dari satu jenis kayu (single material) yang homogen. Untuk mengupayakan bahan baku yang homogen bisa dilakukan dengan pembuatan kebun energi, sedangkan pada bahan baku campuran bisa diambil dari beberapa sumber pengolahan kayu seperti penggergajian kayu dan sebagainya. Kebun energi bahan bisa multifungsi sehingga memberikan banyak manfaat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara produktivitas kayu untuk produksi wood pelletnya, fungsi lingkungan berupa menjaga erosi dan air tanah, dan volume kayu yang dipanen tidak boleh melebihi kecepatan tumbuhnya atau minimal sama (carbon balance) serta pemanfaatan produk samping untuk tambahan revenue seperti pemanfaatan daun untuk pakan ternak dan madu dari peternakan lebah.  

Sedangkan dari aspek pasar, sejumlah persyaratan juga perlu dipenuhi sehingga terjadi transaksi yang berkelanjutan. Selain faktor teknis berupa spesifikasi wood pellet dan volume produksi, faktor non-teknis seperti sumber bahan baku terkait keberlanjutan lingkungan juga sering dipersyaratkan saat ini. Pengguna-pengguna wood pellet di luar negeri terutama pembangkit listrik dalam upaya dekarbonisasi melalui program cofiring dengan batubara. Upaya dekarbonisasi yang berkelanjutan biasanya membutuhkan sertifikat lingkungan seperti FSC terkait sumber bahan baku yang digunakan tersebut. Hal tersebut untuk membuktikan mata rantai bahan bakar terbarukan khususnya wood pellet memang sesuai standar keberlanjutan lingkungan yang bisa diterima bersama. Negara tertentu ada yang memberlakukan kontrak panjang untuk pembelian atau pengadaan wood pellet mereka tetapi juga ada yang memilih kontrak-kontrak jangka pendek. Tipikal pembeli atau pasar wood pellet ini juga perlu menjadi perhatian penting tersendiri.    

Senin, 11 September 2023

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 6 : Subtitusi Clinker Pada Pabrik Semen

Subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) berperan besar pada upaya pengurangan emisi CO2 pada pabrik semen. Subtitusi clinker ini menempati peringkat kedua setelah penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya pengurangan emisi CO2 atau dekarbonisasi di industri semen tersebut. Hal tersebut karena emisi CO2 terbesar pada pabrik  semen bukan pada pembakaran atau terkait bahan bakar tetapi pada proses kalsinasinya. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, tetapi subtitusi clinker lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Pada industri semen semua penggunaan bahan bakar dan sekitar 60% penggunaan listrik digunakan untuk produksi clinker mulai dari menghaluskan bahan baku, persiapan bahan bakar dan kiln semen. Semakin tinggi rasio clinker terhadap semen (C/S) maka semakin tinggi juga penggunaan listrik dan bahan bakar untuk setiap ton semen yang diproduksi. Rasio clinker terhadap semen (C/S) bisa diperkecil apabila semakin sedikit clinker yang digunakan pada produksi semen atau semakin banyak bahan tambahan atau SCM yang ditambahkan ke dalam clinker tersebut. Hal itu juga berarti bahwa subtitusi clinker dengan SCM dapat mengurangi secara signifikan penggunaan energi (listrik dan bahan bakar) untuk setiap ton semen yang dihasilkan. 

China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,9. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.  SCM paling umum digunakan saat ini adalah fly ash, ground granulated blast-furnace slag  (GGBFS) dan batu kapur halus (ground limestone). Sedangkan SCM lain seperti pozzolan dan calcined clay berpotensi untuk digunakan pada masa mendatang. 

Fly ash berasal dari produk samping atau limbah dari PLTU batubara. Dekarbonisasi PLTU batubara juga terus dilakukan yakni dengan cofiring batubara dengan biomasa tetapi hal tersebut dilakukan secara bertahap sehingga produksi fly ash masih banyak sampai sementara waktu. Fly ash dari limbah PLTU batubara tersebut sangat bermanfaat pada produksi semen karena memperkecil rasio clinker terhadap semen (C/S) sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk produksi semen atau dengan kata lain mengurangi jejak karbon pada produk semennya. Sedangkan GGBFS berasal dari limbah pabrik besi dan baja. Tidak semua pabrik besi dan baja menghasilkan limbah GGBFS ini, hal tersebut karena tergantung jenis tungku / furnace yang digunakan. Hanya pabrik yang menggunakan blas furnace – basic oxygen furnace (BF – BOF) saja yang bisa menghasilkan GGBFS, sedang yang menggunakan electric arc furnace (EAF) tidak. Sekitar 70% pabrik besi dan baja di dunia saat ini menggunakan proses BF – BOF sehingga menghasilkan cukup banyak GGBFS, bahkan di China lebih dari 90% menggunakan proses BF – BOF ini. Dekarbonisasi pada industri besi dan baja ditandai dengan beralihnya BF – BOF ke EAF yang berakibat pada ketersediaan GGBFS. Tetapi proses berjalan pelan dan bertahap, sehingga untuk sementara waktu jumlah GGBFS akan tersedia dan bisa mengurangi jejak karbon pada produksi semen. 

Penggunaan fly ash pada produksi semen biasanya dibatasi 25-35% untuk alasan performa teknis. Sedangkan GGBFS dapat digunakan pada porsi lebih besar dibandingkan fly ash ataupun SCM lainnya. Bahkan standard Eropa membolehkan penggunaan GGBFS hingga 95% tetapi prakteknya lebih rendah. SCM yang lain yang biasa digunakan adalah pozzolan dan calcined clay.   Pozzolan berasal dari pertambangan yakni dari deposit di alam. Pozzolan membutuhkan pengeringan dan penghancuran (grinding) sebelum digunakan pada produksi semen. Listrik yang digunakan untuk menghancurkan (grinding) pozzolan juga hampir sama dengan penghancuran clinker. Lempung kalsinasi (calcined clay) juga bisa digunakan untuk subtitusi clinker ini. Pada penggunaan awal lempung kasinasi (calcined clay) dengan porsi lebih tinggi menyebabkan penurunan kekuatan tekan (compressive strength) pada produk semen yang dihasilkan. Tetapi perkembangan selanjutnya dengan dengan kombinasi atau campuran lempung kalsinasi dengan bubuk batu kapur, berpotensi untuk subtitusi hingga 50% subtitusi clinker tanpa berpengaruh pada kualitas semen. Lempung kalsinasi diproduksi dari proses kalsinasi lempung yang membutuhkan energi, tetapi energi yand dibutuhkan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan energi untuk produksi clinker. Diprediksi pada tahun 2050 oleh IEA (International Energy Agency) / WBCSD (World Business Council for Sustainable Development) produksi semen dengan bahan kombinasi di atas mencapai lebih dari 25% di seluruh dunia.  

Penggunaan SCM ternyata tidak hanya sebagai subtitusi clinker pada produksi semen tetapi juga pada produksi beton / concrete. Penggunaan SCM pada produksi concrete ini juga tidak kalah dengan subtitusi clinker bahkan di Amerika Serikat SCM sebagian besar ditambahkan selama produksi concrete dan bukan pada produksi semen. Sebuah studi di Amerika Serikat melakukan estimasi bahwa hanya 5% SCM ditambahkan pada produksi semen dan sekitar 13% pada produksi concrete-nya. Tetapi pada dasarnya penambahan SCM baik pada produksi semen maupun pada produksi concrete telah mengurangi jejak karbon atau sesuai dengan dekarbonisasi. Hal yang menjadi masalah adalah kurangnya edukasi terhadap manfaat SCM khususnya pada produksi concrete menjadi penghalang peningkatan penggunaan SCM tersebut. Faktor lain seperti ketersediaan SCM, harga dan kaitannya dengan kualitas semen serta bangunan juga menjadi penghalang yang sama. Pembuatan standar-standar dan kode-kode baru terkait untuk peningkatan penggunaan semen blended dengan SCM dan produksi concrete perlu dikembangkan untuk mentransformasi pasar saat ini.  

Minggu, 03 September 2023

Biochar untuk Meningkatkan Porositas Tanah Rusak dan Tanah Marjinal

Pada dasarnya bahan atau material berpori akan memiliki luas permukaan yang besar. Semakin banyak pori maka bahan tersebut akan memiliki luas permukaan yang semakin besar juga. Upaya memperbanyak pori atau memperluas permukaan tersebut bisa dilakukan dengan banyak hal tergantung dari tujuannya. Jenis pori juga berpengaruh pada luas permukaan total dan juga penggunaan atau aplikasi suatu bahan tersebut. Sebagai contoh bahan yang lebih banyak atau dominan dengan pori-pori mikronya (micropore) akan memiliki luas permukaan lebih besar dan memiliki kegunaan spesifik yang berbeda dengan bahan yang dominan dengan pori-pori sedang (mesopore) maupun pori-pori besar (macropore). Merancang bagaimana suatu bahan supaya dominan micropore, mesopore atau macropore bisa dilakukan yakni dengan pemilihan bahan baku dan teknologi prosesnya, sebagai contoh biochar yang dihasilkan dari pirolisis akan menghasilkan luas permukaan lebih besar bila dibandingkan biomasa awalnya yang belum diproses tersebut. 

Pada tanah terkait halnya pada penggunaan untuk pertanian atau budidaya tanaman, aspek porositas atau pori-pori tanah tersebut menjadi aspek penting. Hal tersebut terutama terkait pada retensi hara dan air serta aerasi tanah tersebut. Memperluas pori-pori tanah akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas tanah sehingga mendukung keberhasilan pertanian atau budidaya tanaman tersebut. Tanah yang mempunyai ruang pori lebih banyak akan mampu menyimpan air dan hara dalam jumlah banyak juga. Tanah yang memiliki pori berukuran kecil (micropore) dan sedang (mesopore) yang tinggi akan cenderung menahan air dan hara lebih kuat dibandingkan tanah yang mempunyai banyak pori berukuran besar (macropore). Dan jika terjadi penguapan atau pengunaan air oleh tanaman ataupun terjadi proses leaching pada unsur hara maka pori-pori besar (macropore) dahulu yang ditinggalkan oleh air dan hara tersebut menyusul pori-pori sedang (mesopore) dan mikro (micropore). 

Pemberian bahan organik berupa kompos ke tanah umumnya digunakan untuk membentuk ruang pori mikro (micropore) menjadi lebih banyak. Semakin ruang pori mikro (micropore) yang terbentuk maka tanah akan mempunyai daya lengas yang semakin meningkat. Bahan organik tanah tersebut mempunyai pori-pori yang lebih banyak dibandingkan partikel mineral tanah, yang berarti luas permukaan penyerapan juga lebih banyak. Pemberian bahan organik berupa kompos tersebut selain meningkatkan jumlah pori atau porositas tanah juga menurunkan berat volume. Bahan organik atau kompos tersebut merupakan sumber energi bagi aktivitas mikrobia tanah, menurunkan berat volume tanah, memperbaiki struktur tanah, aerasi dan daya mengikat air. Tanah dengan pori total tinggi seperti tanah lempung, cenderung mempunyai berat volume yang rendah sedangkan tanah dengan pori total rendah seperti tanah pasir (tekstur kasar), cenderung mempunyai berat volume yang tinggi.  

Selain meningkatkan pori total, pemberian kompos juga meningkatkan pH tanah yakni pada tanah pasir, dan tanah masam antara lain entisol, ultisol dan andisol serta mampu menurunkan Al tertukar tanah. Peningkatan pH disebabkan adanya proses perombakan kompos tersebut. Hasil perombakan tersebut akan menghasilkan kation-kation basa yang mampu meningkatkan pH atau pelepasan kation-kation basa dari kompos ke dalam tanah sehingga tanah jenuh dengan kation-kation basa. Proses pelapukan atau dekomposisi kompos tersebut akan membebaskan kation basa yang menyebabkan pH tanah meningkat.  

C-organik tanah juga akan meningkat dengan pemberian kompos tersebut dan N (nitrogen) total. Semakin banyak bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah, semakin besar peningkatan C-organik dalam tanah tersebut. Kompos dari kotoran hewan memiliki rasio C/N terendah dibandingkan kompos dari tanaman. Bahan organik yang memiliki kandungan lignin tinggi maka kecepatan mineralisasi N akan terhambat dan rasio C/N akan tinggi. Padahal suatu dekomposisi bahan organik lanjut dicirikan dengan rasio C/N yang rendah. Sedangkan rasio C/N yang tinggi menunjukkan bahwa dekomposisi belum berlanjut atau baru dimulai. Dalam proses tersebut terjadi penurunan karbon / C dan peningkatan nitrogen / N. 

Kebutuhan kompos di lahan marjinal seperti lahan pasir juga jauh lebih besar yakni bisa mencapai hampir dua kali lipat dibandingkan lahan biasa atau standar. Sedangkan kebutuhan pupuk kimia lahan marjinal biasanya lebih sedikit dibandingkan lahan biasa / standar. Idealnya dengan penggunaan pupuk kompos dengan dosis optimal akan mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan melestarikan lingkungan. 

Berbeda dengan kompos yang akan habis terdekomposisi, sebagai pembenah tanah, biochar bisa bertahan ratusan tahun di tanah. Biochar yang memiliki luas permukaan besar besar juga memiliki banyak pori mikro (micropore) yang meningkatkan porositas tanah seperti halnya kompos. Kondisi pirolisis adalah hal penting dalam menentukan kualitas biochar selain bahan baku biochar itu sendiri. Pada tanah tekstur kasar seperti lahan pasir, biochar akan memperbaiki retensi air dan hara karena pori-pori mikronya memperlambat keluarnya (slow velocity). Kualitas biochar ini berbanding lurus dengan kemujaraban (efficacy) treatment biochar. Sejumlah parameter terkait aplikasi biochar untuk perbaikan / treatment tanah juga mirip dengan kompos antara lain : soil carbon content and mineralization, soil micro-structural & aggregation, bioavailable nitrogen, serta microbial activity & diversity. Hampir semua biochar bukan pupuk sebagaimana kompos, lebih detail baca disini, sehingga inokulasi (charging) biochar sebelum aplikasi bisa dilakukan dengan mengisi pori-pori biochar dengan air yang mengandung unsur kimia atau microba spesifik. Hal ini akan menghasilkan efek positif yang cepat dibandingkan dengan biochar saja. Selain itu biochar juga untuk pengurangan karbondioksida (CO2) di atmosfer sebagai carbon sequestration. Hal ini sangat sejalan dengan masalah perubahan iklim dan global warming saat ini. 

Biochar adalah zat heterogen yang kaya dengan karbon aromatik dan mineral. Biochar dihasilkan dari proses pirolisis (proses dimana bahan organik terdekomposisi pada suhu antara 350 sampai 1000 C dengan kondisi minim atau tanpa oksigen yang terkontrol dengan baik dan banyak digunakan untuk pembenah tanah (soil amendment). Kandungan karbon untuk biochar harus diatas 50%, sedangkan apabila produk pirolisis bahan organik dengan kandungan karbon kurang dari 50% tidak masuk kategori biochar tetapi disebut sebagai pyrogenic carbonaceous material (PCM). Kandungan karbon organik dari arang pirolisis (pyrolysed char) berfluktuasi antara kisaran 5% dan 95%, tergantung pada bahan baku dan suhu proses yang digunakan. Sebagai contoh kandungan karbon dari pirolisis kotoran ayam sekitar 25%, sedangkan dari kayu-kayuan sekitar 85% dan tulang kurang dari 10%. Ketika menggunakan bahan baku kaya mineral seperti lumpur endapan (sewage sludge) atau kotoran binatang, maka produk-produk pirolisis tersebut akan mengandung abu yang tinggi sehingga total pori lebih kecil. 

Selain itu biochar juga harus memiliki molar rasio H/Corg kurang dari 0,7 dan molar rasio O/Corg harus kurang dari 0,4.  Molar rasio H/Corg adalah indikator tingkat karbonisasi (pirolisis)-nya dan oleh karena itu sangat terkait dengan stabilitas biochar, yang merupakan salah satu karakteristik terpenting dari biochar. Rasio tersebut berfluktuasi tergantung pada jenis biomasa yang digunakan dan kondisi proses produksinya. Nilai rasio yang melebihi 0,7 mengindikasikan non-pyrolytic char atau kondisi proes pirolisis yang tidak memadai.  Sedangkan rasio O/Corg juga digunakan untuk membedakannya dari produk-produk karbon lainnya.  Luas permukaan spesifik juga merupakan ukuran kualitas dan karakteristik biochar, dan juga sebagai nilai kontrol terhadap metode pirolisis yang digunakan. Walaupun luas permukaan kurang dari 150 m2/gram dalam kasus tertentu bisa digunakan tetapi lebih dipilih atau disukai apabila lebih dari 150 m2/gram.

Dengan karakteristik seperti di atas, kompos dan biochar serta pupuk kimia bisa digunakan bersamaan, bahkan pada proses pengomposan biochar juga bisa ditambahkan untuk mengurangi N organik yang lepas ke atmosfer. Selain pori-pori mikro tanah semakin banyak atau pori-pori total semakin besar, hara dari kompos maupun pupuk kimia juga akan semakin lepas lambat (slow release). Seberapa lepas lambat (slow release) pupuk tersebut bisa dirancang sedemikian rupa tergantung kebutuhan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Ketika biochar ini digunakan dengan baik maka hal tersebut akan bisa memaksimalkan produktivitas panen, memperbaiki kesuburan tanah dan meminimalisir dampak lingkungan. Empat hal perlu diperhatikan pada aplikasi biochar yakni sumber biochar yang tepat (right source), lokasi yang tepat (right place), dosis yang tepat (right rate) dan waktu yang tepat (right timing).  Tidak semua jenis tanah dan tanaman akan menghasilkan peningkatan panen dari aplikasi biochar, sehingga menjadi hal penting untuk mengetahui jenis tanah seperti apa yang menghasilkan peningkatan produktivitas tersebut. Peta tanah (soil map) bisa membantu untuk mengidentifikasikan jenis tanah yang berpotensi memberikan manfaat atau keuntungan dari aplikasi biochar tersebut. Para petani bisa berkonsultasi dengan konsultan pertanian ataupun profesional di bidang tersebut untuk membantu pemilihan dan aplikasi biochar. 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...