Tampilkan postingan dengan label produksi wood pellet. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label produksi wood pellet. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Juni 2025

Produksi Wood Pellet, Solusi Masalah Sampah Biomasa Kayu-Kayuan di Perkotaan

Pemilahan adalah 50% dari solusi untuk masalah sampah perkotaan. Pemilahan terbaik adalah di lokasi sampah itu dihasilkan seperti di rumah tangga di perumahan atau pemukiman warga. Dengan pemilahan maka pengolahan sampah selanjutnya akan jauh lebih mudah. Semakin baik pemilahan dilakukan maka semakin mudah pengolahan sampah tersebut bisa dilakukan. Keengganan masyarakat untuk memilah sampah membuat permasalahan sampah semakin pelik, rawan konflik sosial dan berlarut-larut. Walaupun sulit dan ribet, membudayakan pemilahan sampah harus terus dilakukan karena apabila tidak ditangani akan menjadi masalah lingkungan serius. Paradigma pengolahan sampah juga terus berubah sesuai kondisi, yakni terkait dampak lingkungan, ketersediaan tempat pembuangan sampah, jenis dan volume sampah, seperti dibawah ini.

Apabila sampah perkotaan bisa dipilah dan diolah dengan baik maka lingkungan akan bersih dan sehat. Sebagai contoh pemilahan tersebut misalnya sampah daun-daunan dibuat kompos, sampah organik dari dapur dan sisa makanan untuk pakan atau peternakan magot, sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya untuk produksi wood pellet, dan sampah plastik untuk dipirolisis sehingga menjadi BBM atau naphta.  Dan untuk bisa diolah dengan memadai maka volume sampah juga harus mencukupi dan kontinyu. Hal ini karena pengadaan unit untuk pengolahan sampah juga cukup mahal. Pengolahan sampah juga sebaiknya ter-desentralisasi, sehingga tidak menumpuk di satu tempat saja.  Kapasitas produksi skala kelurahan atau kecamatan kelihatannya cukup baik dan sesuai untuk pembuatan unit pengolahan sampah tersebut.

Diantara sampah perkotaan tersebut adalah sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya yang bisa digunakan untuk produksi wood pellet atau pellet kayu. Sampah kayu-kayuan tersebut bisa berasal dari pemangkasan dan penebangan pohon, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu-kayu yang menyumbat perairan seperti sungai. Penggunaan wood pellet atau pellet kayu tersebut bisa untuk memasak rumah tangga atau industri UMKM. Penggunaan wood pellet selain sebagai bahan bakar atau energi terbarukan yang ramah lingkungan, mudah penyimpanan dan penggunaan serta solusi mengatasi limbah biomasa dan mengurangi import LPG yang nilainya mencapai sekitar 63,5 trilyun setiap tahunnya.

Seiring inovasi yang terus dilakukan kompor-kompor masak berbahan bakar wood pellet semakin mudah digunakan, efisien, bersih dan aman. Bagi pemerintah daerah, produksi wood pellet dari sampah kayu-kayuan ini juga memberi banyak manfaat yakni sebagai solusi penanganan limbah tersebut, menciptakan lapangan kerja dan sosialisasi penggunaan energi terbarukan ramah lingkungan bagi masyarakat. Apabila hal ini sukses dilakukan maka ke depan pemanfaatan limbah-limbah kayu-kayuan tersebut bisa terus dikembangkan. 

Minggu, 02 Maret 2025

Taiwan, Pasar Baru Wood Pellet Asia

Setelah Jepang dan Korea menjadi pasar utama wood pellets di Asia selama bertahun-tahun, selanjutnya Taiwan diprediksi akan muncul sebagai tujuan baru pasar wood pellet di Asia. Hal ini karena kebijakan energi Taiwan mentargetkan 20% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025. Yakni dengan berfokus pada transisi energi dari batubara dan bahan bakar fosil lainnya ke sumber energi terbarukan termasuk biomasa, matahari dan angin untuk meningkatkan energi terbarukan dari 10% ke 20% pada 2025. Undang-undang penurunan dan pengelolaan gas rumah kaca (Greenhouse Gas Reduction and Management Act) mensyaratkan penurunan emisi karbon tahunan sebesar 20% pada 2030 dan 50% pada 2050, dibawah 2005 atau penurunan 53 juta ton ekuivalen CO2 pada 2030 dan 133 juta ton pada 2050. Hal tersebut juga bagian dari visi Taiwan bebas nuklir dan mendukung tujuan nasional untuk mencapai net-zero carbon emission pada 2050. Pengembangan energi terbarukan adalah implementasi terpenting untuk mencapai tujuan tersebut dan wood pellet menjadi prioritas utama. Taiwan akan mengimport wood pellet dalam jumlah cukup besar untuk mencapai sasaran produksi baru energi hijaunya. 

Kebutuhan wood pellet di Taiwan mencapai jutaan ton atau lebih detail perkiraannya adalah 1.7 juta ton per tahun khusus untuk Taiwan Power Company, yang segera akan dilaksanakan ketika kebijakannya diterapkan. Dan ada juga sejumlah pembangkit listrik independent yang menggunakan boiler batubara untuk menghasilkan listrik khususnya industri plastik, kilang minyak bumi dan pembuatan kertas. Saat ini energi terbarukan terhitung kurang dari 10% dari total output energi di Taiwan. Sedangkan pemerintah bertujuan memiliki 778 megawatts (MW) pembangkit listrik berbasis biomasa pada 2025, memungkinkan produksi sebanyak 4.1 milyar kWh.

Negara-negara produsen-produsen besar wood pellets dunia mengarahkan pandangannya ke Taiwan seperti Amerika Serikat, Vietnam dan Kanada. Vietnam bahkan telah menjadi produsen wood pellet terbesar kedua di dunia, dengan menggeser Kanada.  Dan secara nasional, eksport produk-produk kayu Vietnam lebih dari 70% merupakan adalah furniture dan  interior application, 7% untuk panel berbahan dasar kayu, 17% wood chip dan 5% untuk wood pellets. Dan untuk menghasilkan produk-produk tersebut, Vietnam juga mengimport kayu dalam jumlah besar dari lebih 114 negara dan 700 spesies / subspesies, sebesar $3.1 milyar dalam bentuk kayu gelondongan, kayu gergajian dan kayu lapis serta mengimport hampir 2 juta meter kubik kayu keras tropis.   

Pada dasarnya negara-negara produsen besar wood pellet berlomba-lomba ingin meyakinkan Taiwan sebagai pengguna atau pembeli wood pellets tentang kemampuan suplai, termasuk kuantitas dan kualitas, kehandalan logistik dan keberlanjutan pasokannya. Walaupun pasar Jepang dan Korea terus bertumbuh tetapi penetrasi ke pasar baru akan menambah para produsen tersebut. Bahkan di Jepang pembangkit listrik baru juga banyak dibangun sehingga kebutuhan wood pellet juga semakin besar. Selain itu peningkatan rasio cofiring pada pembangkit-pembangkit listrik di Jepang juga akan meningkatakan permintaan wood pellet. 

Dan secara global menurut Hawkin Wright, penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Indonesia tetap memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen wood pellet dunia karena potensi bahan baku yang bisa diupayakan, baik dari limbah-limbah industri kayu dan kehutanan maupun dari kebun energi. Dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dengan Taiwan (dibanding negara produsen wood pellet seperti Amerika Serikat dan Kanada) sehingga biaya logistik atau transportasi lebih murah, maka peluang untuk bersaing juga cukup besar. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia maka Indonesia nomer satu untuk itu. 

Senin, 10 Februari 2025

Masalah Pemanenan Kayu dari Kebun Energi Kaliandra dan Kandungan Kalium Tinggi Pada Abu Wood Pelletnya : Dua Hal yang Perlu Mendapat Perhatian

Faktor efisisensi produksi dan kualitas produk yang standar dan stabil menjadi mindset industri, tidak terkecuali untuk industri wood pellet dari kebun energi kaliandra. Operasional pemanenan kayu yang dilakukan secara manual membuat efisiensi produksi rendah. Kebutuhan harian yang tinggi untuk bahan baku wood pellet dari kebun energi membutuhkan alat mekanisasi untuk pemanenan kebun kaliandra tersebut. Sedangkan produk wood pellet kaliandra yang kadar abunya mengandung kalium yang tinggi juga membutuhkan treatment tertentu sehingga produk wood pelletnya memenuhi standar untuk pembangkit listrik pada umumnya. Stabilitas kualitas dan kuantitas produksi sangat terkait kualitas peralatan produksi yang digunakan. Dua hal tersebut harus menjadi perhatian penting bagi produsen wood pellet dari kebun energi kaliandra yang berkapasitas besar dan berorientasi export. 

Industri wood pellet dari kebun energi kaliandra adalah hal baru, sehingga belum banyak referensi sebagai rujukan. Sejarahnya atau cikal bakal industri ini berasal dari proyek Kementrian Kehutanan Republik Indonesia saat itu yang membuat industri skala inkubator sebagai percontohan untuk produksi wood pellet dari kebun energi kaliandra yang berlokasi di sekitar bukit Geger, Bangkalan, Madura, Jawa Timur sekitar 12 tahun lalu. Pada saat itu sebenarnya sudah ada beberapa industri wood pellet yang beroperasi tetapi semua pabrik atau industri wood pellet tersebut menggunakan bahan baku dari limbah-limbah industri perkayuan, seperti limbah industri penggergajian, limbah industri barecore, limbah industri kayu lapis dan sebagainya. 

Pohon kaliandra juga bukan tanaman yang baru dikenal oleh masyarakat. Pohon ini sudah banyak ditanam tetapi sebelumnya dengan tujuan berbeda yakni untuk penghijauan, untuk pakan ternak ataupun untuk peternakan lebah madu. Sedangkan untuk tujuan bioenergi atau produksi wood pellet, penanaman pohon kaliandra dalam bentuk kebun energi adalah sesuatu yang baru. Hal itulah mengapa pada tahap awal tersebut pemanenan kayu kaliandra masih dilakukan secara manual dan hal ini menjadi tidak efektif dan efisien pada perkebunan kapasitas besar. Selain itu produk wood pelletnya juga belum dianalisa atau diperiksa secara lengkap / komprehensif sehingga tingginya kandungan kalium / potassium (ash chemistry) pada abunya juga belum terdeteksi. Ketika persyaratan tentang kandungan maksimal dari kalium / potassium harus dipenuhi maka treatment khusus perlu dilakukan. 

Selain itu hal penting yang perlu diperhatikan adalah target jenis-jenis produk yang dihasilkan. Apabila kebun kaliandra tersebut tidak hanya menghasilkan kayu sebagai bahan baku produk wood pellet, tetapi juga mengolah daun untuk pakan ternak maka mekanisme pemanenan sangat berpengaruh. Daun dari kebun kaliandra tersebut juga harus bisa dipanen secara efektif dan efisien atau sama dengan produk kayunya. Hal ini bisa saja misalnya pohon dan daun dipanen bersamaan lalu dibawa ke suatu tempat dan dipisahkan untuk diolah masing-masing. Atau bisa juga produk kayu dan daun tersebut sudah dipisahkan pada saat pemanenan, selanjutnya masing-masing menuju ke unit pengolahan masing-masing. Peralatan yang digunakan juga pasti berbeda sesuai pilihan mekanisme pemanenan tersebut. Sedangkan untuk produk madu dari peternakan lebah yang memanfaatkan nektar kaliandra tidak terpengaruh dalam mekanisme ini, hal ini proses prduksi madu terpisah dan terkait dengan musim perbungaan pohon kaliandra itu sendiri.  

Seiring dengan trend dekarbonisasi dunia, maka prospek kebun kaliandra semakin cerah. Diprediksi akan banyak kebun kaliandra dibuat yang dimaksudkan terutama untuk produksi bioenergi seperti produksi wood pellet tersebut.dan ini sejalan dengan scenario carbon neutral yang mendukung program nett zero emission. Penggunaan wood pellet tersebut terutama untuk bahan bakar di pembangkit listrik batubara melalui mekanisme cofiring. Pada tahap selanjutnya bisa dimungkinkan penggunaan 100% bahan bakar pembangkit listrik tersebut menggunakan wood pellet tersebut (fulfiring). Kandungan kalium / potassium yang tinggi pada umumnya menjadi masalah pada aplikasi untuk pembangkit listrik ini, walaupun memang ada tipe pembangkit listrik yang secara teknis tidak mempermasalahkan kandungan kalium tersebut, tetapi produksi wood pellet dari kaliandra yang rendah kandungan kalium tentu lebih disukai.   

Minggu, 27 Oktober 2024

100% Complete Line Wood Pellet Machine or Mixed Line Wood Pellet Machine ?

Faktor berupa nilai tingginya nilai investasi untuk pembelian mesin produksi wood pellet (CAPEX) berkualitas tinggi sering menjadi kendala utama para calon produsen wood pellet. Dengan mesin berkualitas tinggi dari A-Z atau 100% complete line maka kendala produksi seperti kuantitas dan kualitas wood pellet biasanya akan dengan mudah bisa diatasi sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Hal ini karena dengan konfigurasi 100% complete line tersebut maka kualitas dan kehandalan mesin produksi sudah teruji dan disediakan oleh satu pabrikan misalnya suatu pabrikan merk tertentu dari Eropa. Disinilah bisa dikatakan perfoma atau kinerja mesin dengan biaya berbanding lurus sehingga diharapkan juga cost to benefit ratio sepadan sehingga bisnis tetap menguntungkan. Apalagi kebutuhan mesin wood pellet berkualitas tinggi terutama untuk produksi kapasitas besar sehingga faktor resiko kegagalan bisa dihindari dan diminimalisir.

Lalu bagaimana supaya performa mesin tercapai sehingga target produksi (kualitas dan kuantitas) juga tetap tercapai tetapi dengan nilai investasi (CAPEX) yang lebih murah ? Dengan kondisi seperti ini tentunya perlu suatu upaya modifikasi konfigurasi mesin produksi dari pabrikan lain yang kompatibel atau konfigurasi mixed line.  Sebagai konfigurasi campuran (mixed line) tentu perlu dianalisis bagian atau mesin mana yang harus tetap dipertahankan dengan kualitas terbaik dan mesin-mesin pendukung mana yang bisa menggunakan dari pabrikan lain. Mesin-mesin utama yang memiliki peran vital dari produksi wood pellet seperti pelletiser mestinya harus menggunakan mesin dengan kualitas tinggi sedangkan mesin-mesin pendukung lainnya bisa dengan kualitas lebih rendah atau fungsional saja sehingga menjaga performa target produksi pabrik wood pellet tersebut. Sehingga pada akhirnya bisa saja komposisi atau konfigurasi campuran (mixed line) tersebut yakni 20% mesin Eropa dan 80% mesin Asia dan sebagainya. 

Faktanya memang tidak mudah menemukan pabrikan mesin lain yang kompatibel tersebut terutama faktor rancangan, dan kualitas mesin termasuk performa dan durabilitasnya. Hal ini sehingga perlu mempertimbangkan tentang track record atau success story pabrikan mesin pendukung tersebut. Apabila pabrikan mesin pendukung tersebut sudah ada pengalaman serupa sebelumnya maka hal ini akan lebih baik tetapi jika belum maka faktor resiko kegagalan akan semakin besar. 

Dalam beberapa kasus nyata dalam produksi wood pellet yakni pelletiser sudah menggunakan merk Eropa yang sudah terbukti kualitas performanya tetapi mesin pendukung yang tidak kompatibel sehingga target produksi tidak tercapai, misalnya sebuah pelletiser tersebut membutuhkan input/feeding sawdust kering 3 ton/jam tetapi output dari mesin pengering (rotary dryer) yang menjadi input/feeding ke pelletiser kurang dari itu atau hanya sekitar setengahnya. Jadi untuk bisa mendapatkan harga mesin produksi kapasitas besar dengan performa yang diharapkan sehingga target produksi bisa tercapai dengan investasi (CAPEX) yang “murah” memang tidak mudah tetapi itu mungkin diusahakan dan sudah ada beberapa success story yang membuktikannya.  

 

Rabu, 02 Oktober 2024

Mendorong Industri Permesinan Untuk Mendukung Industri Bioenergi

Ketika menyadari bahwa Indonesia adalah “surga” biomasa sehingga potensial menjadi pemimpin dunia di bioenergi maka semestinya sejumlah upaya dilakukan untuk mendukung hal tersebut. Peralatan atau mesin produksi adalah salah satu komponen yang mendukung hal tersebut. Sebagai contoh produksi wood pellet kapasitas besar biasa mengandalkan mesin-mesin Eropa yang terbukti handal sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Analisis cost to benefits ratio digunakan dalam pemilihan mesin-mesin Eropa tersebut. Tetapi karena membeli mesin Eropa dengan lini produksi lengkap (complete line) mahal maka penggunaan mesin kombinasi menjadi alternatif. Kompleksitas dan jantung dari suatu proses produksi biasanya terletak hanya pada alat utama dan ini yang masih import, sedangkan alat-alat pendukung semestinya bisa dengan peralatan produksi lokal. 

Ketika peralatan produksi bisa bekerja sesuai kapasitas dan fungsinya maka target produksi (kuantitas dan kualitas) akan bisa tercapai. Memilih sejumlah perlatan pendukung yang sesuai dan mampu beroperasi sesuai kebutuhan alat utama bukan hal yang mudah. Mendapatkan partner produsen mesin lokal untuk mendapatkan kecocokan antara karakteristik mesin utama dan mesin pendukung memang perlu waktu dan proses. Tetapi untuk bisa berperan dan mengurangi resiko dalam era dekarbonisasi maka bisa dimulai dengan mendukung beberapa peralatan pada kapasitas kecil atau terbatas pada alat-alat tertentu saja. Faktor rekayasa dan desain menjadi faktor utama yang penting sebelum fabrikasi peralatan-peralatan mendukung tersebut. 

Tentu saja apabila sejumlah faktor pendukung terpenuhi seperti penguasaan iptek, pengalaman, organisasi perusahaan yang baik dan sebagainya maka produksi 100% peralatan produksi atau complete line bisa dilakukan. Hal itu tentu butuh waktu dan upaya yang tidak sederhana, seperti mempertahankan performa kualitas produk mesinnya sehingga memberi kepuasan bagi pengguna dengan harapan performa bisnis juga meningkat dan riset berkelanjutan. Dan dengan secara bertahap menjadi bagian untuk ikut aktif di berbagai proyek bioenergi maka penguasaan teknologi melalui transfer teknologi juga memungkinkan terjadi. Menjadi bagian solusi dan berperan di dalamnya adalah hal penting dilakukan termasuk pada industri permesinan yang mendukung industri bioenergi tersebut.   

Jumat, 26 April 2024

Beli Wood Pellet atau PKS (Palm Kernel Shell) ?

Kebutuhan bahan bakar biomasa sebagai upaya dekarbonisasi karena merupakan bahan bakar terbarukan yang netral karbon semakin meningkat. Dua bahan bakar biomasa yang populer di dunia dan bersaing ketat yakni wood pellet dan cangkang sawit (PKS / palm kernel shell). Pada kondisi biasa atau tidak terjadi lonjakan permintaan harga wood pellet biasanya lebih mahal dibandingkan PKS. Hal ini bisa dimaklumi karena produksi wood pellet membutuhkan upaya lebih dibandingkan PKS. Produksi wood pellet membutuhkan sejumlah peralatan dengan investasi yang mahal, sedangkan PKS hanya membutuhkan minim peralatan yakni hanya mesin screening / ayakan saja.  

Tetapi bagaimana jika harga wood pellet dan PKS hampir sama atau bahkan PKS malah lebih mahal ? Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor yakni pertama, pengaruh permintaan pasar. Tingginya permintaan pasar khususnya PKS dari Indonesia dan Malaysia membuat suplai berkurang atau tidak memadai.  Produksi PKS di Indonesia dan Malaysia memang jauh lebih besar dibandingkan produksi wood pellet dari kedua negara tersebut. Selain volume produksinya lebih besar, faktor berupa ketersediaan dan kontinuitasnya (keamanan suplai jangka panjang) lebih bisa dijamin dibanding wood pellets. Hal ini karena diperkirakan ada 1500 pabrik sawit di Indonesia dan Malaysia yang menghasilkan PKS tersebut yang merupakan produk samping atau limbah pabrik sawit tersebut. Hal ini memungkinan terjadinya kontrak panjang antara penjual atau suplier (exporter) dengan pembeli yang biasanya bukan end user tetapi perusahaan dagang (trading company) di Jepang dan Korea. 

Loading PKS untuk export dengan transhipment (ship to ship)

Faktor kedua adalah pungutan dan pajak (tax & levy). Export PKS di Indonesia dikenakan pungutan dan pajak yang nilainya berkorelasi dengan harga minyak mentah sawit. Hal ini karena PKS di Indonesia dimasukkan dalam kategori produk turunan sawit sedangkan di Malaysia tidak dikenakan pungutan dan pajak tersebut, karena PKS di Malaysia dimasukkan ke dalam kategori limbah sawit. Ketika pungutan dan pajak tersebut sedang tinggi, maka otomatis harga PKS juga akan menjadi mahal. Faktor pungutan dan pajak ini adalah hal yang tidak bisa dikontrol oleh para exporter PKS. Melalui organisasi APCASI (Assosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia) mereka memperjuangkan supaya pungutan dan pajak lebih terukur atau lebih murah bahkan kalau bisa ditiadakan seperti di Malaysia. 

Pada dasarnya pembeli akan membeli barang sebagus mungkin dengan harga semurah mungkin, atau barang berkualitas lebih baik tetapi harga lebih murah. Kualitas wood pellet lebih baik dibandingkan PKS yakni dalam hal nilai kalor, kadar abu, keseragaman bentuk serta kadar air. Tetapi  karena faktor volume dan kontinuitasnya (keamanan suplai jangka panjang) yang sering atau masih banyak diragukan sehingga pilihan ke PKS tetap dilakukan. Untuk mengatasi hal tersebut maka produksi wood pellets harus memenuhi kapasitas produksi dengan sumber pasokan bahan baku yang bisa diandalkan. Produksi wood pellet dari kebun energi adalah solusinya. 

Dengan bahan baku kayu dari kebun energi sehingga pasokan bahan baku akan lebih stabil, tidak seperti halnya yang mengandalkan dari mengumpulkan limbah-limbah kayu dari penggergajian kayu (sawmill) atau industri-industri pengolahan kayu. Dengan luas hutan produksi Indonesia mencapai puluhan juta hektar tentu lahan bukan menjadi persoalan dalam produksi wood pellet tersebut. Sentra-sentra produksi wood pellet tersebut bisa dibuat di lahan-lahan hutan produksi tersebut, untuk lebih detail bisa baca disini.   

Minggu, 04 Februari 2024

Menghidupkan “Baterai Hijau” Indonesia

Dengan posisi di khatulistiwa sehingga beriklim tropis maka pancaran sinar matahari akan diterima sepanjang tahun. Energi dari sinar matahari tersebut seharusnya bisa dimanfaatan secara optimal pada era dekarbonisasi saat ini. Supaya energi matahari tersebut bisa dimanfaatkan kapan saja, maka energi tersebut harus disimpan. Hal tersebut seperti mekanisme baterai dalam menyimpan energi, sehingga energi tersebut tidak lewat dan hilang begitu saja. Menyimpan dan mengubah energi matahari tersebut telah dilakukan secara alami sejak kehidupan ini ada yakni dalam biomasa tumbuhan. Dengan photosintesis pada tanaman, energi matahari dengan air dan CO2 diubah menjadi biomasa dalam bentuk kayu, buah, daun dan berbagai bagaian tumbuhan tersebut serta O2 untuk kita bernafas. Energi matahari tidak lewat dan hilang begitu saja tetapi tersimpan dalam tumbuhan tersebut sebagai sumber energi atau “baterai” yang bisa dimanfaatkan kapan saja.

Dengan paradigma tersebut tentu upaya memaksimalkan penyimpanan energi dalam “baterai hijau” tersebut harus dimaksimalkan sebagai upaya menuju bahan bakar rendah atau netral karbon. Dengan luas daratan juga terbesar di Asia Tenggara tentu upaya memaksimalkan “baterai hijau” menjadi lebih penting dan strategis. Pemanfaatan tipe fast growing species dan short rotation coppice akan sangat cocok dalam mengubah dan menyimpan energi matahari tersebut. Apalagi pada daerah beriklim tropis panen kayu tersebut juga lebih cepat dibandingkan pada negara sub-tropis atau daerah dingin, dikarenakan melimpahnya energi pancaran matahari tersebut. 

Luas tanah potensial untuk membuat “baterai hijau” tersebut sangat besar yakni mencapai puluhan juta hektar. Ditambah lagi lahan reklamasi yang mencapai jutaan hektar juga, lebih detail bisa dibaca disini. “Baterai hijau” tersebut berupa kebun energi yang kayunya dimanfaatkan untuk produksi wood pellet. Dalam bentuk produk wood pellet tersebut maka energi biomasa menjadi lebih mudah disimpan, dan digunakan kapan saja. Tidak seperti pembangkit listrik tenaga matahari atau angin ataupun air yang intermittent, bahan bakar biomasa berupa wood pellet tidak seperti itu. Penggunaannya bisa sesuai permintaan dan target yang dikehendaki, sehingga lebih praktis dan bisa diandalkan. Alasan mengapa “baterai hijau” berupa kebun energi tersebut belum berkembang bisa dibaca disini

Selain “baterai hijau” dari kebun energi, “baterai hijau” juga bisa berasal dari hutan produksi pada umumnya. Pada hutan produksi tersebut, produk utamanya kayu yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti kayu bangunan, mebel, plywood, flooring dan sebagainya. Limbah industri kayu tersebut yang selanjutnya digunakan untuk produksi wood pellet tersebut. Produksi wood pellet pada dasarya harus menggunakan limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu seharga kayu limbah seperti kayu dari kebun energi, sehigga industri wood pellet ekonomis dan menguntungkan. Diperkirakan ada limbah-limbah kayu sebanyak 25 juta ton/tahun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi wood pellet tersebut. Dan khusus dari industri plywood saja limbah kayu diperkirakan mencapai 5 juta ton setiap tahunnya.  

Estimasi industri kayu Indonesia sebenarnya bisa dioptimalkan hingga kapasitas produksi mencapai 91 juta meter kubik per tahun, tetapi realisasi pada 2022 industri hasil hutan ini hanya mampu memproduksi 42,19 juta meter kubik per tahun atau sekitar 48,7% dari kapasitas optimumnya. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya realisasi industri perkayuan tersebut ada 3 faktor yakni, efisiensi industri perkayuan, masalah terkait dengan bahan baku dan ketersediaan pasar.

Riset tentang baterai terus berlanjut seiring trend dekarbonisasi global dan transisi energi menjadi keniscayaan untuk mencapai target dekarbonisasi tersebut. Baterai berkapasitas besar sehingga energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan seperti angin dan matahari bisa disimpan menjadi target riset tersebut. Riset tersebut memakan biaya besar sekaligus waktu yang lama, diperkirakan 20 atau 30 tahun ke depan, baterai kapasitas besar tersebut baru akan tersedia. Sedangkan saat ini sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar fossil khususnya batubara. Upaya transisi energi pada pembangkit listrik tersebut bisa dilakukan dengan subtitusi batubara ke wood pellet tersebut. Apalagi sebagai daerah tropis maka energi biomasa seperti bisa tetap sebagai energi utama pada era nir-karbon masa depan. 


“Baterai hijau” Indonesia harus diaktifkan dan dikembangkan, karena selain fungsinya sebagai sumber energi, “baterai hijau” tersebut juga sebagai penyimpan CO2 atau carbon sink. Selama jumlah kayu yang dipanen lebih kecil atau maksimal sama dengan pertumbuhan kebun energi atau “baterai hijau” tersebut maka banyaknya CO2 yang terserap tanaman tidak berkurang atau CO2 yang lepas ke atmosfer tidak bertambah, demikian juga dengan hutan produksi pada umumnya. Ketika pada umur tertentu pertumbuhannya akan jenuh dan mulai menurun dalam penyerapan CO2, artinya hutan tersebut tidak bisa secara permanen menyimpan CO2 dalam volume tetap, sehingga perlu regenerasi / replanting. Sedangkan pada kebun energi karena karakteristik spesies tanamannya maka regenerasi / replanting tidak perlu setiap kali panen, tetapi bisa puluhan tahun kemudian. Dan lebih lanjut penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) pada pembangkit listrik yang telah menggunakan 100% bahan bakarnya dari wood pellet tersebut maka berarti CO2 yang dihasilkan tidak lepas ke atmosfer atau merupakan carbon negative, yang mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer. 

Sabtu, 23 September 2023

Produksi Wood Pellet Kapasitas Besar Berorientasi Export

Ketersediaan bahan baku dan penguasaan pasar adalah 2 hal mutlak yang utama yang harus dipenuhi sehingga usaha produksi wood pellet bisa berkelanjutan. Investasi untuk peralatan yang mahal tidak akan berguna apabila dua hal tersebut diatas tidak dipenuhi. Pada produksi wood pellet kapasitas besar kualitas peralatan produksi yang digunakan sangat penting. Tujuan produksi untuk mencapai kapasitas besar tersebut akan tercapai apabila dilakukan dengan proses produksi yang efisien dan aman sehingga biaya produksi rendah. Peralatan produksi yang mampu bekerja non-stop 24 jam, operasional dan perawatan mudah dengan performa yang baik adalah hal vital. Terkait bahan baku selain ketersediaan yang kontinyu, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan adalah konsistensi bahan baku dan logistik yang murah sampai lokasi pabrik wood pellet.  

Memetakan potensi bahan baku perlu dilakukan dengan baik, demikian juga pasar wood pellet tersebut. Bahan baku wood pellet dari satu jenis kayu (single material) tentu lebih mudah dibandingkan dengan bahan baku campuran (mixed material) dari beberapa jenis kayu. Hal tersebut terkait pada komposisi campurannya, yang tentu tidak menjadi masalah apabila bahan baku dari satu jenis kayu (single material) yang homogen. Untuk mengupayakan bahan baku yang homogen bisa dilakukan dengan pembuatan kebun energi, sedangkan pada bahan baku campuran bisa diambil dari beberapa sumber pengolahan kayu seperti penggergajian kayu dan sebagainya. Kebun energi bahan bisa multifungsi sehingga memberikan banyak manfaat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menjaga keseimbangan antara produktivitas kayu untuk produksi wood pelletnya, fungsi lingkungan berupa menjaga erosi dan air tanah, dan volume kayu yang dipanen tidak boleh melebihi kecepatan tumbuhnya atau minimal sama (carbon balance) serta pemanfaatan produk samping untuk tambahan revenue seperti pemanfaatan daun untuk pakan ternak dan madu dari peternakan lebah.  

Sedangkan dari aspek pasar, sejumlah persyaratan juga perlu dipenuhi sehingga terjadi transaksi yang berkelanjutan. Selain faktor teknis berupa spesifikasi wood pellet dan volume produksi, faktor non-teknis seperti sumber bahan baku terkait keberlanjutan lingkungan juga sering dipersyaratkan saat ini. Pengguna-pengguna wood pellet di luar negeri terutama pembangkit listrik dalam upaya dekarbonisasi melalui program cofiring dengan batubara. Upaya dekarbonisasi yang berkelanjutan biasanya membutuhkan sertifikat lingkungan seperti FSC terkait sumber bahan baku yang digunakan tersebut. Hal tersebut untuk membuktikan mata rantai bahan bakar terbarukan khususnya wood pellet memang sesuai standar keberlanjutan lingkungan yang bisa diterima bersama. Negara tertentu ada yang memberlakukan kontrak panjang untuk pembelian atau pengadaan wood pellet mereka tetapi juga ada yang memilih kontrak-kontrak jangka pendek. Tipikal pembeli atau pasar wood pellet ini juga perlu menjadi perhatian penting tersendiri.    

Senin, 06 Maret 2023

Mengembangkan Sentra Produksi Wood Pellet di Indonesia

Lahan yang luas dan beriklim tropis dengan sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan tinggi adalah anugerah Allah SWT yang membuat Indonesia seharusnya menjadi sentra biomasa dunia. Produk-produk berbasis biomasa seperti energi dan pakan ternak sangat relevan pada era bioeconomy yang diprediksi akan menjadi trend dunia tidak lama lagi. Optimalisasi potensi harus dilakukan apalagi memang sudah sangat sejalan dan relevan dengan trend dunia (dekarbonisasi & sustainibility) pada umumnya dan kondisi spesifik nasional Indonesia pada khususnya. Di lain sisi kita bisa melihat sejumlah negara yang mayoritas ekonominya bergantung pada energi fosil khususnya migas seperti Arab Saudi dan Qatar atau negara teluk pada umumnya harus memutar haluan untuk berjuang mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya alam tersebut. Upaya untuk realisasi /implementasi dan akselerasi seharusnya segera dilakukan, walaupun sebenarnya sedikit terlambat dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya khususnya Vietnam, untuk lebih detail bisa dibaca disini, tetapi mengingat potensi dan arah ekonomi dunia mendatang, tentu selain mendesak juga penting untuk dilakukan. 

Sebagai referensi pengembangan industri wood pellet di Indonesia, kita bisa ambil contoh negara di Amerika Utara yakni Kanada khususnya di provinsi British Columbia. Provinsi tersebut memiliki konsentrasi tertinggi atau paling banyak terdapat pabrik wood pellet, yang diperkirakan mencapai sekitar 70% dari produksi negara tersebut. Dari penelitian yang dilakukan didapat bahwa 85% sumber bahan baku wood pellet yang digunakan adalah limbah sawmill/penggergajian kayu dan 15% sisanya berupa limbah hutan. Dan dari limbah hutan tersebut bisa dirinci lagi menjadi 11% kayu bulat kualitas rendah dan 4% tanaman semak. Jadi semua bahan baku yang digunakan di provinsi tersebut menggunakan limbah-limbah kayu yang dihasilkan dari sawmill / penggergajian kayu dan sisa-sisa dari hutan. Produksi wood pellet pada dasarnya memang harus menggunakan bahan baku dari limbah-limbah kayu ataupun kayu yang seharga kayu limbah. 

Dengan pemanfaatan limbah-limbah tersebut maka selain mengatasi pencemaran lingkungan bahkan operasional sawmill / penggergajian kayu menjadi zero waste, juga memberi tambahan pendapatan atau keuntungan ekonomi yang nilainya cukup besar. Limbah-limbah hutan di Indonesia seperti dari perkebunan akasia potensial dijadikan untuk produksi wood pellet tersebut. Sebagai contoh dengan perkebunan akasia, apabila setiap satu hektar dihasilkan 20 ton limbah kayu akasia, maka dengan luasan 20.000 hektar sudah dihasilkan 400.000 ton limbah kayu akasia. Luasan 20.000 hektar perkebunan akasia bukanlah sesuatu yang terlalu besar, hal ini karena ada sejumlah pemegang konsesi HTI (hutan tanaman industri) yang luasnya mencapai ratusan ribu hektar, sehingga volume limbah kayu yang dihasilkan juga sangat besar. Hutan atau kebun akasia di Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta hektar dan hampir semua hutan akasia tersebut untuk menyuplai pabrik pulp and paper. Setiap pabrik pulp and paper selalu memiliki hutan akasia dengan luasan ribuan hektar untuk memenuhi pabrik pulp and paper tersebut. Kayu akasia dengan diameter minimal 8 cm digunakan sebagai bahan baku tersebut, sedangkan yang memiliki diameter lebih kecil dari itu hanya sebagai limbah saja. Setelah pohon ditebang selanjutnya dilakukan penanaman baru (replanting). 

Produk-produk kayu berasal dari bagian-bagian pohon yang berbeda, setiap pohon memiliki potensi unik, tergantung sejumlah faktor diantaranya diameter dan kelurusan dari batang.Pada pohon akasia diameter batang adalah parameter utama.
Demikian juga pada industri penggergajian kayu, selain limbah berupa serbuk gergaji / sawdust, limbah kayu seperti potongan kayu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi wood pellet tersebut. Setiap tahap proses industri sawmill / penggergajian kayu akan menghasilkan limbah kayu, dengan bentuk bervariasi, ukuran, jumlah dan penggunaan. Estimasi limbah kayu dihasilkan dari sawmill / penggergajian kayu sekitar 40%. Faktor-faktor seperti ketrampilan pekerja, pengalaman operator, kondisi peralatan dan bentuk kayu berpengaruh terhadap limbah kayu yang dihasilkan. Berdasarkan pada prosentase limbah di atas, sawmill yang mengolah 1000 m3/bulan kayu bulat (log) akan menghasilkan total sekitar 400 m3/bulan limbah kayu. Rincian lebih detail seperti tabel dibawah ini :


 

Kebun energi adalah opsi lain bahkan merupakan opsi ideal untuk produksi wood pellet tersebut. Hal ini karena volume besar dan ketersediaannya bisa lebih terjamin, daripada mengumpulkan limbah-limbah kayu tersebut. Dengan kebun energi tersebut akan didapat bahan baku berupa kayu yang harganya seharga kayu limbah. Ribuan hingga puluhan ribu hektar kebun energi bisa dibangun untuk maksud tersebut. Selain kayu yang merupakan produk utama kebun energi tersebut, produk samping yang nilainya juga tidak kecil yakni dari daun untuk pakan ternak dan madu untuk peternakan lebah. Optimalisasi pemanfaatan seluruh pohon tersebut akan memberi nilai tambah maksimal dari pemanfaatan lahan tersebut. Daerah-daerah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua bisa menjadi sentra produksi wood pellet seperti provinsi British Columbia di Kanada tersebut.  

Senin, 26 Juli 2021

Akankah Produksi Wood Pellet Indonesia Mengalahkan Vietnam ?

Produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.  

Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet. 

Vietnam adalah pengeksport mebel kayu terbesar ke Amerika Serikat melampaui China. Pada tahun 2020 export mebel kayu Vietnam ke Amerika Serikat mencapai lebih dari USD 7,4 milyar atau naik 31% dibandingkan tahun 2019. Sedangkan China mengeksport mebel kayu senilai USD 7,33 milyar pada 2020. Walaupun perbedaan hanya kecil tetapi hal tersebut membuktikan tentang pertumbuhan industri mebel kayu yang terus tumbuh di Vietnam.  Sedangkan export mebel dan kerajinan Indonesia menurut HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) pada tahun ini diperkirakan bisa mencapai USD 2,75 sampai 3 milyar. Bahkan menurut Abdul Sobur president HIMKI, industri mebel dan kerajinan ini adalah sektor industri penting dan telah menjadi pilar dalam era pandemi saat ini. Dengan luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km persegi atau lebih dari 5 kali Vietnam maka potensi Indonesia mengembangkan industri wood pellet sangat potensial bagi Indonesia. Selain memanfaatkan limbah biomasa dari industri mebel dan kerajinan tersebut,industri pengolahan kayu, dan limbah-limbah hutan, kebun energi juga sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Salah satu kelebihan Vietnam dibanding Indonesia adalah posisinya yang lebih dekat dengan Korea dan Jepang sehingga biaya transport wood pellet ke pembeli atau pengguna lebih murah. 

Dengan luas daratannya tersebut Indonesia sangat potensial mengembangkan kebun energi untuk produksi wood pellet yang masif. Bahkan kebun energi tersebut bisa dibuat dari lahan bekas tambang batubara yang luasnya mencapai sekitar 8 juta hektar, untuk lebih detail baca disini. Walaupun saat ini produksi wood pellet Indonesia masih berkisar 100-200 ribu ton/tahun atau seperti produksi wood pellet Vietnam tahun 2012 tetapi dengan potensi yang sangat besar tersebut maka potensi Indonesia untuk menjadi produsen utama wood pellet dunia juga besar, bahkan menjadi negara yang memimpin penggunaan energi biomasa. Program cofiring di sejumlah PLTU di Indonesia juga mendorong penggunaan energi biomasa, khususnya wood pellet. Terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai tahun 2024.  Kebun energi selain mendukung bisnis & ketahanan energi, juga seharusnya mendukung  sektor peternakan khususnya ruminansia untuk lebih detail baca disini, sehingga ketahanan pangan untuk mencapai swasembada daging bisa dilakukan. Jadi apakah Indonesia bisa melampaui produksi wood pellet Vietnam? Tentu bisa, tetapi butuh upaya yang keras, dan butuh waktu yang lama. Tetapi setidaknya jika Indonesia menggalakkan produksi wood pelletnya, maka akan banyak manfaat yang didapat, antara lain ekonomi, sosial dan lingkungan.  

Selasa, 03 Desember 2019

Export Wood Pellet ke Jepang, Mungkinkah?

Konsumsi bahan bakar biomasa khususnya wood pellet di Jepang terus meningkat seiring waktu sesuai target 4 - 6 GW pada 2030. Supplai wood pellet untuk Jepang terutama dari Kanada dengan volume lebih dari 250 ribu ton setiap tahunnya. Penggunaan wood pellet tersebut terutama adalah untuk bahan bakar pembangkit listrik (baca backgroundnya disini). Produsen wood pellet di Asia juga semakin meningkat tetapi faktanya tidak banyak yang bisa export ke Jepang. Jepang menerapkan standard ketat untuk kualitas wood pellet dan juga jaminan bahwa wood pellet tersebut diproduksi secara ramah lingkungan yang dibuktikan dengan sertifikat keberlanjutan (sustainibility) berupa FSC. Faktor lain yang membuat sulitnya mengeksport wood pellet ke Jepang adalah penerapan kontrak panjang dengan harga beli tetap selama waktu tertentu. Hal tersebut dikarenakan dengan kebijakan FIT (Feed in Tarrif), harga jual listrik yang diproduksi juga tetap selama 20 tahun dengan harga tergantung dari jenis bahan bakar tersebut. Selain itu juga volume pengapalan yang dibutuhkan juga cukup besar yakni 10 ribu ton untuk setiap pengapalan. Hal tersebut memberi konsekuensi untuk kapasitas pabrik wood pelletnya.
Lalu bagaimana track record export wood pellet dari Indonesia? Ternyata export wood pellet dari Indonesia ke Jepang masih sangat minim, pada umumnya hanya untuk fase ujicoba (trial). Hal tersebut sangat berbeda dengan komoditas bahan bakar biomasa lainnya yakni cangkang sawit (PKS : palm kernel shell) yang volume export ke Jepang saja diperkirakan lebih dari 1 juta ton setiap tahunnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Pertama, rata-rata produsen wood pellet di Indonesia masih berkapasitas kecil atau kurang dari 5000 ton/bulan. Selain itu bahan baku yang digunakan juga mayoritas berasal dari serbuk gergaji (sawdust) dari penggergajian (sawmill) dan limbah-limbah kayu dari industri pengolahan kayu. Kondisi tersebut juga menjadikan sangat sulit atau mustahil untuk mendapatkan sertifikat keberlanjutan karena sangat sulit melacak sumber kayu dari asalnya. Kedua, cangkang sawit jumlahnya melimpah di pabrik-pabrik sawit karena merupakan salah satu limbah padat dari pabrik sawit atau produksi CPO. Dengan produksi CPO nasional yang diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta ton/tahun maka cangkang sawit yang dihasilkan diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta/tahun dan hanya dengan melalui proses sederhana maka cangkang sawit juga sudah bisa di export. Secara teknis memang cangkang sawit juga memiliki banyak persamaaan untuk spesifikasi teknisnya seperti nilai kalor, ukuran, dan sebagainya, serta memiliki keunggulan berupa handling lebih mudah dan harga lebih murah.
Salah satu skenario untuk bisa mengeksport wood pellet ke Jepang, adalah produksi wood pellet dari kebun energi. Dengan kebun energi maka asal-usul kayu hingga seluruh aspek budidayanya bisa dipantau dan diverifikasi secara jelas sehingga seharusnya sertifikat seperti FSC bisa dengan mudah didapatkan. Pasokan bahan baku juga bisa lebih terjamin dan sangat mungkin untuk produksi dengan kapasitas besar. Untuk mengoptimalkan kebun energi tersebut juga bisa diintegrasikan dengan peternakan domba, sapi maupun kambing dan juga peternakan lebah madu. Ketiga aspek penting untuk kehidupan manusia yakni pangan (food), energi dan air bisa dilakukan dengan aktifitas tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Alternatif lainnya adalah dengan produksi EFB pellet atau pellet tandan kosong sawit, tetapi EFB pellet bukan kelompok wood pellet, karena berasal bukan dari biomasa kayu-kayuan (woody biomass), tetapi berasal dari limbah pertanian sehingga disebut pellet limbah pertanian atau agro-waste pellet. Kualitas agro-waste pellet umumnya lebih rendah dibandingkan dengan wood pellet terutama karena kadar abu lebih banyak dan nilai kalor lebih rendah. Selain faktor teknis di atas, ada hal penting yang perlu diperhatikan untuk produksi EFB pellet adalah ketersediaan listrik. Hal tersebut karena pabrik-pabrik sawit pada umumnya di lokasi terpencil sehingga sulit mendapatkan pasokan listrik, sedangkan listrik yang diproduksi oleh pabrik sawit juga tidak mencukupi apabila digunakan untuk produksi EFB pellet. Untuk bisa menghasilkan listrik yakni dengan produksi biogas dari POME atau limbah cair pabrik sawit, dan untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Rabu, 20 Maret 2019

Surplus Kok Import, Ada-Ada Saja!!!

Sudah menjadi hal lazim bahwa suatu negara selalu melindungi produk-produk dalam negerinya. Mengembangkan sekaligus meningkatkan kualitas serta kuantitas produk-produk dalam negeri menjadi salah satu tanggungjawab negara dalam bidang ekonomi. Suatu hal yang aneh dan tidak masuk akal apabila ketika negara terjadi surplus terhadap produk tertentu, tetapi di lain sisi mengimport produk serupa. Hal ini tentu selain merusak perekonomiannya juga secara langsung berdampak pada produsennya. Contoh yang paling mudah yakni pada produk-produk pangan atau pertanian. Sebagai negara agraris produksi beras ketika surplus maka jelas tidak perlu lagi import. Padi produksi petani menjadi tidak terbeli demikian juga untuk tebu dan sebagainya, apabila pada saat surplus seperti panen raya dilakukan import produk serupa. Hal ini suatu pembunuhan ekonomi bagi para petani tersebut.
Ketika pasar berjalan semakin liberal maka peluang kecurangan juga semakin besar. Bisa saja suatu negara membuat berita bohong yang mendiskreditkan produk negara tertentu untuk melindungi produk negara tersebut. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh negara besar yang berpengaruh. Tentu hal ini berdampak negatif bagi produk negara targetnya sehingga produknya tidak laku di pasar atau minimal harganya jatuh. Politik dagang jahat tersebut banyak dilakukan untuk menjatuhkan lawan bisnisnya. Seharusnya upaya tersebut tidak perlu dilakukan, tetapi bisa menggunakan cara lain yang lebih baik misalnya memberi insentif bagi produsen atau pengguna produk dalam negeri tersebut. Hal tersebut semakin mendorong pemakaian produk dalam negeri dan menghidupkan ekonomi negara tersebut tanpa merugikan negara lain.
Baru-baru ini Korea melakukan sedikit revisi terhadap pemakaian bahan bakar wood pellet. Wood pellet yang diproduksi dari dalam negeri lebih diprioritaskan daripada produk import. Hal tersebut mendorong tumbuhnya industri wood pellet di negara tersebut. Dengan besarnya kebutuhan wood pellet maka besar kemungkinan negara tersebut tetap tidak mampu memenuhi kebutuhannya disebabkan kurangnya bahan baku terkait faktor alamnya. Hal ini bagaimana pun membuat mereka tetap import. Tetapi dengan kebijakan tersebut, Korea telah melakukan keberpihakan terhadap industri dalam negerinya. Ketika negara-negara di dunia semakin banyak menggunakan wood pellet maka produsen-produsen wood pellet juga bisa memilih pembeli dengan harga terbaik.

Senin, 11 Maret 2019

Efisiensi Pembangkit Listrik Lebih Tinggi Menuntut Kualitas Bahan Bakar Lebih Tinggi

 
Saat kita hendak mengisi bahan bakar kendaraan kita di SPBU tentu kita memilih bahan bakar apa yang paling cocok dengan kendaraan kita. Kendaraan kita akan bisa berjalan dengan optimal jika menggunakan bahan bakar yang sesuai. Kualitas bahan bakar terlalu tinggi (over spec) ataupun terlalu rendah (under spec) hanya akan memberikan kinerja yang kurang optimal. Secara teknis kendaraan tersebut telah dirancang dengan rasio tekanan tertentu pada sistem pembakarannya, apabila bahan bakar dengan kualitas terlalu tinggi maka pada kompresi rendah menjadi sulit terbakar sempurna, dan demikian juga sebaliknya. Pada operasional kendaraan bahkan bahan bakar yang terbakar sebelum waktunya atau setelah waktunya akan menghasilkan performa yang tidak optimal. Bahan bakar dengan kualitas tinggi juga memiliki harga lebih tinggi sehingga secara ekonomi juga tidak menguntungkan, demikian juga dengan bahan bakar kualitas rendah, walaupun lebih murah tetapi performa juga dibawah standar.
Analogi diatas juga kurang lebih sama untuk pembangkit listrik. Semakin tinggi tingkat efisiensi semakin tinggi kualitas bahan bakar yang dipersyaratkan karena kondisi operasi juga di atas rata-rata biasanya, misalnya kompresi, temperatur dan sebagainya. Kalau pada bensin kualitas dinyatakan dengan angka oktan, atau pada solar atau minyak diesel kualitas dinyatakan dengan angka cetan, maka pada bahan bakar padat seperti wood pellet ukuran kualitas dinyatakan dengan nilai kalori. Unsur-unsur lain yang juga diperhatikan pada bahan bakar yakni unsur-unsur yang bisa merusak alat atau mesin yang digunakan. Khusus pada wood pellet kandungan potassium dan klorin yang tinggi bisa berefek buruk pada pembangkit listrik tersebut. Potassium akan menjadi deposit/fouling pada pipa boiler sehingga menurunkan efisiensinya, sedangkan khlorin yang bersifat korosif akan memperpendek umur pakai pembangkit listrik tersebut.


Pada tahun 2030 Jepang akan menerapkan penggunaan pembangkit listrik dengan efisiensi yang lebih tinggi yakni minimum 41% sedangkan sebagian besar efisiensi pembangkit listrik batubara saat ini berkisar 30-35%. Untuk mencapai tingkat efisiensi lebih dari 41% teknologi yang digunakan adalah ultra supercritical pulverized coal. Teknologi ultra supercritical pulverized coal pada dasarnya adalah pengembangan lanjut teknologi pulverized coal yang paling banyak digunakan oleh pembangkit listrik batubara atau lebih dari 95% di seluruh dunia. Perbedaan teknologi ultra supercritical pulverized dengan pulverized adalah pada penggunaan tekanan dan temperature lebih tinggi sehingga efisiensinya juga lebih tinggi. Modifikasi pembangkit listrik juga bisa dilakukan untuk peningkatan efisiensi tersebut. Penggunaan bahan bakar biomasa seperti wood pellet bisa dengan cara cofiring maupun full firing (100% wood pellet). Karakteristik bahan bakar yang digunakan juga akan berpengaruh pada teknologi boiler yang digunakan.
Kadar abu wood pellet yang dipersyaratkan untuk industri seperti pembangkit listrik bisa sampai 6% menurut pellet fuel institute (PFI) Amerika. Tetapi kimia abu menjadi pertimbangan penting pada pemakaian pembangkit listrik tersebut. Korea Selatan misalnya saat ini mensyaratkan kadar klorin maksimal 500 ppm (500 mg/kg) atau Jepang mensyaratkan kadar potassium maksimal 1000 ppm (1000 mg/kg). Hal ini membuat produksi wood pellet mengikuti spesifikasi tersebut apabila spesifikasi belum sesuai. Sejumlah pretreatment khusus perlu dilakukan untuk mencapai spesifikasi tersebut. Potensi wood pellet dari kebun energi di Indonesia sangat besar, demikian juga pellet fuel dari limbah pertanian atau perkebunan seperti tandan kosong sawit yang diperkirakan jumlahnya mencapai kurang lebih 38 juta ton per tahun. Tetapi sekali lagi spesifikasi pellet (wood pellet atau agro waste pellet) yang diproduksi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangkit listrik di Jepang atau Korea Selatan - dua negara yang sangat tergantung dengan energi - tentunya apabila produsen pellet tersebut berorientasi export. pertanyaan selanjutnya pretreatment seperti apa yang perlu dilakukan pada produksi pellet tersebut? InsyaAllah kita bahas pada kesempatan yang lain.

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...