Rabu, 17 Januari 2024

2nd Generation Biofuel dengan Produksi Biodiesel dari Nyamplung dan sejenisnya

Produksi biodiesel dari CPO merupakan 1st generation biofuel dimana bahan bakunya bersaing dengan produk pangan, yang tentu saja kurang baik. Produksi biodiesel dari minyak-minyak yang tidak bersaing dengan produk pangan akan jauh lebih baik. Citra produsen bahkan negaranya juga akan terangkat apabila programnya bisa masif dilakukan. Ada sejumlah pohon-pohon yang menghasilkan minyak-minyak untuk produksi biodiesel tersebut. Selektivitas jenis tanaman terkait produktivitas, kondisi iklim dan sebagainya tentu menjadi pertimbangan serius apabila produksi tersebut pada skala industri. Minyak nyamplung (calophyllum inophyllum oil) adalah salah satu solusi terbaik karena selain produktivitas minyak tinggi, masa produktif panjang, dan batangnya pasca masa produktif juga ekonomis atau bernilai jual tinggi. 

 

Produktivitas minyak nyamplung bersaing dengan minyak sawit yang produktivitasnya kisaran 6 ton/hektar/tahun, tetapi perawatan pohon nyamplung lebih mudah dan murah. Sedangkan jathropha / jarak pagar memiliki produktivitas lebih kecil sehingga kurang menarik dan menguntungkan untuk dikembangkan. Pohon nyamplung yang tumbuh dengan baik di dataran rendah atau di pesisir pantai akan sangat cocok dengan Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 99.093 km  atau terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dan akan lebih baik lagi jika perkebunan nyamplung yang berada di pesisir pantai tersebut juga bersamaan dengan penanaman kelapa. Indonesia terkenal dengan negeri rayuan pulau kelapa, yang umumnya tumbuh baik di area pesisir pantai. Pohon kelapa juga memiliki banyak manfaat dari hampir semua bagiannya. Jika hal itu terjadi optimalisasi produksi energi terbarukan yakni biofuel berupa biodiesel dari minyak nyamplung dan produk pangan khususnya berbasis buah kelapanya.

Sektor transportasi sendiri berkontribusi pada emisi CO2 14% secara global atau 27% di Indonesia. Biodiesel yang diproduksi dengan reaksi transesterfikasi (rantai C6-C22) memiliki sifat sangat mirip dengan minyak diesel (solar) sehingga bisa digunakan 100% pada mesin diesel tanpa perlu modifikasi ataupun dicampur / blending dengan porsi tertentu. Biodiesel mengandung 10% oxygen dan zero sulphur, yang membuat pembakaran mesin lebih sempurna dan efisien. Bahan bakar cair juga memiliki keunggulan tersendiri dibanding bahan bakar gas antara lain mudah penggunaan dan penyimpanan, serta kendaraan yang ada sebagian besar menggunakan bahan bakar cair, jadi bisa langsung digunakan. Pengembangan biofuel sebagai bahan bakar carbon neutral perlu diprioritaskan sebagai bagian dari dekarbonisasi khususnya untuk  2nd Generation Biofuel ini karena tidak konflik atau berkompetisi dengan bahan pangan. 

Untuk 2nd generation biofuel dari biomasa atau lignocelullosic biomass (seperti kayu-kayu limbah), produksi biodiesel masih high cost. Ada dua rute proses untuk produksi biodiesel dari lignocelullosic biomass  yakni dengan gasifikasi untuk produksi syngas diikuti proses Fischer-Tropsch (FT) dan fast pyrolysis untuk produksi biooil diikuti proses hydrotreating dan catalytic cracking. Hal inilah yang membuat produksi biodiesel dengan cara tersebut tidak dilakukan walaupun secara teknis memungkinkan. Bahan baku untuk lignocellulosic biomass jauh lebih murah karena pada umumnya dikategorikan limbah biomasa. Walaupun begitu kompleksitas proses produksi membuat biaya produksi mahal, sehingga belum menjadi pilihan.

Sedangkan untuk 3rd generation biofuel yakni dari mikroalga walaupun potensinya sangat besar, bahkan produktivitasnya bisa lebih dari 16 kali produktivitas minyak sawit ataupun minyak nyamplung (6 ton/hektar/tahun pada minyak sawit dan nyamplung, sedangkan minyak dari mikroalga mencapai 100 ton/hektar/tahun) tetapi tampaknya masih butuh waktu untuk bisa masuk ke tahap komersialisasinya. Masalah terkat kultivasi, pemanenan, dan ekstraksi minyaknya juga masih membutuhkan riset yang panjang. Dengan produksi biodiesel dari minyak nyamplung maka bisa secara bertahap produksi biodiesel dari CPO bisa dikurangi. Semakin besar perkebunan nyamplung maka akan semakin besar produk biodiesel yang dihasilkan, sehingga minyak sawit atau CPO bisa dikhususkan sebagai minyak makan atau khususnya produk pangan saja. Demikian juga dengan minyak dari kelapa yang juga harapannya akan meningkat seiring tumbuh dan berkembangnya produksi biodiesel dari minyak nyamplung tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...