Kesiapan dan ketersediaan pasar menjadi faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu bisnis pada umumnya dan bisnis berbasis biomasa pada khususnya. Dan secara global menurut Hawkin Wright, memprediksi penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric juga memprediksi bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sejak 2025, sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan PKS merupakan kompetitor utama wood pellet di pasar bahan bakar biomasa global. Tetapi dibandingkan wood pellet, perdagangan PKS global relatif kecil yakni diperkirakan hanya 5 juta ton/tahun. Indonesia adalah produsen terbesar PKS di dunia karena sebanding dengan luasnya kebun sawit serta sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia.
Sedangkan biochar, khusus untuk Eropa saja diperkirakan ada 51 pabrik biochar baru atau total ada 220 unit, dengan produksi biocharnya diperkirakan menjadi 115.000 ton per tahunnya. Dan produksi biochar global pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 350 ribu ton atau ekuivalen dengan 600.000 carbon credit dan diperkirakan akan terus meningkat. Dan pada tahun 2025 ini diprediksi pertumbuhan industri biochar lebih dari 5 lipat dibandingkan pada tahun 2023. Adanya carbon credit menjadi salah motivasi terbesar untuk produksi biochar tersebut. Dengan adanya carbon credit tersebut terjadi lonjakan produksi biochar secara signifikan dari sebelumnya. Sebagai ilustrasi bahwa pada tahun 2023 dari carbon credit biochar ini memberi kontribusi terbesar pada yakni 90% carbon removal di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) menurut data dari CDR.fyi.
Pasar atau pengguna utama wood pellet (industrial pellet grade) adalah pembangkit-pembangkit listrik yang melakukan cofiring dengan bahan bakar terbarukan yakni berbasis biomasa khususnya wood pellet. Semakin besar ratio cofiring-nya maka semakin besar kebutuhan wood pelletnya. Dengan kapasitas atau ukuran pembangkit listrik ratusan bahkan ribuan MW maka kebutuhan wood pelletnya juga banyak bahkan walaupun dengan cofiring ratio rendah. Trend pembangkit-pembangkit listrik batubara untuk melakukan cofiring semakin besar dan juga peningkatan ratio cofiringnya bahkan sejumlah pembangkit listik batubara bisa beralih 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Selain itu juga sejumlah pembangkit listrik biomasa baik yang 100% dengan wood pellet ataupun PKS juga banyak dibangun dan mulai beroperasi. Ada target global bahwa porsi pembangkit listrik batubara harus turun hingga 4% (dari kondisi saat ini sekitar 30% ) pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Hal ini bahkan juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara di Indonesia mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.
Sedangkan biochar walaupun potensi pasarnya juga sangat besar, tetapi masalah karena kesadaran (awareness) yang masih rendah sehingga edukasi dan sosialisasi masih perlu ditingkatkan. Seperti halnya pasar untuk bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS / cangkang sawit yang umumnya adalah perusahaan-perusahaan besar (karena juga merupakan emitter CO2 terbesar), maka untuk mengakselerasi industri biochar dibutuhkan pasar atau pengguna berkapasitas besar tersebut. Pertanian-pertanian dan perkebunan-perkebunan besar demikian juga hutan-hutan tanaman energi atau kebun-kebun energi adalah potensi pasar / pengguna besar biochar. Demikian juga lahan-lahan reklamasi pasca tambang yang akan dilakukan revegetasi juga potensi pengguna / pasar besar untuk biochar. Hal ini juga terkait bahwa butuh volume yang signifikan untuk bisa menghasilkan volume penyerapan CO2 (carbon sequestration / carbon sink) yang memadai. Sedangkan dari sisi pertanian atau perkebunan atau aplikasi ke tanah terkait penggunaan biochar bahwa selama ini, ketika mempertimbangkan efek biochar, fokusnya hanya pada peningkatan hasil panen. Namun, nilai tambah yang dapat ditawarkan biochar dalam penerapannya di tanah, setidaknya dalam sistem pertanian yang optimal, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim.
Dan pada dasarnya baik produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet maupun material penyerap karbon (carbon sink) seperti biochar akan berdampak positif bagi iklim, bahkan keduanya bisa saling mendukung seperti apabila biochar digunakan untuk kebun energi dan lalu produk kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet, lebih detail baca disini. Penggunaan energi terbarukan akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena tidak menambah konsentrasi CO2 tersebut atau carbon neutral, sedangkan biochar akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena menyerap CO2 di atmosfer di dalam biomasa yang kemudian dikonsentrasikan karbonnya dengan pirolisis sehingga menjadi biochar, atau carbon negative. Bahkan membuat carbon sink, tetapi tidak mengurangi sumber emisinya adalah upaya yang sia-sia atau tidak relevan, lebih detail baca disini. Jadi bioeconomy dengan carbon neutral economy yakni bahan bakar biomasa seperti wood pellet atau PKS maupun carbon sink economy yakni dengan biochar akan banyak terkait dari kesiapan bisnisnya seperti aspek pasar / user, bahan baku untuk kapasitas produksi tertentu, bahan baku dan sebagainya. Karakteristik tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dan komprehensif sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal dan berkelanjutan.