Tampilkan postingan dengan label cangkang sawit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cangkang sawit. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Juli 2025

Operasional Pabrik Sawit dengan Integrasi Pirolisis dan Unit Biogas untuk Zero Waste, Memaksimalkan Profit dan Berkelanjutan

Tujuan pabrik sawit  sehingga zero waste, profit maksimal dan berkelanjutan bisa tercapai salah satunya dengan integrasi pirolisis dan unit biogas. Hal ini karena hampir semua limbah padat dan limbah cair dari pabrik sawit bisa diolah menjadi produk-produk yang dibutuhkan pada industri sawit tersebut, baik di pabrik sawitnya untuk produksi CPO, maupun di perkebunan sawitnya untuk produksi TBS. Dengan pirolisis, limbah padat akan diubah menjadi biochar dengan excess energy berupa syngas dan biooil untuk bahan bakar boiler. Biochar sebelum diaplikasikan ke tanah-tanah perkebunan atau pertanian dimanfaatkan terlebih dahulu untuk meningkatkan produksi biogas.

Produk biogas selanjutnya juga bisa untuk bahan bakar boiler pabrik sawit bersama dengan syngas dan biooil tersebut. Dengan cara itu maka cangkang sawit (Palm kernel shell/PKS)100% bisa dijual atau bahkan diexport sehingga memberi tambahan keuntungan bagi industri sawit yang bersangkutan. Dimana saat ini pada umumnya 30- 50% cangkang sawit digunakan untuk bahan bakar boiler dicampur dengan sabut (mesocarp fiber) dan sisanya dijual atau dieksport tersebut. Produksi biochar dengan pirProduk biogas selanjutnya juga bisa untuk bahan bakar boiler pabrik sawit bersama dengan syngas dan biooil tersebut. Dengan cara itu maka cangkang sawit (Palm kernel shell/PKS)100% bisa dijual atau bahkan diexport sehingga memberi tambahan keuntungan bagi industri sawit yang bersangkutan. Dimana saat ini pada umumnya 30- 50% cangkang sawit digunakan untuk bahan bakar boiler dicampur dengan sabut (mesocarp fiber) dan sisanya dijual atau dieksport tersebut. Produksi biochar dengan pirolisis bisa memanfaatkan sabut (MF) dan tandan kosong sawit (EFB). Skema integrasi seperti dibawah ini : 

Pemakaian biochar pada lahan-lahan perkebunan dan pertanian akan menghemat atau mengurangi penggunaan pupuk kimia. Dan lebih khusus lagi pada perkebunan kelapa sawit bahwa operasional terbesarnya adalah penggunaan pupuk kimia tersebut. Apabila penggunaan pupuk kimia bisa dikurangi maka akan terjadi penghematan pada biaya pupuk. Selain itu juga akan memberi manfaat lain bagi lingkungan atau mengurangi dampak lingkungan berupa meminimalisir limbah akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan. Biochar akan membuat pupuk kimia menjadi slow release sehingga efisiensi penggunaan pupuk atau NUE (Nutrient Use Efficiency) akan meningkat dan apalagi biochar plus pupuk organik dari residue biogas maka pupuk kimia untuk kemampuan slow release akan semakin meningkat sehingga NUE semakin tinggi. Selain itu produk samping pirolisis lainnya yakni pyroligneous acid juga sangat bermanfaat bagi perkebunan sawit untuk pupuk orhabik cair dan biopestisida.  

Selain itu pendapatan lain yang bisa didapatkan adalah dari carbon credit atau BCR (biochar carbon removal) credit. Apalagi carbon credit ini saat ini juga menjadi motivasi kuat bagi para produsen untuk produksi biochar tersebut. Dan untuk bisa mendapatkan carbon credit tersebut produsen biochar harus mendaftarkan ke lembaga karbon standard dan mengikuti metodologinya. Beberapa lembaga karbon standar yang popular antara lain Puro Earth, Verra, dan CSI. Sedangkan untuk produksi biogas juga bisa mendapatkan carbon credit dari mekanisme methane avoidance, tetapi harga biogas dari methane avoidance biasanya lebih murah daripada carbon credit carbon removal atau carbon sequestration dengan biochar. Tetapi tentu kedua-keduanya bisa diakumulasikan dan memberi keuntungan lebih besar.

Potensi operasional pabrik sawit dengan integrasi pirolisis dan unit biogas untuk zero waste, memaksimalkan profit dan berkelanjutan sangat besar dan diprediksi akan menjadi trend karena keuntungan financial sejalan dengan keuntungan / manfaat lingkungan. Apalagi masalah-masalah lingkungan dan keberlanjutannya saat ini telah menjadi perhatian dunia. Dengan luas lahan sawit sekitar 17 juta hektar dan 5,5 juta hektar di Malaysia, maka potensi limbah biomasa khususnya EFB dan mesocarp fiber untuk produksi biochar dan juga limbah POME untuk produksi biogas sangat melimpah. Sedangkan secara global luas kebun sawit mencapai hampir 27 juta hektar. Pada tahun 2024 tercatat bahwa produsen top CPO Dunia yakni Indonesia 56% lalu Malaysia 26% dan Thailand 5%. Ada lebih dari 1.000 unit pabrik sawit di Indonesia dan sekitar 500 unit di Malaysia. 

Minggu, 08 Juni 2025

Optimalisasi Operasional Pabrik Sawit untuk Memaksimalkan Keuntungan dengan Pemanfaatan Limbah Tankos

Sebagai perusahaan yang berorientasi profit, perusahaan sawit juga akan melakukan berbagai hal yang diperlukan untuk memaksimalkan keuntungannya yakni baik pada operasional pabrik sawitnya maupun pada perkebunannya. Semakin efisien operasional pabrik sawit, demikian juga di perkebunannya maka akan semakin tinggi keuntungan yang didapat. Meminimalisir dampak lingkungan dari limbah yang dihasilkan bahkan zero waste, serta menjadi bagian praktek yang pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan (sustainable) bahkan termasuk bagian dari solusi iklim merupakan bagian penting industri ini yang tidak bisa ditinggalkan. Hal itulah mengapa pabrik-pabrik sawit harus melakukan inovasi untuk mencapai kondisi optimal tersebut.  Untuk mencapai kondisi tersebut bisa dilakukan dengan mengevaluasi praktek yang dilakukan saat ini dan mencari solusi lebih baik tersebut.

Produksi CPO atau minyak mentah sawit membutuhkan kukus / steam untuk proses sterilisasinya. Hal inilah mengapa pabrik sawit pasti membutuhkan boiler untuk proses produksinya, untuk lebih detail baca disini. Steam / kukus dari boiler tersebut juga digunakan untuk pembangkit listrik dengan steam turbine untuk menggerakkan generator. Untuk operasional boiler tersebut umumnya dilakukan dengan membakar sabut (mesocarp fiber) dan sebagian cangkang sawit (palm kernel shell), sehingga sebagian cangkang sawit masih bisa dijual bahkan untuk export. Praktek umum pabrik sawit ini juga sudah berjalan puluhan tahun, tetapi ternyata masih banyak limbah biomasa dari pabrik sawit yang belum termanfaatkan terutama tandan kosong kelapa sawit atau EFB (empty fruit bunch) yang porsinya sekitar 23% dari tandan buah segar (TBS) yang diolah. Tankos sawit atau EFB ini biasanya hanya ditumpuk di belakang pabrik sawit dan cenderung akan mencemari lingkungan.  

Tankos sawit atau EFB tersebut bisa diolah menjadi biochar. Produksi biochar dengan proses thermal baik pirolisis atau gasifikasi akan menghasilkan energi sebagai cogeneration pada pabrik sawit. Cogeneration menjadi solusi jitu untuk produksi biochar sekaligus memasok kebutuhan energi untuk operasional boiler. Dengan cara ini maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau bahkan dieksport artinya keuntungan perusahaan sawit semakin besar. Tetapi untuk memaksimalkan produksi biochar pirolisis adalah pilihan yang cocok. Hal ini karena teknologi gasifikasi adalah untuk memaksimalkan produk gas sedangkan pirolisis untuk memaksimalkan produk padat (biochar).  Produk-produk samping dari pirolisis juga bermanfaat bagi industri sawit. 

Tandan kosong (tankos) atau EFB adalah limbah padat dari produksi minyak sawit atau CPO yang jumlahnya paling banyak. Hal inilah yang membuat banyak produsen mesin yang membuat mesin pengolah tankos ini. Sebagian besar mesin yang dibuat adalah alat untuk memotong dan mengepres tankos tersebut sehingga kadar airnya turun dan ukurannya menjadi lebih kecil. Tetapi baik kadar air dan ukuran tankos sebagai output mesin atau peralatan tersebut masih belum memenuhi syarat untuk bisa diolah lanjut menjadi biochar. Tipikal output tersebut lebih dari 4 inch dan kadar air lebih dari 45%. Tankos atau EFB harus memiliki kadar air rendah yakni 10% dan bisa dengan ukuran kurang dari 1 inch untuk produksi biochar ataupun sebagai bahan bakar di boiler. 

Untuk bisa mendapatkan tankos atau EFB dengan tingkat kekeringan atau kadar air 10%, maka waste heat recovery dari pabrik sawit bisa dimanfaatkan untuk proses pengeringan tersebut. Limbah biomasa lainnya dari industri sawit bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber energi panas untuk pengeringan tankos atau EFB tersebut. Dengan memanfaatkan limbah-limbah biomasa tersebut maka operasional pabrik bisa semakin efisien sehingga keuntungan semakin maksimal dan ramah lingkungan dengan zero waste. 

Jumat, 11 April 2025

Bioeconomy : Carbon Neutral Economy (wood pellet & pks) VS Carbon Sink Economy (Biochar)

Kesiapan dan ketersediaan pasar menjadi faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu bisnis pada umumnya dan bisnis berbasis biomasa pada khususnya. Dan secara global menurut Hawkin Wright, memprediksi penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric juga memprediksi bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sejak 2025, sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan PKS merupakan kompetitor utama wood pellet di pasar bahan bakar biomasa global. Tetapi dibandingkan wood pellet, perdagangan PKS global relatif kecil yakni diperkirakan hanya 5 juta ton/tahun. Indonesia adalah produsen terbesar PKS di dunia karena sebanding dengan luasnya kebun sawit serta sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia.

Sedangkan biochar, khusus untuk Eropa saja diperkirakan ada 51 pabrik biochar baru atau total ada 220 unit, dengan produksi biocharnya diperkirakan menjadi 115.000 ton per tahunnya. Dan produksi biochar global pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 350 ribu ton atau ekuivalen dengan 600.000 carbon credit dan diperkirakan akan terus meningkat. Dan pada tahun 2025 ini diprediksi pertumbuhan industri biochar lebih dari 5 lipat dibandingkan pada tahun 2023. Adanya carbon credit menjadi salah motivasi terbesar untuk produksi biochar tersebut. Dengan adanya carbon credit tersebut terjadi lonjakan produksi biochar secara signifikan dari sebelumnya. Sebagai ilustrasi bahwa pada tahun 2023 dari carbon credit biochar ini memberi kontribusi terbesar pada yakni 90% carbon removal di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) menurut data dari CDR.fyi.

Pasar atau pengguna utama wood pellet (industrial pellet grade) adalah pembangkit-pembangkit listrik yang melakukan cofiring dengan bahan bakar terbarukan yakni berbasis biomasa khususnya wood pellet. Semakin besar ratio cofiring-nya maka semakin besar kebutuhan wood pelletnya. Dengan kapasitas atau ukuran pembangkit listrik ratusan bahkan ribuan MW maka kebutuhan wood pelletnya juga banyak bahkan walaupun dengan cofiring ratio rendah. Trend pembangkit-pembangkit listrik batubara untuk melakukan cofiring semakin besar dan juga peningkatan ratio cofiringnya bahkan sejumlah pembangkit listik batubara bisa beralih 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Selain itu juga sejumlah pembangkit listrik biomasa baik yang 100% dengan wood pellet ataupun PKS juga banyak dibangun dan mulai beroperasi.  Ada target global bahwa porsi pembangkit listrik batubara harus turun hingga 4% (dari kondisi saat ini sekitar 30% ) pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Hal ini bahkan juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara di Indonesia mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.

Sedangkan biochar walaupun potensi pasarnya juga sangat besar, tetapi masalah karena kesadaran (awareness) yang masih rendah sehingga edukasi dan sosialisasi masih perlu ditingkatkan. Seperti halnya pasar untuk bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS / cangkang sawit yang umumnya adalah perusahaan-perusahaan besar (karena juga merupakan emitter CO2 terbesar), maka untuk mengakselerasi industri biochar dibutuhkan pasar atau pengguna berkapasitas besar tersebut. Pertanian-pertanian dan perkebunan-perkebunan besar demikian juga hutan-hutan tanaman energi atau kebun-kebun energi adalah potensi pasar / pengguna besar biochar. Demikian juga lahan-lahan reklamasi pasca tambang yang akan dilakukan revegetasi juga potensi pengguna / pasar besar untuk biochar. Hal ini juga terkait bahwa butuh volume yang signifikan untuk bisa menghasilkan volume penyerapan CO2 (carbon sequestration / carbon sink) yang memadai. Sedangkan dari sisi pertanian atau perkebunan atau aplikasi ke tanah terkait penggunaan biochar bahwa selama ini, ketika mempertimbangkan efek biochar, fokusnya hanya pada peningkatan hasil panen. Namun, nilai tambah yang dapat ditawarkan biochar dalam penerapannya di tanah, setidaknya dalam sistem pertanian yang optimal, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. 

Dan pada dasarnya baik produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet maupun material penyerap karbon (carbon sink) seperti biochar akan berdampak positif bagi iklim, bahkan keduanya bisa saling mendukung seperti apabila biochar digunakan untuk kebun energi dan lalu produk kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet, lebih detail baca disini. Penggunaan energi terbarukan akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena tidak menambah konsentrasi CO2 tersebut atau carbon neutral, sedangkan biochar akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena menyerap CO2 di atmosfer di dalam biomasa yang kemudian dikonsentrasikan karbonnya dengan pirolisis sehingga menjadi biochar, atau carbon negative. Bahkan membuat carbon sink, tetapi tidak mengurangi sumber emisinya adalah upaya yang sia-sia atau tidak relevan, lebih detail baca disini. Jadi bioeconomy dengan carbon neutral economy yakni bahan bakar biomasa seperti wood pellet atau PKS maupun carbon sink economy yakni dengan biochar akan banyak terkait dari kesiapan bisnisnya seperti aspek pasar / user, bahan baku untuk kapasitas produksi tertentu, bahan baku dan sebagainya. Karakteristik tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dan komprehensif sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal dan berkelanjutan.

Minggu, 02 Maret 2025

Taiwan, Pasar Baru Wood Pellet Asia

Setelah Jepang dan Korea menjadi pasar utama wood pellets di Asia selama bertahun-tahun, selanjutnya Taiwan diprediksi akan muncul sebagai tujuan baru pasar wood pellet di Asia. Hal ini karena kebijakan energi Taiwan mentargetkan 20% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025. Yakni dengan berfokus pada transisi energi dari batubara dan bahan bakar fosil lainnya ke sumber energi terbarukan termasuk biomasa, matahari dan angin untuk meningkatkan energi terbarukan dari 10% ke 20% pada 2025. Undang-undang penurunan dan pengelolaan gas rumah kaca (Greenhouse Gas Reduction and Management Act) mensyaratkan penurunan emisi karbon tahunan sebesar 20% pada 2030 dan 50% pada 2050, dibawah 2005 atau penurunan 53 juta ton ekuivalen CO2 pada 2030 dan 133 juta ton pada 2050. Hal tersebut juga bagian dari visi Taiwan bebas nuklir dan mendukung tujuan nasional untuk mencapai net-zero carbon emission pada 2050. Pengembangan energi terbarukan adalah implementasi terpenting untuk mencapai tujuan tersebut dan wood pellet menjadi prioritas utama. Taiwan akan mengimport wood pellet dalam jumlah cukup besar untuk mencapai sasaran produksi baru energi hijaunya. 

Kebutuhan wood pellet di Taiwan mencapai jutaan ton atau lebih detail perkiraannya adalah 1.7 juta ton per tahun khusus untuk Taiwan Power Company, yang segera akan dilaksanakan ketika kebijakannya diterapkan. Dan ada juga sejumlah pembangkit listrik independent yang menggunakan boiler batubara untuk menghasilkan listrik khususnya industri plastik, kilang minyak bumi dan pembuatan kertas. Saat ini energi terbarukan terhitung kurang dari 10% dari total output energi di Taiwan. Sedangkan pemerintah bertujuan memiliki 778 megawatts (MW) pembangkit listrik berbasis biomasa pada 2025, memungkinkan produksi sebanyak 4.1 milyar kWh.

Negara-negara produsen-produsen besar wood pellets dunia mengarahkan pandangannya ke Taiwan seperti Amerika Serikat, Vietnam dan Kanada. Vietnam bahkan telah menjadi produsen wood pellet terbesar kedua di dunia, dengan menggeser Kanada.  Dan secara nasional, eksport produk-produk kayu Vietnam lebih dari 70% merupakan adalah furniture dan  interior application, 7% untuk panel berbahan dasar kayu, 17% wood chip dan 5% untuk wood pellets. Dan untuk menghasilkan produk-produk tersebut, Vietnam juga mengimport kayu dalam jumlah besar dari lebih 114 negara dan 700 spesies / subspesies, sebesar $3.1 milyar dalam bentuk kayu gelondongan, kayu gergajian dan kayu lapis serta mengimport hampir 2 juta meter kubik kayu keras tropis.   

Pada dasarnya negara-negara produsen besar wood pellet berlomba-lomba ingin meyakinkan Taiwan sebagai pengguna atau pembeli wood pellets tentang kemampuan suplai, termasuk kuantitas dan kualitas, kehandalan logistik dan keberlanjutan pasokannya. Walaupun pasar Jepang dan Korea terus bertumbuh tetapi penetrasi ke pasar baru akan menambah para produsen tersebut. Bahkan di Jepang pembangkit listrik baru juga banyak dibangun sehingga kebutuhan wood pellet juga semakin besar. Selain itu peningkatan rasio cofiring pada pembangkit-pembangkit listrik di Jepang juga akan meningkatakan permintaan wood pellet. 

Dan secara global menurut Hawkin Wright, penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Indonesia tetap memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen wood pellet dunia karena potensi bahan baku yang bisa diupayakan, baik dari limbah-limbah industri kayu dan kehutanan maupun dari kebun energi. Dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dengan Taiwan (dibanding negara produsen wood pellet seperti Amerika Serikat dan Kanada) sehingga biaya logistik atau transportasi lebih murah, maka peluang untuk bersaing juga cukup besar. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia maka Indonesia nomer satu untuk itu. 

Senin, 24 Februari 2025

Cogeneration pada Pabrik Sawit dengan Pirolisis, Langkah Awal Produksi dan Implentasi Biochar

Analoginya seperti halnya cofiring yang dilakukan pada pembangkit pembangkit listrik batubara dengan mencampur bahan bakar biomasa dengan rasio tertentu sebagai upaya dekarbonisasi sektor energi di pembangkit listrik. Sedangkan di pabrik sawit, cogeneration dengan pirolisis sebagai langkah awal inovatif memasuki era carbon negative dengan aplikasi biochar, produk utama pirolisis tersebut. Dan karena semua pabrik sawit memang menggunakan bahan bakar biomasa untuk operasional pabriknya maka sudah merupakan berbasis bahan bakar carbon neutral, tidak seperti pembangkit listrik batubara berbasis bahan bakar carbon positive karena berasal dari fossil.

Berbeda dengan cofiring yang mencampur bahan bakar batubara dan biomasa dengan rasio tertentu lalu dibakar bersama dalam tungku pembakaran seperti pulverized combustion, maka cogeneration dilakukan dengan menghasilkan energi secara terpisah tetapi output energinya untuk penggunaan atau khususnya boiler yang sama. Ini dilakukan karena bisa jadi jenis bahan bakarnya berbeda seperti bahan bakar padat dengan bahan bakar cair ataupun teknologi menghasilkan energi tersebut berbeda. Dengan cogeneration tersebut berarti tidak semua energi dihasilkan dari satu sumber energi atau energi dari cogeneration adalah sumber energi sekunder untuk memenuhi kebutuhan energi total, dan dalam hal cogeneration di pabrik sawit ini, energi dari pembakaran (combustion) masih menjadi energi primer-nya. 

Lalu kenapa kok tidak langsung full pyrolysis saja ? Lebih mudah, secara bertahap bagi pabrik sawit mengadopsi teknologi pirolisis dan karakteristiknya. Karena (slow) pyrolysis tujuannya untuk maximize solid / biochar maka produk samping berupa excess energy (syngas dan biooil) sebagai sumber bahan bakar boiler, nilai kalornya tidak sebanyak pembakaran (combustion) yang memang tujuannya untuk maximize heat. Hanya sekitar 1/3 excess energy tersebut berkontribusi (cogeneration) sebagai bahan bakar boiler. Dengan kata lain apabila langsung full pyrolysis maka jumlah biomasa sebagai bahan baku pyrolysis menjadi 3 kali lipat atau unit pyrolysis menjadi sangat besar sehingga semua limbah biomasa pabrik sawit terpakai, dan pabrik tidak bisa menjual cangkang sawitnya.

Keuntungan apa yang didapat oleh pabrik sawit apabila melakukan cogeneration dengan pyrolysis untuk produksi biochar antara produk biocharnya bisa untuk menghemat pemakaian pupuk di perkebunan sawit, mengatasi masalah limbah tandan kosong sawit sehingga pabrik sawit bisa zero waste, cangkang sawit yang selama ini digunakan untuk bahan bakar boiler bisa dijual sehingga menambah pendapatan, produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit meningkat, aplikasi biochar di kebun sawit juga sebagai solusi iklim (carbon sequestration / carbon sink) sehingga bisa mendapat kompensasi carbon credit dan dengan pengelolaan limbah yang baik bahkan zero waste dan aplikasi biochar di kebun-kebun sawit maka perusahaan sawit akan mendapat citra yang baik pada aspek lingkungan dan keberlanjutan (sustainibility).

Senin, 10 Februari 2025

Mengoptimalkan Pirolisis dan Biochar pada Industri Sawit

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit. 

Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.  Bahkan perluasan lahan sawit terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar.  Dengan membuka hutan 1 juta hektar produksi CPO nasional hanya naik 11% sedangkan tanpa perlu membuka hutan yakni dengan aplikasi biochar bisa terjadi kenaikan produktivitas 20%. Dan kenaikan 20% yield tbs (tandan buah segar) penggunaan biochar adalah estimasi rendah.

Target ideal

Dengan jumlah pabrik sawit di Indonesia yang mencapai lebih dari 1000 unit dan puluhan juta ton limbah biomasa khususnya tandan kosong (tankos) sawit tentu volume produksi biochar yang dihasilkan juga sangat besar. Selain itu teknologi pirolisis bisa menggantikan teknologi pembakaran yang umumnya digunakan di pabrik-pabrik sawit untuk menghasilkan kukus / steam untuk produksi listrik dan sterilisasi tandan buah segar pada produksi CPO. Dengan bahan baku pirolisis menggunakan tankos sawit dan bisa menggantikan cangkang sawit, maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau di eksport. Penjualan cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) tersebut tentu akan memberi tambahan keuntungan yang menarik bagi perusahaan sawit tersebut. Cangkang sawit atau PKS adalah kompetitor utama wood pellet di pasar biomasa global. 

Selain itu penggunaan biochar juga menghemat pemakaian pupuk dan biaya operasional tertinggi pada perkebunan sawit adalah pupuk sehingga ini sangat relevan. Puluhan milyar biaya yang dikeluarkan untuk pupuk bisa dikurangi dengan penggunaan biochar, apalagi biocharnya berasal dari limbah sendiri sehingga otomatis juga akan menjadi solusi pengelolaan limbah biomasa. Termasuk juga biopestisida dan pupuk organik cair juga bisa dihasilkan dari proses pirolisis tersebut. Carbon credit adalah potensi bisnis berikutnya. Hal ini karena aplikasi biochar ke tanah untuk pertanian atau perkebunan tersebut sebagai upaya carbon sequestration / carbon sink. 

Keuntungan yang bisa didapat dari carbon credit biochar ini juga besar bahkan secara global biochar carbon credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi. Tetapi memang banyak produsen besar biochar yang tidak menjual carbon creditnya karena adanya persyaratan metodologi oleh perusahaan-perusahaan carbon standar seperti Puro Earth dan Verra, dan produsen-produsen biochar itu telah nyaman dengan bisnis penjualan biocharnya, apalagi produsen-produsen tersebut telah ada (established) sejak sebelum carbon credit tersedia untuk biochar.  

Jumat, 13 Desember 2024

Produksi Arang untuk Bahan Baku Activated Carbon

Karakteristik arang dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan dan kondisi proses produksinya. Penggunaan arang untuk aplikasi atau industri tertentu juga mensyaratkan spesifikasi atau suatu karakteristik tertentu. Sebagai contoh arang yang digunakan untuk bahan bakar bisa berbeda kebutuhan spesifikasinya dengan spesifikasi arang untuk pertanian (biochar), maupun arang yang digunakan sebagai bahan baku activated carbon. Sejumlah parameter yang bisa diterima pada aplikasi tertentu, bisa tidak diterima pada aplikasi lainnya.

Produk arang yang digunakan untuk bahan baku produksi activated carbon demikian juga. Parameter berupa fixed carbon tinggi (~80%), kekerasan (hardness) yang tinggi, ash content rendah (~3%) serta volatile matter rendah (<10%) menjadi prasyarat untuk spesifikasi atau kualitas arang sebagai bahan baku activated carbon. Sebagai perbandingan arang untuk pertanian (soil amendment) atau biasa disebut biochar memiliki rentang kualitas  atau spesifikasi yang luas, yakni  fixed carbon (FC) lebih rendah,  ash content lebih tinggi dan volatile matter juga lebih tinggi, khususnya pada biochar type agro menurut WBC, sedangkan biochar type premium menurut WBC kualitasnya lebih tinggi atau tertinggi dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Sedangkan biochar type material menurut WBC kualitasnya paling rendah dengan penggunaan terutama industri-industri tertentu saja seperti semen, aspal, plastik, elektronik, dan bahan komposit atau  tidak bisa untuk pertanian, soil application dan consumer products.  

Bahan baku untuk produksi arang untuk produksi activated carbon karena mensyaratkan parameter lebih ketat, khususnya fixed carbon tinggi, ash content rendah dan kekerasan tinggi sehingga bahan baku yang sesuai untuk tujuan tersebut lebih terbatas atau tidak semua biomasa bisa digunakan untuk produksi arang untuk bahan baku activated carbon tersebut. Hal tersebutlah yang membuat tempurung kelapa menjadi bahan baku terbaik dan paling populer untuk produksi arang sebagai bahan baku activated carbon saat ini. Dan bahan baku cangkang sawit (khususnya dura) diperkirakan akan menjadi kandidat berikutnya. Ketersediaan cangkang sawit / palm kernel shell (PKS) yang melimpah menjadi daya tarik tersendiri. Tetapi memang dengan bahan baku arang cangkang sawit ini masih tersisa adanya bau minyak sawit, sehingga tantangan tersendiri bagi produsen activated carbon.  

Selasa, 14 Mei 2024

EFB Pellet Sebagai Bahan Bakar Biomasa Transisi dari PKS ke Wood Pellet Kebun Energi ?

Tingginya kebutuhan cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) membuat ketersediaan atau suplainya semakin terbatas. Properties cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) yang memiliki banyak kemiripan dengan wood pellet membuatnya menjadi pesaing utama bahan bakar biomasa di pasar global. Tingginya kebutuhan cangkang sawit tersebut selain karena harga biasanya lebih murah dibandingkan wood pellet juga ketersediaan yang besar bisa dicapai karena banyaknya pabrik kelapa sawit, juga terutama banyak pembangunan PLTBm baru yang bisa menggunakan 100% cangkang sawit ini yakni PLTBm berteknologi fluidized bed combustion (CFBC atau BFBC), lebih detail baca disini.

Dengan kondisi tersebut maka upaya untuk mendapatkan bahan bakar biomasa baru menjadi penting. Industri kelapa sawit sendiri menghasilkan limbah biomasa yang banyak sehingga potensial sebagai bahan baku bahan bakar biomasa baru tersebut. Salah satu limbah biomasa yang masih belum dimanfaatkan dan volumenya besar sehingga berpotensi mencemari lingkungan adalah tandan kosong (tankos) kelapa sawit atau EFB (empty fruit bunch). Setiap ton produksi minyak mentah sawit atau CPO (crude palm oil) akan dihasilkan limbah tankos atau EFB sebanyak kurang lebih 1 ton juga. Hal ini sehingga dengan kapasitas pabrik sawit rata-rata 45 ton TBS/jam akan dihasilkan minyak mentah sawit (CPO) sekitar  10 ton/jam dan juga limbah tankos atau EFB sebanyak 10 ton/jam. Sehingga misalkan dengan operasional pabrik sawit 20 jam/hari akan dihasilkan limbah tankos atau EFB sebanyak kurang lebih 200 ton/hari.  Dan dengan jumlah pabrik sawit di Indonesia yang diperkirakan mencapai 1.000 unit maka jumlah limbah tankos atau EFB tersebut juga akan sangat banyak.

PKS dan EFB adalah sama-sama limbah biomasa dari pabrik sawit. Keduanya bisa dengan mudah didapatkan dari pabrik sawit dalam jumlah berlimpah. PKS bahkan bisa digunakan secara langsung sebagai bahan bakar biomasa sedangkan untuk tankos atau EFB membutuhkan pre-treatment terlebih dahulu. Tankos atau EFB yang keluar dari pabrik sawit sangat basah serta bentuk dan ukuran yang masih perlu disesuaikan sehingga memudahkan proses lanjutannya. Produksi EFB pellet adalah solusi bagi limbah tankos atau EFB tersebut. Tetapi selain itu supaya produk EFB pellet ini bisa lebih luas penggunaannya atau seperti wood pellet pada umumnya maka ada proses tambahan untuk menurunkan sejumlah kandungan mineral dalam abunya. 


Sedangkan wood pellet dari kebun energi bisa jadi akan menjadi sumber bahan bakar biomasa selanjutnya walaupun saat ini sudah ada yang memulainya. EFB pellet karena bahan bakunya dari limbah pabrik sawit dan melimpah, membutuhkan investasi lebih kecil, sehingga EFB pellet bisa sebagai bahan bakar biomasa transisi sebelum bahan bakar biomasa berupa wood pellet dari kebun energi. Investasi untuk lahan dan persiapannya serta pembuatan kebun energi memakan biaya yang tidak sedikit. Tetapi keunggulan dari wood pellet dari kebun energi ini adalah ketersediaan bahan baku bahkan hingga volume sangat besar lebih bisa dijamin. Selain itu juga ada keuntungan lain dari pemanfaatan daunnya sebagai pakan ternak khususnya ruminansia dan bunganya untuk peternakan lebah madu. 

Jumat, 26 April 2024

Beli Wood Pellet atau PKS (Palm Kernel Shell) ?

Kebutuhan bahan bakar biomasa sebagai upaya dekarbonisasi karena merupakan bahan bakar terbarukan yang netral karbon semakin meningkat. Dua bahan bakar biomasa yang populer di dunia dan bersaing ketat yakni wood pellet dan cangkang sawit (PKS / palm kernel shell). Pada kondisi biasa atau tidak terjadi lonjakan permintaan harga wood pellet biasanya lebih mahal dibandingkan PKS. Hal ini bisa dimaklumi karena produksi wood pellet membutuhkan upaya lebih dibandingkan PKS. Produksi wood pellet membutuhkan sejumlah peralatan dengan investasi yang mahal, sedangkan PKS hanya membutuhkan minim peralatan yakni hanya mesin screening / ayakan saja.  

Tetapi bagaimana jika harga wood pellet dan PKS hampir sama atau bahkan PKS malah lebih mahal ? Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor yakni pertama, pengaruh permintaan pasar. Tingginya permintaan pasar khususnya PKS dari Indonesia dan Malaysia membuat suplai berkurang atau tidak memadai.  Produksi PKS di Indonesia dan Malaysia memang jauh lebih besar dibandingkan produksi wood pellet dari kedua negara tersebut. Selain volume produksinya lebih besar, faktor berupa ketersediaan dan kontinuitasnya (keamanan suplai jangka panjang) lebih bisa dijamin dibanding wood pellets. Hal ini karena diperkirakan ada 1500 pabrik sawit di Indonesia dan Malaysia yang menghasilkan PKS tersebut yang merupakan produk samping atau limbah pabrik sawit tersebut. Hal ini memungkinan terjadinya kontrak panjang antara penjual atau suplier (exporter) dengan pembeli yang biasanya bukan end user tetapi perusahaan dagang (trading company) di Jepang dan Korea. 

Loading PKS untuk export dengan transhipment (ship to ship)

Faktor kedua adalah pungutan dan pajak (tax & levy). Export PKS di Indonesia dikenakan pungutan dan pajak yang nilainya berkorelasi dengan harga minyak mentah sawit. Hal ini karena PKS di Indonesia dimasukkan dalam kategori produk turunan sawit sedangkan di Malaysia tidak dikenakan pungutan dan pajak tersebut, karena PKS di Malaysia dimasukkan ke dalam kategori limbah sawit. Ketika pungutan dan pajak tersebut sedang tinggi, maka otomatis harga PKS juga akan menjadi mahal. Faktor pungutan dan pajak ini adalah hal yang tidak bisa dikontrol oleh para exporter PKS. Melalui organisasi APCASI (Assosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia) mereka memperjuangkan supaya pungutan dan pajak lebih terukur atau lebih murah bahkan kalau bisa ditiadakan seperti di Malaysia. 

Pada dasarnya pembeli akan membeli barang sebagus mungkin dengan harga semurah mungkin, atau barang berkualitas lebih baik tetapi harga lebih murah. Kualitas wood pellet lebih baik dibandingkan PKS yakni dalam hal nilai kalor, kadar abu, keseragaman bentuk serta kadar air. Tetapi  karena faktor volume dan kontinuitasnya (keamanan suplai jangka panjang) yang sering atau masih banyak diragukan sehingga pilihan ke PKS tetap dilakukan. Untuk mengatasi hal tersebut maka produksi wood pellets harus memenuhi kapasitas produksi dengan sumber pasokan bahan baku yang bisa diandalkan. Produksi wood pellet dari kebun energi adalah solusinya. 

Dengan bahan baku kayu dari kebun energi sehingga pasokan bahan baku akan lebih stabil, tidak seperti halnya yang mengandalkan dari mengumpulkan limbah-limbah kayu dari penggergajian kayu (sawmill) atau industri-industri pengolahan kayu. Dengan luas hutan produksi Indonesia mencapai puluhan juta hektar tentu lahan bukan menjadi persoalan dalam produksi wood pellet tersebut. Sentra-sentra produksi wood pellet tersebut bisa dibuat di lahan-lahan hutan produksi tersebut, untuk lebih detail bisa baca disini.   

Jumat, 05 April 2024

Bisnis Utilitas untuk Pabrik Sawit

Ketika prioritas untuk mendapatkan keuntungan maksimal, pengelolaan lingkungan yang baik dan kemudahan, efisiensi serta stabilitas produksi menjadi pilihan, maka bisa jadi masalah atau urusan utilitas pada pabrik sawit dikerjasamakan dengan pihak lain. Spesialisasi tersebut menjadi penting karena pilihan prioritas di atas. Masalah utilitas yang dimaksud adalah listrik dan kukus (steam). Listrik dihasilkan dari steam turbine dan steam dihasilkan dari boiler. Steam tekanan tinggi masuk steam turbine untuk menggerakkan generator dan menghasilkan listrik dan steam tekanan rendah output dari steam turbine digunakan untuk proses sterilisasi TBS. Pengolahan air (water treatment) untuk umpan boiler juga bagian dari masalah utilitas tersebut, demikian juga untuk operasional boiler hingga menghasilkan output berupa listrik dan steam tersebut. 

Terkait kerjasama atau model bisnisnya pabrik sawit bisa membayar untuk listrik dan steam yang diterimanya. Tetapi karena bahan bakar atau energi untuk menghasilkan listrik dan steam berasal dari pabrik sawit maka tentu saja harganya lebih murah. Apabila saat ini hampir semua pabrik sawit menggunakan bahan bakar boilernya dari sabut (mesocarp fibre) dan cangkang sawit (palm kernel shell), maka dengan spesialisasi ini maka bisa saja sabut dan tandan kosong sawit yang digunakan sebagai bahan bakar atau sumber energi sedangkan cangkang sawit bisa 100% dijual bahkan dieksport. Cangkang sawit sebagai bahan bakar biomasa memang bisa langsung dijual dan banyak peminat, dan juga merupakan pesaing utama wood pellet di pasar global bahan bakar biomasa. 

Dengan kondisi tersebut maka ada upaya peningkatan efisiensi produksi utilitas seperti steam dan listrik seoptimal mungkin, bahkan tidak hanya teknologi pembakaran dengan static grate, moving grate, reciprocating grate hingga fluidized bed, tetapi bahkan juga dimungkinkan penggunaan pyrolysis. EFB atau tandan kosong sawit yang sebelumnya banyak tidak diolah dan menjadi masalah lingkungan bisa menjadi sumber energi potensial sehingga 100% cangkang sawit / pks dari pabrik sawit bisa dikomersialisasi / dijual. Dan bahkan apabila penyedia utilitas tersebut menggunakan pirolisis maka akan didapat juga biochar. Biochar banyak memberi keuntungan terkait kesuburan tanah dan iklim.

Kamis, 04 April 2024

Meng-upgrade Industri Sawit di Indonesia

Dengan luas perkebunan sawit Indonesia yang mencapai sekitar 15 juta hektar dan pabrik sawitnya mencapai 1000 unit, maka upaya meng-upgrade industri sawit menjadi penting dan strategis. Produksi minyak sawit atau CPO Indonesia per tahun sekitar 46 juta ton (sedangkan Malaysia di urutan kedua sekitar 19 juta ton/tahun).  Upaya meng-upgrade industri sawit tersebut akan meningkatkan produktivitas / efisiensi, sustainability dan mendorong penciptaan produk/pasar baru serta nilai tambah kelapa sawit. Hal-hal yang bisa diupgrade meliputi sejumlah bidang kunci antara lain bioenergi, biomaterial dan oleokimia, pangan dan pakan, kesuburan tanah (lahan, tanah dan budidaya), pasca panen dan pengolahan, pengolahan limbah dan lingkungan serta  sosial ekonomi, manajemen dan bisnisnya. 

Salah satu hal konkrit yang bisa dilakukan adalah produksi biochar dari limbah pabrik sawit khususnya tandan kosong sawit (empty fruit bunch) dan sabut sawit (mesocarp fiber). Produksi biochar dengan pirolisis akan menghasilkan excess energy (syngas & biooil) yang bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler pada pabrik sawit. Selanjutnya aplikasi biochar dengan pupuk pada perkebunan sawit akan menjadi slow release fertilizer (SRF) sehingga  meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi (NUE/nutrient use efficiency). Kondisi banyaknya perkebunan sawit yang berada pada tanah masam juga akan menjadi meningkat pH -nya ketika ada aplikasi biochar tersebut. 

Pada operasional perkebunan sawit, pupuk adalah komponen biaya tertinggi sehingga apabila bisa meningkatkan efisiensi pupuk akan memberi keuntungan signifikan. Penggunaan biochar menjadi solusinya, yakni dengan SRF tersebut. SRF juga meminimalisir pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk. Sedangkan pada operasional pabrik sawit energi adalah komponen vitalnya, dan apabila ini bisa memaksimalkan penggunaan limbah yang tidak punya nilai ekonomis tentu akan sangat ekonomis selain tentu saja mengatasi masalah lingkungan akibat limbah tersebut. Saat ini untuk bahan boiler pabrik sawit menggunakan sabut sawit dan sebagian cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) sedangkan umumnya tandan kosongnya belum dimanfaatkan, padahal cangkang sawit ini bisa langsung dijual dan laku keras. Hal ini sehingga apabila sumber energi hanya berasal dari sabut sawit dan tandan kosong maka 100% cangkang sawit bisa dijual. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pirolisis.

Biochar di dalam tanah mampu bertahan ratusan bahkan ribuan tahun. Biochar yang berasal dari limbah pertanian seperti tandan kosong dan sabut sawit tersebut akan menjadi carbon sink melalui simpanan karbon (carbon sequestration), sehingga konsentrasi CO2 di atmosfer berkurang sepanjang biochar tidak terdekomposisi. Dari perspektif iklim hal ini sangat bermanfaat dan nantinya bisa mendapatkan kompensasi berupa carbon credit. Sejumlah standar dan metode verifikasi-nya untuk memudahkan monetisasinya sedang dikembangkan saat ini.

Tandan kosong dan sabut sawit adalah limbah dari pabrik sawit sedangkan aplikasi biochar di perkebunan sawit. Manajemen pada industri sawit pada umumnya memisahkan antara divisi pabrik dan divisi kebunnya sehingga perlu cara pengelolaan baru apabila produksi biochar dengan pirolisis ini dilakukan. Selain penggunaan biochar tersebut untuk kebun inti, penggunaannya juga bisa untuk kebun plasma. 

Selasa, 12 Maret 2024

Perusahaan Eksportir Cangkang Sawit dan Mengembangkan Usaha Produksi Wood Pellet

Loading cangkang sawit / pks untuk export

Trend dekarbonisasi yang terus meningkat seiring dengan kebutuhan bahan bakar biomasa yang terus meningkat membuat sejumlah perusahaan eksportir cangkang sawit / pks (palm kernel shell) berencana mengembangkan usaha ke produksi wood pellet. Eksportir cangkang sawit yang sudah mapan biasanya telah memiliki kontrak penjualan dengan pembeli di luar negeri, yang bisa jangka pendek maupun kontrak jangka panjang. Eksportir cangkang sawit ini hanya mengumpulkan cangkang sawit dari sejumlah pabrik sawit / pabrik CPO selanjutnya dibersihkan dan pengeringan sederhana untuk siap dikapalkan.  Memang ada juga sejumlah pembeli cangkang sawit di luar negeri yang tidak perlu dibersihkan dan pengeringan sehingga harganya juga lebih murah. Pembersihan cangkang sawit itu biasanya menggunakan mesin ayakan (screening) baik vibrating screen maupun rotary screen, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk pengeringan biasanya juga hanya diangin-anginkan saja dengan sesekali dibalik tumpukan cangkang sawit tersebut dengan mesin excavator.

Cangkang sawit dan wood pellet adalah dua bahan bakar biomasa yang populer di pasar bahan bakar biomasa global. Cangkang sawit adalah kompetitor utama produk wood pellet karena memiliki sifat-sifat / properties yang hampir sama seperti calorific value, ash content, ukuran dan sebagainya tetapi cangkang sawit biasanya lebih murah karena merupakan produk samping atau limbah dari pabrik sawit dan hanya membutuhkan proses sederhana untuk bisa dieksport. Sedangkan wood pellet walaupun bahan baku bisa berasal dari limbah-limbah industri perkayuan ataupun penggergajian kayu tetapi membutuhkan proses produksi lebih kompleks berikut investasi peralatan yang dibutuhkan.

Tipikal Circulating Fluidized Bed (CFB) di Jepang

Cangkang sawit dan wood pellet sebagian besar digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik di luar negeri seperti Jepang dan Korea. Wood pellet hampir bisa digunakan pada semua pembangkit listrik batubara secara cofiring sedangkan cangkang sawit lebih terbatas. Hal tersebut terutama karena untuk menghancurkan cangkang sawit dan dicampur dengan bubuk batubara pada pulverized combustion lebih sulit. Cangkang sawit bisa digunakan 100% pada pembangkit listrik yang berteknologi fluidized bed ataupun stoker. Dan saat ini cukup banyak pembangkit listrik di Jepang yang menggunakan teknologi fluidized bed tersebut. 

Dan karena berada di pasar yang sama, para eksporter cangkang sawit juga sangat mungkin mengetahui kebutuhan wood pellet. Pembeli-pembeli cangkang sawit di luar negeri tersebut biasanya juga pembeli wood pellet juga. Praktek mengumpulkan cangkang sawit dari pabrik-pabrik sawit juga sama seperti mengumpulkan limbah-limbah kayu dari industri pengolahan kayu maupun penggergajian kayu, sehingga seharusnya bukan hal yang sulit bagi eksporter cangkang sawit tersebut. Tetapi pembuatan kebun energi sebagai bahan baku produksi wood pellet adalah solusi idealnya. Pengumpulan limbah-limbah kayu atau bekerjasama dengan industri kayu yang produksi limbah tersebut sebagai solusi antara dan kebun energi sebagai solusi ideal. Dengan demikian bagi eksportir cangkang sawit dengan ekspansi ke usaha produksi wood pellet memang sangat beralasan.    

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Berkelanjutan

Sabut kelapa menempati porsi 30% atau sekitar sepertiga dari berat buah kelapa. Bahan ini pada umumnya hanya ditinggal di kebun dan sebagian...