Tampilkan postingan dengan label baja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label baja. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Mei 2024

Dekarbonisasi Pada Industri Baja Bagian 2 : Arang sebagai bahan bakar dan reduktor di Blast Furnace

Pada dasarnya kondisi setiap industri baja bervariasi sehingga proses dekarbonisasi juga dilakukan dengan rute yang berbeda-beda dan bertahap untuk mencapai kondisi nett zero emission. Kondisi setiap industri baja memiliki konfigurasi unik teknologi produksinya, bahan baku dan sumber energi, kapasitas dan yield, persyaratan peraturan dan sebagainya. Untuk mencapai Net-zero pada tahun 2050 maka sejumlah hal perlu dilakukan seperti efisiensi penggunaan bahan baku, meningkatkan porsi reuse dan recycling, retrofit dan advanced technology, dan terutama yakni berupaya menggunakan sumber energi terbarukan sebagai bahan bakar dan reduktor pada industri besi dan baja tersebut. Tetapi faktanya pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini , tetapi ada upaya transisi bisa dilakukan seperti diuraikan dibawah ini. Transisi tersebut dipengaruhi oleh permintaan dari pasar, intervensi kebijakan, dan insentif diberikan kepada produsen untuk mengurangi emisi pada produksi baja tersebut. 

Untuk membuat kebijakan-kebijakan terkait transisi tersebut, pemberian insentif penurunan emisi untuk produsen dan menciptakan permintaan pasar untuk “green steel” maka sangat diperlukan definisi yang jelas antara emisi rendah (low emission) vs. emisi hampir nol (near zero emissions) vs emisi nol emisi (net-zero emissions)  Diperkirakan pada tahun 2021 emisi gas CO2 dari industri ini adalah 3,8 Gt secara global (hal ini pun emisi metana dari penambangan batubaranya belum diperhitungkan). Sedangkan untuk kondisi Net-zero 2050, emisi CO2 langsung dari industri besi dan baja global harus diturunkan menjadi 1,8 Gt CO2 pada 2030 dan 0,2 Gt pada 2050. Terlihat masih perlu banyak upaya keras untuk mencapai target tersebut, bahkan dengan kondisi saat ini banyak yang pesimis. 

Salah satu pemanfaatan biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral pada industri besi dan baja adalah penggunaan arang sebagai bahan bakar dan reduktor. Biomasa seperti kayu harus dikarbonisasi atau dipirolisis untuk menjadi arang tersebut. Penggunaan arang pada blast furnace selain menurunkan emisi karbondioksida (CO2), juga emisi sulfurdioksida (SO2) karena kandungan sulfur dari arang sangat rendah (sekitar 100 kali lebih rendah) dibandingkan kokas (coke). Begitu juga penggunaan batu kapur (limestone) akan berkurang sehingga produksi slag otomatis juga berkurang. Demikian juga membuat operasi blast furnace bersifat asam. 

Disamping sejumlah keuntungan yang didapat seperti diatas ternyata ada kekurangan penggunaan arang pada blast furnace yakni pada blast furnace besar yang menyebabkan operasionalnya bermasalah karena kekuatan (strength) arang biasanya lebih rendah dibanding kokas. Sebagai solusinya yakni ada tiga metode penggunaan arang pada proses blast furnace. Pertama, dengan pulverized charcoal injection (PCI). Dengan metode ini arang harus dihancurkan menjadi bubuk lembut dan dinjeksikan ke dalam blast furnace. Kedua, dengan bubuk arang yang dicampurkan bubuk kokas menjadi pellet atau briket yang disebut charcoke. Dengan dibuat charcoke ini kekuatannya menjadi mencukupi untuk penggunaan pada blast furnace konvensional. Dan ketiga, dengan menggantikan kokas dengan arang bongkahan (lump charcoal) untuk blast furnace kapasitas kecil (inner volume 60 – 550m3). Pada blast furnace kapasitas kecil tekanan kompresi pada tiap partikel arang jauh lebih kecil dibandingkan dengan blast furnace kapasitas besar. Sintering dan pelletisation tidak dibutuhkan dalam hal ini. 

Kebun energi atau kebun biomasa bisa dibuat khusus sebaga pemasok bahan baku untuk produksi arang tersebut. Kebun energi tersebut juga akan menyerap karbon dari atmosfer (carbon sink) dengan volume tertentu. Volume karbon dari atmosfer tersebut bisa dijaga sedemikian rupa sehingga fungsi sebagai penyerap karbon bisa dilakukan, yakni dengan cara jumlah kayu yang dipanen untuk produksi arang tidak boleh melebihi kecepatan tumbuh biomasa kayunya. Dengan cara ini maka kebun energi tidak boleh habis sekali panen tetapi berkesinambungan dengan dipertahankan volume atau luasannya. 

Dengan teknologi pirolisis kontinyu maka produksi arang akan bisa dioptimalkan. Dengan teknologi pirolisis kontinyu tersebut selain kapasitas produksi arang besar, juga dihasilkan produk samping yang multi-manfaat seperti produk gas yang bisa digunakan sebagai sumber energi demikian juga biooil. Biooil juga bisa dimanfaatkan sebaga bahan baku di industri kimia. Produksi arang puluhan hingga ratusan ton per hari juga memungkinkan dengan teknologi pirolisis kontinyu. 

Dan khususnya di Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia yakni diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta hektar dan dengan pabrik sawitnya mencapai sekitar 1000 unit banyak limbah sawit yang bisa dimanfaatkan khususnya tandan kosong sawit atau EFB (empty fruit bunch). Potensi produksi arang dari EFB tersebut juga sangat besar. Selain itu juga sebaga produsen batubara terbesar no 5 di dunia dengan produksi berkisar 570 juta ton per tahun, maka batubara juga perlu diolah menjadi kokas. Arang dari tandan kosong atau EFB tersebut bisa dibuat bubuk untuk PCI atau menjadi charcoke dengan dipadatkan yakni dibuat pellet atau briket dengan kokas.

Minggu, 25 Februari 2024

Dekarbonisasi Pada industri Baja

Produksi baja dunia mencapai 1,9 miliar ton pada tahun 2020, dengan komposisi China sekitar setengahnya dan diikuti negara-negara Uni-Eropa. Jerman dengan produksi tahunan dikisaran 42 juta ton adalah sebagai produsen baja terbesar di Eropa atau sekitar seperempat produksi baja Eropa, sedangakn seperempat lainnya adalah Italia dan Perancis, kemudian diikuti Belgia, Polandia, Spanyol. Industri baja ini berkontribusi menyumbang CO2 sebanyak 8% secara global, setiap ton produksi baja menghasilkan emisi CO2 rata-rata sebanyak 1,85 ton dan dibanding pertambangan bijih besinya, produksi besi dan baja berkontribusi jauh lebih besar pada emisi CO2. Upaya dekarbonisasi industri baja dimulai dengan pengunaan energi terbarukan untuk peleburan / smelter-nya. Bahan bakar berbasis biomasa berupa arang yang memiliki nilai karbon tinggi bisa menggantikan penggunaan kokas yang berasal dari batubara. Dan penggunaan hidrogen dari sumber energi terbarukan menjadi target puncak dekarbonisasi pada industri baja tersebut. 


Saat ini industri baja sebagian besar menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya dengan menggunakan blast furnace. Untuk mengurangi intensitas karbon maka digunakan bahan bakar gas atau gas alam sebagai bahan bakarnya. Penggunaan bahan bakar gas (BBG) berupa gas alam tersebut juga sebagai media transisi dan pada dasarnya karena berasal dari bahan bakar fossil maka juga merupakan bahan bakar karbon positif. Selain itu penggunaan BBG berupa gas alam juga sebagai bahan bakar transisi sebelum ke hidrogen dari energi terbarukan. Penggunaan bahan bakar karbon berbasis biomasa berupa arang memiliki efek lebih baik bagi iklim karena merupakan bahan bakar karbon netral. Selain itu secara teknis karena merupakan bahan bakar padat sama seperti batubara maka praktis tidak banyak bahkan tidak perlu perubahan atau modifikasi pada tungku peleburannya. Faktor ketersediaan arang berkualitas tinggi, volume besar dan suplai yang kontinyu masih menjadi kendala utamanya.

Penggunaan arang untuk metalurgi atau pembuatan baja sebenarnya sudah pernah menjadi hal biasa pada beberapa waktu lalu. Pada era awal tahun 1900an produksi arang dunia mengalami masa kejayaannya dengan produksi lebih dari 500 ribu ton. Pada tahun 1940an produksi arang mengalami penurunan menjadi hampir ½ dari era awal 1900an yang diakibatkan material karbon lainnya yakni batubara yang menggantikan arang pada pembuatan logam-logam.  

Dengan kondisi saat ini berupa penggunaan batubara sebagai bahan bakar utama pada tungku peleburan atau di blast furnace, maka akan dihasilkan slag. Slag atau GGBFS (Grounded Granulated Blast Furnace Slag) dari pabrik baja tersebut digunakan untuk pabrik semen sebagai bahan aditif semen atau  SCM (supplementary cementious material) sehingga mengurangi porsi clinker pada produks semen. Pada pabrik semen sendiri semakin banyak penggunaan slag atau SCM maka semakin mengurangi penggunaan clinker sehingga juga mengurangi emisi CO2. Pada produksi semen bagian produksi clinker-nya berkontribusi paling besar pada emisi CO2 yang dihasilkan sehingga penggunaan slag atau SCM tersebut merupakan bagian dekarbonisasi pada pabrik semen. Diperkirakan sekitar 70% produksi baja dunia menggunakan blast furnace atau proses BF-BOF yang menghasilkan jumlah GGBFS cukup banyak, bahkan di China lebih dari 90% produksi baja menggunakan proses BF-BOF tersebut. Perlu dicatat bahwa dekarbonisasi sektor baja mengakibatkan peralihan dari blast furnace, yang akan berdampak pada ketersediaan GGBFS di seluruh dunia pada dekade mendatang. Namun, perubahan ini akan terjadi secara perlahan dan bertahap dan, sementara itu, terdapat sejumlah GGBFS yang akan tersedia untuk digunakan sebagai SCM guna mengurangi jejak karbon pada semen dan beton.

Untuk bisa produksi arang dalam jumlah besar tentu juga dibutuhkan bahan baku dalam jumlah besar. Bahan baku berupa biomasa khususnya kayu bisa diproduksi dari kebun energi. Kebun energi dari tanaman rotasi cepat trubusan akan cocok untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut karena selain masa panennya cepat juga memiliki produktivitas yang tinggi. Selain itu juga tidak perlu menanam ulang atau replanting untuk setiap kali panen dan mudah tumbuh serta mudah dalam pemeliharaannya. Untuk produksi baja per ton dibutuhkan energi rata-rata 6.000 MJ (setara 50 kg hidrogen) atau setara 200 kg arang dan memerlukan bahan baku biomasa kayu sekitar 600-800 kg. Selain bahan baku dari kayu kebun energi, bahan baku dari limbah-limbah pertanian maupun perkebunan juga bisa digunakan. 

Industri sawit masa depan bisa saja sebagai penghasil hidrogen dari biogasnya. Setiap ton baja akan membutuhkan 50 kg hidrogen, sedangkan setiap pabrik sawit dengan kapasitas 30 tbs/jam bisa menghasilkan listrik 1 MWh, sedangkan untuk produksi 1 kg hidrogen dibutuhkan 50 KWh, sehingga dengan kapasitas pabrik sawit tersebut bisa menghasilkan 20 kg hidrogen. Daerah dengan konsentrasi pabrik sawit yang tinggi seperti provinsi Riau bisa saja membuat jaringan pipa hidrogen tersebut untuk pabrik baja yang ramah lingkungan. 

Dengan harga lebih mahal untuk baja yang dihasilkan dengan energi terbarukan (green steel), membuat pangsa pasar juga terbatas. Saat ini hanya penggunaan tertentu seperti otomotif yang membeli baja premium atau green steel tersebut. Upaya dekarbonisasi pada pabrik baja juga bisa dilakukan bertahap, seiring perkembangan energi terbarukan. Dengan semakin banyaknya suplai energi terbarukan maka harganya akan semakin turun sehingga baja ramah lingkungan (green steel) juga semakin kompetitif harganya. Pabrik-pabrik baja baru bisa mendekati sumber-sumber energi terbarukan yang murah tersebut sehingga bisa produksi green steel menjadi kompetitif.

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...