Dibandingkan bahan bakar biomasa konvensional seperti wood pellet yang hanya mampu maksimal 10% di co-firing dengan batubara karena sifat fisika kimia yang jauh berbeda sedangkan apabila prosentase co-firing dengan batubara dinaikkan menjadi 20% diperlukan penambahan investasi yang besar untuk handling dan processingnya, maka torrefied wood bahkan mampu dico-firing dengan batubara hingga 40%. Keuntungan lainnya adalah pada sisi powerplant juga hanya dibutuhkan sedikit tambahan investasi untuk handling dan processingnya untuk torrefied wood, dikarenakan sifat fisika-kimia yang tidak jauh berbeda.
Densifikasi atau pemadatan torrefied wood menjadi pellet atau briket juga akan memberi penghematan yang lebih significant dibandingkan wood pellet, yakni 15.0-18.7 MJ/M3 pada torrefied pellet dan 7.5-10.4 MJ/M3 pada wood pellet. Karena torrefied wood rapuh, sehingga bisa dipulverize dan
dibakar dengan batubara lebih disarankan, daripada menggunakan material
handling, pemrosesan hingga sistem injeksi terpisah. Hal ini akan menghasilkan
penghematan yang signifikan pada modifikasi peralatan ketika cofiring pada
prosentase lebih besar. Sejumlah limbah biomasa agroindustri seperti tandan
kosong sawit dan jerami bisa di torrefaksi seperti halnya biomasa berkayu,
untuk menyempurnakan kondisi pemakaran di sistem batubara.
Cofiring torrefied wood telah sukses dilakukan salah satunya di PLTU batubara di Borselle,
Belanda.Riset juga menunjukkan bahwa penghalusan torrefied wood menjadi bubuk dengan distibusi dan ukuran partikel tertentu memungkinkan untuk terjadinya smooth fluidization regimes pada pengumpanannya pada entrained flow process (gasifier & pulverized coal boiler).