Senin, 10 April 2023

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 4

Pabrik atau industri semen selain sebagai industri yang memanfaatkan atau mengolah limbah seperti slag dan fly ash sehingga terbentuk pola circular economy, juga merupakan industri yang memusnahkan limbah yakni dengan cara menggunakannya sebagai bahan bakar. Bahan bakar RDF dari sampah kota adalah sumber energi alternatif yang banyak digunakan oleh industri semen khususnya pada pembuatan clinker. Selain membantu mengatasi masalah lingkungan berupa pencemaran lingkungan dari sampah kota tersebut, penggunaan RDF (Refuse Derived Fuel) juga membantu menurunkan emisi karbon atau bagian upaya dari dekarbonisasi. Terkait mengatasi masalah lingkungan bahan bakar alternatif seperti ban bekas yang dicacah menjadi tyre chip dan plastik juga sering digunakan. Selain bahan-bahan bakar alternatif tersebut, limbah biomasa seperti limbah pertanian dan limbah peternakan juga mulai digunakan. Limbah biomasa tersebut 100% bahan bakar terbarukan, sehingga lebih sejalan dan ramah lingkungan. Penggunaan limbah pertanian seperti sekam padi dan kotoran ternak kotoran unta adalah contoh penggunaan limbah biomasa tersebut, untuk lebih detail baca disini

Dengan beroperasi pada suhu tinggi sehingga pabrik semen bisa berfungsi sebagai pemusnah limbah yang efektif. Terkait hal itu dipersyaratkan test DRE (Destruction Removal Efficiency) yang harus memenuhi nilai sangat tinggi atau hampir 100% (99,9999%) untuk bisa melakukan aktivitas pemusnahan limbah tersebut. Kegagalan mencapai nilai tersebut karena temperatur yang kurang tinggi, sehingga konsekuensinya tidak semua fasilitas di pabrik semen bisa untuk memusnahkan atau membakar limbah tersebut, hanya burner di kiln yang beroperasi di atas suhu 1200 derajat celcius yang bisa melakukannya, yang teknisnya limbah atau bahan bakar alternatif tersebut juga memiliki feeding point tersendiri.

Disamping karena mati listrik, operasional pabrik semen bisa berhenti karena terjadi blocking. Blocking tersembut menyumbat cyclone pada preheater maupun calciner. Penyebab utama terjadi blocking adalah karena kandungan sulphur yang terutama dari batubara dan petcoke atau bisa juga bahan bakar alternatif yang memiliki kandungan sulphur tinggi seperti ban (tyre chip), yang sulphur tersebut selanjutnya bereaksi dengan alkali sehingga membentuk senyawa yang mudah menempel di dinding cyclone tersebut atau bahkan kiln. Hal ini sehingga prosentase sulphur perlu dibatasi. Dan penyebab blocking yang kedua adalah khlor, yang juga bereaksi dengan alkali sehingga mudah menempel di dinding alat tersebut, tetapi bedanya blocking karena khlor terjadi pada suhu lebih rendah, sehingga menempel pada cyclone bagian atas. Hal ini sehingga prosentase khlor juga perlu dibatasi.  

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, penggunaan bahan bakar alternatif khususnya dari bahan yang terbarukan penting dilakukan, apalagi bahan bakar terbarukan seperti biomasa memiliki kandungan sulphur sangat rendah, demikian juga khlor-nya, tetapi bahan bakar alternatif tertentu harus dikalkulasi secara cermat terutama kandungan sulphur dan khlor, sehingga tidak terjadi blocking. Sedangkan bahan bakar fossil seperti batubara dan petcoke selain kontra dengan upaya dekarbonisasi juga ternyata juga penyebab utama terjadi blocking atau penyumbatan. Hal tersebut sehingga penggunaan bahan bakar atau energi fossil harus semakin dikurangi. 

Jumat, 07 April 2023

Merintis Export Hay dari Limbah Daun Kebun Energi

Tingginya kebutuhan pakan khususnya unsur protein di Eropa, di sisi lain adalah peluang tersendiri. Limbah daun dari kebun energi dengan jumlah berlimpah bisa sebagai komoditas export untuk mengisi peluang tersebut. Daun tersebut bisa diolah menjadi hay lalu dipadatkan (biomass densification) menjadi kotak-kotak besar dan siap diexport. Dengan kondisi iklim tropis maka produksi biomasa khususnya untuk energi terbarukan, pakan dan pangan melalui kebun energi adalah upaya ideal yang solutif. Produk kayu akan menjadi bioenergi khususnya menjadi produk wood pellet, daun menjadi komoditas export pakan ternak, dan madu sebagai makanan bernutrisi tinggi yang multimanfaat. Jutaan hektar lahan potensial untuk pembuatan kebun energi tersebut sehingga memaksimalkan manfaat penggunaan lahan, apalagi dengan kondisi iklim tropis yang mendukung.

 
Belajar dari negara bagian Oregon di Amerika Serikat yang sukses sebagai exporter rumput hay sebagai sumber serat pada pakan ternak. Tercatat lebih dari 900.000 ton per tahun export rumput hay tersebut dari Oregon dengan negara tujuan yakni Jepang, Taiwan dan Korea. Bisnis tersebut telah ada lebih dari 30 tahun lalu. Mekanisasi pertanian dan penggunaan teknik pertanian modern telah membantu berkembangnya bisnis tersebut. Sejumlah spesies rumput yang mereka budidayakan antara lain annual ryegrass (Lolium multiflorum), perennial ryegrass (L.perenne), bent grass (Agrostis spp.), fine fescue (Festuca spp), Kentucky blue grass (Poa pratensis), Orchad grass (Dactylis glomerata) dan tall fescue (F.arundinacea). 

Perbedaan hay dan jerami kering (straw) kadang masih sering membingungkan. Hay dibuat dari tangkai, dedaunan, dan pucuk tanaman yang segar. Banyak tanaman dapat digunakan untuk dijadikan hay, sebagai contoh di Iowa, Amerika Serikat alfaalfa dan semanggi (clover) paling umum digunakan. Jika dipotong dan dipak (dipadatkan) hampir semua kandungan nutrisi tidak hilang dan digunakan sebagai pakan ternak. Sedangkan jerami juga terbuat dari tangkai dan daun dari tanaman, tetapi dipotong setelah tanaman tersebut dewasa dengan pucuknya atau buahnya telah dipanen untuk hal lain. Jerami ini hanya memiliki nilai nutrisi yang sangat kecil dan penggunaannya terutama sebagai alas tidur ternak (animal bedding).  Syarat tanaman yang dibuat hay adalah bertekstur halus, dipanen pada awal musim berbunga serta dipanen dari area yang subur.  

Produksi hay dilakukan dengan memotong hijauan (rerumputan atau dedaunan) selanjutnya  melayukan dan mengeringkan hijauan tersebut, selanjutnya untuk memudahkan penyimpanan, transportasi dan penggunaannya, maka hay tersebut perlu dipadatkan. Pakan ternak dalam bentuk kering seperti hay akan membuatnya mampu bertahan hingga nutrisi tetap terjaga. Sejarah pembuatan hay diperkirakan bermula pada akhir abad 19, saat itu alfaalfa diperkenalkan di Iowa dan menjadi tanaman paling populer untuk produksi hay. Alfalfa sendiri berasal dari Asia tengah yang pertama kali digunakan untuk pakan ternak dan selanjutnya alfalfa ini menyebar ke berbagai belahan dunia. Daun legum dari kebun energi juga sangat potensial sebagai pakan ternak dan pengolahan menjadi bentuk hay akan meningkatkan pemanfaatannya termasuk bahkan juga nilai keekonomiannya. Pada industri hay komersial alat-alat mekanis modern digunakan terutama untuk pemadatan dengan membuat balok-balok atau kotak-kotak dengan target produksi tinggi, seperti halnya pada video di link berikut di sini.    

Minggu, 02 April 2023

Menjadi Trendsetter Produsen Minyak Nabati Dunia

Dalam pasar minyak nabati, terdapat 4 jenis minyak nabati yang banyak dikonsumsi di seluruh dunia yaitu minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak sawit dan minyak rapeseed. Berdasarkan data USDA (2018) secara total luas area 4 tanaman penghasil minyak nabati tersebut pada tahun 2017 adalah sekitar 208 juta hektar. Kebun kedelai memiliki proporsi luas areal terbesar yaitu 126 juta hektar (61 persen), sedangkan luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 21 juta hektar (10 persen). Namun dengan luas areal 126 juta hektar, kedelai hanya mampu menghasilkan minyak 56 juta ton atau hanya 32 persen dari produksi 4 minyak nabati utama dunia. Sebaliknya kelapa sawit dengan areal seluas 21 juta hektar mampu menghasilkan 73 juta ton atau 42 persen dari produksi 4 minyak nabati utama dunia.

Tingginya tingkat produksi minyak sawit diperoleh dari produktivitas minyak perkebunan sawit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dibandingkan produktivias tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Menurut Oil World (2018), rata-rata produktvitas kelapa sawit yaitu 4,27 ton/hektar, sementara produktivitas tanaman penghasil minyak nabati lainnya hanya 0,4 – 0,6 ton/ha. Produktivitas minyak kelapa sawit jauh lebih tinggi sekitar 8-10 kali lipat dibandingkan jenis lainnya menjadikan kelapa sawit memiliki keunggulan komparatif dibanding minyak nabati lainnya. Keunggulan komparatif ini dapat dimaknai penghematan deforestasi di berbagai kawasan dunia apabila minyak sawit dikonsumsi oleh masyarakat global atau untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama lahan yang dibutuhkan kelapa sawit 8-10 kali lebih kecil dibandingkan tanaman lainnya.  

Dengan produktivitas minyak sawit per tahun rata-rata 4,27 ton/hektar atau 17 ton TBS/tahun, sebenarnya hal ini masih cukup rendah dan bisa dinaikkan produktivitasnya hingga mencapai sekitar 30 ton TBS/hektar atau menghasilkan minyak 7,5 ton/hektar. Meningkatkan produktivitas sawit tersebut terutama dengan meningkatkan kesuburan tanahnya sehingga efisiensi pemupukan meningkat. Pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) adalah pupuk yang efisien sehingga hemat secara ekonomi dan ramah lingkungan. Selain itu dengan penggunaan biochar, selain sebagai agen lepas lambat pada pupuk tersebut juga akan memperbaiki kualitas atau kesuburan tanah yakni dengan meningkatkan porositas tanah, menyediakan karbon organik, menaikkan pH tanah, menahan air dan hara sehingga lebih tersedia bagi tanaman dan sebagai media untuk koloni mikroba tanah. Dengan peningkatan produktivitas sawit tersebut, diikuti penghematan pupuk karena efisiensi meningkat, meminimalisir pencemaran lingkungan sehingga biaya produksi bisa ditekan, berarti telah setara meningkatkan efisiensi lahan 76%. Artinya dengan produktivitas sawit per tahun 30 ton TBS/hektar, atau 7,5 ton/hektar dan apabila dibandingkan dengan dengan nabati lainnya 15 kali lipat lebih hemat lahan atau untuk per ton minyak sawit butuh 0,13 hektar sedangkan minyak nabati lainnya membutuhkan lahan 2 ha.  

Solusi iklim berupa carbon sequestration / carbon sink juga sekaligus bisa dilakukan dengan aplikasi biochar tersebut. Setiap 1 ton biochar akan menyimpan atau mengurangi CO2 (karbondioksida) di atmosfer sebanyak kurang lebih 3 ton. Carbon credit dari aplikasi biochar tersebut menjadi penghasilan tambahan yang cukup besar selain dari efisiensi pupuk dan peningkatan produktivitas panen termasuk hasil minyak sawitnya. Apalagi nilai carbon credit juga cenderung naik dan mekanisme carbon (CO2) removal dengan biochar akan menjadi trend di masa depan. Besarnya pendapatan dari carbon credit sebanding dengan jumlah aplikasi biochar di perkebunan sawit tersebut yang juga akan sebanding dengan luasan perkebunan sawitnya. 

Luasan perkebunan sawit berkisar ribuan hingga puluhan ribu hektar yang dimiliki oleh suatu perusahaan adalah hal yang banyak ditemui di Indonesia. Hal ini mengindikasikan tentang potensi bisnis yang bisa dilakukan. Dengan luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai sekitar 15 juta hektar saat ini, sebanyak 40%  (6 juta hektar) adalah perkebunan rakyat sehingga luas perkebunan perusahaan 60% (9 juta hektar) yang terbagi menjadi dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%), untuk lebih detail baca disini. Pohon atau tanaman sawit sendiri hanya bisa berproduksi dengan baik pada daerah tropis karena faktor Suhu berpengaruh pada produksi melalui laju reaksi biokimia dan generative dalam tubuh tanaman. Sampai batas tertentu, suhu yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya produksi buah. Suhu 20 C disebut sebagai batas minimum bagi pertumbuhan generative dan suhu rata-rata tahunan sebesar 22-23 C diperlukan untuk berlangsungnya produksi buah.  Hal itulah mengapa tidak semua lokasi di bumi dapat dibudidayakan sawit padahal produktivitas minyaknya terbesar dibanding tanaman lainnya, sehingga menjadi keunggulan komparatif tersendiri. 

Sedangkan dari teknologi produksi biochar, juga dimungkinkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar padat seperti cangkang sawit yang biasa digunakan pada boiler di pabrik sawit. Cangkang sawit yang merupakan bahan bakar biomasa dan digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik sawit selain fiber (mesocarp fiber), selanjutnya bisa langsung baik untuk pasar dalam negeri (lokal) maupun pasar internasional (export). Cangkang sawit tersebut juga bisa diolah lanjut menjadi arang maupun arang aktif (activated carbon). Penggunaan energi dari teknologi produksi biochar (pirolisis) tersebut juga akan meningkatkan efisiensi boiler pada pabrik sawit, selain penghasilan tambahan dari penjualan cangkang sawit atau pengolahan lanjutannya. Menjadi trendsetter produsen minyak nabati dunia sangat mungkin dilakukan berdasarkan sejumlah alasan tersebut di atas. Dengan kondisi Indonesia saar ini khususnya, ataupun negara-negara produsen minyak sawit lainnya, dengan sedikit improvement, sangat mungkin dilakukan. Apalagi industri sawit menghasilkan sangat banyak limbah biomasa yang sangat potensial sebagai bahan baku biochar.  

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...