Minggu, 31 Desember 2023

Indonesia dan Rayuan Pulau Kelapa

Indonesia terkenal dengan negeri rayuan pulau kelapa. Hal ini karena begitu luasnya perkebunan kelapa di Indonesia yang mencapai sekitar 3,7 juta hektar dengan sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Luasnya perkebunan kelapa tersebut menempatkan Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa terluas di dunia, dan Philipina menempati peringkat kedua. Pohon kelapa terutama tumbuh di sepanjang pantai, dan memang Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Walaupun luas perkebunan kelapa Indonesia no 1 di dunia tetapi produktivitasnya masih kalah dengan Philipina, sehingga Philipina juga sebagai produsen kelapa no 1 di dunia. Industri kelapa di Philipina juga lebih maju daripada Indonesia. Indonesia disini lain lebih memprioritaskan kelapa sawit dibanding kelapa. Luas perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini sekitar 15 juta hektar atau lebih dari 4 kali luas perkebunan kelapanya. 

Khusus untuk produk VCO untuk pasar export selain butuh spesifikasi atau kualitas yang lebih baik juga pada umumnya diwajibkan dengan disertai sertifikasi organik. Sertifikasi organik tersebut adalah sesuatu hal yang tidak mudah apalagi untuk usaha kecil. Informasi dari APCC (Asia Pacific Coconut Community) bahwa Philipina adalah produsen terbesar VCO saat ini walaupun luas kebun kelapa masih dibawah Indonesia dengan volume export terus bertambah. Tercatat bahwa export VCO Philipina pada tahun 2006 sebanyak 461 ton selanjutnya sembilan tahun kemudian yakni pada tahun 2015 meningkat menjadi 36.313 ton. Industri kelapa di Philipina juga lebih berkembang daripada di Indonesia, hal ini nampak dari banyaknya komoditas exportnya dari produk kelapa. Philipina mengeksport 30 macam produk kelapa sedangkan Indonesia hanya 14 macam produk. 

Kelapa ibarat macan tidur. Sebagai negara tropis dengan garis pantai terpanjang di dunia, “macan tidur” perlu dibangunkan. Potensi besar itu harus dibangkitkan, bukan melenakkan, sehingga industrialisasi berbasis kelapa harus digenjot apalagi produktivitas kebun kelapa Indonesia terus menurun, ditambah bonus demografi sehingga potensi sumber daya alam harus dioptimalkan, dan visi Indonesia emas 2045. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi karena tidak dikelola dan diarahkan dengan benar. Jangan sampai Indonesia emas menjadi Indonesia besi tua atau bahkan Indonesia cemas. Optimalisasi sumber daya alam berwawasan lingkungan yang berkelanjutan adalah solusi ekonomi masa depan yang harus menjadi perhatian bersama. 

Sabtu, 30 Desember 2023

Size Reduction : Shredder atau Chipper ?

Banyak sekali proses produksi pengolahan biomasa yang membutuhkan pengecilan ukuran (size reduction). Dengan size reduction tersebut maka bahan baku biomasa memiliki ukuran dan bentuk yang lebih kecil dan seragam, sehingga memudahkan proses lanjutannya. Setelah dikecilkan ukurannya tersebut maka luas permukaan atau bidang kontaknya menjadi semakin besar sehingga proses pengeringan akan lebih efisien khususnya pada pengeringan kontinyu. Ukuran yang kecil dan seragam tersebut juga memudahkan handlingnya. Size reduction biasa digunakan pada proses awal / pretreatment sebelum proses utama / inti dari pengolahan suatu biomasa.

Biomasa khususnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam. Hal tersebut sangat mempengaruhi alat size reduction yang digunakan. Biomasa berserabut seperti sabut kelapa atau tandan kosong kelapa sawit akan lebih efektif dan efisien dikecilkan ukurannya dengan shredder daripada chipper. Hal tersebut karena struktur serabut yang dominan dan ulet tersebut lebih mudah dikoyak arau dicabik dan dihancurkan daripada dipotong-potong seperti menggunakan pisau. 

Sedangkan biomasa kayu-kayuan yang memiliki karakter keras, getas dan bentuk memanjang maka penggunaan chipper lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan shredder. Karakter kayu tersebut lebih mudah dipotong-potong dengan alat seperti pisau untuk size reductionnya. Output atau produk dari shredder dan chipper juga berbeda ditinjau dari ukuran dan bentuknya. Kayu produk dari mesin chipper biasa disebut wood chip (kayu serpih) dan bentuk seperti kayu yang dicacah-cacah, sedangkan output dari shredder berbentuk koyakan-koyakan. 

Produk pengolahan biomasa menjadi energi yakni dengan pemadatan (densification) menjadi pellet atau briket, maupun rute thermokimia seperti pirolisis, gasifikasi dan pembakaran banyak dilakukan saat ini. Apabila ukuran dan bentuk biomasa dari alat size reduction tersebut sudah sesuai, maka bisa langsung digunakan. Tetapi apabila bentuk dan ukuran belum sesuai maka perlu dilanjutkan dengan tahap size reduction berikutnya yakni penggunaan hammer mill sehingga didapat produk biomasa yang bisa seukuran seperti serbuk gergaji (sawdust). Pada produksi pellet dan briket ukuran partikel biomasa perlu dibuat sekecil sawdust tersebut, sehingga pemadatan (densifikasi) menjadi optimal. Sedangkan pada proses thermokimia, ukuran biomasa menjadi partikel kecil seperti sawdust biasanya untuk peralatan yang melakukan fluidisasi misalnya fluidized bed combustion. 

Jumat, 08 Desember 2023

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 7 : Penggunaan Bahan Bakar Biomasa Selain Subtitusi Clinker Pada Pabrik Semen

Pabrik semen memiliki keunikan atau perbedaan dibandingkan dengan pabrik pengolahan atau industri lainnya, yakni sebagian besar emisi karbon (CO2) dihasilkan bukan dari penggunaan bahan bakar tetapi pada produksi clinker. Emisi CO2 dari produksi clinker mencapai 60%, sedangkan dari penggunaan bahan bakar hanya 40%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa upaya dekarbonisasi pada pabrik semen harus memprioritaskan pada kedua hal tersebut.


Penggunaan bahan additif semen atau SCM (supplementary cementious material) sebagai subtitusi clinker telah berperan besar pada dekarbonisasi pada pabrik semen. Semakin besar penggunaan SCM tersebut atau rasio clinker terhadap semen semakin kecil maka semakin emisi karbon pada produksi semen tersebut. Penggunaan SCM pada umumnya produksi semen di pabriknya tetapi ada penggunaan SCM pada produksi beton bahkan dengan porsi malah lebih besar daripada dibanding diproduksi semennya yakni yang umum di Amerika Serikat. 

 

Pabrik semen pada umumnya adalah pengguna utama batubara dengan volume cukup besar sehingga harus secara bertahap dikurangi sebagai bagian upaya dekarbonisasi. Terkait emisi karbon pada penggunaan bahan bakar tersebut, pabrik semen sudah banyak menggunakan energi alternatif seperti ban bekas atau RDF dari sampah padat perkotaan. Idealnya penggunaan bahan bakar terbarukan akan mengurangi emisi karbon tersebut secara signifikan. Hal itulah sehingga sejumlah pabrik semen mulai menggunakan bahan bakar biomasa seperti limbah-limbah pertanian atau limbah-limbah industri perkayuan. Semakin besar porsi penggunaan bahan bakar terbarukan seperti biomasa limbah pertanian dan limbah-limbah industri perkayuan maka semakin rendah emisi karbon yang dihasilkan. 

 

Penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi bahan bakar juga mengurangi emisi karbon seperti penggunan preheater dan precalciner, karena terjadi penghematan penggunaan bahan bakar pada produksi clinker. Tetapi juga ada kondisi spesifik tertentu misalnya produksi semen tipe II/V atau tipe V (tahan sulfat tinggi) akan membutuhkan bahan bakar lebih banyak karena semen membutuhkan clinker dengan kandungan C3A (tricalcium aluminate) rendah yang prosesnya membutuhkan lebih banyak energi panas. 

Analogi pada PLTU batubara dalam upaya dekarbonisasi sebagai perbandingan, kurang lebih sama seperti pabrik semen. PLTU batubara adalah industri penghasil emisi karbon besar seperti halnya pabrik semen. Pada PLTU batubara upaya dekarbonisasi dimulai dengan cofiring batubara dengan biomasa. Rasio biomasa pada cofiring tersebut terus ditingkatkan seiring waktu. Semakin besar rasio cofiring atau porsi biomasa maka semakin rendah emisi karbon. Pada level tertentu PLTU batubara tersebut akan bisa 100% digantikan dengan biomasa (fulfiring).

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (nett zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Maksimalisasi penggunaan bahan bakar dan penggunaan SCM, juga tidak bisa mengurangi emisi karbon hingga nol (nett zero emission), karena proses kalsinasinya. Hal itulah sehingga untuk memcapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Idealnya ketika PLTU batubara mengkonversi bahan bakarnya 100% dengan biomasa maka emisi karbonnya nol (nett zero emission) dan apabila ditambah perangkat CCS maka menjadi carbon negative emission. Sedangkan pada pabrik semen penggunaan SCM yang optimum dan bahan bakar biomasa 100% tetap belum bisa untuk mencapai emisi nol karbon, sehingga perlu ditambah perangkat CCS untuk menangkap CO2 dari proses kalsinasi untuk mencapai nol karbon tersebut dan apabila ingin mencapai kondisi carbon negative emission maka CCS juga perlu digunakan untuk menangkap CO2 dari pembakaran atau penggunaan bahan bakar biomasanya.
 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...