Tampilkan postingan dengan label energi biomasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label energi biomasa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 November 2024

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What Islam Teaches about Protecting the Planet menyebut energi baru terbarukan sebagai energy from heaven (energi dari surga). Energi dari surga menurutnya adalah energi berasal dari atas, yakni energi tersebut tidak diekstrak (dikeruk) dari dalam bumi, dan dapat diperbaharui (renewable). “Ekstraksi menyebabkan ketidakseimbangan (penyebab perubahan iklim), sedangkan energi dari atas itu laksana dari surga.” 

Dan sehingga dalam perspektif karbon ketika karbon sebagai sumber energi berasal dari (ekstraksi) dalam bumi yakni energi fossil (minyak bumi, batubara, gas alam) maka hal tersebut berkontribusi meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon positive, sedangkan apabila berasal dari tumbuh-tumbuhan (biomasa) yang karena berasal dari proses photosintesa maka hal tersebut hal tersebut tidak menambah konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon neutral. Sumber energi yang berasal dari matahari, angin dan air juga termasuk sumber energi carbon neutral tersebut. Sedangkan apabila sumber karbon dari tumbuh-tumbuhan (biomasa) hasil photosistesa tersebut, lalu bisa disimpan (carbon sequestration) hingga ratusan bahkan ribuan tahun maka hal tersebut akan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon negative.

Bahkan secara lebih spesifik yakni terkait tambang batubara, fatwa tarjih Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa empat problem utama dari pertambangan batubara di Indonesia, yaitu (a). kerusakan lingkungan; (b). regulasi yang tidak berdasarkan pada keadilan dan maslahat; (c) pengabaian pada hak-hak masyarakat sekitar tambang, dan (d) bisnis pertambangan sebagai alat politik. Apabila fatwa tersebut dijadikan landasan kebijakan dan motivasi dalam transisi energi berkeadilan.

Saat ini untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer upaya dekarbonisasi dilakukan, yakni mengurangi atau mengganti penggunaan bahan bakar fossil tersebut dengan sumber energi terbarukan. Produksi bahan bakar biomasa seperti wood chip, wood pellet, wood briquette dan sebagainya adalah dalam rangka dekarbonisasi tersebut. Demikian juga produksi biochar lalu karbon tersebut bisa disimpan sangat lama (carbon sequestration) mulai banyak dilakukan saat ini.  Bahkan aplikasi biochar tersebut juga digunakan untuk perbaikan kondisi tanah-tanah yang rusak atau kurang subur sehingga produktivitas pertanian atau tanaman akan meningkat. Dalam konteks ini biochar bahkan bisa digunakan untuk mengatasi krisis kekurangan pangan, untuk lebih detail baca disini

Sumber energi terbarukan berasal dari tanaman (bio-energi) tersebut juga sejalan dengan QS. Yaasin (36) : 80. Untuk menghasilkan sumber energi tersebut baik seperti batang kayu, buah, biji ataupun bagian lain dari tumbuhan tersebut, tumbuhan melakukan photosintesa. Selain dibutuhkan air dan karbondioksida (CO2), proses photosintesa ini membutuhkan sinar matahari. Matahari sangat penting sebagai sumber energi bagi makhluk hidup khususnya bagi tumbuhan tersebut. Matahari adalah sumber energi yang sangat melimpah, gratis dan tidak akan habis kecuali pada saat kiamat tiba. Kata matahari disebut sebanyak 25 kali di Al Qur’an dan menjadi salah satu nama surat yang Allah diabadikan dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan isyarat bahwa ada yang perlu digali oleh manusia melalui asy-syams atau matahari. Tanaman melalui proses photosintesa akan menyimpan energi dari matahari dalam bentuk biomasa-nya dan ini diibaratkan seperti baterai. Baterai hijau tanaman ini akan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi yang sangat besar, untuk lebih detail baca disini

Terkait aksi untuk mitigasi perubahan iklim ini, peran ulama bisa sangat penting. Bahkan survey yang dilakukan oleh Purpose dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) mengatakan bahwa peran ulama dalam aksi ini memiliki pengaruh atau tingkat kepercayaan tertinggi dibanding kalangan lainnya (termasuk aktivis lingkungan, pemerintah dan ilmuwan). Dan bahkan hasil survei Iklim Nasional ini juga menunjukan anggota legislatif berada pada urutan terakhir dalam tingkat kepercayaan masyarakat. Upaya memakmurkan atau mengelola bumi sesuai perintah Allah yakni Q.S. Hud : 61 dan ini memang juga tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi atau di planet ini (Q.S. Al-Baqarah: 30) sehingga pengelolaan bumi tersebut harus berdasarkan ajaran atau nilai-nilai Islam. Sedangkan konsep sekulerisasi barat berakibat pada cara pandangnya yakni manusia memiliki dominasi atas bumi, bukan sebagai pengelolanya, yang merupakan pandangan Islam. Muslim harus menjadi penjaga atau pengelola bumi, demi lingkungan mereka dan terpenting demi perintah Allah SWT.  

Dan walaupun Islam mengajari para pengikutnya untuk menjaga atau mengelola bumi atau khalifah di planet ini. Dan bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas tindakan mereka, tetapi faktanya kelambanan dunia musim terus berlanjut meskipun ada deklarasi negara-negara muslim pada tahun 2015 tersebut untuk memainkan peran aktif dalam memerangi perubahan iklim. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap masalah iklim global. Semestinya kepedulian dan aksi nyata terhadap iklim ini semakin ditingkatkan seiring upaya peningkatan iman dan takwa serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi ditambah dengan sejumlah bencana alam akibat perubahan iklim tersebut. Transisi atau hijrah energi secara bertahap adalah salah satu solusinya. Semestinya negara-negara Muslim memiliki keunggulan dalam perlombaan iklim. Mereka memiliki kerangka kerja dan sistem kepercayaan yang mengamanatkan perlindungan bumi dan sumber daya alamnya.

Rabu, 02 Oktober 2024

Mendorong Industri Permesinan Untuk Mendukung Industri Bioenergi

Ketika menyadari bahwa Indonesia adalah “surga” biomasa sehingga potensial menjadi pemimpin dunia di bioenergi maka semestinya sejumlah upaya dilakukan untuk mendukung hal tersebut. Peralatan atau mesin produksi adalah salah satu komponen yang mendukung hal tersebut. Sebagai contoh produksi wood pellet kapasitas besar biasa mengandalkan mesin-mesin Eropa yang terbukti handal sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Analisis cost to benefits ratio digunakan dalam pemilihan mesin-mesin Eropa tersebut. Tetapi karena membeli mesin Eropa dengan lini produksi lengkap (complete line) mahal maka penggunaan mesin kombinasi menjadi alternatif. Kompleksitas dan jantung dari suatu proses produksi biasanya terletak hanya pada alat utama dan ini yang masih import, sedangkan alat-alat pendukung semestinya bisa dengan peralatan produksi lokal. 

Ketika peralatan produksi bisa bekerja sesuai kapasitas dan fungsinya maka target produksi (kuantitas dan kualitas) akan bisa tercapai. Memilih sejumlah perlatan pendukung yang sesuai dan mampu beroperasi sesuai kebutuhan alat utama bukan hal yang mudah. Mendapatkan partner produsen mesin lokal untuk mendapatkan kecocokan antara karakteristik mesin utama dan mesin pendukung memang perlu waktu dan proses. Tetapi untuk bisa berperan dan mengurangi resiko dalam era dekarbonisasi maka bisa dimulai dengan mendukung beberapa peralatan pada kapasitas kecil atau terbatas pada alat-alat tertentu saja. Faktor rekayasa dan desain menjadi faktor utama yang penting sebelum fabrikasi peralatan-peralatan mendukung tersebut. 

Tentu saja apabila sejumlah faktor pendukung terpenuhi seperti penguasaan iptek, pengalaman, organisasi perusahaan yang baik dan sebagainya maka produksi 100% peralatan produksi atau complete line bisa dilakukan. Hal itu tentu butuh waktu dan upaya yang tidak sederhana, seperti mempertahankan performa kualitas produk mesinnya sehingga memberi kepuasan bagi pengguna dengan harapan performa bisnis juga meningkat dan riset berkelanjutan. Dan dengan secara bertahap menjadi bagian untuk ikut aktif di berbagai proyek bioenergi maka penguasaan teknologi melalui transfer teknologi juga memungkinkan terjadi. Menjadi bagian solusi dan berperan di dalamnya adalah hal penting dilakukan termasuk pada industri permesinan yang mendukung industri bioenergi tersebut.   

Selasa, 23 Januari 2024

Mengapa Produksi Wood Pellet Kapasitas Besar dari Kebun Energi Kaliandra Belum Terealisasi ?

Sebagai negara tropis yang memiliki luas tanah terbesar di Asia Tenggara potensi untuk bahan bakar atau energi tebarukan dari biomasa khususnya wood pellet sangat potensial dan menjanjikan. Untuk menjaga kestabilan volume produksi kapasitas besar dan kontinuitasnya maka produksi wood pellet tersebut harus menggunakan bahan baku dari kebun energi atau kebun biomasa. Kebun energi dari tanaman rotasi dan pertumbuhan cepat (short rotation coppice & fast growing species) dari kelompok legum seperti kaliandra merah (Calliandra calothyrsus) telah menjadi perhatian cukup lama, tetapi mengapa produksi wood pellet kapasitas besar tersebut hingga saat ini belum terealisasi atau belum ada industri yang merealisasikannya ? Dibawah ini bisa jadi dua faktor utama penyebab hal tersebut :

1. Kualitas wood pellet kaliandra 

Karakteristik tanaman rotasi dan pertumbuhan cepat kelompok legum tersebut memiliki kandungan potassium / kalium dan sodium / natrium (K+Na) cukup tinggi pada kayunya. Potassium / Kalium memiliki sifat berupa titik leleh rendah sehingga akan bermasalah pada alat penukar panans (heat exchanger) di boiler pembangkit listrik pada umumnya. Kandungan potassium / kalium yang tinggi tersebut menyebabkan penggunaannya tidak cocok pada pembangkit listrik pada umumnya, yakni yang menggunakan pulverized combustion. Kaliandra merah (Calliandra calothyrsus)  secara khusus demikian juga, sehingga dengan kapasitas produksi besar  maka produk wood pellet yang berorientasi export tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan menurunkan kandungan terutama kalium dan natrium (K+Na) tersebut. 

Proses penurunan K + Na yang merupakan bagian ash content tersebut dilakukan dengan proses pencucian (leaching / washing). Unit ini menjadi perlu ditambahkan pada proses produksi wood pellet dari kaliandra merah tersebut.  Proses tersebut selain membuat kayu kaliandra bahan baku wood pellet menjadi lebih basah juga menghasilkan air limbah (waste waster). Hal ini akan menambah biaya produksi wood pellet kaliandra merah tersebut. 

Walaupun bisa saja proses leaching / washing tersebut tidak dilakukan sehingga wood pellet yang dihasilkan masih memiliki kandungan K + Na cukup tinggi juga masih berpotensi digunakan untuk pembangkit listrik tipe tertetu seperti yang berteknologi fluidized bed dan stoker. Tetapi tipe teknologi pembangkit listrik tersebut memang tidak sebanyak penggunaan teknologi pulverized combustion. Supaya penerimaan pasar untuk produksi wood pellet kaliandra besar atau bisa digunakan pada semua tipe pembangkit listrik maka sebaiknya proses leaching / washing tersebut perlu dilakukan.  


2. Pemanfaatan hanya bagian tertentu (parsial) dari tanaman, dan tidak menyeluruh (whole tree utilization) 

Ketika hanya memanfaatkan kayu saja untuk produksi wood pellet, berarti hanya sebagian saja dari tanaman yang dimanfaatkan (parsial) atau ada bagian lain dari tanaman tersebut yang tidak dimanfaatkan yakni daun dan bunga. Padahal dari kedua bagian tanaman ini akan mampu memaksimalkan pendapatan atau kentungan yang membuat daya dorong untuk akselerasi realisasi produksi wood pellet berkapasitas besar dari kebun energi tersebut. Besar biaya tambahan yang dikeluarkan untuk proses leaching / washing akan terkompensasi dengan pendapatan / keuntungan dari pengolahan daun dan pemanfaatan bunga.   

Daun kaliandra yang memiliki kandungan protein tinggi diolah menjadi pakan ternak khususnya menjadi tepung ataupun juga dipelletkan menjadi pellet pakan (feed pellet). Sedangkan dari bunga yakni nektarnya sebagai pakan lebah madu dengan peternakan lebah untuk menghasilkan madu kaliandra. Dengan memaksimalkan potensi dari seluuh bagian tanaman (whole tree utilization) kaliandra tersebut sehingga dihasilkan berbagai produk (multiple products) tersebut sehingga daya dorong untuk akselerasi realisasi produksi wood pellet kapasitas besar dari kebun energi semakin kuat.  

Salah satu bentuk syukur terhadap nikmat Allah SWT berupa negara beriklim tropis dengan tanah yang luas adalah memanfaatkannya secara berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Daerah tropis seperti Indonesia adalah “surga” bagi produksi biomasa, khususnya menjadi energi biomasa (bioenergy) berupa wood pellet tersebut. Optimalisasi potensi ini khususnya dengan produksi wood pellet kapasitas besar dan produk-produk tambahannya bisa menjadi rahmat dan anugerah yang mensejaherakan sekaligus sebagai solusi masalah iklim global (carbon neutral fuel).  Dan pada dasarnya juga dibutuhkan business judgement dari sisi pengusahanya sehingga pengusaha tersebut berani memutuskan untuk eksekusi peluang usaha ini.  

Sabtu, 30 Desember 2023

Size Reduction : Shredder atau Chipper ?

Banyak sekali proses produksi pengolahan biomasa yang membutuhkan pengecilan ukuran (size reduction). Dengan size reduction tersebut maka bahan baku biomasa memiliki ukuran dan bentuk yang lebih kecil dan seragam, sehingga memudahkan proses lanjutannya. Setelah dikecilkan ukurannya tersebut maka luas permukaan atau bidang kontaknya menjadi semakin besar sehingga proses pengeringan akan lebih efisien khususnya pada pengeringan kontinyu. Ukuran yang kecil dan seragam tersebut juga memudahkan handlingnya. Size reduction biasa digunakan pada proses awal / pretreatment sebelum proses utama / inti dari pengolahan suatu biomasa.

Biomasa khususnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam. Hal tersebut sangat mempengaruhi alat size reduction yang digunakan. Biomasa berserabut seperti sabut kelapa atau tandan kosong kelapa sawit akan lebih efektif dan efisien dikecilkan ukurannya dengan shredder daripada chipper. Hal tersebut karena struktur serabut yang dominan dan ulet tersebut lebih mudah dikoyak arau dicabik dan dihancurkan daripada dipotong-potong seperti menggunakan pisau. 

Sedangkan biomasa kayu-kayuan yang memiliki karakter keras, getas dan bentuk memanjang maka penggunaan chipper lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan shredder. Karakter kayu tersebut lebih mudah dipotong-potong dengan alat seperti pisau untuk size reductionnya. Output atau produk dari shredder dan chipper juga berbeda ditinjau dari ukuran dan bentuknya. Kayu produk dari mesin chipper biasa disebut wood chip (kayu serpih) dan bentuk seperti kayu yang dicacah-cacah, sedangkan output dari shredder berbentuk koyakan-koyakan. 

Produk pengolahan biomasa menjadi energi yakni dengan pemadatan (densification) menjadi pellet atau briket, maupun rute thermokimia seperti pirolisis, gasifikasi dan pembakaran banyak dilakukan saat ini. Apabila ukuran dan bentuk biomasa dari alat size reduction tersebut sudah sesuai, maka bisa langsung digunakan. Tetapi apabila bentuk dan ukuran belum sesuai maka perlu dilanjutkan dengan tahap size reduction berikutnya yakni penggunaan hammer mill sehingga didapat produk biomasa yang bisa seukuran seperti serbuk gergaji (sawdust). Pada produksi pellet dan briket ukuran partikel biomasa perlu dibuat sekecil sawdust tersebut, sehingga pemadatan (densifikasi) menjadi optimal. Sedangkan pada proses thermokimia, ukuran biomasa menjadi partikel kecil seperti sawdust biasanya untuk peralatan yang melakukan fluidisasi misalnya fluidized bed combustion. 

Senin, 26 Juli 2021

Akankah Produksi Wood Pellet Indonesia Mengalahkan Vietnam ?

Produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.  

Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet. 

Vietnam adalah pengeksport mebel kayu terbesar ke Amerika Serikat melampaui China. Pada tahun 2020 export mebel kayu Vietnam ke Amerika Serikat mencapai lebih dari USD 7,4 milyar atau naik 31% dibandingkan tahun 2019. Sedangkan China mengeksport mebel kayu senilai USD 7,33 milyar pada 2020. Walaupun perbedaan hanya kecil tetapi hal tersebut membuktikan tentang pertumbuhan industri mebel kayu yang terus tumbuh di Vietnam.  Sedangkan export mebel dan kerajinan Indonesia menurut HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) pada tahun ini diperkirakan bisa mencapai USD 2,75 sampai 3 milyar. Bahkan menurut Abdul Sobur president HIMKI, industri mebel dan kerajinan ini adalah sektor industri penting dan telah menjadi pilar dalam era pandemi saat ini. Dengan luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km persegi atau lebih dari 5 kali Vietnam maka potensi Indonesia mengembangkan industri wood pellet sangat potensial bagi Indonesia. Selain memanfaatkan limbah biomasa dari industri mebel dan kerajinan tersebut,industri pengolahan kayu, dan limbah-limbah hutan, kebun energi juga sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Salah satu kelebihan Vietnam dibanding Indonesia adalah posisinya yang lebih dekat dengan Korea dan Jepang sehingga biaya transport wood pellet ke pembeli atau pengguna lebih murah. 

Dengan luas daratannya tersebut Indonesia sangat potensial mengembangkan kebun energi untuk produksi wood pellet yang masif. Bahkan kebun energi tersebut bisa dibuat dari lahan bekas tambang batubara yang luasnya mencapai sekitar 8 juta hektar, untuk lebih detail baca disini. Walaupun saat ini produksi wood pellet Indonesia masih berkisar 100-200 ribu ton/tahun atau seperti produksi wood pellet Vietnam tahun 2012 tetapi dengan potensi yang sangat besar tersebut maka potensi Indonesia untuk menjadi produsen utama wood pellet dunia juga besar, bahkan menjadi negara yang memimpin penggunaan energi biomasa. Program cofiring di sejumlah PLTU di Indonesia juga mendorong penggunaan energi biomasa, khususnya wood pellet. Terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai tahun 2024.  Kebun energi selain mendukung bisnis & ketahanan energi, juga seharusnya mendukung  sektor peternakan khususnya ruminansia untuk lebih detail baca disini, sehingga ketahanan pangan untuk mencapai swasembada daging bisa dilakukan. Jadi apakah Indonesia bisa melampaui produksi wood pellet Vietnam? Tentu bisa, tetapi butuh upaya yang keras, dan butuh waktu yang lama. Tetapi setidaknya jika Indonesia menggalakkan produksi wood pelletnya, maka akan banyak manfaat yang didapat, antara lain ekonomi, sosial dan lingkungan.  

Jumat, 22 Januari 2021

Wood Chip, Wood Pellet, dan Wood Briquette dari Kebun Energi untuk Pasar Lokal Bagian 2

Program cofiring PLN yakni mencampur bahan bakar biomasa dengan batubara pada PLTU yang jelas akan mendorong penggunakan biomasa sebagai sumber energi. Cofiring adalah cara paling mudah dan murah bagi PLTU untuk mulai masuk atau bertahap menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Emisi juga semakin membaik seiring peningkatan penggunaan bahan bakar biomasa tersebut seperti  karena kandungan sulfur sangat rendah, abu sedikit dan bukan B3, dan fly ash sangat kecil. Jumlah biomasa yang ditambahkan misalnya mulai dari 1% yang kemudian secara bertahap ditambah dan bahkan finalnya bisa 100% biomasa atau energi terbarukan.  Pada tahun 2020 program cofiring tersebut sudah diinisiasi dengan target 37 PLTU dan pada akhir 2020 dilaporkan telah terlaksana untuk 20 PLTU. Sedangka secara keseluruhan terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai 2024. Terdiri dari 13 lokasi PLTU di Sumatera, 16 Lokasi PLTU di Jawa, Kalimantan (10 lokasi), Bali dan Nusa Tenggara (4 unit PLTU), Sulawesi (6 lokasi) serta Maluku dan Papua (3 lokasi PLTU). Sedangkan rasio cofiring tersebut berkisar 1-5% biomasa dengan estimasi kebutuhan biomasa 9-12 juta ton per tahun.  Secara teknis dengan rasio cofiring 1-5% tersebut PLTU juga tidak perlu melakukan modifikasi peralatannya, sehingga bisa langsung digunakan setelah bahan bakar biomasa memenuhi spesisifikasi yang dipersyaratkan. 

Pulverized Combustion

Apabila dirinci tentang tipe teknologi yang digunakan PLTU di Indonesia saat ini, yakni terdapat tiga tipe PLTU yakni, 43 tipe PC (Pulverized Coal) dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari, 38 tipe CFB (Circulating Fluidized Bed) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sedangkan 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari. Untuk jangka pendek jenis biomasa yang digunakan adalah berbasis limbah, sedangkan untuk jangka panjang yakni dari kebun energi. Kementrian LHK juga telah mengalokasikan lahan sektar 12,7 juta hektar untuk penyediaan lahan hutan bersama-sama mendukung program penyediaan biomasa PLTU tersebut. Lahan-lahan bekas tambang yang luasnya sekitar 8 juta hektar juga semestinya bisa direklamasi dengan kebun energi tersebut. Bahkan PLN juga telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan PTPN III Holding (Persero) dan Perum Perhutani. Dalam hal ini, PLN sebagai pemilik PLTU, Sedangkan Perhutani memiliki sumber daya kawasan hutan industri baik di Jawa maupun luar jawa yang dapat dikembangkan sebagai hutan tanaman energi. Begitu juga dengan PTPN III yang memiliki lahan untuk pengembangan hutan tanaman energi, untuk lebih detail baca disini.

Untuk memenuhi kebutuhan biomasa sebagai sumber energi tersebut maka kebun energi harus semakin digalakkan. Produksi bahan bakar biomasa dari kebun energi membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan mengolah limbah-limbah kehutanan dan pertanian seperti limbah-limbah kayu tebangan, serbuk gergaji, limbah kayu dari industri pengolahan kayu, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa, sekam padi, dan sebagainya. Rute atau pilihan dengan kebun energi dipilih karena selain lebih menjamin kualitas dan kuantitas bahan bakar biomasa juga mengoptimalkan penggunaan lahan termasuk bisa diintegrasikan dengan peternakan dan bisa dipanen berkali-kali (trubusan/coppice) tanpa harus menanam kembali (replanting) untuk panen berikutnya. Bahkan karena tanaman kebun energi menggunakan jenis legum seperti gamal dan kaliandra yang akarnya bisa mengikat nitrogen dari atmosfer maka kesuburan tanah juga meningkat. Tetapi memang juga dibutuhkan upaya lebih banyak dan keras untuk rute kebun energi tersebut karena paling tidak dibutuhkan minimal 2 tahun tanaman tersebut bisa dipanen dan sebelumnya juga perlu penyiapan tanah dan menanam tanaman tersebut.

Seperti disampaikan sebelumnya bahwa pemilihan produksi jenis bahan bakar dari kebun energi dipengaruhi beberapa hal seperti jarak kebun energi dengan industri pengguna, kapasitas produksi, kebutuhan industri sesuai teknologi pembakarannya dan nilai investasi. Apabila lokasi industri atau pembangkit listrik berdekatan bahkan dalam area kebun energi maka kayu dari kebun energi tersebut cukup hanya dengan dibuat wood chip (serpih kayu). Hal tersebut karena biaya transportasi murah. Sedangkan apabila lokasinya cukup jauh maka kayu tersebut sebaiknya diolah menjadi wood pellet atau wood briquette. Wood pellet memang jauh lebih populer daripada wood briquette walaupun secara teknis produksi wood briquette lebih mudah dan biaya produksi lebih murah. Selain itu secara teknis kepadatan (density) wood briquette juga bisa lebih tinggi daripada wood pellet. Hal itulah menjadi menarik jika ada produsen tertarik dengan produksi wood briquette sebagai diversifikasi produk dan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification). 

  

Untuk keberlanjutan (sustainibility) juga kebun energi juga akan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan limbah-limbah pertanian dan kehutanan atau industri perkayuan seperti tersebut di atas. Hal tersebut karena kebun tersebut dirancang dan dibuat khusus untuk tujuan kayu sebagai sumber energi. Hal tersebut juga membuat volume produksi kayu yang dihasilkan lebih pasti dibandingkan mengandalkan volume limbah yang ketersediaannya sangat tergantung pada produk utama. Kebun energi dan berikut usaha peternakan sepertinya akan menjadi tren baru yang menarik dan insyaAllah momentumnya tidak akan lagi.

Rabu, 27 Mei 2020

Biodiesel Nyamplung : Sebuah Harapan Baru

Sebagai lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Mengatasi Kelangkaan BBM di Daerah-Daerah Terpencil", maka ada potensi lain yang bisa sebagai harapan baru, yakni dari pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Pohon nyamplung menghasilkan biji yang bisa diproses lanjut menjadi biodiesel. Biodiesel nyamplung tersebut bisa digunakan terutama di daerah-daerah terpencil seperti digunakan para nelayan dan berbagai aktivitas di daerah tersebut. Pada skala nasional juga bisa sebagai campuran solar, seperti halnya saat ini yang menggunakan campuran biodiesel minyak sawit dengan solar dengan istilah biosolar (B30 dengan 30% biodiesel minyak sawit dan 70% solar). Sejumlah keuntungan dari biodiesel nyamplung ini adalah produktivitas minyaknya tinggi, bahkan setara dengan kelapa sawit yang merupakan tanaman penghasil minyak pangan nabati saat ini (6 ton/hektar/tahun), bisa wanatani (agroforestry) dengan sejumlah tanaman pangan - yang itu juga tidak bisa dilakukan pada perkebunan sawit, bisa ditanam di pesisir laut untuk mencegah abrasi dan sebagai wind breaker, minyak yang dihasilkan tidak berkompetisi dengan minyak makan atau produk pangan, dan perawatan yang lebih mudah dan murah.

Beberapa waktu lalu pohon jarak pagar juga digalakkan untuk produksi biodiesel, tetapi dengan produktivitas dan rendemen minyak yang rendah membuat biodiesel dari biji jarak pagar tidak bisa bersaing dengan harga solar waktu itu atau akan membutuhkan lahan yang sangat luas untuk menghasilkan target volume biodieselnya, sehingga pengembangannya terhenti. Jarak pagar adalah tanaman yang diprogramkan sebagai sumber biodiesel selain dari minyak sawit, yang diprogramkan pada waktu itu. Bahan bakar cair berupa biodiesel tersebut memang lebih mudah digunakan dan rute pengolahan lebih sederhana dibandingkan dengan produksi bahan bakar cair lewat (fast) pyrolysis atau gasifikasi. Tetapi memang produksi bahan bakar cair melalui rute pyrolysis dan gasifikasi bisa memanfaatkan hampir semua limbah biomasa, tidak terpaku dari buah atau biji tertentu.

Biodiesel yang dihasilkan tersebut juga bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Dengan adanya listrik juga mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut khususnya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) sekitar. Pemanfaatan produk-produk samping dari produksi biodiesel juga menarik misalnya untuk pakan ternak, produksi briket atau arang, bahkan arang aktif, obat-obatan dan pewarna tekstil dan gliserol. Penggunaan gliserol sangat luas, sebagai contoh pada industri makanan gliserol digunakan sebagai humektan, pelarut dan pemanis, dan dapat membantu mengawetkan makanan. Gliserol juga digunakan sebagai pengisi dalam makanan rendah lemak yang disiapkan secara komersial (misalnya : cookies) dan sebagai agen penebalan dalam minuman. Gliserol juga banyak digunakan pada industri farmasi dan kecantikan.


Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional sesuai PP No.5/2006, maka energi terbarukan kelompok biofuel termasuk didalamnya biodiesel ditargetkan untuk mencapai porsi  5% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Walaupun masih rendah dibanding negara-negara lain tetapi tentu sudah menjadi entry point yang baik untuk bisa terus ditingkatkan. Limbah-limbah minyak dari pabrik sawit yang memiliki kadar asam lemak bebas tingi seperti PAO (palm acid oil) atau Miko (minyak kotor) juga bisa digunakan untuk produksi biodiesel karena tidak layak untuk produk pangan. Sebagai referensi RED II (Renewable Energy Directive) di Eropa bahkan mentargetkan hampir 30% sumber energi yang mereka gunakan ditargetkan berasal dari energi terbarukan pada 2030 dan sekitar 80% berasal dari biomasa. RED II tersebut menggantikan RED I yang berakhir tahun ini dengan targetnya 20-20-20, yakni penggunaan 20% energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi sebesar 20% yang dicapai tahun 2020. Dari 20% energi terbarukan, biomasa juga mendapat porsi kurang lebih 80%. Hal tersebut mengindikasikan energi terbarukan khususnya yang berasal dari biomasa seperti buah atau biji nyamplung ini akan semakin meningkat pada era-era mendatang.
Bahkan sejarahnya tanaman ini telah ditanam sejak 50 tahun lalu, dengan sebaran alaminya di tepi pantai untuk wind breaker sehingga tanaman palawija bisa dibudidayakan di area tersebut. Walaupun tanaman ini tetap bisa tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-500 mdpl dengan curah hujan 700 mm/tahun hingga daerah curah hujan sangat tinggi yakni 5000 mm/tahun. Dengan kenyataan seperti itu maka budidaya nyamplung di tepi pantai bisa digalakkan kembali. Dengan garis pantai Indonesia sepanjang 99.093 km dan banyak penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai serta berprofesi sebagai nelayan, maka biodiesel dan agroforestry di kebun nyamplung adalah suatu harapan baru. Bahkan usaha peternakan pun bisa dikembangkan karena ampas dari pres-presan minyak atau crude oil-nya bisa digunakan untuk pakan ternak. Dan ketika pohonnya tidak produktif lagi, kayunya bisa sebagai bahan pembuat kapal bermutu tinggi. Ketika nyamplung diharapkan sebagai sumber utama biodiesel yang menggantikan posisi biodiesel minyak sawit saat ini, sehingga minyak sawit bisa dimaksimalkan untuk minyak makan (produk pangan) maka ada spesies tanaman lain yakni malapari atau mempari (Pongamia pinnata L.) diproyeksikan akan sebagai bioavtur bahan bakar pesawat terbang. 

Jumat, 15 Mei 2020

PKS Sebagai Bahan Bakar Andalan Pada Cofiring di PLTU Batubara


Cofiring adalah entry point termudah dan tercepat bagi PLTU batubara yang akan masuk ke sektor energi terbarukan. Dengan mekanisme cofiring, prosentase biomasa bisa ditingkatkan secara bertahap, bahkan nantinya dimungkinka apabila 100% bahan bakar PLTU tersebut menggunakan biomasa. Biomasa sendiri khususnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah sumber energi terbarukan tetapi apabila dikelola dengan benar. Sumber biomasa yang didapat secara sembarangan dan membabi buta tanpa memperhatikan aspek lingkungan bukan energi terbarukan dan hal tersebut tidak akan berkelanjutan. Aktivitas tersebut bertentangan dengan konsep bioekonomi. Dan di Indonesia khususnya penggunaan energi dari biomasa khususnya PKS juga sejalan dengan kebijakan pemerintah yakni mendorong bauran energi terbarukan sebesar 17% pada tahun 2025 berdasar Peraturan Presiden no 5 tahun 2006. Selain itu metode cofiring juga tercantum dalam RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2019-2038 dimana disebutkan bahwa roadmap konservasi energi untuk kegiatan penyediaan energi salah satunya mencakup program peningkatan efisiensi energi pada pemakaian sendiri dan cofiring.

Diantara berbagai sumber biomasa yang ada saat ini, PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa terbaik. Hal tersebut karena PKS memiliki properties yang mendekati wood pellet dan bahkan di pasar bahan bakar biomasa internasional,PKS adalah kompetitor utama dari wood pellet. PKS memiliki bentuk dan ukuran relatif seragam, kalori tinggi, bulk density tinggi, kadar abu rendah dan tersedia dalam umlah melimpah. PKS merupakan limbah pabrik sawit (pabrik CPO) sehingga tidak perlu proses produksi yang rumit seperti wood pellet. Diperkirakan ada lebih 10 uta ton/bulan PKS yang dihasilkan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan bahan bakar biomasa lainnya ? Dibawah ini sebuah perbandingan singkat dengan sejumlah bahan bakar biomasa lainnya, yakni wood pellet, wood chip, biomass pellet dan sekam padi.

Wood Pellet
wood pellet memiliki tingkat kepadatan (density) sekitar 700 kg/m3 dari proses pemadatan (densifikasi serbuk kayu). Secara kualitas wood pellet lebih bagus dibandingkan PKS, hal ini terutama karena bentuk seragam dan tingkat kekeringan tinggi. Kekurangan wood pellet adalah di faktor harga dan volumenya. Di Indonesia saat ini harga wood pellet sekitar 2 kali PKS dan 3 kali batubara. Walaupun kualitas lebih baik tetapi dengan harga tersebut tentu PLTU batubara tidak akan menggunakan prosentase yang besar untuk cofiring, apalagi jika juga ada sejumlah faktor-faktor teknis sebagai pembatasnya, misalnya teknologi pembakaran yang digunakan, kimia abu pada wood pellet dan sebagainya. Faktor lainnya adalah volume ketersediaan wood pellet itu sendiri yang saat ini produksinya di Indonesia mash kecil, yang diperkirakan kurang dari 100 ribu ton/tahun. Apabila ada lonjakan permintaan maka harga jual wood pellet semakin meningkat, mengikuti hukum pasar. Tetapi dengan volume produksi wood pellet yang rendah dan harga juga relatif mahal maka wood pellet kurang sesuai untuk cofiring tersebut.
Wood Chip
Wood chip atau serpih kayu adalah bentuk bahan bakar biomasa yang sangat sederhana, yakni dibuat hanya dengan proses pengecilan ukuran dengan mengggunakan mesin chipper kayu. Masalah utama dengan wood chip adalah bulk density yang rendah sehingga mahal biaya transportasinya. Bulk density wood chip hanya sekitar 1/4 dari wood pellet atau 1/3 PKS. Kualitas wood chip akan sama persis dengan kualitas kayu yang digunakan. Wood chip hanya ekonomis jika sumber bahan baku wood chip berdekatan dengan pembangkit tersebut. Simplenya jika PLTU tersebut dikelilingi kebun energi sebagai sumber wood chip tersebut maka besar kemungkinan suplai wood chip ke pembangkit tersebut akan ekonomis. Kebun energi tersebut juga bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan. Untuk mengoptimalkan potensi kebun energi tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Wood Pellet dan Biomass Pellet
Biomass Pellet /Agro-Waste Pellet
Biomass pellet atau pellet dari limbah pertanian (agro-waste pellet) juga bisa digunakan untuk bahan bakar PLTU tersebut. Pellet limbah pertanian tersebut antara lain pellet tankos sawit (EFB pellet), pellet sekam padi (RH pellet), pellet tongkol jagung dan sebagainya. Kualitas pellet limbah pertanian tersebut dibawah wood pellet dan juga sepertinya produsen tipe pellet tersebut juga masih sangat terbatas atau bahkan belum ada di Indonesia. Dan karena membutuhkan industri untuk produksinya maka harga jual pellet limbah pertanian (agro-waste pellet) tersebut juga tidak jauh berbeda dengan wood pellet.

Sekam Padi
Sekam padi banyak terdapat di sentra-sentra pertanian padi atau daerah lumbung-lumbung padi. Sekam padi juga memiliki bulk density kecil (sekitar 100 kg/m3), nilai kalori kecil serta kadar abu tinggi bahkan bisa mencapai 20%. Hal tersebut juga membuat kurang ekonomis apabila sekam padi ditransportasikan dalam jarak jauh. Faktor lainnya adalah tingkat kekeringan yang tinggi pada sekam padi sehingga rawan terjadi kebakaran yang ditumpuk pada penyimpanannya. Sekam padi selalu berasal dari gabah kering, karena proses penggilingan padi hanya bisa dilakukan pada gabah kering. Faktor teknis lainnya berupa tingginya kadar abu akan berpengaruh pada porsi penggunaan sekam padi tersebut.

Berdasarkan perbandingan di atas, nampaknya memang PKS ata cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa ideal untuk cofiring ataupun fullfiring (100% PKS) pada PLTU. Konsumsi PKS untuk dalam negeri diperkirakan terus meningkat dan bahkan akan terjadi kompetisi dengan pasar export. Pada kondisi tersebut bisa jadi sejumlah pembatasan export dilakukan dengan alasan prioritas kebutuhan dalam negeri.

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Berkelanjutan

Sabut kelapa menempati porsi 30% atau sekitar sepertiga dari berat buah kelapa. Bahan ini pada umumnya hanya ditinggal di kebun dan sebagian...