Minggu, 31 Maret 2024

Biofuel atau Kendaraan Listrik dulu ?

Trend dekarbonisasi terus berlanjut dan merambah hampir semua lini termasuk sektor transportasi. Pada sektor transportasi ada 2 hal yang bisa dilakukan yakni penggunaan bahan bakar dari energi terbarukan atau biofuel dan penggunaan kendaraan bebas emisi seperti kendaraan listrik. Pada kendaraan dengan energi terbarukan atau biofuel 100% maka emisi yang dihasilkan adalah karbon netral (walaupun emisinya mengandung CO2) sedangkan pada kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi sama sekali karena tidak ada proses pembakaran pada operasional kendaraan listrik tersebut.

Saat ini mayoritas kendaraan adalah kendaraan berteknologi mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) sehingga menggunakan bahan bakar untuk operasionalnya dan bahan bakar yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar dari fossil khususnya yang berbentuk cair atau bahan bakar cair. Untuk mencapai kondisi karbon netral maka bahan bakar tersebut harus digantikan dengan biofuel 100%. Tetapi saat ini walaupun penggunaan biofuel tersebut sudah dilakukan tetapi porsinya belum 100%. Memang secara teknis ada pembatas untuk pemakaian biofuel sehingga tidak bisa 100% seperti bioethanol sehingga hal ini juga menjadi perhatian tersendiri. Walaupun begitu tentu upaya penggunaan biofuel 100% tentu juga akan menjadi target utama, selain faktor emisi sehingga mencapai kondisi karbon netral juga teknologi mesin pembakaran dalam yang memang mayoritas sehingga hanya perlu modifikasi minor atau bahkan tanpa modifikasi sama sekali. 

Fakta lainnya adalah kendaraan listrik saat ini juga sebagian besar masih menggunakan sumber energi listrik dari pembangkit listrik dari fossil fuel khususnya batubara. Walaupun kendaraan listrik tersebut nir-emisi tetapi pada dasarnya sumber energinya adalah energi fossil, hanya lokasinya saja yang berjauhan. Mobil listrik sebagai produk baru juga harganya umumnya lebih mahal bahkan bisa dua kali lipat atau lebih dari mobil pada umumnya. Kondisi ini juga mempengaruhi jumlah penggunaan mobil atau kendaraan listrik itu sendiri. 

Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sangat besar sebagai produsen biofuel tersebut karena berbagai tanaman atau pohon bisa tumbuh dengan baik. Walaupun kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar saat ini dan Indonesia menempati peringkat pertama di dunia dengan luas kebun perkebunan sawitnya mencapai sekitar 15 juta hektar, tetapi minyak dari kelapa sawit ini bersaing (kompetisi) dengan minyak makan (edible oil) dan biaya perawatan yang tidak murah. Sedangkan minyak nabati dari pohon energi seperti nyamplung (calophyllum inophyllum) selain produktivitas minyaknya tidak kalah dengan minyak sawit, juga minyaknya tidak berkompetisi dengan minyak makan, lebih detail baca disini. Selain itu pohon nyamplung tersebut yang tumbuh baik pada area dekat pesisir pantai juga memberi keuntungan tersendiri yakni karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yakni 99.093 km dan juga pohon nyamplung tersebut juga pohon serbaguna. Sedangkan biofuel dari limbah-limbah biomasa juga bisa dilakukan tetapi karena biaya produksi masih mahal, maka masih perlu sejumlah tahapan untuk implementasinya.  

Dengan kondisi tersebut seharusnya pengembangan biofuel khususnya dari pohon seperti nyamplung ini diprioritaskan. Sedangkan kendaraan listrik meskipun bebas emisi tetapi sumber listriknya masih menggunakan bahan bakar fossil. Upaya mengurangi bahan bakar fossil pada pembangkit listrik dengan cofiring sudah dilakukan tetapi porsinya masih sangat kecil, sehingga manfaat iklim belum signifikan. Apabila sumber energi listriknya bisa 100% dari energi terbarukan maka penggunaan kendaraan listrik juga bisa dikatakan seperti penggunaan 100% biofuel pada mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine). 

Kamis, 14 Maret 2024

Dari Karbon Netral ke Karbon Negatif : Pengembangan Baterai, Wood Pellet, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Biochar

Riset untuk pengembangan baterai kapasitas besar terus dilakukan sehingga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan seperti berasal angin dan matahari bisa disimpan dan digunakan kapan saja. Pembangkit listrik yang berasal dari angin dan matahari bersifat intermittent yakni sewaktu-waktu angin bisa tidak berhembus atau terjadi awan tebal ataupun pada malam hari sehingga tidak ada sinar matahari dan listrik tidak bisa diproduksi. Kondisi inilah perlu digunakan baterai berkapasitas besar yang bisa menyimpan listrik tersebut. Pengembangan baterai tersebut diprediksi selain membutuhkan biaya besar juga memakan waktu yang lama. Diprediksi butuh waktu beberapa dekade ke depan untuk terwujudnya baterai tersebut.

Pasokan listrik saat ini yang mayoritas masih menggunakan bahan bakar fossil khususnya batubara yang terbukti tidak ramah lingkungan (karbon positif) perlu terus dikurangi dan ditambah porsi energi terbarukan berupa wood pellet (karbon netral) dengan cara cofiring. Porsi atau rasio cofiring bisa terus ditingkatkan bahkan bisa 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Apabila pembangkit listrik batubara tersebut bisa berubah 100% menjadi pembangkit listrik biomasa atau berbahan bakar wood pellet maka pembangkit listrik tersebut menjadi ramah lingkungan atau karbon netral. Dan pada masanya ketika sumber energi terbarukan melimpah dan produk energi listriknya bisa disimpan dalam baterai berkapasitas besar tersebut maka bisa saja pembangkit-pembangkit listrik dengan teknologi pembakaran tersebut bisa ditutup atau dihentikan. 

Penggunaan wood pellet tersebut bisa dikatakan sebagai solusi antara (intermediate) sebelum ke era baterai tersebut. Produksi wood pellet berkapasitas besar idealnya akan menggunakan kebun energi sebagai pemasok atau sumber bahan bakunya. Tanaman rotasi cepat dan trubusan dari kelompok legum seperti kaliandra dan gliricidae adalah pilihan tepat bagi kebun energi tersebut. Kebun energi sendiri bisa sebagai carbon sink atau menyerap CO2 dari atmosfer. Dengan pengelolaan yang baik sehingga volume biomasa atau kayu yang dipanen lebih kecil atau maksimal sama dengan tingkat pertumbuhan tanaman maka fungsi kebun energi sebagai carbon sink terus terjaga. Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar karbon netral sedangkan pengelolaan kebun energi sebagai carbon sink atau karbon negatif sehingga memberikan keuntungan lingkungan optimal. 

Penggunaan 100% bahan bakar biomasa pada pembangkit listrik bersifat karbon netral, sama seperti penggunaan energi terbarukan dari angin, air dan matahari. Tetapi penggunaan energi biomasa khususnya wood pellet tidak intermittent dan selalu tersedia ketika dibutuhkan. Penggunaan baterai akan menjadi solusi atas masalah intermittent tersebut. Pembangkit listrik 100% berbahan bakar biomasa tersebut bisa menjadi karbon negatif ketika menggunakan perangkat CCS (carbon capture and storage). Dan ini sangat bagus karena bisa mengembalikan CO2 yang diemisikan ke atmosfer kembali ke perut bumi (karbon negatif). Dan ketika pembangkit listrik batubara dipasang perangkat CCS maka akan  menjadi karbon netral. Tetapi perangkat CCS tersebut juga masih sangat mahal dan operasionalnya juga tidak murah. 

Dan ketika era baterai telah tiba sehingga pembangkitan listrik dengan teknologi pembakaran ditutup atau dihentikan, maka kayu-kayu dari kebun-kebun energi yang telah dibuat akan digunakan sebagai bahan baku biochar. Bisa saja kayu-kayu dari kebun-kebun energi tersebut tetap dibuat wood pellet untuk menghemat biaya transportasi dan memudahkan handling untuk kemudian dibawa ke fasilitas-fasilitas pirolisis untuk produksi biochar. Biochar yang digunakan pada bidang pertanian memiliki manfaat ganda yakni memperbaiki kualitas tanah dan sebagai carbon sink. Penggunaan biochar bersama pupuk akan membuat pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) sehingga meningkatkan NUE (nutrient use effiency) bagi tanaman sehingga menghemat biaya pupuk dan mengurangi pencemaran lingkungan. Biochar mampu bertahan atau tidak terdekomposisi selama ratusan tahun atau permanen di tanah. Semakin banyak biochar digunakan akan semakin banyak memberikan keuntungan atau manfaat bagi kesuburan tanah dan iklim. Biochar sebagai carbon sink atau carbon sequestration juga merupakan karbon negatif.  Kebun energi dengan pengelolaan yang baik akan menjadi carbon sink dan biocharnya juga carbon sink berupa carbon sequestration, tentu ini memberikan manfaat iklim yang paling optimal. 

Selasa, 12 Maret 2024

Perusahaan Eksportir Cangkang Sawit dan Mengembangkan Usaha Produksi Wood Pellet

Loading cangkang sawit / pks untuk export

Trend dekarbonisasi yang terus meningkat seiring dengan kebutuhan bahan bakar biomasa yang terus meningkat membuat sejumlah perusahaan eksportir cangkang sawit / pks (palm kernel shell) berencana mengembangkan usaha ke produksi wood pellet. Eksportir cangkang sawit yang sudah mapan biasanya telah memiliki kontrak penjualan dengan pembeli di luar negeri, yang bisa jangka pendek maupun kontrak jangka panjang. Eksportir cangkang sawit ini hanya mengumpulkan cangkang sawit dari sejumlah pabrik sawit / pabrik CPO selanjutnya dibersihkan dan pengeringan sederhana untuk siap dikapalkan.  Memang ada juga sejumlah pembeli cangkang sawit di luar negeri yang tidak perlu dibersihkan dan pengeringan sehingga harganya juga lebih murah. Pembersihan cangkang sawit itu biasanya menggunakan mesin ayakan (screening) baik vibrating screen maupun rotary screen, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk pengeringan biasanya juga hanya diangin-anginkan saja dengan sesekali dibalik tumpukan cangkang sawit tersebut dengan mesin excavator.

Cangkang sawit dan wood pellet adalah dua bahan bakar biomasa yang populer di pasar bahan bakar biomasa global. Cangkang sawit adalah kompetitor utama produk wood pellet karena memiliki sifat-sifat / properties yang hampir sama seperti calorific value, ash content, ukuran dan sebagainya tetapi cangkang sawit biasanya lebih murah karena merupakan produk samping atau limbah dari pabrik sawit dan hanya membutuhkan proses sederhana untuk bisa dieksport. Sedangkan wood pellet walaupun bahan baku bisa berasal dari limbah-limbah industri perkayuan ataupun penggergajian kayu tetapi membutuhkan proses produksi lebih kompleks berikut investasi peralatan yang dibutuhkan.

Tipikal Circulating Fluidized Bed (CFB) di Jepang

Cangkang sawit dan wood pellet sebagian besar digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik di luar negeri seperti Jepang dan Korea. Wood pellet hampir bisa digunakan pada semua pembangkit listrik batubara secara cofiring sedangkan cangkang sawit lebih terbatas. Hal tersebut terutama karena untuk menghancurkan cangkang sawit dan dicampur dengan bubuk batubara pada pulverized combustion lebih sulit. Cangkang sawit bisa digunakan 100% pada pembangkit listrik yang berteknologi fluidized bed ataupun stoker. Dan saat ini cukup banyak pembangkit listrik di Jepang yang menggunakan teknologi fluidized bed tersebut. 

Dan karena berada di pasar yang sama, para eksporter cangkang sawit juga sangat mungkin mengetahui kebutuhan wood pellet. Pembeli-pembeli cangkang sawit di luar negeri tersebut biasanya juga pembeli wood pellet juga. Praktek mengumpulkan cangkang sawit dari pabrik-pabrik sawit juga sama seperti mengumpulkan limbah-limbah kayu dari industri pengolahan kayu maupun penggergajian kayu, sehingga seharusnya bukan hal yang sulit bagi eksporter cangkang sawit tersebut. Tetapi pembuatan kebun energi sebagai bahan baku produksi wood pellet adalah solusi idealnya. Pengumpulan limbah-limbah kayu atau bekerjasama dengan industri kayu yang produksi limbah tersebut sebagai solusi antara dan kebun energi sebagai solusi ideal. Dengan demikian bagi eksportir cangkang sawit dengan ekspansi ke usaha produksi wood pellet memang sangat beralasan.    

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...