Trend dekarbonisasi terus berlanjut dan merambah hampir semua lini termasuk sektor transportasi. Pada sektor transportasi ada 2 hal yang bisa dilakukan yakni penggunaan bahan bakar dari energi terbarukan atau biofuel dan penggunaan kendaraan bebas emisi seperti kendaraan listrik. Pada kendaraan dengan energi terbarukan atau biofuel 100% maka emisi yang dihasilkan adalah karbon netral (walaupun emisinya mengandung CO2) sedangkan pada kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi sama sekali karena tidak ada proses pembakaran pada operasional kendaraan listrik tersebut.
Saat ini mayoritas kendaraan adalah kendaraan berteknologi mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) sehingga menggunakan bahan bakar untuk operasionalnya dan bahan bakar yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar dari fossil khususnya yang berbentuk cair atau bahan bakar cair. Untuk mencapai kondisi karbon netral maka bahan bakar tersebut harus digantikan dengan biofuel 100%. Tetapi saat ini walaupun penggunaan biofuel tersebut sudah dilakukan tetapi porsinya belum 100%. Memang secara teknis ada pembatas untuk pemakaian biofuel sehingga tidak bisa 100% seperti bioethanol sehingga hal ini juga menjadi perhatian tersendiri. Walaupun begitu tentu upaya penggunaan biofuel 100% tentu juga akan menjadi target utama, selain faktor emisi sehingga mencapai kondisi karbon netral juga teknologi mesin pembakaran dalam yang memang mayoritas sehingga hanya perlu modifikasi minor atau bahkan tanpa modifikasi sama sekali.
Fakta lainnya adalah kendaraan listrik saat ini juga sebagian besar masih menggunakan sumber energi listrik dari pembangkit listrik dari fossil fuel khususnya batubara. Walaupun kendaraan listrik tersebut nir-emisi tetapi pada dasarnya sumber energinya adalah energi fossil, hanya lokasinya saja yang berjauhan. Mobil listrik sebagai produk baru juga harganya umumnya lebih mahal bahkan bisa dua kali lipat atau lebih dari mobil pada umumnya. Kondisi ini juga mempengaruhi jumlah penggunaan mobil atau kendaraan listrik itu sendiri.
Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sangat besar sebagai produsen biofuel tersebut karena berbagai tanaman atau pohon bisa tumbuh dengan baik. Walaupun kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar saat ini dan Indonesia menempati peringkat pertama di dunia dengan luas kebun perkebunan sawitnya mencapai sekitar 15 juta hektar, tetapi minyak dari kelapa sawit ini bersaing (kompetisi) dengan minyak makan (edible oil) dan biaya perawatan yang tidak murah. Sedangkan minyak nabati dari pohon energi seperti nyamplung (calophyllum inophyllum) selain produktivitas minyaknya tidak kalah dengan minyak sawit, juga minyaknya tidak berkompetisi dengan minyak makan, lebih detail baca disini. Selain itu pohon nyamplung tersebut yang tumbuh baik pada area dekat pesisir pantai juga memberi keuntungan tersendiri yakni karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yakni 99.093 km dan juga pohon nyamplung tersebut juga pohon serbaguna. Sedangkan biofuel dari limbah-limbah biomasa juga bisa dilakukan tetapi karena biaya produksi masih mahal, maka masih perlu sejumlah tahapan untuk implementasinya.
Dengan kondisi tersebut seharusnya pengembangan biofuel khususnya dari pohon seperti nyamplung ini diprioritaskan. Sedangkan kendaraan listrik meskipun bebas emisi tetapi sumber listriknya masih menggunakan bahan bakar fossil. Upaya mengurangi bahan bakar fossil pada pembangkit listrik dengan cofiring sudah dilakukan tetapi porsinya masih sangat kecil, sehingga manfaat iklim belum signifikan. Apabila sumber energi listriknya bisa 100% dari energi terbarukan maka penggunaan kendaraan listrik juga bisa dikatakan seperti penggunaan 100% biofuel pada mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine).