Jumat, 30 Mei 2025

Pengolahan Tankos Sawit : untuk Pellet, Briket atau Biochar ?

Tandan kosong (tankos) atau EFB adalah limbah padat dari produksi minyak sawit atau CPO yang jumlahnya paling banyak. Hal inilah yang membuat banyak produsen mesin yang membuat mesin pengolah tankos ini. Sebagian besar mesin yang dibuat adalah alat untuk memotong dan mengepres tankos tersebut sehingga kadar airnya turun dan ukurannya menjadi lebih kecil. Tetapi baik kadar air dan ukuran tankos sebagai output mesin atau peralatan tersebut masih belum memenuhi syarat untuk bisa diolah lanjut menjadi pellet, briquette atau bahkan biochar. Tipikal output tersebut lebih dari 4 inch dan kadar air lebih dari 45%. Tankos atau EFB harus memiliki kadar air rendah yakni 10% dan ukuran 5-6 mm untuk bisa dibuat pellet atau briquette, dan kurang dari 1 inch untuk produksi biochar. 

Untuk mendapatkan bahan baku yang sesuai untuk produksi pellet, briquette maupun biochar, tankos yang telah dipotong-potong dan dipress tersebut masih perlu dikecilkan ukurannya (size reduction) dan diturunkan kadar airnya hingga sekitar 1/3-nya sehingga cukup kering. Peralatan seperti hammer mill atau crusher dibutuhkan untuk mnngecilkan ukuran dan alat pengering seperti rotary dryer dibutuhkan untuk menurunkan kadar air. Semakin kecil ukuran bahan (particle size) dan semakin rendah kadar air atau semakin kering maka semakin besar energi dibutuhkan. Peralatan seperti hammer mill dan rotary dryer belum menjadi bagian integral untuk pengolahan tankos saat ini. Tetapi biasanya produsen pengolah tankos sawit, juga memproduksi alat press untuk kernel untuk poduksi minyak kernel atau PKO di pabrik pengolahan kernel atau KCP (kernel crushing plant) dengan produk samping berupa bungkil sawit atau PKE (palm kernel expeller). 

Pertimbangan pemilihan produksi pellet, briquette maupun biochar dari tankos sawit sangat tergantung dari kesiapan bisnisnya. Diperkirakan ada 30 juta ton per tahun tankos sawit kering di Indonesia dan 10 juta ton per tahun tankos sawit kering di Malaysia untuk bahan baku produk-produk tersebut. Pemanfaatan limbah tankos sawit selain menjadi solusi masalah limbah di pabrik sawit juga akan memberikan keuntungan tambahan bagi pabrik atau perusahaan sawit tersebut. Seberapa besar keuntungan biasanya juga sebanding dengan investasi dan kapasitas produksi yang dilakukan. Dengan melimpahnya potensi bahanbaku dan daya dorong sustainibility serta zero waste maka limbah tankos sawit akan menjadi bisnis baru yang menarik.   

Minggu, 25 Mei 2025

Biochar untuk Biographite, Material Penting untuk Industri Strategis Masa Depan

Trend dekarbonisasi terus berjalan pada semua sektor khususnya pada industri-industri strategis seperti industri energi, industri besi dan baja serta industri alat-alat transportasi. Kontribusi sejumlah industri tersebut dalam menghasilkan emisi CO2 yang menanmbah konsentrasi di atmosfer (carbon positive) sangat signifikan yakni industri energi khususnya pembangkit listrik menyumbang 27,45%, industri baja menyumbang 8%, dan dari industri sektor transportasi 24%. Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi emisi CO2 dari sumber fossil tersebut. Biographite menjadi salah satu komponen penting untuk maksud tersebut. Penggunaan graphite saat ini berasal dari sumber fossil yakni petcoke dan tar batubara yang merupakan graphite sintetis. Hal ini karena graphite yang ditambang di alam tidak bisa memenuhi spesifikasi teknis yang diharapkan berupa kekuatan, kepadatan dan konduktivitas. 

Graphite adalah bahan yang penggunaannya yakni untuk pembuatan baja, baterai lithium ion, pembangkit listrik tenaga nuklir, fuel cell dan industri pertahanan. Pada industri baja setiap ton baja yang dihasilkan dengan EAF menghabiskan 2 – 4 kg elektrode graphite. Rata-rata setiap baterai mobil listrik mengandung graphite 70 kg. Menurut the Economist pada tahun 2030 permintaan graphite diperkirakan akan melebihi pasokan sebesar 1,2 juta metrik ton, sehingga mengancam industri baja dan baterai. Sedangkan menurut IEA untuk Eropa kebutuhan graphite diprediksi akan meningkat berkisar 20 – 25 kali dari tahun 2020 sampai 2040. Termasuk mengapa saat ini belum adanya kapasitas baterai sangat besar sehingga bahkan pembangkit listrik batubara atau dari sumber fossil bisa ditiadakan sangat mungkin karena terkendala masalah graphite ini. Selain graphite, nikel merupakan komponen penting dalam baterai lithium-ion yang digunakan pada mobil listrik dengan rata-rata 30 kg, khususnya pada katoda. Nikel membantu meningkatkan kepadatan energi dan kapasitas penyimpanan baterai, sehingga memungkinkan mobil listrik memiliki jangkauan yang lebih jauh. 

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Dengan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya. Hal ini sehingga penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi EAF menjadi semakin penting dan harus dipercepat, yang ini seharusnya juga sejalan dengan penggunaan bio-graphite pada EAF tersebut.

Penggunaan biographite ini akan mengurangi emisi CO2 dan mengurangi ketergantungan terhadap import. Bio-graphite yang pada dasarnya berasal dari biomasa menawarkan solusi alternative yang berkelanjutan terhadap graphite yang berasal dari bahan fossil. Ketika pada aplikasi di pabrik baja dengan EAF walaupun biographite mengeluarkan emisi CO2 ketika digunakan, tetapi CO2 atau karbon ini berasal dari biomasa. Dan biomasa dari tumbuhan tersebut menyerap CO2 dari atmosfer ketika tumbuhnya, membuatnya proses tersebut carbon neutral. Proses produksi bio-graphite dimulai dari mengkonversi biomasa menjadi biochar. Selanjutnya dengan pemurnian khusus biochar tersebut diubah menjadi graphite dengan kemurnian tinggi yang cocok untuk elektroda baja tanur busur listrik (EAF) dan anoda baterai.

Graphite demand / supply showing market deficit beginning 2025E  

 Source: Macquarie Research (March 2023)

Dengan potensi berbagai aplikasi pada sejumlah industri strategis tersebut, maka bio-graphite bukan sekedar material baru yang ramah lingkungan tetapi merupakan material penting penopang industri masa depan. Kekurangan akan material ini dapat memperlambat transisi ke kendaraan listrik dan penyimpanan energi terbarukan, yang berdampak pada banyak industri. Dan khusus pada industri baja kekurangan material ini akan mengancam akan meningkatkan biaya pembuatan baja dan menghambat kemajuan menuju tujuan iklim. Hal inilah sehingga pengembangan produksi biochar untuk biographite sangat penting dan perlu diakselerasi untuk tumbuhnya berbagai green industry atau renewable industry masa depan. 

Jumat, 16 Mei 2025

Parameter-parameter Penting Kualitas Biochar dan Standar-Standar Biochar

Sifat-sifat kimia fisika (karakteristik) biochar menjadi parameter keefektifannya pada berbagai aplikasinya yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat-sifat kimia fisika biochar tersebut adalah bahan baku (feedstock), kondisi operasi produksi (production process), serta treatment sebelum dan setelah pengolahannya (pre- or post- processing). Dan karena biochar berbeda-beda sifat-sifat kimia fisikanya itulah maka analisa laboratorium dibutuhkan untuk memprediksi keefektifan biochar tersebut. Secara spesifik aplikasi tertentu akan membutuhkan sifat kimia fisika tertentu sehingga pemilihan produk biochar yang sesuai menjadi sangat penting. Sebagai contoh misalnya biochar dengan surface area yang tinggi memiliki potensi besar untuk menyerap enviromental toxins, logam / metal dan hara. Hal ini sehingga biochar dengan karakteristik tersebut cocok untuk aplikasi remediasi lingkungan. Dan karena biochar bekerja pada berbagai kontaminan yang berbeda-beda sehingga biochar tersebut perlu dimodifikasi untuk suatu aplikasi spesifik tersebut. 

Sifat-sifat kimia biochar yang biasa sebagai acuan yakni organic carbon (Corg) dan carbonates (sebagai CaCO3), H/C ratio dan fixed carbon (FC), ash content, dan volatile matter (VM). Sedangkan sifat-sifat fisika yang biasa sebagai acuan yakni bulk density, surface area dan particle size distribution. Dan karena aplikasi utama biochar adalah untuk pertanian termasuk perkebunan dan kehutanan yakni untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dengan cara meningkatkan kesuburan tanah, maka parameter-parameter terkait kesuburan tanah (soil fertility) juga menjadi acuan penting. Parameter-parameter tersebut yakni nitrogen, pH & liming, liming equivalent, electrical conductivity, total potassium (K), total phosphorus (P) dan metal. 

Walaupun biochar memiliki multi-manfaat baik untuk memperbaiki kesuburan tanah dan juga solusi iklim berupa carbon sequestration / carbon sink, sehingga produk biochar bisa dipilih sesuai prioritas penggunaan. Optimalisasi manfaat / benefit antara dua hal penting itu tentu pilihan terbaiknya. Perspektif atau sudut pandang untuk optimalisasi manfaat / benefit sangat tergantung dari profesi atau kepakaran seseorang, untuk lebih detail baca disini. Parameter berupa organic carbon (Corg), H/C ratio dan fixed carbon (FC) terutama terkait dengan solusi iklim yakni carbon sequestration / carbon sink atau juga biasa disebut BCR (biochar carbon removal) yang bisa mendapatkan kompensasi berupa carbon credit. Untuk bisa mendapatkan carbon credit maka produsen biochar harus mengikuti metodologi yang dibuat lembaga carbon standard (Puro Earth, Verra, European Biochar Certificate), sehingga BCR bisa dikuantifikasi dan dijual di pasar karbon (saat ini di VCM = voluntary carbon market).

 

Sedangkan terkait prioritas di kesuburan tanah maka produk biochar yang dibuat harus berasal dari sumber yang kaya nutrisi atau hara tanaman seperti dari kotoran ternak. Biochar dari kotoran ternak (manure) cenderung memiliki organic carbon (Corg) lebih rendah dibandingkan biochar yang dibuat dari kayu. Biochar dengan kandungan abu tinggi seperti yang berasal dari kotoran ternak biasanya juga liming equivalent lebih tinggi dibandingkan biochar dari kayu. Tingginya volatile matter (VM) juga bermanfaat bagi kesuburan tanah. VM yang mengandung gas-gas seperti karbonmonoksida dan metana, organic hydrocarbon, asam-asam dan tar dan sejumlah senyawa anorganik bisa sebagai sumber pakan penting untuk mikroba tanah. Sejumlah studi juga menunjukkan biochar dari kotoran ternak memiliki porsi phosphorus (P) tinggi sehingga bisa memenuhi kebutuhan P tanaman, demikian juga kandungan potassium / kalium (K) nya.  

Transaksi atau jual beli biochar (fisik) maupun BCR credit membutuhkan standar kualitas tertentu. Tanpa ada standar yang disepakati tentu akan sangat sulit menentukan titik temu antara penjual dan pembeli.  Ada sejumlah lembaga yang mengembangkan standar-standar untuk biochar antara lain European Biochar Certificate (EBC), Organic Material Review Institute (OMRI), USDA Certified Bio-based Product dan World Biochar Certificate (WBC). Untuk mendapatkan parameter kualitas atau spesifikasi biochar yang sesuai dengan penggunaannya maka dibutuhkan laboratorium tipe tertentu. Tidak banyak laboratorium yang bisa melakukan uji biochar ini. Beberapa laboratorium yang bisa melakukannya antara lain laboratorium analisis kompos, tanah, batubara dan activated carbon. Dengan sejumlah perangkat teknis tersebut tentu pengembangan biochar untuk masa depan akan lebih mudah apalagi dengan berbagai manfaat nyata biochar serta kesadaran publik masalah keberlanjutan lingkungan yang semakin besar khusunya pada masalah iklim.  

Minggu, 11 Mei 2025

Food Estate atau Biochar ? Indonesia menjadi Juara Solusi Iklim Global ?

Saat ini ada jutaan hektar lahan di Indonesia yang sangat membutuhkan biochar yakni lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha. Sedangkan potensi bahan baku untuk produksi biochar juga berlimpah (limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan) seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan biochar, produktivitas pertanian akan meningkat dari rata-rata sekitar 20% bahkan hingga 100%.

Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.

Sebagai contoh produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Ada hitungan kasar yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 200 dollar per ton dan carbon credit 150 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut, pendapatannya menjadi hampir 10 kali lipat investasinya atau diperkirakan kurang dari 2 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Penjual carbon credits atau produsen biochar juga berusaha untuk mendapatan kontrak penjualan selama 5-10 tahun.

Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas serta excess heat dari pirolisis yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik.  

Sabtu, 03 Mei 2025

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 8 : Sebuah Pendekatan Komprehensif dan Peran Biomasa

Upaya-upaya mengurangi atau menurunkan CO2 di industri semen terus berkembang dengan berbagai metode untuk mencapai target yang memadai. Target global adalah mencapai Net-Zero Emission pada 2050 sedangkan target antara tergantung lebih spesifik pada industri semen itu sendiri, misalnya ada industri semen yang mentargetkan menurunkan emisinya sebesar 35% dengan baseline tahun 1990 pada tahun 2025 dan selanjutnya menjadi lebih dari 40% pada 2030. Hal tersebut secara praktis bisa diterjemahkan menjadi pengurangan emisi CO2 pada produksi semen dari sekitar 800 kg CO2/ton semen, menjadu 520 kg/ton semen pada 2025 dan kurang dai 475 kg / ton semen pada 2030. Untuk mencapai target tersebut industri terebut harus membuat roadmap yang mengacu pada solusi iklim terkini di industri semen ini, sehingga lebih mudah pencapaiannya dengan berbasis sains (Science-Based Targets / SBT). 

Walaupun motivasi untuk menurunkan emisi CO2 hampir sama di seluruh dunia, tetapi perkembangannya tidak semua sama di berbagai kawasan. Eropa adalah kawasan tercepat karena kesiapannya yang didukung sejumlah faktor, antara lain :
• Peraturan yang memprioritaskan penggunaan sumber daya yang efisien dan mempromosikan ekonomi sirkular.
• Insentif ekonomi untuk peralihan bahan bakar ke alternatif yang lebih bersih, yang dalam banyak kasus menghasilkan biaya energi negatif.
• Penerimaan pasar yang lebih besar terhadap semen campuran (blended cement) dan permintaan konsumen terhadap produk rendah karbon.
• Dukungan pemerintah yang signifikan untuk penelitian dan pengujian teknologi yang lebih bersih.
• Peraturan emisi karbon, yang menghasilkan harga karbon yang dapat diprediksi.

Upaya menurunkan emisi CO2 pada pabrik semen secara langsung atau yang terkait langsung pada produksi semen yakni berfokus pada tiga hal, yakni penggunaan bahan bakar alternatif atau energi terbarukan atau bahan bakar rendah karbon, menurunkan emisi dari proses kalsinasi dan penggunaan aditif semen (suppplementary cementious material / SCM) atau lowering clinker factor. Sedangkan upaya tidak langsung yakni bisa dilakukan dengan penggunaan listrik dari energi terbarukan untuk operasional pabrik semen tersebut.

Secara teknis atau pendekatan teknologi dalam mencapai target penurunan emisi CO2 pada industri semen, sektor energi alternatif atau lebih khusus lagi bahan bakar biomasa berada di urutan ketiga. Hal ini karena sumber emisi pada pabrik semen paling besar atau sekitar 60% berasal dari proses kalsinasi (produksi clinker), sedangkan pembakaran atau terkait bahan bakar hanya berkisar 40%. Hal ini sehingga penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya mencapai target emisi menempati peringkat pertama, selanjutnya subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) menempati urutan kedua, dan penggunaan bahan bakar alternatif termasuk biomasa berada pada urutan ketiga. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, sehingga praktisnya belum banyak dilakukan tetapi subtitusi clinker dan penggunaan energi alternatif termasuk biomasa lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (net zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Sehingga apabila pabrik semen melakukan hal tersebut prosentase CO2 yang bisa dikurangi maksimal hanya 40%, artinya emisi CO2 dari proses kalsinasi (produksi clinker) sebesar 60% masih tetap terjadi.   Penggunaan clinker untuk produksi semen bisa dikurangi sehingga emisi CO2 dari produksi clinker bisa dikurangi. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Tetapi tentu saja tidak mungkin produksi clinker direduksi hingga nol atau meniadakan proses kalsinasi dan seluruhnya digantikan oleh SCM (loweing clinker factor) untuk mengurangi emisi CO2 yang 60% tersebut. 

Hal inilah sehingga semakin tinggi rasio clinker terhadap semen yang dihasilkan (C/S) maka semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dan demikian sebaliknya. China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,89 yakni di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa 0,77, lalu di India 0,68, di Amerika Latin 0,71 dan  rata-rata global yakni 0,76. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.Hal itulah sehingga untuk mencapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Tentang CCS (carbon capture and storage )sejumlah inovasi sedang dikembangkan sehingga teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan pada pabrik semen. Termasuk juga hal tersebut adalah peningkatan efisiensi penangkapan CO2,  penggunaan pelarut-pelarut generasi baru non-aqueous, serta teknologi modular yang lebih murah. Transformasi CO2 yang ditangkap menjadi produk baru yang dapat dipasarkan juga menjadi fokus berikutnya.  

Penggunaan bahan bakar alternatif dengan kandungan biomasa yang tinggi sangat disarankan untuk pabrik semen untuk mereduksi CO2. Tetapi pada kenyataannya biasanya masih terjadi sejumlah kendala saat implementasinya sehingga bahkan sulit untuk meningkatkan rasionya. Kendala-kendala tersebut seperti ketersediaan, kualitas dan kuantitas limbah biomasa, logistik dan infrastruktur penunjang, dinamika pasar, keekonomian harga bahan bakar berbasis limbah biomasa tersebut dan sejumlah faktor teknis pembatas terkait karakteristik bahan bakar biomasa tersebut. Sejumlah limbah biomasa pertanian atau perkebunan seperti sekam padi, cangkang sawit, cangkang mete dan biji zaitun juga sudah sebagai bahan bakar biomasa di pabrik-pabrik semen. Mendapatkan pasokan bahan bakar biomasa yang volumenya mencukupi, kualitas standar dan kontinyu / berkelanjutan sangat penting bagi pabrik-pabrik semen untuk mendukung penurunan emisi CO2. Dan pada dasarnya tidak ada pilihan bagi pabrik semen untuk menghindar dari masalah iklim, sehingga yang harus dilakukan adalah meresponnya dengan aksi riil. 

Berlomba-Lomba dalam Kebaikan dalam Menurunkan Suhu Bumi

Berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi adalah sebuah kebaikan. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Dampak bu...