Tampilkan postingan dengan label efisiensi pupuk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label efisiensi pupuk. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 Agustus 2025

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya produktivitas kelapa sawit berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan energi, yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, pada pembukaan ICOPE (International Conference on Palm Oil and Environment) di Sanur, Bali, pertengahan Februari 2025. Konferensi yang dihadiri oleh delegasi berbagai negara yakni Indonesia, Malaysia, India, Belanda, Prancis, Finlandia, Kolombia dan Spanyol bertujuan sebagai untuk merumuskan transformasi berkelanjutan bagi industri sawit. Produktivitas kelapa sawit berkelanjutan tersebut bisa ditingkatkan dengan intensifikasi lahan dan penggunaan bibit unggul. Bahkan jika perluasan lahan harus dilakukan, maka hal tersebut harus dilakukan tanpa menyebabkan deforestasi. Sedangkan untuk replanting di lahan kering, juga bisa digabungkan dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari.

Biochar solusi jitu 
Produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan dengan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk atau NUE (Nutrients Use Efficiency) dan ini bagian dari intensifikasi lahan. Dengan pemakaian dosis pupuk yang sama dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit akan meningkat sekitar 20% atau lebih, atau dengan penghematan pupuk sekitar 30% dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit relatif stabil atau sama dengan produktivitas sebelumnya. Terkait dengan upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit dan ditambah dengan upaya tanpa terjadinya deforestasi maka opsi pertama lebih sesuai, yakni dosis pupuk tidak ditambah atau sama seperti biasanya, tetapi ada tambahan biochar untuk meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk tersebut. 

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton/tahun dengan luas lahan 16,4 juta hektar dengan rata-rata produksi CPO per hektar 3,55 ton/ha atau per satu juta hektar menghasilkan 3,55 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan produktivitas 20% berarti terjadi kenaikan kenaikan 10 juta ton CPO / tahun (total menjadi 60 juta ton CPO/tahun) dan ini menghemat lahan sekitar 2,8 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Selain dari pemakaian biochar untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya, keuntungan lain yang bisa diperoleh dari produksi biochar adalah dari potensi pendapatan carbon credit (BCR = biochar carbon removal) dan pemanfaatan produk samping dari pirolisis untuk perkebunan sawit maupun operasional pabrik sawit pada produksi CPO. Dengan cara tersebut maka ada sejumlah keuntungan bagi perusahaan sawit seperti penghematan pupuk organik cair, pestisida dan 100% canngkang sawit bisa dijual atau dieksport. Selain perusahaan sawit tersebut produksi sendiri biocharnya dengan pirolisis, dimungkinkan juga ada perusahaan tersendiri yang terpisah atau perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan sawit untuk produksi biochar dengan kesepakatan tertentu. 

Tekanan dan sorotan global bagi industri sawit untuk melakukan praktik berkelanjutan yang semakin besar. Dan ditengah melonjaknya permintaan minyak sawit untuk pasar global dan pasar domestik, peningkatan produktivitas sawit adalah sebuah keniscayaan. Dengan pemanfaatan limbah biomasa pabrik dan perkebunan sawit seperti tandan kosong dan batang sawit untuk produksi biochar dan pemakaian biochar untuk peningkatan produktivitas kelapa sawit itu sendiri maka hal ini menjadi solusi jitu dalam merespon tantangan tersebut. Bahkan untuk replanting di lahan kering, dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari, penggunaan biochar juga akan berdampak positif dan signifikan pada tanaman tumpang sari tersebut.  

Minggu, 11 Mei 2025

Food Estate atau Biochar ? Indonesia menjadi Juara Solusi Iklim Global ?

Saat ini ada jutaan hektar lahan di Indonesia yang sangat membutuhkan biochar yakni lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha. Sedangkan potensi bahan baku untuk produksi biochar juga berlimpah (limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan) seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan biochar, produktivitas pertanian akan meningkat dari rata-rata sekitar 20% bahkan hingga 100%.

Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.

Sebagai contoh produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Ada hitungan kasar yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 200 dollar per ton dan carbon credit 150 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut, pendapatannya menjadi hampir 10 kali lipat investasinya atau diperkirakan kurang dari 2 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Penjual carbon credits atau produsen biochar juga berusaha untuk mendapatan kontrak penjualan selama 5-10 tahun.

Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas serta excess heat dari pirolisis yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik.  

Senin, 24 Februari 2025

Cogeneration pada Pabrik Sawit dengan Pirolisis, Langkah Awal Produksi dan Implentasi Biochar

Analoginya seperti halnya cofiring yang dilakukan pada pembangkit pembangkit listrik batubara dengan mencampur bahan bakar biomasa dengan rasio tertentu sebagai upaya dekarbonisasi sektor energi di pembangkit listrik. Sedangkan di pabrik sawit, cogeneration dengan pirolisis sebagai langkah awal inovatif memasuki era carbon negative dengan aplikasi biochar, produk utama pirolisis tersebut. Dan karena semua pabrik sawit memang menggunakan bahan bakar biomasa untuk operasional pabriknya maka sudah merupakan berbasis bahan bakar carbon neutral, tidak seperti pembangkit listrik batubara berbasis bahan bakar carbon positive karena berasal dari fossil.

Berbeda dengan cofiring yang mencampur bahan bakar batubara dan biomasa dengan rasio tertentu lalu dibakar bersama dalam tungku pembakaran seperti pulverized combustion, maka cogeneration dilakukan dengan menghasilkan energi secara terpisah tetapi output energinya untuk penggunaan atau khususnya boiler yang sama. Ini dilakukan karena bisa jadi jenis bahan bakarnya berbeda seperti bahan bakar padat dengan bahan bakar cair ataupun teknologi menghasilkan energi tersebut berbeda. Dengan cogeneration tersebut berarti tidak semua energi dihasilkan dari satu sumber energi atau energi dari cogeneration adalah sumber energi sekunder untuk memenuhi kebutuhan energi total, dan dalam hal cogeneration di pabrik sawit ini, energi dari pembakaran (combustion) masih menjadi energi primer-nya. 

Lalu kenapa kok tidak langsung full pyrolysis saja ? Lebih mudah, secara bertahap bagi pabrik sawit mengadopsi teknologi pirolisis dan karakteristiknya. Karena (slow) pyrolysis tujuannya untuk maximize solid / biochar maka produk samping berupa excess energy (syngas dan biooil) sebagai sumber bahan bakar boiler, nilai kalornya tidak sebanyak pembakaran (combustion) yang memang tujuannya untuk maximize heat. Hanya sekitar 1/3 excess energy tersebut berkontribusi (cogeneration) sebagai bahan bakar boiler. Dengan kata lain apabila langsung full pyrolysis maka jumlah biomasa sebagai bahan baku pyrolysis menjadi 3 kali lipat atau unit pyrolysis menjadi sangat besar sehingga semua limbah biomasa pabrik sawit terpakai, dan pabrik tidak bisa menjual cangkang sawitnya.

Keuntungan apa yang didapat oleh pabrik sawit apabila melakukan cogeneration dengan pyrolysis untuk produksi biochar antara produk biocharnya bisa untuk menghemat pemakaian pupuk di perkebunan sawit, mengatasi masalah limbah tandan kosong sawit sehingga pabrik sawit bisa zero waste, cangkang sawit yang selama ini digunakan untuk bahan bakar boiler bisa dijual sehingga menambah pendapatan, produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit meningkat, aplikasi biochar di kebun sawit juga sebagai solusi iklim (carbon sequestration / carbon sink) sehingga bisa mendapat kompensasi carbon credit dan dengan pengelolaan limbah yang baik bahkan zero waste dan aplikasi biochar di kebun-kebun sawit maka perusahaan sawit akan mendapat citra yang baik pada aspek lingkungan dan keberlanjutan (sustainibility).

Rabu, 04 Desember 2024

Biochar Untuk Perkebunan Nilam

Indonesia terkenal dengan produsen berbagai minyak atsiri, diantaranya minyak nilam, minyak kayu putih, minyak daun cengkeh dan lain sebagainya. Penggunaan utama minyak atsiri terutama untuk bidang pangan, farmasi, wewangian (parfum). Potensi negeri ini untuk mengembangkan minyak atsiri sangat besar karena faktor iklim, luas lahan dan kesuburan tanahnya. Data statistik ekspor-impor dunia menunjukan bahwa konsumsi minyak atisiri dan turunannya naik sekitar 10% dari tahun ke tahun. Dari 70 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar internasional minyak sereh wangi, nilam, akar wangi, kenanga, kayu putih, cengkeh, lada, dan minyak melati disuplai dari Indonesia. Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara penghasil minyak atsiri dan masuk dalam 10 besar di dunia.

Dalam perdagangan internasional nilam dikenal sebagai patchouli. Sentra produksi nilam di Indonesia terdapat di Bengkulu, Sumatra Barat, dan Nangro Aceh Darussalam. Mutu minyak nilam Indonesia dikenal paling baik dan menguasai pangsa pasar 80-90% dunia atau pemasok minyak nilam terbesar di dunia . Minyak nilam ini berasal dari hasil penyulingan daun kering untuk diambil minyaknya yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan industri.  Minyak nilam digunakan sebagai fiksasif atau pengikat bahan-bahan pewangi lain dalam komposisi parfum dan kosmetik.  Luas areal penanaman nilam mencapai 21.716 ha yang tersebar di 11 propinsi di Indonesia, dan pada tahun 2008 dihasilkan minyak nilam sebesar 2.496 ton. 

Tanaman nilam yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah nilam Aceh karena kadar minyak > 2% dan kualitas minyaknya PA>30% lebih tinggi daripada nilam Jawa yang kadar minyak <2%. Lebih lanjut dengan nilam Aceh yakni ada tiga varietas tanaman nilam yang terdapat di Aceh yaitu nilam Tapaktuan, nilam Lhokseumawe, nilam Sidikalang. Tingkat patchouli alcohol (PA) dari ketiga varietas tersebut beragam yaitu: Tapaktuan (28,69-35,90%), Lhokseumawe (29,11-34,46%), dan Sidikalang (30,21-35,20%). 

Produksi Minyak Nilam di Provinsi Sentra Tahun 2015-2020**)

Salah satu faktor yang menujang pertumbuhan tanaman dan berproduksi secara optimal adalah ketersediaan unsur hara dalam jumah cukup di tanah. Tingkat ketersediaan hara bagi tanaman nilam harus optimal untuk memperoleh pertumbuhan dan kadar minyak yang tinggi. Nilam dikenal sangat rakus terhadap unsur hara terutama nitrogen (N), pospor (P) dan kalium (K). Tanaman nilam termasuk yang membutuhkan unsur hara cukup banyak, agar produksi tetap berjalan optimal, pemberian pupuk dilakukan dengan sangat serius . Hal ini sehingga tingkat kesuburan tanah harus dijaga secara optimal apabila mengharapkan produksi pertanian nilam yang juga optimal. Oleh karena itu pada sistem budidaya nilam secara berpindah, akan terjadi penurunan kesuburan lahan yang sangat cepat sehingga akan merusak lahan tersebut. 

Nilam dapat dibudidayakan pada lahan kering, dengan demikian pengembangan tanaman nilam sangat relevan dengan potensi lahan kering yang cukup luas di Indonesia dibandingkan dengan lahan sawah. Bahkan lahan kering merupakan lahan sub-optimal yang paling luas sebarannya yaitu sekitar 122,1 juta ha yang terdiri dari lahan kering masam seluas 108,8 juta ha dan lahan kering iklim kering seluas 13,3 juta ha.  Pengembangan tanaman nilam memiliki tujuan ganda, selain meningkatkan pendapatan petani, juga meningkatkan produktivitas lahan kering yang banyak tersebar di Indonesia.

Untuk memperbaiki kualitas lahan yakni dengan aplikasi biochar. Aplikasi biochar pada lahan pertanian berfungsi sebagai pembenah tanah yang mampu memperbaiki sifat kimia tanah (pH, kapasitas tukar kation, N-total, P-tersedia dan Aldd), sifat fisik tanah (Bulk density, porositas dan kemampuan tanah memegang air). Perbaikan kualitas sifat kimia dan fisik tanah tersebut berdampak pada ketersediaan hara dan air melalui kemampuan biochar meretensi hara dan air. Pada akhirnya, penambahan biochar berimplikasi pada peningkatan produktivitas tanaman tanaman nilam. Ke depan, diharapkan dengan aplikasi biochar akan semakin luas lahan-lahan suboptimal dan lahan terdegradasi yang dapat dipulihkan dan ditingkatkan produktivitasnya.

Optimalisasi pemanfaatan lahan kering untuk budi daya tanaman pangan perlu diawali dengan upaya rehabilitasi lahan agar tanaman dapat berproduksi optimal.Pembenah tanah yang murah, mudah tersedia dan mampu bertahan lama dalam tanah diharapkan akan mampu memicu laju peningkatan produktivitas lahan kering. Potensi limbah pertanian untuk dikonversi menjadi pembenah tanah (biochar) di Indonesia cukup besar.Aplikasi biochar terbukti mampu meningkatkan kualitas sifat fisik dan kimia tanah, serta meningkatkan ketersediaan air. Produktivitas tanaman juga meningkat sejalan dengan terjadinya pemulihan kualitas lahan.

Biochar juga bisa ditambahkan pada saat pengomposan sehingga semakin banyak kandungan nitrogen (N) yang bisa terserap dalam biochar tersebut. Semakin tinggi nitrogen (N) maka kualitas komposnya juga akan semakin baik. N total merupakan salah satu yang termasuk kedalam unsur makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, terhitung 1,5% dari berat kering tanaman. Nitrogen bermanfaat dalam pembentukan protein, penyusun dari klorofil tanaman, serta jika secara morfologi N berperan sebagai pembentukan daun dan batang tanaman atau pembentukan vegetatif tanaman. Fosfor merupakan unsur hara mutlak yang diperlukan oleh tanaman setelah nitrogen. Gejala defisien hara Fospor (P) terlihat seperti warna tanaman menjadi hijau gelap atau hijau keunguan yang kemudian diikuti dengan daun yang lebih tua berwarna keunguan. Penambahan biochar dan kompos tersebut selain menambah produktivitas daun nilam bahkan bisa meningkatkan rendemen minyak nilam dari rata-rata 2% naik menjadi 4% serta kadar patchouli alcohol minyak nilam dari rata-rata 32% naik menjadi 40%.   

Minggu, 09 Juni 2024

Mengapa Produksi Biochar Untuk Industri Sawit Belum Ada ?

Walaupun limbah biomasa melimpah pada industri sawit baik di area kebun maupun di area pabrik sawitnya tetapi sebagian besar limbah biomasa khususnya tandan kosong sawit masih belum dimanfaatkan atau hanya ditimbun atau dibuang begitu saja. Padahal jika industri sawit memiliki visi yang kuat tentang memaksimalkan keuntungan dengan meminimalisir terjadinya limbah khususnya biomasa, dan memaksimalkan keberlanjutan lingkungan (sustainibility) serta bagian dari solusi iklim maka limbah biomasa khususnya tandan kosong sawit tersebut adalah peluang besar. Saat ini, perusahaan kelapa sawit mulai membentuk departemen khusus di industri kelapa sawit yang secara khusus menangani isu keberlanjutan (sustainibility). Isu pengelolaan limbah termasuk pemanfaatan TKKS, pengurangan pencemaran tanah dan air akibat pupuk, serta peningkatan efisiensi pemupukan menjadi perhatian departemen keberlanjutan (sustainibility).

Tandan kosong sawit tersebut bisa sebagai bahan bakar sehingga sebagian besar atau semua cangkang sawit bisa langsung dijual bahkan dieksport. Bahan bakar boiler pabrik sawit saat ini menggunakan bahan bakar berupa sabut sawit (mesocarp fiber) dan sebagian cangkang sawit, bisa digantikan menggunakan tandan kosong sawit (EFB/empty fruit bunch) dan sabut sawit (mesocarp fiber) tersebut dan tanpa cangkang sawit. Cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa yang sangat populer di pasar global yang bersaing ketat dengan wood pellet. Dengan bisa menjual seluruh cangkang sawit dan sekaligus memanfaatkan limbah tandan kosong maka bagi industri sawit akan banyak memberikan keuntungan secara ekonomis. 

Penggunaan tandan kosong sawit / EFB dan sabut tersebut sebagai sumber panas boiler tersebut tidak dengan cara dibakar seperti biasanya atau yang dilakukan semua pabrik sawit saat ini tetapi harus dengan gasifikasi atau pirolisis sehingga dihasilkan produk lain berupa biochar. Walaupun gasifikasi bisa digunakan untuk menghasilkan biochar, pirolisis lebih disarankan karena kualitas dan kuantitas biochar akan lebih baik. Penggunaan biochar tersebut nantinya bisa untuk perkebunan sawit itu sendiri. Penggunaan biochar pada perkebunan sawit akan menghemat pemakaian pupuk secara signifikan disamping juga mengurangi terjadinya polusi air dan tanah akibat pemakaian pupuk yang tidak efisien tersebut. Biaya paling besar pada operasional perkebunan sawit adalah pupuk, sehingga dengan pemakain biochar tersebut biaya operasional tersebut otomatis juga bisa dipangkas. Biochar akan menjadi slow release agent sehingga penggunaan pupuk akan semakin efisien atau meningkatkan NUE (Nutrients Use Efficiency).  

Tandan kosong dan sabut adalah limbah padat dari pabrik sawit sehingga limbah tersebut berada di sekitar pabrik sawit sedangkan pemakaian biochar adalah untuk perkebunan sawit. Pada perusahaan sawit pada umumnya terjadi pemisahan pengelolaan antara bagian kebun dan pabrik. Pemanfaatan biochar di perkebunan sawit sedangkan bahan bakunya berasal dari pabrik sawit maka perlu pengaturan khusus terkait hal ini. Bisa saja misalnya truk-truk yang mengangkut TBS dari kebun ke pabrik sawit lalu setelah TBS dibongkar di pabrik lalu ketika akan ke kebun lagi sambil membawa biochar dari pabrik sawit tersebut.  

Pemanfaatan tandan kosong dan sabut sawit sebagai sumber panas boiler dan produksi biochar belum ada yang melakukan saat ini. Faktor utama penyebab hal ini adalah pada orientasi utama atau visi perusahaan sawit itu sendiri seperti diuraikan di atas. Hal tersebut diprediksi akan segera berubah seiring kesadaran terhadap masalah iklim yang semakin meningkat dan masuk ke semua lini terutama pada sektor-sektor yang berkaitan dengan energi. Apalagi ketika aplikasi biochar di tanah perkebunan tersebut juga mendapat carbon credit sebagai carbon sequestration.  Asap yang keluar dari tungku boiler juga akan lebih bersih dilihat dari opasitasnya. Penggunaan bahan bakar gas dan cair dari hasil samping pirolisis akan menghasilkan kualitas pembakaran yang lebih baik begitu pula dengan asap dari cerobong. Bahkan hasil samping pirolisis berupa cairan juga dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida dan pupuk organik. Efisiensi boiler juga akan meningkat karena menggunakan air umpan boiler (BFW) berupa air panas dari keluaran kondensor unit pirolisis.

Selain pabrik-pabrik sawit lama yang memang ingin meng-upgrade industrinya pada sistem energinya, keberlanjutan (sustaibility) lingkungan dan efisiensi pemupukan di perkebunannya sesuai visi tersebut, pabrik-pabrik sawit baru yang statusnya seperti dalam tahap pengembangan seharusnya malah bisa lebih mudah mengaplikasikan konsep ini. Pabrik sawit baru bisa segera mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman sehingga menjadi trend settter dengan visi tersebut. Menjadi pioneer dan trend setter memang lebih berat bahkan beresiko daripada sekedar follower tetapi hal tersebut akan mengangkat reputasi dan menjadi pemimpin di industri tersebut sehingga juga semestinya akan berdampak positif pada performa bisnis perusahaan tersebut. Suatu upaya yang sepadan.

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...