Rabu, 13 Agustus 2025

Gerakan Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Biomasanya

Pohon sawit mulai kehilangan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun, sementara pohon baru membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk mulai berbuah. Hal itu pada umumnya menjadikan lahan tidak produktif selama rentang waktu 4 tahun tersebut dan ini yang membuat petani enggan melakukan peremajaan sawitnya (replanting). Tetapi dengan tumpang sari masa tersebut bisa tetap memberi keuntungan bagi petani. Menanam tanaman berumur pendek seperti padi gogo dan jagung, di samping kelapa sawit dapat membantu petani memperoleh penghasilan tambahan sambil menunggu pohon kelapa sawit berbuah dan tumbuh dewasa. 

Pada tahun 2024 Malaysia sebagai produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia dan mulai menerapkan intensifikasi lahan karena luas lahan yang terbatas, hanya melakukan penanaman kembali (replanting) 2% atau sekitar 114.000 hektar saja. Padahal negara tersebut mentargetkan 5% lahan bisa dilakukan replanting kebun sawit tersebut. Kondisi di Indonesia juga tidak jauh berbeda, bahkan diprediksi replanting yang dilakukan kurang dari 2%. Dan misalkan jika hanya 1,5%  atau sekitar 246.000 hektar melakukan replanting maka sangat tidak proporsional dengan luas lahan sawitnya yang hampir 3 kali luas lahan sawit Malaysia. Selain itu replanting semestinya dilakukan secara periodik setiap tahun untuk menghasilkan performa produksi sawit yang optimal. 

 

Dampak keengganan atau lambatnya replanting tersebut berdampak pada penurunan produksi minyak mentah sawit atau CPO secara nasional. Bahkan produksi minyak sawit Malaysia stagnan lebih dari dekade lalu akibat keterbatasan lahan untuk perkebunan baru dan dan lambatnya penanaman kembali (replanting) tersebut. Sementara di Indonesia kekhawatiran terhadap deforestasi juga berpengaruh terhadap perluasan lahan untuk perkebunan sawit baru. Dan produksi minyak mentah sawit atau CPO akan semakin menurun lagi apabila ditambah faktor kekuragan tenaga kerja dan penyebaran jamur ganoderma yang mengurangi hasil panen.

Dengan kondisi di atas maka gerakan replanting kebun sawit harus digalakkan sehingga produksi minyak sawit bisa dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Masalah limbah biomasa dari pohon sawit yang mencapai ribuan hektar juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan volume pohon sawit tua yang sangat besar maka pemanfaatan menjadi produk yang bernilai tambah penting dilakukan.   Dengan rata-rata setiap hektar kebun sawit terdiri 125 pohon dan setiap pohonnya memiliki rata-rata berat kering 2 ton, maka per hektar di dapat 250 ton berat kering biomasa. Untuk luasan 10 ribu hektar menjadi 2,5 juta ton berat kering dan untuk luasan 100 ribu hektar berarti mencapai 25 juta ton berat kering. Atau jika perkiraan optimis Indonesia bisa melakukan 5% replanting atau 820 ribu hektar berarti ada 205 juta ton berat kering biomasa dan juga Malaysia dengan 5% replanting atau 285 ribu hektar akan dihasilkan 71,25 juta ton berat kering.  

Faktor kesiapan bisnis ditinjau dari teknologi dan pasar atau pengguna produk tersebut perlu dikaji secara seksama. Dengan volume yang sangat besar tersebut maka pabrik atau industri pengolahan biomasa bisa didirikan dan beroperasi secara maksimal, tanpa khawatir kekurangan bahan baku. Produk-produk seperti pellet, briquette dan biochar dari limbah biomasa batang sawit tua tersebut. Batang sawit tua yang mati dan biasa ditinggal begitu saja di lahan semestinya dimanfaatkan untuk menjadi produk-produk yang bermanfaat dan bernilai tambah tersebut.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gerakan Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Biomasanya

Pohon sawit mulai kehilangan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun, sementara pohon baru membutuhkan waktu sekit...