Emisi gas buang terutama dari PLTU batubara harus dibuat seramah mungkin dengan lingkungan. Sekitar 60% listrik dunia saat ini bergantung pada batubara, hal ini dikarenakan PLTU batubara bisa menyediakan listrik dengan harga murah. Gas-gas buang yang mencemari dan membahayakan lingkungan perlu di treatment sedemikian rupa sehingga tidak lagi membahayakan lingkungan. Batubara adalah bahan bakar yang mengandung sulphur cukup tinggi yakni 0,5% (5 kg/ton batubara) sehingga ketika dibakar akan menimbulkan emisi gas SO2 dan SO3 atau kelompok gas SOx. Gas-gas tersebut apabila diemisikan di atmosfer akan menimbulkan hujan asam. Hujan asam tersebut akan membuat rusak tanah pertanian, hutan-hutan karena photosintesis tidak sempurna, matinya biota laut perairan dan korosi benda-benda logam baik kendaraan, bangunan dan sebagainya bahkan kesehatan manusia berupa gangguan pernafasan seperti asma, bronkhitis kronis hingga kerusakan paru-paru permanen.
Sebagai contoh Cina menyatakan lebih setengah kota-kota di negara itu mengalami hujan asam dan hanya sedikit yang memiliki udara segar. Seperenam sungai-sungai besar sangat terpolusi sehingga airnya dipandang tidak baik untuk pertanian. Pengawas polusi menyatakan 16,4% sungai besar Cina bahkan tidak memenuhi standar pengairan pertanian. Air dari kota-kota besar seperti Shanghai, Tianjin dan Guangzhou dinyatakan sangat terpolusi. Hanya daerah pulau wisata Hainan dan sebagian pantai utara yang dianggap benar-benar sehat. Hanya 3,6% dari 471 kota yang dimonitor mendapatkan peringkat teratas dalam hal kebersihan udara.
Upaya meminimalisir emisi gas SOx (termasuk sulfur dioksida (SO2), sulfur monoksida (SO), dan sulfur trioksida (SO3)) dilakukan dengan treatment gas buang desulphurisasi atau istilahnya FGD (Flue Gas Desulphurisation). Pada Juni 1973, ada 42 unit FGD yang beroperasi, 36 di Jepang dan 6 di Amerika Serikat, dengan kapasitas mulai dari 5 MW hingga 250 MW. Pada sekitar tahun 1999 dan 2000, unit FGD sedang digunakan di 27 negara, dan ada 678 unit FGD yang beroperasi pada kapasitas total pembangkit listrik sekitar 229 gigawatt. Sekitar 45% kapasitas FGD berada di AS, 24% di Jerman, 11% di Jepang, dan 20% di berbagai negara lain. Sekitar 79% dari unit, mewakili sekitar 199 gigawatt kapasitas, menggunakan kapur basah (wet limestone). Sekitar 18% (atau 25 gigawatt) menggunakan spray-dry scrubbers atau sorbent injection systems. Penggunaan FGD tersebut saat ini, telah diperkenalkan ke berbagai tempat yang menggunakan bahan bakar fosil seperti insinerator batu bara dan insinerator limbah.
Pada dasarnya teknik FGD ada beberapa macam tetapi secara umum bisa dibedakan menjadi 2 yakni metode basah misalnya dengan penyerapan larutan kapur basah atau air laut, metode kering misalnya activated carbon dan metode semi-kering. Metode basah adalah metode paling banyak digunakan. "Metode gipsum kapur", yang merupakan salah satu metode basah, telah menjadi arus utama (mainstream) di dunia sebagai proses pengolahan gas buang berkapasitas besar terutama untuk pembangkit listrik tenaga panas. Pertimbangan untuk pemilihan teknik FGD tersebut diantaranya skala, biaya, jenis produk sampingan, dan aplikasinya. Metode kapur-gipsum mempersulit proses pemulihan gypsum dan proses pengolahan air limbah, sehingga tidak cocok untuk diaplikasikan pada boiler kecil. Oleh karena itu, di pabrik skala kecil, "metode magnesium hidroksida" yang menggunakan magnesium hidroksida, yang merupakan alkali murah di samping kapur, sering digunakan. Metode soda adalah metode basah yang biasa digunakan di pabrik pulp dan peralatan skala kecil pada paruh kedua tahun 1960-an, tetapi karena soda kaustik sebagai penyerap mahal dan biaya operasi tinggi, metode yang menggunakan magnesium hidroksida, yang merupakan penyerap yang lebih murah, telah diadopsi.
Pada tahun 1960an Jepang banyak mengembangkan teknik FGD kering dan sejak tahun 1980an teknik FGD basah mulai banyak digunakan sampai saat ini. Saat ini Jepang semua sudah memasang peralatan FGD tersesbut, namun dipastikan kebutuhan di China dan Asia Tenggara akan bertambah di masa mendatang. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar produsen alat FGD telah menyadari perkembangan teknologi yang diterapkan ke pasar luar negeri, dan pengembangan perangkat desulfurisasi sederhana yang sesuai untuk negara berkembang yang mudah dioperasikan dan berbiaya rendah sedang dilakukan. Ada juga produk samping dari FGD tersebut yang bernilai ekonomi yakni FGD gypsum. Di Indonesia baru ada satu PLTU yang menggunakan FGD dengan kapur basah (wet limestone) dan menghasilkan FGD gypsum yakni di PLTU Tanjung Jati, Jepara, Jawa Tengah. Sedangkan PLTU yang lainnya masih menggunakan teknik basah dengan scrubber air laut (sea water absorbtion).
Metode desulphurisasi dengan activated carbon ternyata juga simultan dengan denitrasi serta fungsi untuk menghilangkan komponen lain seperti penghilangan dioksin dan penghilangan elemen logam berat. Metode adsorpsi activated carbon terdiri dari menara adsorpsi, menara desorpsi, dan perangkat transfer sirkulasi activated carbon. Ketika komponen lain seperti NOx juga teradsorpsi, modul yang terdiri dari sejumlah sel activated carbon membentuk menara adsorpsi, dan setiap komponen dalam gas buang dibuang saat melewati setiap modul.
Activated carbon yang telah mengadsorpsi SOx, dll. Di menara adsorpsi dikirim ke menara desorpsi, dipanaskan hingga 350 ° C atau lebih tinggi, dan diregenerasi. Karbon aktif hasil regenerasi didinginkan hingga 150 ° C atau lebih rendah di bagian pendingin, kemudian debu dipisahkan dengan penyaringan dan digunakan kembali di menara adsorpsi. Sebaliknya, gas SO2 pekat yang diperoleh dicuci dan dimurnikan, kemudian dioksidasi atau direduksi, dan akhirnya dipulihkan sebagai asam sulfat, unsur sulfur, atau sejenisnya.
Arang aktif (activated carbon) memiliki luas permukaan besar karena banyaknya pori-pori dari permukaannya. Pori-pori tersebut sengaja dibuat untuk meningkatkan efisiensi penjerapan (adsorption). Semakin banyak pori-pori terbentuk semakin luas permukaan activated carbon tersebut. Berdasarkan ukurannya pori-pori tersebut dibedakan menjadi macropore, mesopore dan micropore. Activated carbon dari tempurung kelapa memiliki banyak micropore, sedangkan activated carbon dari kayu didominasi mesopore dan macropore (micropore hanya memiliki porsi kecil) karena struktur kayu juga lebih terbuka. Untuk activated carbon dari batubara distribusi micropore, mesopore dan macropore hampir merata. Berdasarkan karakteristik diatas maka activated carbon tempurung kelapa banyak digunakan untuk menjerap molekul-molekul kecil dari gas dan cairan. Activated carbon dari tempurung kelapa dan cangkang sawit diperkirakan paling sesuai untuk proses FGD (flue gas desulphurisation) tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar