Jumat, 24 September 2021

Kebun Nyamplung Jangan Kalah Dengan Kebun Sawit

Calophyllum inophyllum atau pohon nyamplung memiliki kayu bernilai komersial tinggi. Hutan di Indonesia memiliki sekitar 4000 spesies pohon atau kayu, dengan 267  diantaranya diperdagangkan. Kayu dari pohon-pohon family dipterocarpaceae adalah kelompok paling penting seperti meranti, keruing, kapur dan mersawa. Selain itu adalah sejumlah species pohon yang juga cukup penting yakni koompasia, palaquium, dyera, callophyllum inophyllum (nyamplung), octomeles sumatrana dan gonystylus bancanus (ramin). Kayu nyamplung agak ringan hingga sedang dan lembut, tetapi padat, berurat kusut, hingga tidak dapat dibelah. Kayu nyamplung mempunyai dua warna, yakni kelabu atau semu kuning dan merah bata dengan urat lebih halus dan seratnya lebih lurus. Kayu nyamplung termasuk kelas awet II dan sangat awet bila di dalam air laut. Kayu nyamplung termasuk kayu komersial sering digunakan sebagai papan, balok, tiang, flooring, perahu, kano, peti dan meja, pembuatan kapal, bantalan kereta api, perabot rumah tangga dan sebagainya. Masyarakat nelayan di pesisir pantai biasa menggunakan kayunya untuk pembuatan perahu.

Sampai saat ini potensi nyamplung di Indonesia masih belum diketahui secara pasti, tetapi dari penafsiran citra satelit Landsat7 ETM pada tahun 2003 di seluruh pantai di Indonesia    diperkirakan tegakkan alami nyamplung mencapai total luasan 480.000 hektar dan sebagian besar (sekitar 60%) berada di dalam kawasan hutan. Tegakan nyamplung pada umumnya tumbuh pada tipe hutan campuran, di hutan alam dengan jenis ketapang, malapari, waru laut, keben, pandan laut dan lain-lain. Sedangkan di hutan yang ditanam, nyamplung tumbuh dengan akasia, mahoni, kayu putih, melinjo, nangka, duku, durian dan lain-lain. Nyamplung tumbuh paling dekat pada posisi 50-1000 meter dari bibir pantai dengan kerapatan pohon sangat bervariasi. Tinggi pohon nyamplung dapat mencapai 25 meter dan diameter batang 1,5 meter. 

Produksi minyak nyamplung khususnya untuk produksi biofuel bisa dilakukan sambil menanti produksi kayu. Produksi biofuel ini bahkan menjadi aktivitas utama budidaya nyamplung ini karena bisa dilakukan puluhan tahun hingga akhirnya produktivitas tanaman menurun, pohon ditebang dan digantikan tanaman baru. Rendemen minyak nyamplung yang hampir sama dengan bahkan menyaingi minyak mentah sawit atau CPO yakni 6 ton/hektar serta tidak berkompetisi dengan minyak pangan (edible oil) menjadikan minyak nyamplung sangat potensial dikembangkan. Biodiesel dari minyak nyamplung juga sekaligus memberi jawaban terhadap kegagalan program biodiesel jarak pagar beberapa waktu lalu, untuk lebih detail baca disini. Dengan garis pantai Indonesia mencapai 99.093 km maka produksi biofuel dari nyamplung akan sangat besar begitu pula kayu dan produk-produk olahannya. Apabila kita bandingkan dengan kebun sawit, ketika masa produktifnya sudah habis, penebangan dan pemanfaatan batang sawit banyak menimbulkan masalah, bahkan banyak yang hanya ditinggalkan di kebun begitu saja. Meninggalkan batang sawit di kebun hingga lapuk ternyata juga menimbulkan masalah tersendiri yakni sebagai tempat tumbuh larva yang merusak pohon kelapa, lebih detail baca disini. Hal tersebut tentu saja sangat berbeda dengan pohon nyamplung, yang ketika pohonnya sudah tua kualitas kayu semakin bagus, demikian juga harga jualnya. 

Selain itu juga berbagai praktek agroforestry bisa dilakukan pada perkebunan nyamplung karena bisa kebun campur (mixed-culture) dan fungsi lainnya sebagai pemecah angin (wind breaker) sehingga tanaman lain juga akan terlindungi. Praktek kebun campur atau mixed culture hampir tidak bisa dilakukan pada perkebunan sawit sehingga outputnya hanya satu macam saja yakni tandan buah segar (TBS). Sedangkan dengan kebun campur outputnya juga bisa beragam dari tanaman pangan seperti buah-buahan, umbi-umbian dan sebagainya. Dengan biaya perawatan khususnya pemupukan juga sangat besar pada perkebunan sawit dan ini merupakan komponen biaya tertinggi pada operasional perkebunan sawit. Untuk terus mempertahankan level performanya tentu saja kebutuhan pupuk untuk perkebunan sawit sangat banyak, sedangkan pada kebun nyamplung lebih kecil. Kebutuhan air untuk kebun sawit juga sangat besar sedangkan pada kebun nyamplung bahkan bisa tetap produktif pada tanah-tanah kering. 

Tentu semua upaya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Begitu pula dengan budidaya nyamplung ini. Selain memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan kebun sawit seperti uraian di atas, pohon nyamplung juga memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan pohon penghasil kayu lainnya. Pada pohon penghasil kayu misalnya kayu jati dibutuhkan waktu minimal 15 tahun dan selama waktu itu hampir tidak ada pendapatan sehingga berat secara ekonomi. Sedangkan pada nyamplung biji dihasilkan sepanjang tahun sebagai bahan baku biofuel tersebut. Kebun sawit saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 15 juta hektar dengan peruntukan minyaknya salah satunya untuk biofuel atau khususnya biodiesel, sehingga apabila perkebunan nyamplung dikembangkan maka bisa saja seluruh biodiesel dari minyak nyamplung sehingga kebun sawit tidak perlu diperluas lagi. Kebun nyamplung yang sudah ada dikembangkan dan diintensifkan sehingga mencukupi untuk produksi biodiesel yang dibutuhkan. Selain itu kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan juga bisa dipenuhi dari perkebunan nyamplung tersebut. 

Sabtu, 18 September 2021

Kegagalan Biodiesel Jarak Pagar dan Peluang Nyamplung

Pengalaman adalah guru yang terbaik begitu pepatah mengatakan. Dan hal tersebut juga berlaku untuk biofuel. Kegagalan di masa lalu jangan sampai terulang lagi, karena hanya orang bodoh yang terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali. Produksi biodiesel dari jarak pagar (jatropha curcas) telah ramai dikampanyekan hingga menjadi trending topic nasional waktu itu, tetapi faktanya biodiesel dari jarak pagar ini tidak ekonomis atau masih terlalu mahal sehingga programnya berhenti dengan sendirinya. Salah satu faktor tersebut adalah rendahnya rendemen minyak yang dihasilkan dari biji jarak pagar yang hanya sekitar 25%, sedangkan nyamplung (calophyllum inophyllum L) mencapai rata-rata 50%. Apalagi produktivitas rata-rata perhektar jarak pagar rata-rata kurang dari 10 ton/hektar sedangkan nyamplung rata-rata mencapai lebih 10 ton/hektar. Dengan rendemen 50% tersebut dengan produktivitas perhektar mencapai misalnya 12 ton/hektar lebih maka minyak nyamplung yang dihasilkan atau 6 ton minyak per hektar maka kurang lebih sama seperti minyak mentah sawit atau CPO (crude palm oil), sehingga lebih ekonomis untuk diproduksi. Dengan rendemen sekitar 25% dengan produktivitas rata-rata 24 ton/hektar tandan buah segar maka akan dihasilkan 6 ton CPO sama seperti nyamplung. Padahal kelapa sawit juga tanaman penghasil minyak nabati terbesar sehingga minyak nyamplung juga tidak jauh dari kondisi tersebut bahkan melampauinya.  

 

Biofuel dan khususnya biofuel dari minyak nabati ini tergolong bahan bakar karbon netral, karena berasal dari tumbuhan sebagai produk photosintesis yang membutuhkan CO2, sehingga ketika dibakar juga akan mengembalikan jumlah CO2 yang sama ke atmosfer. Penggunaan bahan bakar karbon netral sangat bermanfaat bagi atmosfer bumi sehingga meningkatkan gas rumah kaca yang meningkatkan suhu bumi. Ditinjau dari komposisi minyak antara minyak jarak pagar, minyak nyamplung dan minyak sawit juga hampir sama seperti tabel diatas. Memang kedua sumber biodiesel baik dari jarak pagar maupun nyamplung keduanya akan menjadi bahan bakar karbon netral atau lebih tepatnya bahan bakar cair karbon netral, tetapi faktor keekonomianlah akhirnya yang akan menentukan pada produksi komersialnya. Sedangkan dari kelompok bahan bakar padat karbon netral bisa kita dapati misalnya pada wood chip, wood pellet, dan cangkang sawit (palm kernel shell/PKS)

Keunggulan nyamplung secara spesifik sebagai bahan baku biodiesel adalah yang pertama, minyak nyamplung tidak berkompetisi dengan minyak pangan, yang kedua, tanaman nyamplung ini tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia, regenerasi mudah, berbuah sepanjang tahun dan menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan termasuk dengan tanah dengan salinitas tinggi di sepanjang pantai. Ketiga, tanaman relatif mudah di budidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau tanaman campuran (mixed-culture), hal ini membuat sejumlah praktik agroforestry bisa dilakukan. Pada perkebunan sawit hal ini sangat sulit dilakukan, sehingga kita jumpai saat ini hampir semua perkebunan sawit adalah monokulture atau perkebunan tanaman sejenis. Keempat,hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomi, dan kelima, tegakan tanaman nyamplung dapat bermanfaat sebagai pemecah angin (wind breaker) dan konservasi sepanjang pantai. Dengan kondisi tersebut peluang pengembangan nyamplung untuk biofuel semakin besar.

Jumat, 10 September 2021

Produksi Premium Wood Pellet Dari Limbah Pabrik Plywood

Produksi plywood atau kayu lapis Indonesia diperkirakan lebih dari 10 juta meter kubik setiap tahunnya yang diproduksi dari ratusan pabrik plywood bahkan Indonesia pernah merajai industri kayu dunia pada periode 1980 hingga 1995. Ada lima provinsi sebagai produsen plywood terbesar di Indonesia yakni Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Dan enam provinsi lain yang mulai berkembang yakni Banten, Papua, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Riau dan Jambi. Sebagian besar plywood tersebut untuk pasar export. 
 
Volume limbah kayu pada industri plywood cukup besar mencapi hampir 55% atau jumlahnya lebih dari 5 juta ton per tahun terhadap produksi plywood nasional tersebut. Potensi limbah tersebut cukup besar dan memiliki potensi besar untuk diolah menjadi wood pellet grade premium. Mengapa wood pellet menjadi pilihan dan kenapa juga mesti grade premium? Wood pellet menjadi pilihan untuk solusi masalah limbah plywood tersebut karena selain proses produksi lebih mudah, juga investasi mesin lebih murah. Hal ini karena limbah kayu pabrik plywood sudah kering sehingga tidak membutuhkan proses pengeringan. Alat pengering atau dryer selain cukup mahal juga biaya operasionalnya. Kualitas premium juga sangat mungkin didapat karena kadar abu yang rendah, karena kayu untuk produksi plywood tersebut telah dikupas kulitnya (debarking) sehingga kandungan bisa diturunkan hingga dibawah 1%. 

Pengecilan ukuran (size reduction / down sizing) adalah hal pertama yang perlu dilakukan dengan limbah plywood atau tripleks tersebut. Setelah ukuran partikelnya sudah sesuai yakni seukuran serbuk gergaji (~3-5 mm) selanjutnya dilakukan proses pembasahan (wetting) hingga kadar air mencapai sekitar 10%. Hal ini karena limbah kayu pabrik plywood ini biasanya terlalu kering yakni dengan kadar air 4-5% sehingga kurang memenuhi syarat untuk dipellet. Bahan baku yang terlalu kering membuat perekatan pellet tidak optimal, sehingga pellet menjadi rapuh bahkan pellet tidak terbentuk sama sekali. Proses pembasahan (wetting) tersebut dilakukan dengan water sprayer untuk mencapai kadar air tersebut. Setelah kadar air mencapai sekitar 10% selanjutnya bahan baku tersebut masuk ke pelletiser untuk dipress atau dicetak menjadi pellet. 


Segmen pasar wood pellet dengan grade premium berbeda dengan wood pellet grade standard atau utility sesuai tabel di atas. Penggunaan wood pellet grade premium adalah untuk pemanas ruangan yakni terutama pada musim dingin di daerah-daerah dengan empat musim. Alasan utama penggunaan wood pellet grade premium untuk keperluan tersebut adalah karena kadar abu yang sangat rendah. Dengan kadar abu yang rendah tersebut pembersihan abu menjadi tidak terlalu sering dilakukan. Produksi wood pellet grade premium lebih sulit dibandingkan dengan grade standard atau utility, tetapi khusus pada industri plywood dengan kondisi bahan baku seperti di atas maka jauh lebih mudah dan lebih siap untuk produksi wood pellet grade premium tersebut. Sebuah kesempatan emas bagi yang menyadari dan memahaminya. 

Beli Wood Pellet atau PKS (Palm Kernel Shell) ?

Kebutuhan bahan bakar biomasa sebagai upaya dekarbonisasi karena merupakan bahan bakar terbarukan yang netral karbon semakin meningkat. Dua ...