Minggu, 25 Februari 2018

Migrasi Dari Fossil Based Economy ke Bioeconomy Bagian 2

Bioeconomy berkelanjutan dimulai dari pasokan biomasa yang berkelanjutan dan harga murah/terjangkau. Tentu saja ini bukan hal sulit sebenarnya di Indonesia, karena tanah luas tersedia, subur dan beriklim tropis. Mindset untuk produksi biomasa berkelanjutan inilah yang digunakan. Ketika negara lain masih perlu mengembangkan teknologi untuk menangkap sinar matahari untuk mengoptimalkan produksi biomasa mereka, maka hal itu tidak perlu dilakukan disini. Alhamdulillah matahari bersinar sepanjang tahun. Bidang energi, bahan kimia, pangan, pakan dan material terutama menjadi fokus bioeconomy. Sebenarnya bioeconomy ini juga sebagian besar akan menggantikan fossil economy, yang saat ini seiring waktu mulai dikurangi dan ditinggalkan, karena dinilai tidak berkelanjutan (unsustainable). Migrasi dari fossil ekonomi ke bioeconomy inilah peluang emas bagi kita, yang tidak boleh kita lewatkan.

Indonesia memang sangat kaya berbagai potensi untuk bisa berjaya di era bioeconomy tersebut. Tetapi jika semua potensi tidak dikelola dengan benar, bukan kejayaan yang didapat tetapi malah kesengsaraan yang didapat. Mengapa bisa begitu? Ya karena semua potensi kekayaan alam malah mengundang negara-negara asing yang kuat untuk menguasainya. Bukankah sejarah telah menunjukkan karena kekayaan alam terutama rempah-rempahnya telah mengundang penjajah ke negeri ini lalu menjajah dan bercokol ratusan tahun? Itu penjajahan secara fisik dan militer yang dialami negeri ini. Setelah era itu berakhir, maka penjajahan ekonomi dengan sistem kapitalis merajalela, maka kembali negeri yang kaya raya ini hanya dikuasai beberapa gelintir orang saja. Tentu kita tidak mau kedua hal tersebut berulang, sehingga tetap saja mayoritas rakyat negeri ini masih dalam kondisi memprihatinkan. 
Photo diambil dari sini
Tanah-tanah yang luas yang banyak terdapat di Indonesia harus kita optimalkan jika memang mau berperan penting dalam era bioeconomy tersebut. Kita ambil contoh Belanda, negeri yang pernah menjajah negeri kita.  Belanda bisa kita ambil sebagai referensi dari sisi ini karena produksi biomasa perhektarnya tertinggi di Eropa, negara yang kuantitas produksi biomasanya juga tinggi, bioeconomy sudah cukup maju dan juga turut terlibat dalam program bioeconomy 2020 di Eropa (Renewable Energy Objective) dengan target 14% dan naik menjadi 16% pada 2023. Dengan bioeconomy Eropa menargetkan bisa menggerakan ekonomi sebesar 2 trilyun Euro (sekitar 34.000 trilyun rupiah) dan menciptakan 20 juta lapangan kerja. Belanda bahkan mampu mengeksport sejumlah produk pangannya ke berbagai negara dari hasil olahan pertanian mereka. Belanda hanya memiliki 2 juta hektar tanah pertanian, yang terbagi 0,5 juta hektar untuk tanaman pangan (gandum), produksi susu dan ternak 1,2 juta hektar dan sisanya kebun hortikultura. Kelebihan di Belanda adalah sistem irigasi yang baik sehingga bisa mengairi berbagai pertanian dan peternakan tersebut. Biomasa untuk produksi sektor energi berasal dari kehutanan, limbah pertanian, limbah rumah tangga dan industri. Biomasa untuk energi juga telah digunakan pada skala besar disana. Agroforestry dan peternakan sudah diterapkan untuk optimalisasi produksi biomasa tersebut. Bioeconomy di Belanda diestimasi memberikan nilai tambah ekonomi sebesar 2.6-3 milyar Euro (sekitar 50 trilyun rupiah). Walaupun sudah sedemikian intensif, tetapi Belanda masih mengimport sejumlah biomasa untuk memenuhi kebutuhannya. Bagaimana jika produksi biomasa Indonesia dioptimalkan? InsyaAllah Indonesia akan menjadi pemimpin dalam bidang tersebut. 

Mengapa bioeconomy di Belanda bisa sedemikian maju? Salah satu faktor pentingnya adalah karena suku bunga di Belanda sangat rendah atau hampir 0%, yakni hanya 0,05% sehingga orang-orang bergairah untuk berbisnis. (Bandingkan dengan di Indonesia dengan suku bunga sekitar 6%).Dengan gairah tinggi untuk berbisnis tersebut membuat mereka mampu menguasai sejumlah teknologi terkait bidang tersebut, misalnya bio-based polymer, bio-based building block, resin, bio-based chemical,  dan bioethanol. Padahal mayoritas penduduk Indonesia muslim dan riba adalah haram, yang derajatnya diatas bangkai, babi, anjing, bangkai dan darah, tetapi bukannya dihilangkan malah prosentasenya tinggi, bisa disimak kajiannya disini. Tingginya suku bunga telah membuat manusianya malas mengembangkan bisnis atau gairah berbisnis menjadi rendah, misalnya usaha peternakan atau industri yang memberikan keuntungan 20-30% pertahun, dengan kongsi maka keuntungan dibagi dua menjadi 10-15%, tetapi karena usaha sektor riil tersebut ada kemungkinan rugi, maka umumnya orang ogah melakukannya dan memilih menyimpan uangnya di bank yang dijamin pemerintah dan tidak perlu kuatir kehilangan uangnya. Sementara di Belanda, keuntungan 5% bahkan 10% menjadi sangat menarik dibandingkan uangnya disimpan di bank. Indonesia semakin kalah pertumbuhan ekonominya, akibat tingginya suku bunga yang diterapkan. Betapa keras ancaman Allah SWT terhadap pelaku riba dan ekonomi berbasis riba telah terbukti menghancurkan perekonomian kita, tetapi herannya belum ada satupun calon bupati/walikota, gubernur hingga presiden yang berjanji untuk menghancurkan riba tersebut. 


Produksi wood pellet dari kebun energi, peternakan domba dengan penggembalaan, dan peternakan lebah madu yang diintegrasikan adalah model bioeconomy kita. Wood pellet adalah bentuk energi yang fleksibel, sebagai bahan bakar rumah tangga (memasak), industri dan pembangkit listrik yang ramah lingkungan, sedangkan domba adalah harta terbaik muslim yang bisa dibaca disini, sini, sini dan sini. Domba adalah sumber daging terbaik, karena semua Nabi dan Rasul juga penggembala domba. Hal tersebut juga menunjukkan Allah SWT memberikan makanan terbaik bagi Nabi dan Rasul-Nya berupa daging domba tersebut. Daging domba tersebut merupakan sumber protein terbaik pangan kita. Bukan seperti protein yang diekstrak dari limbah organik tertetu seperti yang dilakukan di Belanda atau sumber protein dari jangkrik seperti yang dilakukan professor di Jepang. Hal ini menegaskan kita juga harus selektif terhadap suatu teknologi dari sejumlah opsi teknologi yang ada, apalagi terkait soal pangan kita.

Selanjutnya peternakan lebah madu juga akan semakin mengoptimalkan kebun energi tersebut. Lebah juga berperan besar untuk berbagai penyerbukan buah-buahan. Nah bagaimana supaya integrasi tersebut bisa maksimal? Lokasi kita beriklim tropis adalah keunggulan tersendiri yang patut kita syukuri, tetapi seperti halnya di Belanda pengairan menjadi faktor penting untuk mengoptimalkan pertanian dan peternakan tersebut. Para pengusaha dan investor muslim yang hendak berbisnis bebas riba, sehingga berkah maka bisa bersyirkah untuk mengupayakan bisnis ini. Dan bukan berbasis riba yang membawa petaka, lebih rinci bisa dibaca disini.  Kalau sekarang orientasi hasil investasi adalah yang memberikan imbal hasil materi yang tinggi, suatu waktu akan berubah menjadi bagaimana investasi itu akan mencerdaskan dan menjadi jalan untuk pengamalan ilmu yang bermanfaat – karena orang tahu bahwa ilmu yang bermanfaat inilah yang akan dibawa mati, bukan hasil investasi yang tinggi. 

Minggu, 18 Februari 2018

Pemadatan Biomasa Bagian 2 : Kayu Limbah Rami Untuk Wood Pellet dan Wood Briquette

Limbah rami (Boehmeria nivea) berupa kayu adalah bahan baku berbagai produk olahan biomasa, yang bisa digunakan untuk sektor energi, pulp and paper, dan berbagai produk lainnya. Untuk penggunaan sektor energi, kayu tersebut bisa untuk wood pellet dan wood briquette dengan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification). Sedikit berbeda dengan wood pellet yang hanya menghasilkan produk pellets berbentuk silinder dengan diameter pada umumnya 6-8 mm, sedangkan pada wood briquette dengan ukuran lebih besar dan memiliki bentuk yang bermacam-macam seperti silinder, heksagonal, octagonal, balok, kubus dan sebagainya. Teknologi untuk pembriketan juga bermacam-macam, yakni ada dengan hydraulic press, screw press dan piston press, untuk lebih rinci bisa dibaca disini. Pilihan teknologi tersebut tergantung bentuk briquette, kepadatan, kapasitas dan pengolahan lanjut. Briquette tipe screw press dengan lubang ditengah pada umumnya bisa diolah lanjut menjadi briket arang. Wood briquette dari screw press tersebut selanjutnya diarangkan pada tungku karbonisasi untuk menjadi briket arang. 


Proses produksi wood pellet dan wood briquette dari kayu limbah rami tersebut juga sama seperti pengolahan dari bahan baku kayu limbah lainnya. Kayu limbah tersebut selanjutnya dikecilkan ukurannya (size reduction) seukuran serbuk gergaji selanjutnya dikeringkan dan setelah itu dipadatkan baik untuk produksi wood pellet maupun wood briquette. Alat proses produksi wood pellet dan wood briquette memiliki banyak kesamaan, hanya pada alat pemadatannya saja yang membedakan, wood pellet dengan pelletiser dan wood briquette dengan briquetting machine. Briket pada umumnya juga lebih padat dibandingkan dengan pellet, yakni bisa mencapai 1,4 ton/m3 sedangkan wood pellets berkisar 650-700 kg/m3. Kayu limbah yang bersih dari kulit juga menjadi bahan baku berkualitas tinggi, hal ini membuat kadar abu sangat kecil bahkan bisa digolongkan ke wood pellet jelas premium apabila kadar abu kurang dari 1%. Pembersihan kulit (debarking) atau dekortikasi  pada proses pembuatan rami itulah yang membuat limbah kayunya bersih atau terbebas dari kulitnya yang memiliki kandungan abu besar. Ditinjau dari sudut pandang produsen wood pellet, limbah kayu rami inilah yang dicari, karena tidak perlu lagi membersihkan kulit kayu  (debarking) yang menyebabkan kandungan abu tinggi dan menjadi tahapan proses tersendiri. 


Limbah kayu rami ini memiliki prosentase hampir  40% dari batang rami, artinya setiap kilogram batang rami dihasilkan limbah kayu rami 0,4 kg. Indonesia belum menjadi produsen utama serat rami, dengan produksi dikisaran 1500 ton/tahun dan tergolong  masih sangat kecil atau kurang dari 1% produksi dunia  dan luas kebun rami total sekitar 1200 hektar. Di Indonesia terdapat banyak daerah penghasil rami seperti Wonosobo, Lahat,Pagar Alam, Muara Enim, Lampung Utara, Lampung Barat, Tanggamus, Toba Samosir dan wilayah lainnya. Setiap hektar menghasilkan  kurang lebih 36 ton batang basah atau total 43.200 ton batang basah dengan kisaran 1,3 ton serat rami/hektar. Dengan produksi serat rami sejumlah itu, berarti jumlah limbah kayu rami sekitar 17.200 ton. 


Produsen utama serat rami saat ini adalah India dan Bangladesh dengan produksi masing-masing sekitar  2 juta ton, dan 1,4 juta ton, sehingga limbah kayunya berarti sekitar 23 juta ton (India) dan 16 juta ton (Bangladesh), yang juga sangat banyak sebagai bahan baku wood pellets atau wood briquette. Indonesia saat ini juga sedang mendorong perkebunan serat rami tersebut, karena sebagian besar bahan tekstil seperti serat rami masih harus import dalam jumlah besar. Serat rami juga bisa digunakan untuk berbagai bahan pakaian, dan walaupun kualitasnya dibawah katun, seperti hanya serat akrilik yang juga dibawah wol kualitasnya tetapi bisa sebagai versi imitasi dari serat wol. Serat wool didapat dari bulu domba, yang saat ini juga sebagian besar juga import. Dengan penggembalaan domba diberbagai perkebunan yang banyak terdapat di Indonesia, maka import serat wol bisa diminalisir bahkan dieliminasi. Ada sekitar 12 juta hektar kebun kelapa sawit, lalu 3,7 juta hektar perkebunan kelapa dan 3,4 juta hektar kebun karet yang bisa digunakan untuk penggembalaan domba tersebut. Saat ini import berbagai bahan tekstil Indonesia juga masih sangat besar, sehingga penanaman rami dan peternakan domba juga sebagai solusi masalah tersebut. 

Jumat, 16 Februari 2018

Telat Berinovasi, Akan Dikuasai

"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud).

Energi adalah sektor vital dan penting, disamping sektor pangan dan air. Untuk ketiga hal tersebut, Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk bersyirkah. Hal ini jelas karena apabila ketiga hal penting tersebut dikuasai oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab maka urusan umat akan rusak dan amburadul. Ketiga hal diatas seharusnya membuat umat muslim untuk bersatu dan mengamalkannya. Pada level negara pun juga sama. Apabila ketiga hal pokok diatas tidak bisa dikuasai dan berdaulat maka akibatnya negara menjadi tidak mandiri dan mudah dikendalikan oleh negara lain. Tentu ini adalah sesuatu hal yang tidak kehendaki dan kita hindari.
Inovasi adalah salah satu faktor kunci untuk bisa menguasai ketiga hal pokok tersebut di atas, selain berbagai kebijakan yang mendukungnya. Tanpa inovasi maka itu adalah bom waktu yang segera menghancurkan semuanya. Sektor pangan misalnya, bagaimana jika bibit-bibit tanaman pangan harus import, apalagi itu juga jenis GMO yang membahayakan kesehatan manusia, sektor air juga demikian juga, ketika sumber-sumber dikuasai asing, sehingga masyarakat menjadi kesulitan untuk mendapat air yang cukup baik untuk konsumsi maupun pertanian pangan mereka. Terhitung sudah lebih dari 750 sumber mata air telah dikuasai asing bahkan selain memasarkan produk airnya di Indonesia juga meng-eksportnya.  Pada sektor energi juga demikian juga. Hal itu senada dengan apa yang dikatakan oleh Henry Kissinger, seorang menteri luar negeri Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970an,  “If you control the oil, you control the country; if you control food, you control the population”.  Minyak bumi merepresentasikan energi saat itu yang sebagian besar menggunakannya, juga tidak jauh berbeda dengan hari ini. 
Lebih lanjut untuk sektor energi, walaupun Indonesia masih memiliki cadangan energi fossil hingga beberapa puluh tahun ke depan, tetapi untuk minyak bumi kondisinya saat ini malah menjadi nett importer. Selain itu energi fossil juga sudah mencapai kesepakatan dunia, untuk terus dikurangi penggunaannya karena dianggap tidak ramah lingkungan dan memacu pemanasan gobal yang membahayakan penduduk bumi. Untuk itulah inovasi di sektor energi terbarukan tidak boleh mandeg, tetapi harus terus dikembangkan. Ketika produksi energi terbarukan sudah menyamai energi dari fossil, maka secara kuantitatif jumlah energi menjadi sangat besar, dan penggunaan energi terbarukan menjadi kebutuhan pokok. Dan ketika kedaulatan energi telah dikuasai maka menggenjot sektor industri menjadi mudah. Bagaimana mau berdaulat di sektor energi, jika kebutuhan untuk memasak sehari-hari saja kita mengalami kesulitan akibat langkanya gas LPG? 

Kita harus inovatif melihat tanah-tanah kosong ataupun tanah berbagai perkebunan untuk bisa lebih dioptimalkan sehingga bisa mandiri untuk ketiga hal diatas. Ketika Islam berkuasa dengan dipimpin seorang Khalifah, maka pemilik-pemilik lahan yang tidak mengolah tanahnya selama 3 tahun, maka tanah tersebut harus diserapkan ke negara untuk bisa dikelola orang lain yang mampu. Kebijakan ini telah mendorong pemanfaatan tanah-tanah pertanian secara efektif dan efisien. Lahan-lahan kritis yang tandus seharusnya ditanami. Dan tanaman jenis leguminoceae seperti  kaliandra dan gamal bisa sebagai tanaman perintis dan kebun energi. Untuk mengoptimalkannya dengan penggembalaan domba sehingga kotorannya akan memupuk kebun tersebut, lalu rumput dan limbah daun menjadi pakan domba-domba tersebut. Dengan cara ini beternak domba menjadi murah, dan juga kebun energi menjadi subur dan optimal panennya. Untuk membuktikan, silahkan dihitung usaha peternakan domba dengan penggembalaan dengan usaha peternakan dengan mengandalkan membeli pakannya, sekaligus kebutuhan pupuk untuk kebun energi (jika menggunakan pupuk). Untuk domba dengan jumlah ribuan ekor akan terasa sekali penghematan tersebut.Perkebunan-perkebunan yang ada seperti perkebunan kelapa sawit yang luasnya mencapai 12 juta hektar, perkebunan kelapa 3,7 juta hektar dan perkebunan karet 3,5 juta hektar, bisa dijadikan untuk Padang penggembalaan tersebut. 
Perkebunan Kelapa, salah satu lahan penggembalaan ideal
Kebun energi adalah inovasi untuk pemanfaatan lahan-lahan kritis dan tanah-tanah kosong tersebut, demikian juga produksi wood pellet, wood briquette, arangbahan kimia dan listrik dari panen kayu yang dihasilkan. Pengembangan berbagai inovasi tersebut harus terus dilanjutkan terutama sebagai solusi berbagai masalah yang ada, seperti masalah kelangkaan bahan bakar, masalah ekonomi, masalah lingkungan, masalah pangan dan sebagainya. Bahwa kita semua ingin menjadi negeri yang mandiri, mereka dan tidak dikendalikan oleh asing, maka inovasi pada ketiga hal pokok diatas tidak bisa ditinggalkan. Dan karena untuk mencapai ke kondisi negeri yang mandiri tersebut jelas tidak mudah dan perlu proses yang membutuhkan waktu dan kesabaran, sehingga kita semua harus saling mendorong supaya prosesnya terus berjalan, bahkan bisa diakselerasi. 

Sabtu, 10 Februari 2018

Preparasi Biomasa, Tahapan Penting Pada Pengolahan Biomasa

Biomasa pada umumnya memiliki karakteristik berupa ukuran bervariasi dan juga kadar airnya, demikian juga sejumlah pengotor yang terikut dengannya. Sedangkan untuk bisa diolah menjadi berbagai macam produk, maka hal-hal tersebut diatas harus disiapkan terlebih dahulu supaya ukurannya seragam, ukurannya juga perlu dikecilkan, kadar air juga perlu disesuaikan, dan juga pengotor-pengotornya dikurangi bahkan kalau bisa dihilangkan semaksimal mungkin. Apa saja produk pengolahan biomasa yang membutuhkan preparasi atau persiapan tersebut? Hampir semua pengolahan biomasa membutuhkan persiapan tersebut, sehingga tahapan ini menjadi sangat penting dan tidak bisa dilewati.Kebersihan biomasa misalnya berperan sangat penting bagi kelancaran produksi pengolahan biomasa tersebut seperti produksi wood pellet dan wood briquette, dua produk pemadatan biomasa (biomass densification) yang sangat populer hari ini, untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Pengecilan ukuran (size reduction) juga sangat banyak digunakan untuk pengolahan biomasa tersebut. Pengecilan ukuran yang bertujuan menyeragamkan ukuran biomasa tersebut ada yang bisa dilakukan dengan satu tahap, tetapi ada juga yang perlu hingga dua tahap atau lebih. Pada kapasitas kecil atau kurang dari 3 ton/jam tahap pengecilan ukuran bisa dilakukan dengan satu tahap. Tetapi untuk kapasitas lebih besar umumnya dua tahap atau lebih. Hal tersebut juga tergantung target ukuran partikel biomasa untuk pengolahan lanjut, sebagai contoh pada produksi wood pellet dan wood briquette, pengecilan ukuran dilakukan hingga seukuran serbuk gergaji (sawdust). 


Pengeringan juga merupakan tahapan yang hampir tidak bisa dilewatkan. Pada umumnya biomasa memiliki kadar air cukup tinggi, sehingga perlu dikeringkan atau dikurangi kadar airnya. Jika kadar air cukup tinggi misalnya lebih dari 50% maka pengeringan dengan pengering biasa tidak cukup, sehingga perlu tambahan perlakuan misalnya dengan press mekanik sebelum dimasukkan ke alat pengering. Ada banyak jenis pengering yang bisa digunakan untuk pengeringan biomasa tersebut tergantung ukuran partikel, volume/kapasitas dan tingkat kekeringan yang diinginkan. Sebagai contoh pada produksi wood pellet dan wood briquette, sebagian besar menggunakan pengering tipe drum dryer (rotary dryer) single pass cocurrent flow. Mengapa aliran pemanasan tersebut menggunakan aliran searah (cocurrent)? Penjelasannya bisa dibaca disini. Pengering lain yang juga banyak digunakan yakni belt dryer dan flash dryer. Efisiensi energi yang tinggi, kemudahan operasional, harga peralatan, dan kapasitas pengeringan menjadi pertimbangan pemilihan pengering tersebut. Sebagai contoh pengering dapat menggunakan gasifikasi (heat gasifier) untuk sumber energinya, bisa dibaca disini. Untuk lebih detail tentang dryer, bisa dibaca disini

Praktisnya apa saja pengolahan biomasa yang membutuhkan serangkaian preparasi tersebut? Produksi pellets dan briquette, pyrolysis, gasifikasi, pembakaran adalah beberapa pengolahan atau konversi biomasa yang membutuhkan preparasi tersebut. Kondisi Indonesia saat ini belum banyak pengolahan biomasa tersebut, misalnya wood pellet yang produksinya sekitar 80 ribu ton/tahun sementara Malaysia hampir 4 kali lipatnya, bahkan Vietnam lebih dari 10 kali lipat produksi Indonesia. Seiring kenaikan harga minyak bumi yang mencapai US$ 70/barrel dan kelangkaan LPG untuk rumah tangga permintaan akan wood pellet juga meningkat. Selain kontinuitas pasokan bahan baku yang bisa diperoleh dari kebun energi, peralatan produksi yang memadai dibutuhkan untuk peningkatan produksi dan kualitas wood pellet Indonesia. 
Untuk produksi wood pellet saat ini hampir semua masih menggunakan pelletiser import karena belum ada produksi dalam negeri. Sehingga akan lebih baik pabrik wood pellet yang dibangun hanya pelletiser saja yang import sedangkan alat-alat produksi lainnya diproduksi di dalam negeri. Sedangkan untuk wood briquette tipe screw press hampir semua peralatan telah bisa diproduksi di dalam negeri. Wood briquette sebagai produk intermediate dari pabrik sawdust charcoal briquette telah lama industrinya beroperasi di Indonesia sehingga penguasaan teknologi serta pembuatan peralatannya telah bisa dikuasai. Sebagai sama-sama teknologi densifikasi/pemadatan biomasa tahap preparasi sebelum dipadatkan baik dibriketkan maupun dipelletkan adalah sama. Sedangkan untuk proses pyrolysis dan gasifikasi, preparasi biomasa umumnya lebih mudah karena tidak perlu hingga seukuran serbuk gergaji, tetapi cukup seukuran wood chip. Bagi pembaca atau produsen wood pellet dan wood briquette ataupun pengolahan biomasa lainnya yang membutuhkan peralatan preparasi biomasa atau complete line wood pellet /wood briquette bisa mengontak kami di eko.sbs@gmail.com

Rabu, 07 Februari 2018

Pemadatan Biomasa : Cocopeat Menjadi Cocopeat Block

Teknologi pemadatan biomasa (biomass densification) ternyata tidak hanya digunakan untuk sektor energi saja seperti yang populer saat ini yakni pellet dan briket, tetapi juga sektor lainnya. Pemadatan cocopeat atau cocodust menjadi block atau briket ternyata pemakaian utamanya bukan untuk energi, tetapi untuk media tanam atau pertanian. Cocopeat block pada dasarnya juga briket, karena ukurannya lebih besar daripada pellet. Dengan cocopeat yang memiliki kemampuan menahan air yang tinggi dan juga pupuk, sehingga pemakaiannya bisa menjadi solusi masalah pangan. Media tanam yang baik akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik demikian pula hasil panennya. Lahan-lahan yang kurang subur bisa diperbaiki dengan cocopeat tersebut. 

Cocopeat block dengan bentuk kotak atau kubus, maka semua teknologi pemadatan atau pembriketan bisa digunakan untuk pembuatan cocopeat blok tersebut. Proses produksi cocopeat block juga sama seperti pembuatan wood pellet maupun wood briquette. Pada umumnya ukuran cocopeat block cukup besar seperti 20x20x20 cm sehingga sebagian besar menggunakan mesin press tipe hydraulic. Apabila menggunakan mesin press tipe screw dan piston, maka ukuran mesin press menjadi besar, mahal dan sulit operasionalnya. Mesin press tipe hidraulik inilah yang paling ekonomis dibandingkan mesin press screw dan mesin press piston, walaupun bekerja secara batch. Konstruksi mesin hidraulik juga lebih sederhana dibandingkan dengan dua tipe mesin press lainnya. Untuk lebih jelas tentang teknologi pemadatan tersebut bisa dibaca disini


Dengan luas perkebunan kelapa yang dimiliki Indonesia mencapai 3,5 juta hektar, maka potensi cocopeat juga sangat besar. Cocopeat dihasilkan dari produksi cocofiber atau merupakan limbah produksi cocofiber tersebut. Saat ini pemanfaatan sabut kelapa juga belum optimal. Setelah kelapa dikupas atau dipisahkan dari sabutnya, biasanya sabutnya hanya ditumpuk sampai kering, dan dijadikan bahan bakar. Pemanfaatan sabutnya untuk produksi cocofiber dan cocopeat akan memberi nilai tambah lebih menarik secara ekonomi. Cocofiber sendiri juga menjadi komoditas export dengan penggunaan untuk bahan baku serat berkaret, matras, karpet, dan produk-produk industri/kerajinan rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan dalam industri jok, kasur dan pelapis panas (isolator). 

Sebagai media tanam yang mampu menahan air sangat tinggi hingga 73%, maka kelebihan air bisa berakibat fatal bagi tanaman. Pada prakteknya media tanam tidak menggunakan 100% cocopeat tetapi dengan media lainnya seperti pasir dan arang (biochar). Pada pemakaiannya cocopeat block juga dihancurkan atau diurai lagi sehingga menjadi bisa digunakan menjadi media tanam tersebut. Pembuatan cocopeat block akan menghemat transport, memudahkan handling dan memudahkan pengemasan sehingga bisa dikirim jarak jauh atau export secara ekonomis. Penggunaan cocopeat dengan arang (biochar) akan menjadi media tanam  berkualitas tinggi, karena mampu menahan air secukupnya, menjadi rumah favorit mikroba tanah untuk menyuburkan tanah dan menghemat pemakaian pupuk secara signifikan. 

Senin, 05 Februari 2018

Kondisi Pasar Bahan Bakar Biomasa

Indonesia memiliki potensi produksi biomasa yang sangat besar karena posisinya beriklim tropis,dan tanah yang luas. Bahan bakar biomasa dari Indonesia yang saat ini sudah menjadi komoditas export yakni wood pellet dan cangkang sawit (pks = palm kernel shell). Produksi wood pellet masih tergolong rendah yakni dikisaran 80 ribu ton/tahun, sedangkan cangkang sawit cukup tinggi yakni sekitar 10 juta ton/tahun. Kedua jenis bahan bakar biomasa tersebut sebagian besar untuk export sedangkan di dalam negeri belum banyak digunakan. Mengapa pasar di dalam negeri sendiri belum banyak menggunakan kedua jenis bahan bakar biomasa tersebut? Hal ini karena masyarakat masih menggantungkan energi terutama masih dari bahan bakar fosil, yakni gas LPG untuk memasak rumah tangga dan batubara pada sektor industri.Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan alternatif perlu lebih digalakkan sehingga energi biomasa semakin besar penggunaannya.
PKS Loading
Sementara untuk pasar export kebutuhan bahan bakar biomasa kebutuhannya semakin besar dan diproyeksi mulai tahun 2020 akan meningkat tajam. Untuk cangkang sawit (pks) pembelinya adalah Korea dan Jepang. Saat ini penjual cangkang sawit banyak jumlahnya, sedangkan jumlah pembelinya masih terbatas. Hal ini memunculkan kondisi bisnis yang kurang sehat karena harga komoditas tersebut akan lebih banyak ditentukan oleh pembeli (oligopsoni). Praktek tersebut seharusnya bisa dihindari dan diatasi apabila jumlah pembeli dan penjual relatif seimbang. Bagaimana supaya jumlah pembeli bahan bakar biomasa dari Indonesia semakin banyak?Untuk pasar export selain dua negara yakni Korea dan Jepang yang telah banyak mengimport terutama cangkang sawit dari Indonesia untuk pembangkit listrik, maka promosi untuk mencari pasar yang lain, seperti China, dan Eropa juga mungkin dilakukan. Saat ini juga telah muncul pembeli-pembeli cangkang sawit dari Taiwan dan Thailand walaupun kebutuhannya masih relatif kecil yang penggunaannya untuk pemanas pada boiler sejumlah industri.

Kondisi pasar cangkang sawit (pks) berbeda dengan wood pellet. Letak perbedaannya adalah produsen wood pellet menyebar hampir di seluruh wilayah dunia, karena bahan baku biomasa kayu berada hampir di seluruh permukaan bumi. Sedangkan penjualan cangkang sawit dalam jumlah besar hanya dilakukan di Indonesia dan Malaysia yang memang menjadi produsen CPO terbesar di dunia sekaligus pemilik perkebunan sawit terluas di dunia. Selain itu sejumlah negara besar mempromosikan wood pelletnya secara besar-besaran sehingga akibatnya wood pellet menjadi sangat populer, sehingga permintaannya semakin meningkat tajam berikut sejumlah negara mulai terjun untuk produksi wood pellet. Wood pellet lebih terkenal dan mendunia daripada cangkang sawit walaupun properties atau karakteristik keduanya sebagai bahan bakar biomasa hampir sama. Kondisi ini seharusnya lebih mendorong pemerintah Indonesia untuk mempromosikan cangkang sawit tersebut. Pada kondisi pasar global dengan jumlah produsen dan pengguna wood pellet yang juga cukup seimbang banyaknya, kondisi pasar lebih baik, walaupun sejumlah negara menjadi produsen utama dan menguasai sebagian besar pasar. Sedangkan pasar wood pellet dalam negeri masih kecil sehingga masih perlu didorong penggunaannya demikian juga produksinya. Seiring keresahan masyarakat akibat kelangkaan gas LPG, maka motivasi untuk menggunakan wood pellet juga semakin besar.  
Sambil juga menunggu tahun 2020, pasar atau pengguna di dalam negeri juga perlu dibuat sehingga akan menambah jumlah pembeli dan keterserapan bahan bakar biomasa tersebut. Penggunaan bahan bakar biomasa terbukti memberi manfaat secara ekonomi dan lingkungan apabila pengelolaannya baik dan berkelanjutan (sustainable). Ketika pasar bahan bakar biomasa besar, maka produksi juga seharusnya ditambah. Kalau cangkang sawit (pks) adalah limbah pabrik sawit yang jumlahnya tergantung produksi CPO, sebaliknya wood pellet bisa diuasahakan tersendiri terutama dengan bahan baku dari kebun energi sehingga kapasitasnya bisa sangat besar. Saat ini produksi CPO Indonesia sekitar 35 juta ton dengan luas kebun sawit 12 juta hektar. Kebun energi tersebut bisa dioptimalkan dengan peternakan domba dan peternakan lebah madu (baca 5F project for the world!), demikian juga untuk perkebunan sawitnya (baca Transmigrasi Untuk Menggembala Domba Di Kebun Sawit, Mungkinkah ?). Tandan kosong sawit dan juga batang sawit tua yang sudah tidak produktif juga bisa dibuat pellet. Dan khususnya untuk pellet batang sawit (OPT pellet) saat ini kami ada permintaan untuk volume 1.000 ton/bulan, bagi yang berminat menjadi produsennya, silahkan membaca lebih lanjut disini.       

Dari Karbon Netral ke Karbon Negatif : Pengembangan Baterai, Wood Pellet, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Biochar

Riset untuk pengembangan baterai kapasitas besar terus dilakukan sehingga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan ...