Selasa, 28 Januari 2020

Replanting Kelapa Sawit dan Kumbang Perusak Kelapa

Kumbang Tanduk (Oryctes Rhinoceros)
Saat ini diperkirakan jutaan hektar perkebunan sawit perlu segera diremajakan kembali (replanting). Potensi puluhan juta ton batang sawit bisa didapat sebagai limbah biomasa dari perkebunan tersebut. Pengolahan batang sawit untuk menjadi bahan bakar biomasa seperti pellet (OPT pellet) dan pellet arang adalah suatu ide positif yang seharusnya dilakukan. Limbah cair pabrik sawit atau POME (palm oil mill effluent) dapat digunakan sebagai sumber energi atau sumber listrik untuk pengolahan batang sawit tersebut. Tetapi apabila batang sawit tidak dibersihkan dari kebun sehingga lapuk dan membusuk, maka batang sawit akan menjadi media larva. Larva itu lalu menjadi kumbang yang merusak tidak hanya perkebunan sawit itu sendiri tetapi juga perkebunan kelapa atau palem-paleman (palmae) pada umumnya. Ada sejumlah daerah yang memiliki perkebunan sawit yang berdampingan atau berdekatan dengan perkebunan kelapa misalnya di Riau,  sehingga kumbang tersebut merusak perkebunan kelapa. Urgensi pengolahan batang sawit tua di lokasi tersebut menjadi lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya.
Batang sawit yang ditinggal begitu saja di kebun menjadi tempat berkembang biak kumbang tanduk
Kebun kelapa rusak karena kumbang tanduk
Usia produktif pohon sawit sekitar 25 tahun, sedangkan pohon kelapa bisa mencapai 80 tahun. Hal itu berarti bisa dikatakan bahwa umur pohon kelapa lebih dari 3 kali pohon sawit, sehingga hal yang patut disayangkan apabila aktivitas replanting tersebut malah merusak kebun kelapa yang usia produktifnya lebih lama. Hal itu juga berarti bahwa ketika menanam pohon kelapa seharusnya manfaatnya bisa dirasakan 2-3 generasi ke depan, sedangkan sawit hanya 1 generasi saja. Faktor menjaga kelestarian ekosistem seharusnya juga diperhatikan dalam replanting kebun kelapa sawit apalagi yang berdekatan dengan kebun kelapa. Replanting kebun kelapa sawit seharusnya dimaknai juga sebagai panen biomasa sebagai bahan baku potensial untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah seperti pellet batang sawit (OPT pellet) dan pellet arang (OPT charcoal pellet) tersebut.

Senin, 27 Januari 2020

Kebun Kelapa, Kelapa Sawit dan Kebun Energi

Walaupun sama-sama kebun buatan dan berorientasi ekonomi, pada dasarnya setiap kebun memiliki karakteristik tersendiri. Kondisi alam, curah hujan, kesuburan tanah, infrastruktur, kebutuhan pasar, dan topografi adalah sejumlah pertimbangan untuk pembuatan jenis kebun tersebut. Pohon kelapa dan pohon energi membutuhkan perawatan lebih mudah dibandingkan kebun sawit. Pohon dan kebun kelapa juga sangat familiar dan populer di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan pada abad lalu kelapa mengalami era keemasannya. Kopra dan minyak kelapa waktu itu menjadi menjadi komoditas andalan dari kelapa dengan nilai ekonomi sangat besar. Hancurnya industri kopra dan minyak kelapa waktu itu akibat kampanye negatif dari ASA (American Soybean Association), sehingga citra minyak kelapa hancur dan digantikan minyak kedelai. Tetapi ada titik terang dan sejumlah indikasi bahwa industri kelapa ini akan mulai bangkit, untuk lebih detail baca serial artikel menghidupkan industri kelapa terpadu yang dimulai dari sini.

Kebun Kelapa di Kulon Progo Yogyakarta
Melewati perkebunan sawit di perbatasan Kalsel dan Kaltim

Kebun energi gliricidia di Jawa Tengah
 Sedangkan kebun energi mungkin bagi sebagian masyarakat Indonesia merupakan hal yang asing dan baru, walaupun tanaman yang digunakan untuk kebun energi pada umumnya telah dikenal luas, yakni kaliandra dan gliricidae/gamal. Kebun energi dibuat terutama untuk merespon kebutuhan energi terbarukan dari biomasa khususnya wood pellet. PLTU batubara terutama sebagai penghasil gas rumah kaca yakni CO2 (karbon dioksida) dalam volume massif, sehingga secara bertahap harus dikurangi, salah satunya dengan bahan bakar dari biomasa atau wood pellet yang merupakan bahan bakar karbon netral. Potensi pengembangan kebun energi sangat besar karena kebutuhan bahan bakar biomasa atau wood pellet yang sangat besar (baca Jepang dengan FIT (feed in tarrif), Korea dengan RPS (Renewable Portofolio Standard) dan Uni Eropa dengan RED (Renewable Energy Directive) II), luas tanah jutaan hektar yang tersedia dan kondisi iklim tropis sebagai daerah ideal untuk menghasilkan energi dari biomasa. Indonesia seharusnya bisa menjadi the biomass country.

Untuk kebun kelapa sawit, Indonesia juga sangat terkenal, hal ini karena Indonesia adalah pemilik perkebunan sawit terbesar di dunia, dengan luas saat ini diperkirakan lebih dari 13 juta hektar atau sekitar 4 kali luas perkebunan kelapa. Pabrik sawit juga jumlahnya sangat banyak dan diperkirakan ada sekitar 1000 unit pabrik sawit. Pohon kelapa sawit ini berasal dari Afrika Barat yang pada awalnya dibawa penjajah Belanda dan ditanam di kebun raya Bogor, lalu diperbanyak dan dikembangkan hingga saat ini.Produksi CPO Indonesia pada 2017 diperkirakan mencapai 38,17 juta ton, PKO 3,81 juta ton atau total mencapai 41,98 juta ton. Akhir-akhir ini minyak sawit juga mendapat berbagai kampanye dari Uni Eropa terkait masalah lingkungan. Bila ini dibiarkan terus menerus dan berkepanjangan, maka tidak menutup kemungkinan nasibnya akan sama dengan minyak kelapa.
Pohon sawit membutuhkan perawatan lebih banyak dibandingkan kelapa maupun tanaman kebun energi. Kebutuhan air dan pupuk juga besar dan vital bagi pohon sawit. Faktor inilah yang perlu diperhatikan terutama yang ingin mengembangkan perkebunan sawit. Pohon kelapa tidak membutuhkan banyak air dan pupuk, sehingga sangat memungkinkan untuk diberi tanaman sela. Sebagai contoh di Sri Lanka, gliricidae atau gamal sebagai tanaman sela kebun kelapa. Bahkan penggembalaan ternak seperti domba, kambing dan sapi dimungkinan di sela-sela pohon kelapa tersebut. Sedangkan kebun energi maka batangnya akan digunakan sebagai bahan baku produksi wood pellet, daunnya untuk pakan ternak seperti domba, kambing dan sapi serta bunganya untuk peternakan lebah madu.

"Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah  ruah,  hingga  seorang  laki-laki  pergi  ke  mana-mana  sambil membawa  harta  zakatnya  tetapi  dia  tidak  mendapatkan  seorangpun  yang bersedia  menerima  zakatnya  itu.  Dan  sehingga  tanah Arab  menjadi  subur makmur  kembali  dengan  padang-padang  rumput  dan  sungai-sungai "  (HR.Muslim).

Bumi sekali lagi akan menjadi makmur sebelum kiamat. Secara umum kebun-kebun dan hutan-hutan seperti itu juga menjadi penyebab munculnya mata-mata air (QS 36 : 34) yang pada waktunya akan mengalir ke sungai-sungai  (QS 19 : 24-25) dan juga menjadi kesenanganmu dan binatang ternakmu (QS 79 : 31). Solusi kebun energi dan peternakan domba/Kambing juga ibarat sekali dayung, 2-3 pulau terlampaui, yakni energi dan pangan. Indonesia saat ini baru menggenjot salah satu unsur pangan, yakni karbohidrat terutama beras karena juga sebagai makanan pokok dan disektor itupun saat ini belum swasembada dengan import beras mencapai jutaan ton. Padahal selain karbohidrat komposisi makananan kita meliputi protein, lemak, vitamin dan mineral. Logikanya ketika di sektor yang pokok saja masih kedodoran, apalagi unsur-unsur penunjang yang lain. Peternakan domba/kambing sebagai penyedia unsur penunjang tetapi sangat penting peranannya yakni protein.

Minggu, 26 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 8 : Santan Kelapa, VCO, Dessicated Coconut, Air Kelapa, Nata de Coco, Arang Tempurung dan Activated Carbon

 Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable).

Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.


Santan instan atau santan kemasan hampir tidak terpikirkan khususnya oleh ibu-ibu di Indonesia beberapa dekade lalu. Demikian juga dengan air kelapa kemasan, hampir semua orang Indonesia juga tidak terpikirkan saat itu. Hal itu terutama karena kelapa sangat mudah didapatkan di hampir seluruh pelosok negeri. Tetapi kondisi ini berubah ketika masakan asia mulai mendunia sehingga banyak masyarakat barat yang menyukainya. Santan sebagai salah satu unsur utama masakan tersebut menjadi suatu kebutuhan yang harus disediakan. Masyarakat perkotaan dengan penduduk yang padat serta memiliki kesibukan tinggi, membutuhkan sesuatu yang praktis dan instan sehingga membuat produk santan instan mudah diterima. Hal tersebut juga sama seperti produk bumbu-bumbu masakan instan yang laris di daerah perkotaan.

Industri santan dan air kelapa kemasan adalah tipe industri besar sehingga membutuhkan pasokan bahan baku dalam jumlah besar dan kontinyu. Untuk mendapatkan kondisi tersebut pada umumnya hanya bisa di perkebunan kelapa yang tidak jarang lokasinya masih sangat terpencil. Pada lokasi tersebut umumnya listrik dan sejumlah infrastruktur pendukung belum tersedia sehingga industri kelapa terpadu belum bisa dioperasikan. Listrik adalah salah satu kebutuhan pokok untuk operasional industri, sehingga perlu dibuat terlebih dahulu sebelum menjalankan industri kelapa terpadunya seperti industri dengan produk utama santan dan air kelapa kemasan. Produksi listrik untuk keperluan tersebut, setidaknya  bisa dilakukan dengan 2 cara, yakni : pertama, dengan steam boiler, seperti yang biasa dilakukan pada pabrik kelapa sawit. Sabut kelapa yang memiliki nilai ekonomis terendah digunakan untuk bahan bakarnya.

Cara kedua, yakni dengan pirolisis kontinyu. Tempurung kelapa dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pirolisis tersebut. Dengan teknologi pirolisis lebih akan memberi keuntungan karena selain dihasilkan listrik, juga dihasilkan panas dan arang tempurung. Listrik dan panas bisa digunakan untuk operasional industri pengolahan kelapa, sedangkan arang tempurung bisa langsung dijual atau diolah lanjut menjadi briket atau arang aktif (activated carbon). Ketika kebutuhan listrik besar maka pembangkit listrik bisa menggunakan keduanya, yakni steam boiler berbahan bakar sabut kelapa dan pirolisis dengan bahan baku tempurung kelapa. Apabila ingin menghasilkan arang yang lebih banyak maka sabut kelapa juga bisa digunakan untuk bahan bakar pirolisis kontinyu. Kualitas arang sabut kelapa lebih rendah dbandingkan arang dari tempurung kelapa. Hal tersebut sehingga arang sabut kelapa bisa digunakan sebagai arang pertanian (agri-char / biochar) sehingga akan meningkatkan produktivitas kebun kelapa, sedangkan arang tempurung untuk keperluan seperti tersebut di atas.
Selain diolah menjadi santan kemasan, daging buah juga bisa diolah menjadi VCO (Virgin Coconut Oil) atau dessicated cooconut (kelapa parut kering).  Produksi VCO bisa dilakukan pada skala menengah, tetapi saat ini untuk pasar export atau pembeli luar negeri pada umumnya mensyaratkan adanya sertifikat organik. Hal itu juga yang menjadi penyebab mengapa produksi VCO skala kecil untuk pasar export sulit dilakukan. Pada dasarnya buah kelapa bisa dibuat untuk berbagai macam produk, sesuai kebutuhan pasar. Industri pengolahan kelapa hampir semua membutuhkan listrik dan panas untuk proses produksinya (khusus industri VCO hanya listrik saja). Pendekatan industri kelapa terpadu membuat industri pengolahan kelapa menjadi lebih efisien. Kombinasi industri pengolahan kelapa menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Redupnya pasar kopra & minyak kelapa, ternyata sedikit demi sedikit disubtitusi dengan peningkatan pasar dessicated coconut, VCO, santan, nata de coco, air kelapa kemasan dan bahkan gula kelapa. Mungkinkah kelapa akan kembali berjaya? Ada indikasi ke sana memang. Wallahu'alam  

Rabu, 15 Januari 2020

Membangun Pabrik Wood Pellet Berorientasi Export Dari Kebun Energi

Walaupun secara geografis, Indonesia merupakan negara terluas di kawasan Asia Tenggara dan beriklim tropis tetapi export wood pellet dari Indonesia masih sangat kecil dan kalah jauh dari Vietnam. Tujuan export wood pellet Vietnam ke Korea dan Jepang. Import wood pellet Jepang pada tahun 2018 diperkirakan lebih dari 1 juta ton, atau jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari tahun 2017, dengan prosentase 63% berasal dari Kanada dan 31% dari Vietnam. Itu berari dengan luas wilayah yang kecil tetapi mampu mengeksport wood pelletnya ke Jepang miimal 310 ribu ton/tahun, sedangkan Indonesia diperkirakan kurang dari 100 ribu ton/tahun.

Indonesia juga sangat potensial untuk mengembangkan kebun energi untuk produksi wood pellet tersebut. Bahkan kebun energi tersebut bisa diintegrasikan peternakan besar seperti domba, sapi dan kambing serta peternakan lebah madu, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sehingga selain sektor energi, sektor pangan serta konservasi lingkungan berupa air dan tanah juga bisa terpelihara. Mengapa saat ini belum atau tidak ada produsen wood pellet dari kebun energi berorientasi export di Indonesia? Padahal potensi bahan baku dan pasar sangat besar. Estimasi keuntungan juga menarik apalagi dengan optimalisasi pemanfaatan lahan dan panen kebun energi tersebut.
Ada beberapa analisis, untuk menjawab hal tersebut, antara lain sebagai berikut, pertama adalah akses pasar. Pasar atau pembeli adalah hal penting untuk investasi pabrik wood pellet seharga ratusan milyar, maka jaminan pasar tersebut sangat penting. Produksi melimpah tetapi tidak ada yang menyerapnya atau pembelinya maka hal tersebut akan membuat pabriknya berhenti produksi dan bangkrut. Karakteristik produk wood pellet juga akan menentukan user atau pengguna wood pellet tersebut. Walaupun sama-sama untuk konsumsi pembangkit listrik tetapi teknologi pembangkit listrik tersebut juga berbeda-beda, sehingga membutuhkan spesifikasi teknis wood pellet yang berbeda-beda juga.

Kedua, faktor biaya. Faktor biaya bisa jadi merupakan halangan utama, hal ini karena pabrik wood pellet dari kebun energi adalah bukan sesuatu yang murah, tetapi memang umumnya lebih murah dibandingkan pabrik sawit dan perkebunannya, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Tetapi dengan prospek yang bagus pada sektor energi terbarukan dari biomasa ini semestinya banyak investor yang berminat untuk investasi pada bisnis ini. Investasi yang saling menguntungkan non-riba adalah pilihan terbaik untuk mengeksekusinya. Diperkirakan untuk pabrik wood pellet dengan kapasitas 10.000 ton/bulan (20 ton/jam) lebih dari 100 milyar rupiah.

Selanjutnya, faktor ketiga yakni infrastruktur. Sejumlah daerah memang belum memiliki infrastruktur yang memadai walaupun tersedia tanah sangat luas. Penyediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya bukanlah sesuatu yang mudah dan murah, sehingga bisa menjadi kendala yang berarti. Hal inilah mengapa pemilihan lokasi adalah hal penting. Ketersediaan listrik adalah hal lain yang perlu diperhatikan dan menjadi pertimbangan penting. Listrik sangat vital untuk produksi atau pabrik wood pellet. Apabila ternyata tidak ada pasokan listrik, maka pabrik wood pellet tersebut harus membuat pembangkit listrik. Dengan kisaran kebutuhan listrik 250 KW untuk setiap ton/jam produksi wood pellet, maka untuk produksi wood pellet dengan volume standar export yakni minimal 10.000 ton/bulan atau 10.000 ton/shipment atau 20 ton/jam membutuhkan 5 MW.


Pembangkit listrik tersebut cukup besar, karena untuk ukuran pabrik sawit besar saja kebutuhan listrik hanya sekitar 2,5 MW dan investasi pembangkit listrik untuk setiap MW adalah 1 juta US dollar, sehingga untuk 5 MW membutuhkan 5 juta US dollar atau sekitar 70 milyar rupiah. Infrastruktur seperti pelabuhan yang memadai juga sangat penting. Pabrik-pabrik wood pellet pada umumnya memiliki unit penyimpanan wood pellet dekat dengan pelabuhan sehingga mudah untuk pengapalannya. Fasilitas penyimpanan wood pellet dengan kapasitas 10.000 ton juga butuh bangunan cukup besar, yang diperkirakan lebih dari 50 milyar rupiah.
Pelabuhan wood pellet dengan fasilitas penyimpanan di Prince Rupert, BC, Kanada
Saat ini pada umumnya produksi wood pellet hanya mengandalkan limbah-limbah penggergajian kayu (sawmill) dan limbah industri kayu. Pasokan bahan baku dengan cara fluktuatif baik kualitas maupun kuantitas. Pada musim penghujan pada umumnya pabrik-pabrik pengolahan kayu membutuhkan lebih banyak limbahnya untuk bahan bakar pengeringan kayu yang diolahnya, sehingga limbah kayu yang bisa diambil berkurang atau hanya sedikit, bahkan tidak tersisa. Hal ini berbeda dengan produksi wood pellet dari kebun energi karena jaminan pasokan bahan baku lebih terjaga. Tetapi teknologi budidaya dan pemanenan juga harus bisa dikuasai dengan baik untuk bisa lebih menjamin pasokan bahan baku tersebut ke pabrik. Bagi pabrik, keterjaminan pasokan bahan baku adalah hal vital. Pabrik akan langsung tutup jika tidak bahan baku untuk diolah. Pabrik wood pellet pada umumnya memiliki gudang bahan baku yang besar, yang juga berfungsi sebagai penyangga (buffer) terhadap produksi mereka.

Selanjutnya adalah penguasaan teknologi produksi wood pellet itu sendiri. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas wood pellet yang sesuai harapan, maka penguasaan teknologi produksi mutlak dibutuhkan, selain itu juga handling produk tersebut hingga ke pengapalan. Titik-titik kritis proses produksi seperti ukuran partikel, tingkat kekeringan, pemelettan dan pendinginan harus menjadi perhatian tersendiri. Produk wood pellet yang bisa diterima pasar internasional hampir semua harus memenuhi 2 persyaratan standar, yakni standar kualitas dan standar lingkungan (sustainibility). Standar kualitas sangat berkaitan dengan aspek teknis wood pellet itu sendiri atau aspek produksinya. Sedangkan aspek lingkungan sangat terkait dengan asal bahan baku, dan berbagai aspek lingkungan yang membuat bahan baku wood pellet bisa berkelanjutan (sustainable), dan untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Momentum kebun energi diprediksi tidak akan lama lagi, bahkan Sri Lanka dalam waktu yang tidak lama lagi akan produksi wood pellet dari kebun energi gliricidae sebesar 150 ribu ton/tahun atau lebih dari 10 ribu ton/bulannya, untuk lebih detail silahkan baca disini. Gliricidae atau gamal sama halnya dengan kaliandra merupakan kelompok tanaman polong-polongan (leguminoceae) dan gliricidae lebih populer serta telah ditanam masyarakat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu yang biasanya untuk tanaman pagar dan daunnya untuk pakan ternak. Sedangkan kaliandra merah yang juga walaupun telah ditanam masyarakat mungkin juga sejak ratusan tahun lalu, tetapi umumnya adalah untuk daerah-derah tinggi saja. Untuk lebih detail perbandingan tentang tanaman kaliandra dan gliricidae, bisa dibaca disini.   

Senin, 13 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 7 : Integrasi Produksi VCO, Nata de Coco, Dan Arang Tempurung

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable).
 
Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.

Salah satu pertanyaan mendasar tentang industri kelapa terpadu adalah mengapa sebaiknya usaha kelapa dibuat secara terpadu atau terintegrasi? Mengapa tidak mengolah salah satu bagian saja bagian dari kelapa? Hampir di semua wilayah buah kelapa dijual dalam bentuk butiran tanpa sabut. Ketika bahan baku berupa kelapa butiran tersebut maka seluruh bagiannya bisa diolah dan menjadi berbagai produk. Dan ketika hanya mengolah salah satu bagian saja dari kelapa sebagai contoh tempurung untuk produksi arang dan air kelapa untuk produksi nata de coco, maka itu berarti hanya mengambil limbah atau produk samping dari pengolahan atau pemanfaatan kelapa utama yang pada umumnya adalah daging buah kelapa. Kondisi tersebut sangat bergantung pada  pengolahan atau pemanfaatan utama buah kelapa tersebut. Hal serupa mirip dengan industri pengolahan biomasa seperti wood pellet dan briket yang berasal dari limbah penggergajian (sawmill) maupun industri kayu.  Dan ketika seluruh bagian buah kelapa tersebut bisa diolah maka hal itu akan semakin ekonomis dan efisien serta tidak dihasilkan limbah. Kombinasi dari jenis pengolahan kelapa tersebut turut menentukan tingkat efisiensi dan keekonomisan produksinya. Pemanfaatan energi secara efisien adalah salah satu kunci suksesnya. Sehingga apabila kombinasi pengolahan kelapa tersebut bisa mengefisienkan pemakaian energi, sehingga pemakaian energi eksternal bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan, maka hal tersebut kondisi terbaik yang dicari.

VCO cukup banyak dikenal dan populer dikalangan masyarakat Indonesia. Beberapa waktu lalu produk ini meledak di pasaran dan banyak industri kecil bermunculan untuk memproduksinya. Sayang trend ini hanya bertahan sebentar saja. Seiring surutnya atau turunnya permintaan VCO di dalam negeri cukup banyak produsen-produsen tersebut yang menutup usahanya dan beralih ke profesi lainnya. VCO memiliki kandungan utama berupa asam laurat (lauric acid), yakni asam lemak rantai sedang (MCFA : Medium Chain Fatty Acid) yang banyak manfaat bagi kesehatan. Mengkonsumsi VCO juga akan memberi tambahan energi instan, dan tidak ditimbun dalam bentuk lemak. Untuk lebih jelas dibaca di sini. Selain terdapat di VCO, asam laurat juga terdapat pada minyak inti sawit (PKO : Palm Kernel Oil) dan ASI (air susu ibu). Pabrik minyak inti sawit (pabrik PKO atau KCP : kernel crushing plant) tidak sebanyak pabrik sawit (pabrik CPO). Banyak pabrik CPO yang tidak memiliki pengolahan kernel (KCP) atau inti sawitnya.  

Minyak inti sawit (PKO) ini juga biasa disebut minyak laurat dan menjadi pesaing bagi VCO. Hal ini seperti juga terjadi antara minyak goreng sawit yang bersaing dengan goreng kelapa. Beberapa pihak mungkin lebih tertarik dengan VCO karena berasal dari kelapa, sedangkan PKO berasal dari sawit dan saat ini sedang mengalami kampanye buruk dari Eropa, walaupun hal tersebut bisa saja sebagai bagian perang dagang. Minyak kelapa dari kopra juga pernah mengalami hal serupa. Indonesia yang dalam sejarahnya pernah menjadi penghasil kopra terbesar selanjutnya industri kelapanya hancur akibat perang dagang dengan minyak kedelai di Amerika Serikat.  

Sedangkan untuk pasar export selain butuh spesifikasi atau kualitas yang lebih baik juga pada umumnya diwajibkan dengan disertai sertifikasi organik. Sertifikasi organik tersebut adalah sesuatu hal yang tidak mudah apalagi untuk usaha kecil. Informasi dari APCC (Asia Pacific Coconut Community) bahwa Philipina adalah produsen terbesar VCO saat ini walaupun luas kebun kelapa masih dibawah Indonesia dengan volume export terus bertambah. Tercatat bahwa export VCO Philipina pada tahun 2006 sebanyak 461 ton selanjutnya sembilan tahun kemudian yakni pada tahun 2015 meningkat menjadi 36.313 ton. Industri kelapa di Philipina juga lebih berkembang daripada di Indonesia, hal ini nampak dari banyaknya komoditas exportnya dari produk kelapa. Philipina mengeksport 30 macam produk kelapa sedangkan Indonesia hanya 14 macam produk.

Kombinasi pengolahan kelapa terpadu yang bisa dikombinasikan dengan produksi VCO adalah produksi nata de coco dan arang tempurung kelapa. Produksi VCO bisa dilakukan dengan skala menengah sehingga tempurung kelapa yang dihasilkan juga tidak begitu banyak sehingga produksi arang dengan tungku karbonisasi secara batch sudah memadai. Panas yang hilang atau terbuang dari proses karbonisasi selanjutnya bisa diambil lagi dan digunakan untuk memasak air kelapa pada produksi nata de coco. Selain itu apabila nata de coco tersebut dijual dalam bentuk siap konsumsi, maka nata de coco perlu dimasak minimal 3 kali sehingga menjadi lunak dan bersih. Pemasakan tersebut juga bisa menggunakan panas limbah dari proses karbonisasi tersebut. Produksi nata de coco tersebut akan menjadi kompetitif dan lebih menguntungkan karena tidak perlu menggunakan energi panas eksternal seperti LPG.  

Minggu, 12 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 6 : Integrasi Produksi Dessicated Coconut, Air Kelapa Kemasan, Dan Arang Tempurung

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable). 

Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan. 

Dessicated coconut atau kelapa parut kering memang tidak terlalu populer di Indonesia. Produk ini digunakan dalam industri pangan untuk campuran kue dan coklat sehingga memberi citarasa kelapa serta banyak kemudian menjadi makanan favorit di Eropa. Produk ini awalnya ditemukan di Sri Lanka dari eksperimen pengeringan kelapa parut oleh Henry Vavasseur pada tahun 1888. Ada 3 negara yang saat ini menjadi produsen dessicated coconut ini yakni Philipina, Sri Lanka dan Indonesia. Kebutuhan produk dessicated coconut ini juga terus meningkat yakni tercatat export dessicated coconut pada tahun 1990 sebesar 151 ribu ton dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 248 ribu ton. Di Indonesia sendiri diperkirakan ada sekitar 20 pabrik dessicated coconut.

DC diproduksi dengan mengeringkan kelapa parut hingga kadar air mencapai maksimum 3%. Alat pengering (dryer) yang biasa digunakan untuk produksi DC adalah fluidized bed dryer. Alat pengering (dryer) ini memiliki kelebihan antara lain sensitivas yang tinggi untuk operasionalnya, sehingga biasa digunakan untuk produk pangan dan farmasi. Rotary dryer adalah tipe alat pengering yang juga populer di industri khususnya pada pengolahan biomasa seperti wood pellet dan briquette, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Pengering jenis rotary dryer lebih cocok untuk material yang tidak terlalu sensitive terhadap panas, tidak mudah pecah ketika dijatuhkan dan material yang lebih berat. Hal itulah mengapa rotary dryer lebih sesuai untuk material seperti mineral, pupuk dan sebagainya. Rotary dryer bisa dikatakan untuk heavy duty processing load dan membutuhkan tempat lebih luas, sedangkan fluidize bed dryer untuk lighter-duty materials dan membutuhkan space ruang lebih kecil. 
Untuk pengeringan kelapa parut tersebut dibutuhkan energi panas dan untuk operasional peralatan pabrik tersebut seperti mesin parut, conveyor dan sebagainya dibutuhkan listrik. Kedua energi tersebut bisa dipenuhi yakni dengan menggunakan unit pirolisis kontinyu. Tempurung kelapa digunakan untuk bahan baku pirolisis kontinyu tersebut, sehingga didapat output berupa arang, syngas dan biooil. Arang tersebut bisa dijual untuk digunakan langsung, dibuat briket maupun arang aktif (activated carbon). Untuk produksi listrik, syngas digunakan untuk bahan bakar gas engine (internal combustion engine) yang mengubah dari energi panas ke energi mekanik selanjutnya menjadi energi listrik. Dan biooil bisa sebagai sumber panas baik untuk merebus atau sterilisasi daging buah kelapa maupun untuk sumber panas pengeringan kelapa parut dengan media pemanas tidak kontak secara langsung (indirect heating) dengan kelapa parutnya.

Dengan pola di atas maka industri kelapa terpadu tersebut mandiri energi atau tidak membutuhkan pasokan energi dari luar. Kondisi ini sangat menarik terutama untuk operasional di lokasi-lokasi terpencil. Praktek industri mandiri energi tersebut sudah lazim dilakukan pada industri kelapa sawit. Pabrik sawit biasanya membakar cangkang dan fiber (sabut) untuk produksi listrik dan kukus (steam). Mengapa selain listrik, pabrik sawit juga memproduksi kukus (steam)? Untuk lebih jelas bisa dibaca disini.

Saat ini sejumlah pabrik sawit bahkan telah menggunakan boiler yang efisien sehingga cukup dengan fiber saja dan cangkang bisa di export ke luar negeri. Padahal ada cara lebih baik atau lebih efisien untuk produksi listrik dan steam tersebut, yakni juga dengan pirolisis kontinyu, untuk lebih detail baca disini. Cangkang yang merupakan bahan bakar biomasa memiliki sifat-sifat yang mirip dengan wood pellet dengan harga yang lebih murah dan juga masih tersedia melimpah. Jepang dan Korea adalah dua negara di Asia yang paling mencolok dalam pemakaian energi biomasa terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Arang tempurung kelapa adalah produk yang banyak dicari, sehingga harganya juga semakin meningkat setiap tahun menyesuaikan dengan hukum pasar, yakni supply-demand. Produksi arang tempurung tersebut akan memberikan tambahan penghasilan yang menarik dibandingkan hanya dibakar begitu saja sehingga menjadi abu dan membuat industri kelapa terpadu zero waste.

Industri DC biasanya skala atau kapasitas produksinya cukup besar sehingga dihasilkan juga air kelapa yang cukup banyak. Air kelapa tersebut bisa diolah menjadi air kelapa kemasan, yang juga membutuhkan listrik dan panas pada proses produksinya. Produksi listrik dan panas bisa dengan menggunakan sabut kelapa sebagai bahan bakarnya. Pembakaran sabut kelapa untuk memanasi boiler dan menghasilkan listrik, mirip dengan pabrik sawit. Kukus (steam) yang dihasilkan untuk memanaskan atau sterilisasi air kelapa tersebut. Permintaan air kelapa kemasan meningkat pesat yakni dari 484 ribu liter pada tahun 2009 menjadi 71,7 juta liter pada tahun 2015 atau 141 kali lipat.

Senin, 06 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 5 : Integrasi Produksi Arang Tempurung, Kopra Putih Dan Nata De Coco

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable). 

Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan. 

Hampir semua produsen arang tradisional telah membuang energi cukup besar pada proses pengarangan (karbonisasi) yang dilakukan. Mengapa demikian ? Bukankah energi sangat dibutuhkan pada hampir semua industri bahkan dalam sejumlah industri, energi adalah komponen biaya tertingginya? Selain tidak efisien, bukankah itu sama saja membuang uang secara sia-sia? Hal tersebut karena pada produksi arang dengan konversi berkisar 25% maka lebih separuh terbuang percuma. Sebagai ilustrasi seperti hitungan berikut. Sebagai contoh kita ambil konversi 25%, dengan bahan baku 10 ton tempurung kelapa maka dihasilkan 2,5 ton arang. Tempurung kelapa dengan nilai kalor sekitar 4.500 kkal/kg, berarti 10 ton bahan baku berjumlah 45.000.000 kkal. Sedangkan arang tempurung kelapa dengan nilai kalor sekitar 8.000 kkal/kg, maka 2,5 ton arang akan memiliki nilai kalor 20.000.000 kkal/kg. Berdasarkan perhitungan tersebut lebih dari 50% energi hilang atau hanya terbuang percuma, yakni 25.000.000 kkal. Jika konversi ke arang lebih rendah atau 20% maka kehilangan energi lebih besar lagi yakni 29.000.000 kkal atau lebih dari 60%nya. Tentu saja sangat tidak efisien dan pemborosan yang nyata.

Apabila energi tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal maka tentu saja industri tersebut menjadi efisien dan kompetitif. Pada industri kelapa dimana semua bagiannya bisa dimanfaatkan, maka hal tersebut menjadi sangat menarik. Hal tersebut karena kelebihan energi atau energi yang sebelumnya hanya dibuang tersebut bisa digunakan lagi untuk pengolahan produk berikutnya atau istilahnya pemanfaatan panas limbah (waste heat recovery). Produksi kopra putih dan nata de coco bisa memanfaatkan limbah panas tersebut sehingga tidak lagi membutuhkan pasokan energi dari luar. Dengan konsep tersebut maka ada tiga produk yang didapat yakni arang tempurung kelapa, kopra putih dan nata de coco. 

Penggunaan arang tempurung kelapa yakni bisa sebagai bahan bakar langsung, maupun diolah lanjut menjadi briket atau arang aktif.  Selain digunakan di dalam negeri atau pasar lokal, arang tempurung kelapa juga merupakan komoditas export. Tercatat nilai eksport arang tempurung kelapa Indonesia mencapai 250 ribu ton/tahun, sedangkan dengan dibuat briket dan arang arang aktif maka akan didapat nilai tambah yang lebih besar. Export briket arang tempurung kelapa mencapai sekitar sekitar 20 ribu ton/tahun sedangkan arang aktif masih relatif rendah yakni 25 ribu ton/tahun padahal memberi nilai tambah paling tinggi. Sedangkan kopra putih adalah bahan baku untuk pembuatan minyak kelapa dan untuk export tujuan utama adalah India dan Bangladesh. Pada masa jayanya, Indonesia pernah menjadi exportir kopra terbesar di dunia. Seiring menurunnya penggunaan minyak kelapa maka export kopra juga menurun.  Export kopra putih dunia tercatat 137 ribu ton pada tahun 2013 (APCC-Coconut Statistical Yearbook, 2013) dengan total nilai lebih dari 2 trilyun rupiah. Sedangkan nata de coco pada umumnya pembuatan minuman kemasan dan banyak produknya bisa ditemui diberbagai toko hingga supermarket. Kebutuhan nata de coco cenderung meningkat seiring populasi penduduk atau lebih spesifik lagi sejalan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang mencapai diatas 8% setiap tahun. Diperkirakan nilai bisnis untuk nata de coco nasional bisa mencapai mencapai 1,6 trilyun rupiah, apabila dikelola dengan baik.
Karbonisasi Tradisional yang Menimbulkan Banyak Polusi

Integrasi Produksi Arang Tempurung, Kopra Putih dan Nata de Coco
Pada proses karbonisasi (pyrolysis) yang merupakan oksidasi parsial dengan udara yang dibatasi bahkan tanpa udara sama sekali akan dihasilkan sejumlah gas. Dan karena bukan proses pembakaran sempurna maka gas tersebut bukan CO2 dan H2O saja tetapi sejumlah gas yang bisa terbakar (combustible gas) dan juga bisa digunakan sebagai bahan bakar. Pada proses produksi kopra, perlu dilakukan proses pengeringan dari kadar air sekitar 50% hingga 5% dengan pemanasan tidak langsung (indirect heating) maka gas yang dihasilkan dari proses karbonisasi (pyrolysis) tersebut bisa digunakan sebagai sumber energinya. Demikian juga energi tersebut juga bisa digunakan untuk memasak air kelapa yang digunakan untuk produksi nata de coco. Dan apabila nata de coco tersebut diolah lanjut menjadi berbagai minuman kemasan paling sedikit perlu dimasak 3 kali untuk pengotornya dan melunakkan seratnya. Proses pemasakan tersebut juga membutuhkan energi dan gas dari karbonisasi tersebut sebagai sumber energinya. Dengan meminimalkan biaya energi tersebut maka biaya produksi bisa ditekan dan keuntungan usaha bertambah. Bagi yang tertarik mengaplikasikan konsep diatas silahkan kontak kami di cakbentra@gmail.com

Minggu, 05 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 4 : Analisis dan Proyeksi

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable). 

Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan. 

Tugu Monas sangat monumental dan sangat terkenal sehingga hampir semua orang Indonesia mengenalnya bahkan provinsi DKI menggunakan tugu monas tersebut sebagai logo atau icon pemerintahannya. Tetapi sangat sedikit yang tahu jika emas seberat 32 kg yang menjadi puncak tugu Monas tersebut, 28 kgnya atau 87,5% (katakan hampir 90%) berasal dari sumbangan pengusaha kelapa yakni dari perdagangan kopra. Kelapa memang pernah mengalami kejayaan bahkan hingga memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sejumlah amunisi perang hingga berbagai peristiwa penting dalam rangka kemerdekaan Indonesia dibiayai oleh perdagangan kopra. Kopra menjadi bahan baku minyak kelapa yang nantinya menjadi sejumlah produk turunannya yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Era kejayaan kopra atau minyak kelapa ini berkisar pada dekade peralihan abad 19 ke abad 20 atau lebih pasnya antara 1870-an hingga 1950-an dan puncak kejayaannya pada tahun 1920-an.
Mengapa saat ini kopra dan minyak kelapa khususnya terpuruk dan kalah bersaing dengan minyak sawit? Sejarah panjang tentang persaingan dagang adalah jawabnya. Beberapa pihak, terutama American Soybean Association (ASA) menuduh minyak kelapa sebagai minyak jahat yang mengandung kolestrol dan lemak jenuh penyumbat pembuluh darah koroner. Tuduhan tersebut tidak pernah terbukti benar, bahkan malah terbukti sebaliknya, tetapi menjadi salah satu sebab utama hancurnya perdangan kopra dan kelapa global. Kampanye dan perang minyak tropis tersebut membutuhkan waktu sekitar 30 tahun atau pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1980-an di Amerika Serikat dan sehingga akhirnya industri kelapa Indonesia terpuruk.

Bila kita lihat pada minyak sawit, ternyata hal serupa juga terjadi. Beberapa waktu ini minyak sawit Indonesia juga mendapat kampanye negatif akibat pengrusakan lingkungan sehingga Eropa tidak mau membeli minyak sawit dari Indonesia. Bisa jadi dan besar kemungkinan ini juga upaya untuk melemahkan dan membuat industri kelapa sawit juga akan terpuruk nantinya. Tetapi karena baru berjalan beberapa tahun kelihatannya efeknya belum terlalu nampak saat ini.  Dan apabila dilakukan secara masif dan terus menerus serta tidak ada perlawanan yang berarti, maka bukan tidak mungkin nasib industri sawit juga serupa dengan industri kelapa. Ungkapan bahwa 'hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali' adalah hal yang perlu direnungkan secara mendalam untuk menganalisis hal ini.
Kelapa
Sebagai tambahan referensi, Indonesia yang pada jaman kolonial sebagai salah satu produsen utama dan exportir gula tebu, saat ini nasibnya juga mengenaskan karena selain tidak lagi menjadi exportir malah menjadi salah satu importir gula terbesar. Tahun 2016 Indonesia menjadi importer gula terbesar di dunia dengan nilai mencapai $2,1 milyar atau sekitar Rp 28,4 trilyun. Nilai import Indonesia ternyata lebih besar dari tiga negara pengimpor lainnya yang justru penduduknya lebih besar dibandingkan dengan Indonesia, yakni Amerika ($1,9 milyar), Cina ($1,2 milyar) dan India ($922 juta). Pabrik gula di Indonesia cukup banyak yakni lebih dari 180 unit tetapi kebanyakan yang saat ini tidak aktif berproduksi dan sebagian besar berada di pulau Jawa. Total produksi gula  nasionalnya yakni 2,2 juta ton dengan luas perkebunan tebu sekitar 0,5 juta hektar dan estimasi kebutuhan 5,7 juta ton sehingga produksinya masih perlu ditingkatkan.


Indonesia yang mayoritas masih mengeksport bahan mentah atau bahan baku bagi industri di negara lain juga mengindikasikan sebagai negara berkembang sehingga kondisi ini juga seharusnya diperbaiki. Export berbagai produk jadi atau minimal produk antara harus diupayakan. Export produk kelapa butir adalah salah satu hal yang harus dihindari dan diganti dengan export produk olahan. Ketika kita bicara tentang menghidupkan industri kelapa terpadu, tetapi di lain sisi kelapa butir sebagai bahan baku langsung dieksport tanpa diolah itu sama saja bohong atau percuma saja. Industri tanpa bahan baku pasti akan mati. Mengeksport kelapa bulat yang jumlahnya diperkirakan empat milyar butir setiap tahunnya adalah suatu kemunduran. Bagaimana tidak, dalam sejarah kejayaan kelapanya, Indonesia mengeksport dalam bentuk minimal kopra, sementara hari ini malah mengeksport buah kelapa bulat. Era industri 4.0 juga tidak ada artinya dengan kondisi seperti ini.   

Tentu perlu regulasi dan kerjasama yang baik antara berbagai pihak untuk mengatasi hal tersebut. Memang ada juga kebijakan dari negara maju untuk membatasi perkembangan industri negara berkembang, sebagai contoh pada masa kejayaan kelapa Philipina banyak mengeksport kopra ke Amerika Serikat dan Amerika membeikan sebagian pajak import ke Philipina dengan syarat agar Philipina tidak mengembangkan industri kelapanya. Dan memang pada era tersebut banyak industri pengolahan kopra di Eropa dan Amerika Serikat.  
Kelapa Sawit
Bahkan pada era bioeconomy saat ini seharusnya semua komoditas perkebunan, pertanian, kehutanan, perikanan dan peternakan saling mendukung menjadikan kuatnya perekonomian, sebagai contoh dengan agro-forestry akan mampu mengoptimalkan potensi lahan dan keseimbangan lingkungan. Jangan sampai malah terjadi dikotomi dan kontradktif sehingga antar produk berbasis bioeconomy saling melemahkan, sebagai contoh minyak kelapa dan minyak kelapa sawit seharusnya bisa memiliki segmen sendiri-sendiri atau bahkan sejak awal sudah dirancang bahwa kelapa untuk terutama produk pangan non-minyak dan sawit untuk produk minyak karena produktivitas minyak perhektarnya terbesar dari semua tanaman.Minyak kelapa dan minyak sawit (CPO) memiliki kualitas berbeda, karena minyak kelapa memiliki ikatan rantai menengah atau MCFA (Medium Chain Fatty Acid) sedangkan minyak sawit (CPO) memiliki ikatan rantai panjang atau LCFA (Long Chain Fatty Acid). Minyak kelapa yang kaya akan asam laurat (lauric acid) mirip dengan minyak inti sawit (PKO). Selain ditemukan di minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO), asam laurat juga ditemukan dalam air susu ibu (ASI).

Ketika Uni Eropa misalnya dengan bioeconomy-nya melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan berbagai sumber energi, pangan, bahan kimia dan sebagainya dari makhluk hidup atau biomasa, maka sudah seharusnya kita menyadari dengan posisi Indonesia di daerah tropis adalah posisi terbaik untuk memimpin era bioeconomy dengan syarat apabila dikelola dengan benar. Jangan sampai potensi besar hanya sia-sia bahkan membawa petaka seperti beberapa waktu lalu, yakni kekayaan alam mengundang penjajah dan bangsa Indonesia terjajah akibat adu domba para penjajah. Akibatnya malah jadi budak di negeri sendiri. Indonesia seharusnya menjadi produsen terbesar biomasa, the biomass country.

Sebagai sesama kelompok tanaman palmae maka ada banyak kesamaan antara sawit dan kelapa. Dan khusus kasus di Indonesia misalnya produktivitas kelapa maupun kelapa sawit juga masih kalah dari negara lain seperti Malaysia, sehingga ini perlu ditingkatkan. Tetapi jumlah industri pengolahan sawit mulai dari produksi CPO dan turunannya saat ini lebih banyak daripada kelapa, yang diperkirakan sekitar 1000 buah sedangkan luas perkebunan sawit juga hampir 4 lipat daripada perkebunan kelapa. Produksi kelapa sawit saat ini adalah mencapai 38,17 juta ton utuk CPO atau 41,98 ton total dengan minyak inti sawit (PKO) pada 2017 atau terbesar di dunia. Dengan produksi CPO 38,17 juta ton, penggunaan untuk sektor pangan terutama minyak goreng sebesar 3-5% (setara kurang lebih 2 juta ton)sektor lainnya yakni produk turunan CPO seperti oleokimia 3,8 juta ton/tahun lalu sektor energi yakni biodiesel 2,5 juta ton, dan sisanya export sekitar 70% .
Ada analisis yang mengindikasikan bahwa industri kelapa akan bangkit dengan sejumlah produknya mulai diminati pasar, diantaranya yang paling mencolok air kelapa, diikuti santan, dessicated coconut dan VCO. Tetapi sayang sebagian besar keberhasilan tersebut bukan di Indonesia tetapi di negara lain seperti Philippina, Sri Lanka, dan India. Bahkan malah ada produk yang bahan bakunya dari Indonesia setelah menjadi produk siap jual dijual kembali ke Indonesia, yakni santan yang sumber kelapanya dari Indonesia. Dengan demikian sebenarnya analisis bahwa industri kelapa mulai menggeliat ada benarnya khususnya untuk level global, sedangkan untuk dalam negeri hampir belum terlihat indikasinya, hanya spot-spot kecil yang masih terlalu dini untuk dikatakan bangkit.  Dengan estimasi 14 milyar butir kelapayang dihasilkan pertahun di Indonesia maka ada sekitar 3 milyar liter air kelapa, atau bila dikonversi menjadi VCO menjadi 1,4 juta ton, dessicated coconut menjadi 1,7 juta ton sedangkan temptung kelapa sebesar 2,5 juta ton dan sabut sebesar 5,6 juta ton.
Memang di era bioeconomy saat ini adalah sesuatu hal yang wajar ketika di suatu waktu lalu menjadi sampah dan dibuang, lalu saat ini menjadi komoditas yang dicari bahkan jadi rebutan, misalnya air kelapa yang dulunya dibuang saja, saat ini ditampung digunakan untuk bahan baku nata de coco dan air kelapa kemasan, tempurung dan sabut kelapa, lalu cangkang sawit yang awalnya juga hanya dibuang saja sebagai pengeras jalan saat ini banyak dicari dan digunakan sebagai bahan bakar pembangkit lisrik dengan permintaan sangat besar, lebih detail bisa dibaca disini. Beberapa  produk kelapa yang mulai diminati,sudah ada permintaan dan diproyeksikan terus meningkat adalah air kelapa. Philipina mengeksport 484 ribu liter air kelapa pada 2009 menjadi 17,9 juta liter pada 2012 dan pada tahun 71,7 juta liter pada tahun 2015 atau terjadi peningkatan 141 kali lipat dalam kurun 8 tahun. Untuk menghasilkan 71,7 juta liter air kelapa dibutuhkan 261 juta butir kelapa per tahun. Dan diperkirakan pasar air kelapa kemasan saat ini mencapai 13 triliun rupiah. Sayang tidak ada informasi untuk Indonesia. Hampir semua produk air kelapa tersebut di export ke Amerika Serikat dan biasanya hubungan yang dekat dengan negara pembeli yang itu sangat terkait faktor sejarahnya maka akan memudahkan transaksi bisnisnya. Mungkin itulah mengapa negara penghasil kelapa no 2 di dunia tersebut bisa banyak mengeksport produk-produk kelapanya ke Amerika Serikat.


Santan kemasan selain digunakan untuk memasak juga digunakan untuk susu nabati, seperti susu kedelai. China adalah negara yang banyak mengkonsumsi santan kelapa untuk pengganti susu hewani, dengan China sebagai konsumen terbesarnya. Sedangkan dessicated coconut (kelapa parut kering), saat ini ada 3 produsen utama yakni Philipina, Indonesia dan Sri Lanka.  Saat ini diperkirakan lebih dari 20 pabrik dessicated coconut di Indonesia. Peningkatan permintaan dessicated coconut cukup besar yakni 151 ribu ton pada tahun 1990 menjadi 248 ribu ton pada 2008.  
Apakah industri kelapa Indonesia bisa bangkit? Tentu saja bisa tetapi ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi. Kebangkitan industri kelapa harus dipimpin oleh orang yang memiliki kapabiltas memadai sehingga memahami inti permasalahan dan bisa memetakan masalah secara akurat pada sektor ini serta memberikan solusinya. Pemimpin adalah orang yang memiliki visi dan menghidupi atau mengimplentasikan visinya hingga tujuannya tercapai. Pemimpin yang tidak memiliki keyakinan kuat untuk mengimplementasikan visinya maka tidak akan memiliki daya dorong untuk tergerak membuat solusi yang dibutuhkan. Dengan upaya berbagai pihak dan selalu berdo'a kepada Allah SWT, insyaAllah akan terwujud. 

Kelapa sangat dekat dengan kehidupan rakyat, sehingga masyarakat bisa turut aktif memajukan industri kelapa terpadu tersebut. Industri-industri kelapa terpadu bisa dibuat di sentra-sentra perkebunan kelapa, bahkan di lokasi terpencil sekalipun asalkan ada akses untuk memasarkan produknya. Akses dan penguasaan pasar adalah hal penting. Ketika pasar sudah di dapat dan di kuasai maka aktivitas produksi bisa dengan mudah dilaksanakan. Percuma membangun pabrik atau industri jika tidak punya pasarnya. Pola kerjasama saling menguntungkan (non-riba) seperti syirkah dengan bagi hasil akan membuat industri lebih kuat. InsyaAllah. Hal tersebut karena dari kelapa bisa menghasilkan banyak sekali produk yang bisa dikomersialkan dan akan membawa berkah. Perusahaan-perusahaan besar juga telah bersiap siaga untuk mengambil peluang ini, sehingga jangan sampai ketinggalan. Hal yang perlu diupayakan agar harta tidak hanya berputar di kalangan tertentu saja seperti saat ini yang terjadi dengan penerapan ekonomi kapitalis. Dengan model ekonomi saat ini membutuhkan 800 tahun bagi milyaran rakyat terbawah untuk mencapai 10% pendapatan global. Akibat liberalisme dan kapitalisme yang terjadi saat ini mengakibatkan 10% orang terkaya menguasai 85% kekayaan global. Tiga orang terkaya dunia memiliki aset lebih dari 47 PDB negara PDB bruto terendah. 1% orang terkaya memiliki lebih dari 50% kekayaan dunia. Ketimpangan yang sangat besar tersebut hendaknya segera bisa segera diatasi dengan ekonomi yang berkeadilan dan menyejahterakan.   

Apakah kelapa akan kembali berjaya dan menjadi lokomotif dalam era bioeconomy saat ini? Apakah kelapa bisa kembali menggerakkan sektor ekonomi yang secara heroik sebagai komoditas penting yang memiliki peran dalam  kemerdekaan Indonesia ? Ataukah malah di 'nina bobo' kan dengan banyaknya potensi negeri ini tetapi tidak mampu memanfaatkannya dan malah mengundang 'penjajah' baru? Wallahu 'alam

Bisnis Protein Pakan Ternak dari Produk Samping Pabrik Sawit

Pakan ternak adalah mata rantai pangan bagi manusia. Kebutuhan pakan juga akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk at...