Setelah pohon-pohon akasia ditebang untuk produksi kertas, limbah-limbah
kayu masih banyak yang tidak termanfaatkan, termasuk diantaranya tunggak kayu
pohon tersebut. Batang kayu yang digunakan untuk produksi kertas hanya yang
memiliki diameter 8 cm diatas, sedangkan diameter lebih kecil sebagai kayu
limbah. Setelah pohon ditebang selanjutnya dilakukan penanaman baru (replanting)
dan tunggak-tunggak tersebut ditinggalkan begitu saja. Padahal tunggak-tunggak
itu jumlahnya banyak apalagi dengan luasan puluhan hingga ratusan ribu hektar
hutan akasia tersebut. Apabila setiap satu hektar dihasilkan 16 ton tunggak
kayu akasia, maka dengan luasan 20.000 hektar sudah dihasilkan 320.000 ton
tunggak kayu akasia.
Volume tunggak akasia yang sangat banyak tersebut sangat potensial untuk produksi arang. Perusahaan perkebunan akasia bisa menciptakan lapangan kerja dengan memberdayakan masyarakat sekitar untuk mengambil dan mengumpulkan tunggak akasia tersebut. Tunggak-tunggak akasia tersebut selanjutnya diolah menjadi arang. Dengan teknologi karbonisasi yang sudah teruji dan kapasitas tinggi seluruh tunggak tersebut bisa diolah dan bernilai ekonomi. Dengan volume limbah tunggak akasia yang sangat banyak tersebut maka produksi arang juga bisa berkesinambungan, sama seperti produksi kayu akasia dari hutan akasia tersebut. Menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan berkesinambungan adalah suatu upaya positif yang sejalan dengan bioeconomy dan kesejahteraan masyarakat. Arang kayu yang dihasilkan dengan teknologi tersebut juga berkualitas tinggi, bahkan dengan fixed carbon lebih dari 82% melampaui standar yang dibuat Eropa NF EN 1860-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar