Salah satu kendala utama bagi pabrik sawit untuk mengembangkan usahanya adalah ketersediaan listrik. Dengan lokasi yang pada umumnya berada di daerah pelosok di tengah perkebunan sawit, pabrik sawit tidak mendapatkan suplai listrik dari PLN. Padahal listrik sangat penting pada suatu proses produksi, seperti pada produksi EFB pellet. Padahal tandan kosong atau EFB pada umumnya merupakan masalah lingkungan bagi pabrik sawit. Apabila setiap ton/jam produksi EFB pellet dibutuhkan 300 KW maka untuk produksi 10 ton/jam (5000 ton/bulan) dibutuhkan listrik sebesar 3 MW, export bahan bakar biomasa seperti wood pellet dan pks (palm kernel shell) atau cangkang sawit dengan bulk shipment biasanya membutuhkan 10 ribu ton/shipment. Sehingga apabila produksi EFB pellet direncanakan 10 ribu ton/bulan sehingga setiap bulan bisa melakukan export EFB pellet maka kapasitas pabrik atau produksi EFB pellet adalah 20 ton/jam (10000 ton/bulan) dibutuhkan listrik 6 MW. Bagi pabrik sawit memanfaatkan limbah cair atau POME untuk menjadi biogas adalah sumber energi potensial untuk produksi listrik tersebut. Tetapi dengan kapasitas pabrik sawit 30 ton TBS/jam hanya dihasilkan listrik sekitar 1 MW dari biogas POME, sehingga untuk menghasilkan 6 MW perlu pabrik sawit dengan kapasitas 6 x 30 ton TBS/jam sama dengan 180 ton TBS/jam. Padahal pabrik sawit rata-rata hanya berkapasitas 45 - 60 ton TBS/jam, sehingga menghasilkan listrik 6 MW dari biogas POME pabrik sawit tersebut adalah mustahil.
Penggunaan EFB pellet adalah sama seperti wood pellet dan PKS terutama adalah untuk pembangkit listrik. Ketiganya adalah bahan bakar biomasa. Kandungan klorin dan kalium yang tinggi pada tandan kosong sawit atau EFB membuat penggunaannya terbatas pada pembangkit listrik karena penyebab korosi dan kerak. Tidak semua pembangkit listrik bisa menggunakan EFB pellet pada kapasitas atau jumlah besar. Pemakaian pada PLTU batubara dengan teknologi pulverized combustion hanya bisa digunakan dengan rasio kecil atau perkiraan kurang dari 5%, tetapi bisa digunakan lebih banyak atau bahkan 100% pada PLTU tipe fluidized bed dan stoker. Kapasitas PLTU tipe fluidized bed dan stoker pada umumnya jauh lebih kecil dibanding pulverized combustion.
Ketika sumber biomasa tersebut dikelola dengan benar maka penggunaan bahan bakar biomasa merupakan bahan bakar ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Bahan bakar biomasa seperti ini merupakan bahan bakar carbon neutral, karena tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer. Hal tersebut karena biomasa sebagai sumber bahan bakar tersebut berasal dari tumbuhan yang pertumbuhannya dari proses photosintesis dengan salah satunya menggunakan CO2 dari atmosfer, sehingga ketika biomasa tersebut dibakar maka praktis tidak ada penambahan CO2 ke atmosfer. Secara umum ada 2 cara mengatasi konsentrasi CO2 di atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global yakni skenario carbon neutral dan skenario carbon negative. Pada skenario carbon negative, CO2 di atmosfer akan ditangkap dan diserap sehingga tidak lepas lagi dan konsentrasi CO2 di atmosfer bisa tereduksi, seperti aplikasi biochar di bawah ini.
Sedangkan pada produksi biochar dengan pyrolysis selain tidak dibutuhkan daya listrik yang besar untuk operasionalnya juga listrik bisa dihasilkan dari penggunaan excess energy dari pyrolysis itu sendiri. Dengan menggunakan excess energy dari pyrolysis tersebut maka bahan bakar boiler pabrik sawit tidak perlu menggunakan cangkang sawit dan fiber. Penggunaan bahan bakar gas maupun cair dari excess energy proses pyrolysis juga membuat emisi pembakaran lebih bersih. Untuk mencapai pembakaran lebih sempurna bahan bakar gas atau cair lebih baik dibandingkan bahan bakar padat. Cangkang sawit sehingga semuanya bisa dijual atau bahkan di eksport. Produk biochar yang diaplikasikan pada perkebunan sawit juga akan meningkatkan kualitas tanah sehingga pemakaian pupuk bisa dikurangi dan produktivitas buah sawit akan meningkat. Biochar juga menyerap CO2 dari atmosfer sehingga penggunaan biochar pada kebun sawit yang luas artinya dengan aplikasi masif juga bisa untuk carbon trading. Perkembangan-perkembangan terbaru bahwa penggunaan biochar semakin luas seperti biomaterial untuk konstruksi, transportasi, plastik, packaging, furniture dan sebagainya. Penggunaan biomaterial untuk produk-produk tersebut berarti mensubtitusi penggunaan bahan baku berasal dari fossil.
Jadi berdasarkan tinjauan di atas, produksi biochar dengan pyrolysis lebih menguntungkan dan mudah diimplementasikan bagi pabrik sawit dibandingkan dengan produksi EFB pellet. Penambahan produksi listrik dengan kapasitas besar dan tersedianya cukup bahan baku bukan hal mudah dan murah bagi rata-rata pabrik sawit di Indonesia dengan kapasitas 45 - 60 ton TBS / jam. Sedangkan pada produksi biochar dengan pyrolysis, sejumlah energi dihasilkan yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan dan penggunaan biochar juga multi manfaat. Pabrik-pabrik sawit seharusnya mempertimbangkan hal ini khususnya dalam aspek pengelolaan limbah, produktivitas kebun, aspek lingkungan dan pengembangan usaha, untuk lebih bisa dibaca disini. Berdasarkan pengalaman struktur biaya bisnis produksi CPO atau minyak sawit terdiri dari sekitar 80% dari biaya produksi adalah biaya tanaman atau aspek kebun, sementara 20% lainnya merupakan biaya pengolahan atau aspek pabrik. Dan aspek biaya tertinggi kebun sawit adalah biaya pemupukan sehingga apabila kebutuhan pupuk bisa dikurangi dan produktivitas kelapa sawit bisa ditingkatkan tentu itu sangat menguntungkan, biochar efektif dan efisien digunakan untuk hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar