Kamis, 12 Mei 2022

Pellet Biomasa (Biomass Pellet) di India

India memiliki ratusan juta limbah biomasa khususnya dari limbah-limbah pertanian atau sekitar 230 juta ton per tahun. Ratusan juta ton limbah biomasa tersebut tentu saja menjadi masalah lingkungan terutama karena limbah tersebut sebagian besar hanya dibakar begitu saja di ladang-ladang yang asapnya mencemari lingkungan, tetapi di sisi lain akan menjadi solusi yakni untuk program dekarbonisasi dan perubahan iklim. Secara teknis limbah biomasa dari limbah pertanian tersebut akan diolah menjadi pellet bahan bakar (biomass pellet) yang digunakan untuk bahan bakar di pembangkit listrik secara cofiring. Pada tahap awal pemerintah India menargetkan 5% untuk rasio cofiring pada pembangkit listrik batubara mereka, dimana angka 5% tersebut apabila diterjemakan ke produksi biomass pellet akan mencapai sekitar 50 juta ton biomass pellet per tahunnya. Jumlah yang sangat besar apalagi dengan target waktu yang pendek yakni hanya satu tahun saja sejak diperintahkan pada 8 Oktober 2021 dan mulai berlaku pada Oktober 2022 atau tahun ini, sehingga perlu upaya keras untuk mencapai target tersebut. Sedangkan pada tahun 2021 permintaan wood pellet dunia untuk pembangkit listrik hanya sekitar 23 juta ton saja. 

Pembuatan pabrik-pabrik untuk produksi biomass pellet harus dilakukan segera untuk mencapai target produksi tersebut. Pabrik-pabrik tersebut juga harus didukung kesiapan logistik untuk menyuplai bahan baku sehingga pabrik bisa selesai dibangun, maka produksi biomass pellet bisa secepatnya dilakukan. Dengan rata-rata kapasitas pembangkit listrik di India 275 MW maka dengan rasio cofiring 5% maka kebutuhan biomass pellet setiap tahunnya diperkirakan 50 ribu ton atau 170 ton setiap harinya. Dengan jumlah pembangkit listriknya mencapai sekitar 900 unit dengan konsumsi rata-rata 50 ribu ton biomass pellet per tahun tersebut atau total hampir 50 juta ton per tahun, maka pendistribusian biomass pellet tersebut juga merupakan tantangan tersendiri. Pabrik berkapasitas sekitar 5 ribu ton/bulan sepertinya akan cocok, dan bahkan apabila setiap pabrik menyuplai satu pembangkit listrik maka kebutuhan pabrik biomass pellet juga akan sama seperti jumlah pembangkit listriknya yakni 900 unit. Sangat banyak.


Biomass pellet atau agri-waste pellet, yakni pellet dari limbah-limbah pertanian memang memiliki sejumlah perbedaan dengan wood pellet. Kayu sendiri juga merupakan bagian dari biomasa sehingga bisa juga disebut biomass pellet. Biomasa memiliki himpunan lebih luas, diantaranya wood pellet dan agri-waste pellet. Agri-waste pellet memiliki kadar abu lebih besar, juga beberapa memiliki kandungan klorin, kalium dan silika lebih besar pada abu tersebut. Kandungan zat-zat tersebut tidak ramah terhadap pipa-pipa pertukaran panas pada boiler yang akan menyebabkan fouling dan korosif, sehingga selain efisiensi boiler menurun juga umur pakai dari boiler tersebut menadi lebih pendek. Selain itu panen dari produk-produk pertanian biasanya bersamaan pada waktu-waktu tertentu, sedangkan pabrik pellet harus terus berproduksi setiap hari. Hal ini sehingga perlu menyimpan dan mengalokasikan bahan baku berupa limbah pertanian untuk produksi rutin pellet tersebut. Dan karena limbah-limbah pertanian tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja di area pertanian sehingga butuh investasi tambahan berupa gudang-gudang penyimpanan dan untuk bisa menyimpan lebih banyak limbah pertanian maka perlu dipadatkan sementara dengan cara baling. Hal-hal tersebut  biasanya memang tidak terjadi pada produksi wood pellet, sehingga pendekatan produksi agri-waste pellet tersebut berbeda. 

Dan karena kimia abu limbah-limbah pertanian tersebut menyebabkan banyak masalah pada operasional pembangkit listrik maka penggunaanya juga dibatasi. Dengan rasio cofiring 5% memang masalah tersebut masih bisa ditoleransi, tetapi ketika rasionya diperbesar maka dampaknya akan semakin nyata. Perkecualian pada pembangkit tipe CFB (circulating fluidized bed) yang bisa menggunakan 100% pellet limbah pertanian tersebut, tetapi di India pembangkit listrik yang menggunakan teknologi CFB sangat kecil, yakni sekitar 1% saja (9-10 unit). Indonesia dan Malaysia juga menghasilkan bahan bakar biomasa yang mirip dengan pellet dan bahkan di pasar internasional menjadi kompetitor pellet, yakni cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell). Volume PKS juga mencapai jutaan ton, sehingga bisa di export ke India untuk membantu memenuhi kebutuhan India terhadap biomass pellet, yang selama ini terutama untuk export ke Korea dan Jepang. PKS juga dihasilkan oleh sejumlah negara di Afrika Barat. Tetapi sepertinya pemerintah India untuk saat ini akan memprioritaskan penggunaan limbah pertanian mereka dulu, sehingga belum memberikan dukungan finansial untuk import bahan bakar biomasa tersebut.  

Saat ini India harus berupaya semaksimal mungkin mempercepat pembangunan pabrik-pabrik biomass pellet untuk mencapai target tersebut. Bagaimanapun juga waktu 1 tahun untuk mencapai target tersebut sangat berat. Dengan kondisi tersebut dalam beberapa waktu mendatang bisa jadi pembangkit-pembangkit listrik di India akan mengimport bahan bakar biomasa seperti wood pellet dan PKS untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan rasio cofiring yang direncanakan saat ini yakni 5% maka kebutuhan biomass pellet mencapai sekitar 50 juta ton, andaikan 2% saja kebutuhan bahan bakar biomasa itu dari import baik PKS dan / atau wood pellet maka akan mencapai 1 juta ton, jumlah yang tetap masih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bisnis Protein Pakan Ternak dari Produk Samping Pabrik Sawit

Pakan ternak adalah mata rantai pangan bagi manusia. Kebutuhan pakan juga akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk at...