Sabtu, 19 November 2022

Green Economy di Industri Semen

Trend dekarbonisasi termasuk low carbon economy telah merambah ke berbagai sektor tidak terkecuali pada industri semen. Semen adalah produk paling umum di dunia yang dibuat manusia dengan konsumsi sekitar 0,5 ton per orang per tahunnya. Industri semen juga merupakan aktivitas penyumbang gas rumah kaca cukup besar yakni mencapai 21% (IPCC 2014), dengan kondisi tersebut membuatnya salah satu kontributor terbesar pada perubahan iklim. Dan karena industri semen memiliki sejarah sebagai kontributor utama untuk emisi gas rumah kaca tersebut, sehingga ada peluang hari ini untuk mengurangi emisi secara signifikan melalui peningkatan efisiensi dan inovasi di industri tersebut.

Peningkatan efisiensi energi pada produksi semen akan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan.  Bahkan di industri semen, penggunaan energi juga secara perlahan energi terbarukan atau energi alternatif mulai digunakan termasuk penggunaan RDF dari sampah kota atau sampah rumah tangga, yang sedikit banyak mengurangi polusi lingkungan. Sedangkan pada aspek produksi penggunaan bahan tambahan yang berasal dari limbah industri lain (circular economy) seperti slag dan fly ash atau SCM (supplementary cementious materials) juga sudah banyak digunakan.  Penambahan bahan-bahan ini tergantung jenis semen yang akan dibuat dan bertujuan mengurangi pemakaian clinker karena produksi clinker memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan gas CO2 hasil kalsinasi.  Sebagai contoh pada pembuatan slag cement menghasilkan 38% lebih sedikit emisi CO2 dibandingkan proses untuk produksi portland cement karena lebih sedikit batu gamping (limestone) dibakar untuk produksi slag cement daripada dibutuhkan untuk Portland cement. Selain itu sejumlah negara juga mendukung produksi dan penggunaan slag cement tersebut dalam rangka mendukung produk yang ramah lingkungan. Hal-hal di atas juga mengindikasikan kepedulian terhadap lingkungan dan keberlanjutan (sustainibility) semakin meningkat.

Pada industri semen sekitar 50% emisi berasal dari proses kalsinasi itu sendiri, 40% dari bahan bakar untuk memanaskan kiln, dan sisanya 10% dari menggiling (grinding) dan transport. Di dalam kalsiner terjadi proses kalsinasi yaitu peruraian CaCO3 menjadi CaO dan CO2 dan sedikit MgCO3 menjadi MgO dan CO2. Karena reaksi kalsinasi bersifat endotermis maka diperlukan panas yang cukup tinggi, sehingga dilengkapi dengan burner untuk pembakaran batubara memanfaatkan udara tersier dari cooler dan gas panas kiln. Pelepasan CO2 akibat reaksi di kalsiner ini menjadi isu lingkungan yang krusial di industri semen, volum gas CO2 hasil kalsinasi jauh lebih besar dari pada CO2 hasil pembakaran fuel (batubara) atau 50% berbanding 40%.  

Beragamnya jenis semen dengan kualitas yang berbeda-beda seringkali membutuhkan kualitas SCM yang spesifik juga. Dalam kondisi tersebut tinjauannya tidak hanya spesifikasi umum tetapi hingga ke kimia bahannya (material chemistry). Misalnya slag dari pabrik baja atau Granulated Blast Furnace Slag (GBFS) dengan kandungan kimia tertentu atau fly ash tetapi dengan kandungan  alkali rendah atau slag dari smelter nikel tidak cocok untuk jenis semen tertentu dan sebagainya. Untuk mendapatkan SCM spesifik seperti slag dan fly ash tersebut sangat terkait terkait dengan sumber slag dan fly ash tertentu, walaupun dalam sejumlah kasus bisa saja menambahkan bahan tertentu untuk mendapatkan komposisi kimia yang diinginkan. 

Dan pada industri semen emisi tidak mudah dikurangi dengan mudah. Emisi dari proses tidak bisa dikurangi dengan optimasi ataupun penggunaan energi terbarukan atau energi alternatif saja. Pada industri semen ketika mengikuti skenario-skenario yang dikembangkan oleh International Energy Agency (IEA) atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) jelas bahwa untuk mencapai batas kenaikan suhu bumi 2 C bahkan 1,5 C dibutuhkan CCS / CCU. Namun, lebih banyak diperlukan jika industri ingin memenuhi tujuan ambisius yang ditetapkan oleh Paris agreement tersebut.  Industri semen sangat ditantang oleh target tersebut karena karbon dihasilkan oleh energi yang digunakan dalam proses dan proses kalsinasi itu sendiri. Bahkan jika emisi berbasis energi dapat dihilangkan dengan beralih ke bahan bakar karbon-netral, emisi proses kalsinasi tersebut akan tetap ada dan akan membutuhkan unit penangkap karbon (CCS / CCU). 

Eropa telah menjadi pusat penelitian carbon capture dan storage (CCS) and carbon capture and utilization (CCU). Dari sejumlah teknologi penangkapan karbon (carbon capture) penyerapan berbasis amina (senyawa organik dan gugus fungsional yang isinya terdiri dari senyawa nitrogen atom dengan pasangan sendiri) adalah teknologi penangkapan karbon paling canggih dan sudah diimplementasikan di skala komersial. Teknologi carbon capture tampaknya memainkan peran penting dalam memerangi perubahan iklim khususnya pada industri semen.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...