Pada dasarnya kondisi setiap industri baja bervariasi sehingga proses dekarbonisasi juga dilakukan dengan rute yang berbeda-beda dan bertahap untuk mencapai kondisi nett zero emission. Kondisi setiap industri baja memiliki konfigurasi unik teknologi produksinya, bahan baku dan sumber energi, kapasitas dan yield, persyaratan peraturan dan sebagainya. Untuk mencapai Net-zero pada tahun 2050 maka sejumlah hal perlu dilakukan seperti efisiensi penggunaan bahan baku, meningkatkan porsi reuse dan recycling, retrofit dan advanced technology, dan terutama yakni berupaya menggunakan sumber energi terbarukan sebagai bahan bakar dan reduktor pada industri besi dan baja tersebut. Tetapi faktanya pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini , tetapi ada upaya transisi bisa dilakukan seperti diuraikan dibawah ini. Transisi tersebut dipengaruhi oleh permintaan dari pasar, intervensi kebijakan, dan insentif diberikan kepada produsen untuk mengurangi emisi pada produksi baja tersebut.
Untuk membuat kebijakan-kebijakan terkait transisi tersebut, pemberian insentif penurunan emisi untuk produsen dan menciptakan permintaan pasar untuk “green steel” maka sangat diperlukan definisi yang jelas antara emisi rendah (low emission) vs. emisi hampir nol (near zero emissions) vs emisi nol emisi (net-zero emissions) Diperkirakan pada tahun 2021 emisi gas CO2 dari industri ini adalah 3,8 Gt secara global (hal ini pun emisi metana dari penambangan batubaranya belum diperhitungkan). Sedangkan untuk kondisi Net-zero 2050, emisi CO2 langsung dari industri besi dan baja global harus diturunkan menjadi 1,8 Gt CO2 pada 2030 dan 0,2 Gt pada 2050. Terlihat masih perlu banyak upaya keras untuk mencapai target tersebut, bahkan dengan kondisi saat ini banyak yang pesimis.
Salah satu pemanfaatan biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral pada industri besi dan baja adalah penggunaan arang sebagai bahan bakar dan reduktor. Biomasa seperti kayu harus dikarbonisasi atau dipirolisis untuk menjadi arang tersebut. Penggunaan arang pada blast furnace selain menurunkan emisi karbondioksida (CO2), juga emisi sulfurdioksida (SO2) karena kandungan sulfur dari arang sangat rendah (sekitar 100 kali lebih rendah) dibandingkan kokas (coke). Begitu juga penggunaan batu kapur (limestone) akan berkurang sehingga produksi slag otomatis juga berkurang. Demikian juga membuat operasi blast furnace bersifat asam.
Disamping sejumlah keuntungan yang didapat seperti diatas ternyata ada kekurangan penggunaan arang pada blast furnace yakni pada blast furnace besar yang menyebabkan operasionalnya bermasalah karena kekuatan (strength) arang biasanya lebih rendah dibanding kokas. Sebagai solusinya yakni ada tiga metode penggunaan arang pada proses blast furnace. Pertama, dengan pulverized charcoal injection (PCI). Dengan metode ini arang harus dihancurkan menjadi bubuk lembut dan dinjeksikan ke dalam blast furnace. Kedua, dengan bubuk arang yang dicampurkan bubuk kokas menjadi pellet atau briket yang disebut charcoke. Dengan dibuat charcoke ini kekuatannya menjadi mencukupi untuk penggunaan pada blast furnace konvensional. Dan ketiga, dengan menggantikan kokas dengan arang bongkahan (lump charcoal) untuk blast furnace kapasitas kecil (inner volume 60 – 550m3). Pada blast furnace kapasitas kecil tekanan kompresi pada tiap partikel arang jauh lebih kecil dibandingkan dengan blast furnace kapasitas besar. Sintering dan pelletisation tidak dibutuhkan dalam hal ini.
Kebun energi atau kebun biomasa bisa dibuat khusus sebaga pemasok bahan baku untuk produksi arang tersebut. Kebun energi tersebut juga akan menyerap karbon dari atmosfer (carbon sink) dengan volume tertentu. Volume karbon dari atmosfer tersebut bisa dijaga sedemikian rupa sehingga fungsi sebagai penyerap karbon bisa dilakukan, yakni dengan cara jumlah kayu yang dipanen untuk produksi arang tidak boleh melebihi kecepatan tumbuh biomasa kayunya. Dengan cara ini maka kebun energi tidak boleh habis sekali panen tetapi berkesinambungan dengan dipertahankan volume atau luasannya.
Dengan teknologi pirolisis kontinyu maka produksi arang akan bisa dioptimalkan. Dengan teknologi pirolisis kontinyu tersebut selain kapasitas produksi arang besar, juga dihasilkan produk samping yang multi-manfaat seperti produk gas yang bisa digunakan sebagai sumber energi demikian juga biooil. Biooil juga bisa dimanfaatkan sebaga bahan baku di industri kimia. Produksi arang puluhan hingga ratusan ton per hari juga memungkinkan dengan teknologi pirolisis kontinyu.
Dan khususnya di Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia yakni diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta hektar dan dengan pabrik sawitnya mencapai sekitar 1000 unit banyak limbah sawit yang bisa dimanfaatkan khususnya tandan kosong sawit atau EFB (empty fruit bunch). Potensi produksi arang dari EFB tersebut juga sangat besar. Selain itu juga sebaga produsen batubara terbesar no 5 di dunia dengan produksi berkisar 570 juta ton per tahun, maka batubara juga perlu diolah menjadi kokas. Arang dari tandan kosong atau EFB tersebut bisa dibuat bubuk untuk PCI atau menjadi charcoke dengan dipadatkan yakni dibuat pellet atau briket dengan kokas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar