Sabtu, 19 Oktober 2024

Biochar dari Kayu limbah dan Limbah Kehutanan

Era dekarbonisasi dan bioekonomi terus berlanjut dan semakin berkembang seiring waktu. Ketika sebagian orang fokus pada sektor karbon netral seperti dengan produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet, wood briquette ataupun wood chip, orang-orang yang fokus untuk karbon negatif tampaknya masih lebih sedikit antara lain yakni dengan penggunaan CCS (Carbon Capture and Storage) dan produksi biochar. Dibandingkan CCS, produksi biochar dengan pirolisis lebih mudah dan murah sehingga diproyeksi akan menjadi trend masa depan. Secara logika sebenarnya skenario karbon negatif jauh lebih baik karena selain akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, sedangkan skenario karbon netral hanya tidak menambah emisi CO2 di atmosfer, tetapi tidak sampai mengurangi atau menyerap CO2 di atmosfer. Penyerapan CO2 atau biochar carbon removal (BCR) sampai saat ini juga merupakan teknologi carbon removal paling relevan secara industri. BCR adalah solusi kunci untuk mitigasi perubahan iklim yang riil saat ini dan perkembangannya sangat cepat.  BCR juga memiliki peran vital dalam portofolio teknologi karbon removal.


Biomasa kayu-kayuan khususnya dari limbah industri perkayuan maupun limbah-limbah kehutanan adalah bahan baku potensial untuk produksi biochar, bahkan jenis biomasa kayu-kayuan ini adalah bahan baku terbaik karena bisa menghasilkan biochar kualitas tinggi yakni fixed carbon lebih dari 80%. Potensi bahan baku biomasa kayu-kayuan di Indonesia sangat besar yakni diperkirakan 29 juta m3/tahun dari limbah pemanenan hutan, dan 2 juta m3/tahun dari limbah industri pengolahan kayu termasuk 0,78 juta m3 berupa serbuk gergaji (rendemen industri penggergajian kayu berkisar antara 50-60% dan sebanyak 15-20% terdiri dari serbuk gergaji kayu). Dan itu belum termasuk apabila ada suatu perkebunan biomasa atau kebun energi yang didedikasikan untuk produksi biochar.  

Dengan kondisi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan yang banyak mengalami degradasi maka kebutuhan biochar juga sangat besar. Diantara faktor penyebab menurunnya kesuburan lahan adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia selama puluhan tahun secara terus menerus dan cenderung berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas tanah yang berimbas pada produksi tanaman karena membuat lahan menjadi bertambah masam dan keras yang diperkirakan mencapai jutaan hektar. Selain itu harga pupuk kimia yang semakin mahal serta sulit diperoleh, yang berakibat pada rendahnya produksi pertanian, sehingga pemerintah terpaksa mengimpor beberapa komoditi pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi mengingat lahan potensial di Indonesia sangat luas, hanya perlu perbaikan kondisi lahan agar bisa optimal kembali. Membuat lahan rusak menjadi subur tidaklah sulit, hanya dibutuhkan ketekunan untuk memper-baiki dan merawat tanah tersebut agar terus subur. 

Sementara lahan kering berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, ber-prospek baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan tersebut tingkat kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitasnya. Belum lagi lahan pasca tambang yang hampir semuanya sangat rusak yang luasnya juga jutaan hektar. Dan biochar adalah solusi tepat yang dapat mengembalikan kondisi lahan menjadi subur kembali. 

Slow pyrolysis adalah teknologi terbaik untuk produksi biochar. Tetapi teknologi yang digunakan harus efisien dan emisi memenuhi standar ambang batas negara yang bersangkutan. Selain itu juga excess heat dan/atau produk cair dan produk gas dari pirolisis seharusnya juga dimanfaatkan. Dengan kriteria teknologi pirolisis seperti di atas maka selain kualitas dan kuantitas produk yakni biochar bisa dimaksimalkan, proses produksinya juga tidak menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan. Hal tersebut menjadi sangat sejalan dengan aktivitas bisnis biochar sehingga menjadi solusi masalah limbah biomasa industri perkayuan dan limbah kehutanan serta solusi masalah iklim. Bahkan pemanfaatan produk-produk samping (excess heat dan/atau produk cair dan produk gas dari pirolisis) juga bisa mendorong munculnya produk-produk lain yang ramah lingkungan dan terbarukan (enviroment friendly and renewable products). 

Secara keekonomian secara garis besarnya bisa seperti berikut yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Atau jika dengan investasi 100 juta US dollar maka akan dihasilkan hampir 2 juta ton biochar dan lebih dari 4 juta carbon credit dalam rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 100 dollar per ton dan juga carbon credit 100 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut investasi telah menjadi 6 kali lipat atau hanya dibutuhkan sekitar 1,7 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas dari pirolisis serta excess heat yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik. Trend era bisnis di masa mendatang memang tidak hanya fokus pada keuntungan finansial tetapi juga memberi solusi masalah lingkungan dan solusi masalah iklim, serta tentu saja solusi masalah sosial dengan penciptaan lapangan kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...