Jumat, 16 Mei 2025

Parameter-parameter Penting Kualitas Biochar dan Standar-Standar Biochar

Sifat-sifat kimia fisika (karakteristik) biochar menjadi parameter keefektifannya pada berbagai aplikasinya yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat-sifat kimia fisika biochar tersebut adalah bahan baku (feedstock), kondisi operasi produksi (production process), serta treatment sebelum dan setelah pengolahannya (pre- or post- processing). Dan karena biochar berbeda-beda sifat-sifat kimia fisikanya itulah maka analisa laboratorium dibutuhkan untuk memprediksi keefektifan biochar tersebut. Secara spesifik aplikasi tertentu akan membutuhkan sifat kimia fisika tertentu sehingga pemilihan produk biochar yang sesuai menjadi sangat penting.

Sifat-sifat kimia biochar yang biasa sebagai acuan yakni organic carbon (Corg) dan carbonates (sebagai CaCO3), H/C ratio dan fixed carbon (FC), ash content, dan volatile matter (VM). Sedangkan sifat-sifat fisika yang biasa sebagai acuan yakni bulk density, surface area dan particle size distribution. Dan karena aplikasi utama biochar adalah untuk pertanian termasuk perkebunan dan kehutanan yakni untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dengan cara meningkatkan kesuburan tanah, maka parameter-parameter terkait kesuburan tanah (soil fertility) juga menjadi acuan penting. Parameter-parameter tersebut yakni nitrogen, pH & liming, liming equivalent, electrical conductivity, total potassium (K), total phosphorus (P) dan metal. 

Walaupun biochar memiliki multi-manfaat baik untuk memperbaiki kesuburan tanah dan juga solusi iklim berupa carbon sequestration / carbon sink, sehingga produk biochar bisa dipilih sesuai prioritas penggunaan. Optimalisasi manfaat / benefit antara dua hal penting itu tentu pilihan terbaiknya. Perspektif atau sudut pandang untuk optimalisasi manfaat / benefit sangat tergantung dari profesi atau kepakaran seseorang, untuk lebih detail baca disini. Parameter berupa organic carbon (Corg), H/C ratio dan fixed carbon (FC) terutama terkait dengan solusi iklim yakni carbon sequestration / carbon sink atau juga biasa disebut BCR (biochar carbon removal) yang bisa mendapatkan kompensasi berupa carbon credit. Untuk bisa mendapatkan carbon credit maka produsen biochar harus mengikuti metodologi yang dibuat lembaga carbon standard (Puro Earth, Verra, European Biochar Certificate), sehingga BCR bisa dikuantifikasi dan dijual di pasar karbon (saat ini di VCM = voluntary carbon market).

Sedangkan terkait prioritas di kesuburan tanah maka produk biochar yang dibuat harus berasal dari sumber yang kaya nutrisi atau hara tanaman seperti dari kotoran ternak. Biochar dari kotoran ternak (manure) cenderung memiliki organic carbon (Corg) lebih rendah dibandingkan biochar yang dibuat dari kayu. Biochar dengan kandungan abu tinggi seperti yang berasal dari kotoran ternak biasanya juga liming equivalent lebih tinggi dibandingkan biochar dari kayu. Tingginya volatile matter (VM) juga bermanfaat bagi kesuburan tanah. VM yang mengandung gas-gas seperti karbonmonoksida dan metana, organic hydrocarbon, asam-asam dan tar dan sejumlah senyawa anorganik bisa sebagai sumber pakan penting untuk mikroba tanah. Sejumlah studi juga menunjukkan biochar dari kotoran ternak memiliki porsi phosphorus (P) tinggi sehingga bisa memenuhi kebutuhan P tanaman, demikian juga kandungan potassium / kalium (K) nya.  

Transaksi atau jual beli biochar (fisik) maupun BCR credit membutuhkan standar kualitas tertentu. Tanpa ada standar yang disepakati tentu akan sangat sulit menentukan titik temu antara penjual dan pembeli.  Ada sejumlah lembaga yang mengembangkan standar-standar untuk biochar antara lain European Biochar Certificate (EBC), Organic Material Review Institute (OMRI), USDA Certified Bio-based Product dan World Biochar Certificate (WBC). Untuk mendapatkan parameter kualitas atau spesifikasi biochar yang sesuai dengan penggunaannya maka dibutuhkan laboratorium tipe tertentu. Tidak banyak laboratorium yang bisa melakukan uji biochar ini. Beberapa laboratorium yang bisa melakukannya antara lain laboratorium analisis kompos, tanah, batubara dan activated carbon. Dengan sejumlah perangkat teknis tersebut tentu pengembangan biochar untuk masa depan akan lebih mudah apalagi dengan berbagai manfaat nyata biochar serta kesadaran publik masalah keberlanjutan lingkungan yang semakin besar khusunya pada masalah iklim. 

 

Minggu, 11 Mei 2025

Food Estate atau Biochar ? Indonesia menjadi Juara Solusi Iklim Global ?

Saat ini ada jutaan hektar lahan di Indonesia yang sangat membutuhkan biochar yakni lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha. Sedangkan potensi bahan baku untuk produksi biochar juga berlimpah (limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan) seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan biochar, produktivitas pertanian akan meningkat dari rata-rata sekitar 20% bahkan hingga 100%.

Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.

Sebagai contoh produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Ada hitungan kasar yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 200 dollar per ton dan carbon credit 150 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut, pendapatannya menjadi hampir 10 kali lipat investasinya atau diperkirakan kurang dari 2 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Penjual carbon credits atau produsen biochar juga berusaha untuk mendapatan kontrak penjualan selama 5-10 tahun.

Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas serta excess heat dari pirolisis yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik.  

Sabtu, 03 Mei 2025

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 8 : Sebuah Pendekatan Komprehensif dan Peran Biomasa

Upaya-upaya mengurangi atau menurunkan CO2 di industri semen terus berkembang dengan berbagai metode untuk mencapai target yang memadai. Target global adalah mencapai Net-Zero Emission pada 2050 sedangkan target antara tergantung lebih spesifik pada industri semen itu sendiri, misalnya ada industri semen yang mentargetkan menurunkan emisinya sebesar 35% dengan baseline tahun 1990 pada tahun 2025 dan selanjutnya menjadi lebih dari 40% pada 2030. Hal tersebut secara praktis bisa diterjemahkan menjadi pengurangan emisi CO2 pada produksi semen dari sekitar 800 kg CO2/ton semen, menjadu 520 kg/ton semen pada 2025 dan kurang dai 475 kg / ton semen pada 2030. Untuk mencapai target tersebut industri terebut harus membuat roadmap yang mengacu pada solusi iklim terkini di industri semen ini, sehingga lebih mudah pencapaiannya dengan berbasis sains (Science-Based Targets / SBT). 

Walaupun motivasi untuk menurunkan emisi CO2 hampir sama di seluruh dunia, tetapi perkembangannya tidak semua sama di berbagai kawasan. Eropa adalah kawasan tercepat karena kesiapannya yang didukung sejumlah faktor, antara lain :
• Peraturan yang memprioritaskan penggunaan sumber daya yang efisien dan mempromosikan ekonomi sirkular.
• Insentif ekonomi untuk peralihan bahan bakar ke alternatif yang lebih bersih, yang dalam banyak kasus menghasilkan biaya energi negatif.
• Penerimaan pasar yang lebih besar terhadap semen campuran (blended cement) dan permintaan konsumen terhadap produk rendah karbon.
• Dukungan pemerintah yang signifikan untuk penelitian dan pengujian teknologi yang lebih bersih.
• Peraturan emisi karbon, yang menghasilkan harga karbon yang dapat diprediksi.

Upaya menurunkan emisi CO2 pada pabrik semen secara langsung atau yang terkait langsung pada produksi semen yakni berfokus pada tiga hal, yakni penggunaan bahan bakar alternatif atau energi terbarukan atau bahan bakar rendah karbon, menurunkan emisi dari proses kalsinasi dan penggunaan aditif semen (suppplementary cementious material / SCM) atau lowering clinker factor. Sedangkan upaya tidak langsung yakni bisa dilakukan dengan penggunaan listrik dari energi terbarukan untuk operasional pabrik semen tersebut.

Secara teknis atau pendekatan teknologi dalam mencapai target penurunan emisi CO2 pada industri semen, sektor energi alternatif atau lebih khusus lagi bahan bakar biomasa berada di urutan ketiga. Hal ini karena sumber emisi pada pabrik semen paling besar atau sekitar 60% berasal dari proses kalsinasi (produksi clinker), sedangkan pembakaran atau terkait bahan bakar hanya berkisar 40%. Hal ini sehingga penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya mencapai target emisi menempati peringkat pertama, selanjutnya subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) menempati urutan kedua, dan penggunaan bahan bakar alternatif termasuk biomasa berada pada urutan ketiga. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, sehingga praktisnya belum banyak dilakukan tetapi subtitusi clinker dan penggunaan energi alternatif termasuk biomasa lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (net zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Sehingga apabila pabrik semen melakukan hal tersebut prosentase CO2 yang bisa dikurangi maksimal hanya 40%, artinya emisi CO2 dari proses kalsinasi (produksi clinker) sebesar 60% masih tetap terjadi.   Penggunaan clinker untuk produksi semen bisa dikurangi sehingga emisi CO2 dari produksi clinker bisa dikurangi. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Tetapi tentu saja tidak mungkin produksi clinker direduksi hingga nol atau meniadakan proses kalsinasi dan seluruhnya digantikan oleh SCM (loweing clinker factor) untuk mengurangi emisi CO2 yang 60% tersebut. 

Hal inilah sehingga semakin tinggi rasio clinker terhadap semen yang dihasilkan (C/S) maka semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dan demikian sebaliknya. China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,89 yakni di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa 0,77, lalu di India 0,68, di Amerika Latin 0,71 dan  rata-rata global yakni 0,76. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.Hal itulah sehingga untuk mencapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Tentang CCS (carbon capture and storage )sejumlah inovasi sedang dikembangkan sehingga teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan pada pabrik semen. Termasuk juga hal tersebut adalah peningkatan efisiensi penangkapan CO2,  penggunaan pelarut-pelarut generasi baru non-aqueous, serta teknologi modular yang lebih murah. Transformasi CO2 yang ditangkap menjadi produk baru yang dapat dipasarkan juga menjadi fokus berikutnya.  

Penggunaan bahan bakar alternatif dengan kandungan biomasa yang tinggi sangat disarankan untuk pabrik semen untuk mereduksi CO2. Tetapi pada kenyataannya biasanya masih terjadi sejumlah kendala saat implementasinya sehingga bahkan sulit untuk meningkatkan rasionya. Kendala-kendala tersebut seperti ketersediaan, kualitas dan kuantitas limbah biomasa, logistik dan infrastruktur penunjang, dinamika pasar, keekonomian harga bahan bakar berbasis limbah biomasa tersebut dan sejumlah faktor teknis pembatas terkait karakteristik bahan bakar biomasa tersebut. Sejumlah limbah biomasa pertanian atau perkebunan seperti sekam padi, cangkang sawit, cangkang mete dan biji zaitun juga sudah sebagai bahan bakar biomasa di pabrik-pabrik semen. Mendapatkan pasokan bahan bakar biomasa yang volumenya mencukupi, kualitas standar dan kontinyu / berkelanjutan sangat penting bagi pabrik-pabrik semen untuk mendukung penurunan emisi CO2. Dan pada dasarnya tidak ada pilihan bagi pabrik semen untuk menghindar dari masalah iklim, sehingga yang harus dilakukan adalah meresponnya dengan aksi riil. 

Parameter-parameter Penting Kualitas Biochar dan Standar-Standar Biochar

Sifat-sifat kimia fisika (karakteristik) biochar menjadi parameter keefektifannya pada berbagai aplikasinya yang berbeda-beda. Faktor-faktor...