Senin, 05 Juni 2017

Produsen Terbesar Biomasa Itu Adalah Wilayah Khatulitistiwa

Indonesia adalah negara yang dilalui garis khatulistiwa sehingga beriklim tropis dengan   matahari bersinar sepanjang tahun dengan rata-rata 12 jam setiap harinya. Jumlah gunung berapi yang banyak tersebar diberbagai kepulauannya membuat tanahnya juga subur. Apalagi dengan curah hujan yang tinggi yakni 2700 mm/tahun atau tiga kali lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 900 mm/tahun menjadikan Indonesia juga sangat ideal untuk pertanian dan perkebunan berbagai jenis tanaman. Curah hujan Indonesia lebih Indonesia lebih tinggi pula dibanding India (1.080 mm), Amerika (715 mm), China (645 mm), Brasil (1.750 mm), Argentina (591 mm) dan bahkan Thailand (1.625 mm). Hanya dua negara tetangga kita yang mampu melampaui curah hujan Indonesia yakni Malaysia (2.875 mm) dan Papua Nugini (3.140). Bahkan seharusnya kita akan lebih bersyukur lagi apabila dibandingkan negara seperti Yordania (111 mm), Qatar (74 mm), Arab Saudi (59 mm) dan Mesir yang hanya mendapatkan curah hujan 51 mm pertahun. Produksi biomasa untuk energi juga optimal dengan kondisi iklim tersebut. Skenario karbon netral dengan menggunakan biomasa sebagai bahan bakar untuk mengurangi bahkan menggantikan batubara sudah banyak dilakukan bahkan telah menjadi kebijakan negara, seperti Jepang, Korea, China, dan sejumlah negara di Eropa. Dalam waktu yang tidak lama lagi diperkirakan akan banyak negara menerapkan program atau kebijakan sejenis. Integrasi kebun energi dan peternakan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan bisa dilakukan dengan skenario 5F Project For The World!.


Secara empiris dengan kondisi iklim Indonesia yang berada di khatulistiwa tersebut membuat produksi biomasa kayu-kayuan menjadi lebih cepat secara signifikan. Proses photosintesis dengan pancaran sinar matahari sepanjang tahun tersebut adalah faktor mengakselerasi pertumbuhan dan produksi biomasa kayu-kayuan tersebut. Kebun-kebun energi seharusnya banyak dibuat di berbagai daerah di Indonesia, mengingat banyaknya lahan atau tanah yang tersedia. Berdasarkan pada faktor-faktor diatas tanaman rotasi cepat seperti kaliandra dan gamal dalam waktu 1 tahun sudah bisa dipanen kayunya di Indonesia dengan jumlah yang sama untuk poplar dan willow yang ditanam di negara sub-tropis selama 4 tahun. Sebuah perbedaan yang nyata. Berdasarkan analisis kebun energi juga memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit, lebih jauh bisa dibaca disini.

Di negeri-negeri subtropis, seandainya toh lahan mereka subur, matahari tidak menyinari penunjang sepanjang tahun. Bahkan di musim dingin, tanaman-tanaman berhenti tumbuh dan baru tumbuh kembali di musim berikutnya, maka musim berikutnya ini disebut musim semi. Sedangkan di negeri-negeri gurun , mereka mendapat limpahan sinar matahari yang panjang, tetapi mereka hanya memiliki hujan yang sangat sedikit. Sehingga tidak banyak yang bisa tumbuh di negeri gurun.

Tetapi lahan yang subur, hujan yang melimpah dan matahari sepanjang tahun-pun tidak banyak memberi manfaat bila manusia yang tinggal di dalamnya tidak cerdas. Ketika kita tidak cerdas dalam mengelola bumi, sumber daya yang melimpah tidak menjadikan kita unggul dibandingkan bangsa lain-malah bisa menjadi musibah seperti yang terjadi dengan musibah tahunan asap kita. Lebih utama dari itu semua adalah petunjuk-petunjuk-Nya yang sangat detail dan meliputi segala sesuatu (QS 2:185 dan 16:85). Maka ketika petunjuk ini tidak kita gunakan, kecerdasan kita hanya akan menghasilkan ilmu-ilmu dugaan/prasangka (dzon), dugaan-dugaan tersebut sementara kelihatan benar tetapi baru kemudian hari diketahui kesalahannya. 



Indonesia juga sangat potensial sebagai produsen terbesar wood pellet dunia. Produksi wood pellet dengan kebun energi atau pepohonan tersebut juga sangat sejalan dengan konsep Islam. Tercukupinya atau swasembada kebutuhan pangan, energi dan air adalah tujuan jangka panjang 5F Project For The World tersebut. Sekali lagi potensi Indonesia luar biasa sebagai produsen biomasa terbesar di dunia, sehingga bumi yang 'ijo royo-royo' ini menjadi incaran para pengusaha energi terbarukan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...