Jumat, 06 November 2020

Produksi Arang dari Tunggak Kayu Akasia


Setelah pohon-pohon akasia ditebang untuk produksi kertas, limbah-limbah kayu masih banyak yang tidak termanfaatkan, termasuk diantaranya tunggak kayu pohon tersebut. Batang kayu yang digunakan untuk produksi kertas hanya yang memiliki diameter 8 cm diatas, sedangkan diameter lebih kecil sebagai kayu limbah. Setelah pohon ditebang selanjutnya dilakukan penanaman baru (replanting) dan tunggak-tunggak tersebut ditinggalkan begitu saja. Padahal tunggak-tunggak itu jumlahnya banyak apalagi dengan luasan puluhan hingga ratusan ribu hektar hutan akasia tersebut. Apabila setiap satu hektar dihasilkan 16 ton tunggak kayu akasia, maka dengan luasan 20.000 hektar sudah dihasilkan 320.000 ton tunggak kayu akasia. 

Ada perbedaan penanganan tunggak kayu akasia atau eukaliptus dengan tunggak kayu kebun energi. Pada tunggak kayu akasia atau eukaliptus setelah pohon ditebang maka harus menanam lagi karena target utama mereka adalah produk kayu dengan diameter tertentu, yakni 8 cm ke atas. Apabila dari tunggak kayu tersebut ditumbuhkan lagi trubusan maka untuk mencapai diameter tersebut akan sangat lama sehingga tidak efisien. Hal itulah yang menjadi alasan mereka untuk menanam lagi setelah ditebang. Sedangkan pada kayu kebun energi setelah pohon-pohon tersebut ditebang, tunggak-tunggak yang tersisa dibiarkan tumbuh atau trubus kembali. Target utama dari kebun energi adalah mencapai volume produktivitas kayu tertinggi. Bahkan setelah ditebang tersebut jumlah trubusan atau cabang-cabang yang keluar dari tunggak kayu kebun energi semakin banyak sehingga produktivitasnya juga tinggi. Selain bisa dipanen berulang-ulang tanpa harus replanting setiap kali panen, produktivitas juga tetap tinggi karena jumlah trubusan yang banyak, bahkan bisa empat kali dari panen pertamanya. 

Volume tunggak akasia yang sangat banyak tersebut sangat potensial untuk produksi arang. Perusahaan perkebunan akasia bisa menciptakan lapangan kerja dengan memberdayakan masyarakat sekitar untuk mengambil dan mengumpulkan tunggak akasia tersebut. Tunggak-tunggak akasia tersebut selanjutnya diolah menjadi arang. Dengan teknologi karbonisasi yang sudah teruji dan kapasitas tinggi seluruh tunggak tersebut bisa diolah dan bernilai ekonomi. Dengan volume limbah tunggak akasia yang sangat banyak tersebut maka produksi arang juga bisa berkesinambungan, sama seperti produksi kayu akasia dari hutan akasia tersebut. Menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan berkesinambungan adalah suatu upaya positif yang sejalan dengan bioeconomy dan kesejahteraan masyarakat. Arang kayu yang dihasilkan dengan teknologi tersebut juga berkualitas tinggi, bahkan dengan fixed carbon lebih dari 82% melampaui standar yang dibuat Eropa NF EN 1860-2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...