Jumat, 13 November 2020

Meningkatkan Produksi Biogas Dengan Briket Biomasa

 

Seperti halnya arang aktif yang memiliki pori-pori jauh lebih banyak dibandingkan arang biasa, atau satu sendok arang aktif diperkirakan memiliki luas permukaan seperti luasnya lapangan bola. Dengan luasnya permukaan tersebut maka arang aktif dapat menjerap (adsorpsi) molekul-molekul jauh lebih banyak dengan dibandingkan arang biasa. Hal itulah yang memubuat arang aktif (activated carbon) digunakan oleh banyak industri, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Proses aktivasi adalah proses untuk membuat atau membuka pori-pori arang sehingga memiliki luas permukaan yang besar. Demikian juga dengan proses pembriketan biomasa, akibat tekanan kuat dan suhu tinggi dari proses pembriketan dengan press mekanik maka pori-pori mikro dari biomasa akan terbuka. Terbukanya pori-pori biomasa tersebut akan meningkatkan daya penjerapannya. Ternyata menurut penelitian di Universitas Aarhus Denmark penggunaan briket biomasa khususnya briket jerami telah mampu meningkatkan produksi biogas secara signifikan. Setiap 1 ton briket jerami yang ditambahkan telah menambah produksi biogas rata-rata sebesar 400 meter kubik. Dengan nilai kalori biogas sekitar 4500 kcal/m3 maka setiap ton penambahan briket jerami akan menambah kalori sebesar 1.800.000 kcal dalam bentuk biogas.

Penelitian tersebut dilakukan pada unit biogas jenis reaktor alir tangki berpengaduk (RATB) sehingga upaya memaksimalkan campuran substrate dari biogas dilakukan secara mekanik. RATB untuk produksi biogas juga masih jarang ditemui di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara saat ini, tetapi umum di Eropa. Penambahan briket ke dalam reaktor biogas tersebut juga berarti menambah bahan organik sebagai bahan baku produksi biogas. Tetapi dengan bentuk briket tersebut yang memiliki kemampuan menjerap air jauh lebih banyak atau 10 kali lipat dari jerami curah tanpa dibriket yang mengakibatkan mikroba juga jauh lebih banyak melakukan penetrasi melalui pori-pori mikro briket jerami tersebut akibatnya proses fermentasi semakin sempurna. Berdasarkan percobaan tersebut bahwa produksi biogas mencapai tingkat optimum pada penambahan 10% briket jerami terhadap volume reaktor. Penambahan briket jerami hingga 10% tersebut ternyata juga tidak mengganggu kinerja motor pengaduk dan briket jerami tersebut karena pori-pori mikronya menjerap air secara maksimal juga tidak membuat material mengambang yang menutup permukaan dalam reaktor tersebut. 

Bagi pabrik-pabrik biogas di Indonesia khususnya Asia Tenggara pada umumnya khususnya yang menggunakan RATB untuk produksi biogas tentu saja hal tersebut di atas bisa sebagai referensi dan panduan untuk uji coba meningkatkan produksi biogas dengan penambahan briket biomasa. Pada kasus di atas jerami yang digunakan di Denmark menggunakan jerami dari tanaman gandum karena memang melimpah ketersediaannya di sana, sedangkan di Indonesia dan Asia Tenggara jerami dari tanaman padi banyak tersedia. Sifat-sifat jerami gandum dan jerami padi banyak kemiripannya sehingga diprediksi juga akan menghasilkan volume biogas yang hampir sama. Tetapi jika unit biogas tersebut misalnya di pabrik-pabrik sawit maka sumber biomasa seperti mesocarp fiber, tandan kosong dan daun sawit bisa digunakan sebagai bahan baku briket tersebut. Unit biogas yang umum digunakan di pabrik-pabrik sawit di Indonesia dan Asia Tenggara dengan menggunakan bahan baku limbah cair pabrik sawit adalah covered lagoon yang tidak dilengkapi pengaduk. Untuk jenis reaktor seperti ini salah satu upaya meningkatkan produksi biogas adalah dengan dengan membuat kondisi operasinya thermophilic. Panas dari pembangkit listrik biogas bisa dimanfaatkan untuk mencapai suhu tersebut. Apakah briket biomasa bisa meningkatkan produksi biogas pada jenis reaktor covered lagoon? Jawabannya masih butuh penelitian lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...