Senin, 21 Desember 2020

Produksi Pellet atau Briquette Enceng Gondok ?

Biomass Briquette

Wood pellet

 
Keterserapan pasar atau adanya pembeli terhadap produk yang dihasilkan sangat penting bagi suatu produksi. Produk-produk tertentu sangat dibutuhkan karena bisa dikatakan adalah kebutuhan pokok seperti pangan, energi dan sebagainya. Bahan bakar biomasa adalah bahan bakar atau sumber energi terbarukan yang semakin hari semakin dicari dan dibutuhkan terutama oleh kalangan industri. Pellet dan briquette adalah produk pemadatan biomasa (biomass densification) dengan penggunaan terutama sebagai bahan bakar atau sumber energi. Dengan pemadatan tersebut maka handling, penyimpanan, transportasi dan penggunaan menjadi lebih mudah, murah dan aman. Enceng gondok seperti sudah diketahui bersama adalah gulma perairan yang banyak merugikan lingkungan, tetapi bagaimana memanfaatkan limbah tersebut sehingga bermanfaat atau meminimalisir dampak lingkungannya ? Apakah pemadatan menjadi pellet atau briquette suatu solusi efektif ? Dan mana yang terbaik dibuat pellet ataukah briquette ? 

Enceng gondok bisa dikatakan gulma air yang paling invasive di dunia saat ini. Sejumlah kerugian terkait merajalelanya enceng gondok adalah nyata dan berdampak besar serta sudah dialami oleh banyak negara-negara di dunia. Secara umum kerugian atas gulma air enceng gondok tersebut berdampak besar pada sektor lingkungan, kesehatan, transportasi, energi dan  ekonomi. Lebih detail diantaranya : 

a. Pendangkalan daerah perairan baik sungai, danau, telaga dan sebagainya. Pendangkalan menyebabkan volume dan debit air berkurang. Berkurangnya volume dan debit tentu berdampak serius bagi yang menggunakan perairan tersebut sebagai sumber irigasi pertanian, pembangkit listrik tenaga air, sumber air minum, air untuk proses di industri dan sarana transportasi. 

b. Akar enceng gondok yang lebat selain akan menghambat aliran air sehingga sejumlah sampah-sampah atau limbah organik berkumpul di lokasi tersebut. Selain itu akar enceng gondok yang menyerap nitrogen di atmosfer akan membuat ikan-ikan dan sejumlah biota air terganggu, karena suplai oksigen terganggu. Sumber protein berupa ikan-ikan tersebut juga akan berkurang drastis. Lokasi tersebut juga menjadi sumber penyakit seperti sarang nyamuk dan juga rumah bagi ular-ular berbisa. 

c. Perairan yang telah tertutup enceng gondok juga tidak bisa digunakan sebagai sarana transportasi dan media budidaya perikanan. Sektor pariwisata yang memanfaatkan perairan tersebut akan menurun dan berhenti. 

d. Dengan volume dan debit normal seharusnya perairan tersebut juga bisa mengendalikan air dan kontrol banjir yang sewaktu-waktu bisa datang, tetapi dengan semakin dangkal, bahkan perairan tersumbat menjadi buntu dan permukaan perairan tertutup enceng gondok tersebut maka volume dan debit yang bisa dikontrol semakin kecil, akibatnya menimbulkan dampak banjir di sejumlah tempat. 

e. Penguapan air akibat perairan tertutup juga semakin tinggi (evapotranspiration). Sejumlah studi menyatakan tanaman enceng gondok mengakibatkan penguapan air tinggi yakni sekitar 3 kali perairan normal terbuka. Danau atau waduk sebagai sumber air juga akan terdampak karena turunnya volume air akibat tingginya penguapan tersebut. Selain itu juga akan menurunkan jumlah cahaya dalam perairan yang menyebabkan rendahnya kadar kelarutan oksigen. Hal ini berpengaruh pada berlangsungnya kehidupan mahluk (biota perairan atau keanekaragamanan hayati) yang ada di dalam air.

Enceng gondok telah menjadi masalah global yang terjadi di lima benua dengan lebih dari 50 negara mengalaminya. Afrika dan Asia Tenggara khususnya paling parah terdampak hal tersebut. Mesir, Ghana, Nigeria, Ethiophia, Uganda, Senegal adalah sejumlah negara di Afrika yang mengalami masalah enceng gondok terparah. Seperti danau terbesar kedua di Afrika, danau Victoria di Uganda, Afrika Timur juga telah dipenuhi oleh enceng gondok tersebut. Sedangkan di Afrika Utara problem paling serius di Mesir yakni di lembah-lembah sungai Nil. Demikian juga di Eropa, yakni lembah sungai Guadiana di Spanyol. Demikian juga di daerah delta Godavari dan sungai Brahmaputra di India. Termasuk juga di negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. 

Peta distribusi serangan enceng gondok secara global

Peta distribusi serangan enceng gondok di Amerika Serikat

 
Peta distribusi serangan enceng gondok di kepulaian Hawaii, Amerika Serikat
 
Peta distribusi serangan enceng gondok di China. Warna hitam paling parah.
 

Pada awalnya enceng gondok yang berasal dari sungai Amazon, Brazil ini dipopulerkan pada pertengahan abad 19 sebagai tanaman hias dengan bunganya yang indah. Tetapi tidak berselang lama setelah itu ternyata enceng gondok telah menjadi gulma perairan terganas yang pernah ada. Tahun-tahun 80an adalah tahun-tahun sejumlah negara mulai menyadari permasalahan enceng gondok tersebut. Kasus serupa seperti pada keong mas, hewan ini pada awalnya juga merupakan serupa ikan hias di aquarium. Tetapi setelah terjadi kebocoran, telur-telur keong mas menetas di perairan-perairan dan sekarang keong mas juga merupakan hama perairan yang mengganggu. Memang pada awalnya hal tersebut terjadi tidak disadari ataupun diantisipasi sebelumnya, hingga ketika dampak masalahnya membesar dan bahkan membahayakan maka kesadaran tersebut mulai tumbuh. Kasus-kasus tersebut diatas seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga sehingga tidak terulang lagi pada masa mendatang. 

Pellet enceng gondok produksi PT Sido Muncul, photo dari sini

Duta Besar Ethiopia untuk Indonesia Admasu Tsegaye saat bertemu dengan Direktur Sido Muncul Irwan Hidayat, Photo dari sini
Sejumlah ahli dan specialist terkemuka dalam gulma perairan seluruh dunia juga telah mendiskusikan dan mencoba berbagai upaya penanggulangannya. Sejumlah kerangka kerja (framework) dan rencana aksi (action plan) telah dirumuskan hingga diimplementasikan di lokasi-lokasi tersebut. Tetapi masalah enceng gondok belum bisa dipecahkan secara tuntas dan permanen. Enceng gondok juga bisa menjdi indikator tingkat ketercemaran air atau aktivitas eutrofikasi, yang menjadi indikasi dari tercemarnya lahan perairan, oleh deterjen dan sejenisnya, pada kondisi normal pertumbuhan enceng gondok membutuhkan sekitar 52 hari sedangkan pada kondisi perairan tercemar menjadi kurang dari separuhnya, yakni 22 hari saja. Karakteristik tumbuhan yang bisa sangat mudah berkembang biak dan bijinya bertahan puluhan tahun tersebut memang sangat sulit diberantas habis bahkan dikatakan mustahil.


Tetapi memaksimalkan upaya sehingga enceng gondok menjadi terkontrol kelihatannya lebih realistis. Kecepatan memberantas enceng gondok juga harus lebih cepat daripada kecepatan perkembangbiakkannya. Dan bisa jadi pemberantasan tersebut dilakukan dengan beberapa metode kombinasi sehingga hasilnya efektif. Kombinasi metode secara fisika/mekanik (ekscavator long arm/short arm, dredger/kapal keruk multifungsi, truxor, harvester berky, dump truk, amphibious Long Arm, tugboat, dan ponton), biologi (predator dan hama enceng gondok) dan bahkan kimia (seperti penggunaan 2,4-Dimethyl Amine 58% - dosis 4 kg/ha) bisa dilakukan untuk upaya tersebut.

Berdasarkan fungsi-fungsi strategis perairan khususnya danau yang banyak terdapat di Indonesia, maka penanggulangan hama enceng gondok menjadi prioritas nasional apalagi sebagian besar serangan encek gondok bahkan telah mencapai 70% dari permukaan perariran tersebut. Diantara danau-danau yang menjadi prioritas tersebut adalah danau Toba, Maninjau, Kerinci, Jampang, Rawa Pening, Limboto, Tondano, Tempe, Poso, dan Sentani. Indikasi tingkat kekritisan dan urgensi dari danau-danau tersebut adalah beberapa bisa berubah menjadi daratan apabila tidak segera ditangani. Selain itu di Indonesia, masalah enceng gondok juga menjadi masalah bersama lintas departemen atau kemetrian seperti Lingkungan Hidup (LH), PUPR (Bidang Sungai Danau Embung Ditjen Sumber Daya Air), Perikanan dan Kelautan, Pertanian, dan Kesehatan, sedangkan untuk level global Food and Agriculture Organization (FAO) adalah salah satu lembaga yang juga menangani masalah ini. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masalah enceng gondok bukanlah masalah yang sederhana dan mudah untuk ditangani. 

Dengan produktivitas enceng gondok mencapai 300 ton/hektar/tahun maka kecepatan tinggi diperlukan untuk mereduksi penyebaran gulma perairan tersebut. Misalkan dengan kecepatan pembersihan enceng gondok 8 hektar/hari dengan luas danau 2000 hektar, maka setiap hari dihasilkan 2.400 ton enceng gondok basah, dan setiap bulan 200 hektar area enceng gondok dibersihkan atau 2400 hektar per tahun yang berarti secara periodik pertumbuhan enceng gondok terus terkontrol dengan baik. Dengan kadar air enceng gondok mencapai 80% maka ketika akan dipadatkan dengan cara dibriket atau dipellet maka perlu dikeringkan menjadi sekitar 10% kadar air. Setiap ton basah enceng gondok akan dihasilkan kurang lebih 300 kg enceng gondok atau berarti dengan kecepatan pembersihan di atas didapat 720 ton/hari enceng gondok kering atau dengan kadar air 10%. Sisa air yang dipisahkan atau dibuang setiap ton enceng gondok mencapai 700 kg setiap ton atau 1.680 ton/hari. Limbah cair yang besar kemungkinan banyak atau kaya mengandung zat-zat organik tersebut juga potensial dikembangkan menjadi biogas. Kebutuhan energi memang sangat besar, ditambah lagi penggunaan energi terbarukan khususnya berbasis biomasa terus didorong. Dengan produksi briket biomasa seperti di atas yakni 720 ton per hari atau 18.000 ton/bulan atau 216.000 ton/tahun maka tentu itu jumlah yang cukup besar untuk mengganti penggunaan bahan bakar fossil seperti batubara, minyak dan gas.

Industrial Briquette, Puck Shape
Walaupun kedua macam produk bahan bakar baik pellet dan briket bisa dihasilkan dari limbah enceng gondok tersebut, yang mana juga bisa tergantung permintaan dari pengguna produk tersebut. Tetapi secara teknis produksi briket memang lebih mudah dan murah dibandingkan dengan pellet. Tingkat kepadatan (density) briket juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan demikian juga ukuran briket tersebut. Ukuran partikel dan kadar air pada pembriketan juga lebih longgar dibandingkan pellet, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Bahkan limbah-limbah organik berupa endapan (sludge) dari akar dan daun enceng gondok di dasar perairan bisa diambil untuk di briket. Briket sludge tersebut dengan kandungan asam humat dan fulfat tersebut nantinya bisa sebagai pupuk organik. Preparasi untuk produksi pellet dan briket sebenarnya juga bisa dikatakan hampir sama, seperti pengecilan ukuran (size reduction / down sizing), ekstraksi mekanik untuk memisahkan air, pengeringan hingga kadar air 10% dan terakhir pemadatan (biomass densification) tersebut. 

Sludge briquette
Selain sejumlah faktor merugikan di atas ternyata ada sejumlah manfaat lingkungan yang juga bisa didapatkan dari tumbuhan enceng gondok tersebut yakni membersihkan air tercemar (phytoremediation) seperti menurunkan COD, menaikkan pH, menyerap nitrogen dan fosfor dari air limbah. Memaksimalkan manfaat dan meminimalisir kerugian adalah upaya pendekatan dalam mengatasi enceng gondok tersebut. Dengan pola tersebut enceng gondok harus terus dibatasi populasinya sehingga terjadi keseimbangan lingkungan yang baik. Dengan analisa statistik yang komprehensif dan akurat bisa dikaji secara mendalam pemanfaatan enceng gondok sebagai bahan bakar baik briket maupun pellet tersebut. Beberapa hal yang bisa dibandingkan adalah produksi ikan sebelum dan sesudah enceng gondok, demikian juga pada kapasitas pembangkit listrik, pariwisata dan sebagainya. Kompensasi keuntungan ekonomi yang sepadan (worth it) bisa menjadi daya dorong upaya pemanfaatan enceng gondok tersebut sehingga misi utama penyelamatan lingkungan akibat gulma air enceng gondok tersebut benar-benar bisa tercapai sesuai tujuan yang diharapkan. Keseimbangan faktor ekonomi dan lingkungan dengan produksi briket atau pellet berkesinambungan (sustainable) diharapkan menjadi solusi menarik dan efektif untuk mengontrol perkembangan enceng gondok tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...