Jumat, 07 Mei 2021

Integrasi Pirolisis dengan Industri Cocopeat dan Cocofiber

Tingginya permintaan cocofiber dan cocopeat dunia yang mencapai ribuan kontainer per tahun seharusnya merupakan suatu peluang emas dan daya dorong bagi industri perkelapaan Indonesia. Ada sejumlah keunggulan potensi Indonesia yang semestinya bisa terdepan untuk menangkap dan menggarap peluang tersebut. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain dari 196 negara di dunia, hanya 8 negara yang menguasai 90% kebutuhan kelapa dunia, Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa terluas di dunia yakni sekitar 3,8 juta hektar dengan produksi lebih dari 15 milyar butir kelapa setiap tahunnya, dan posisi geografis yang strategis. Hal ini juga menjadi alasan mengapa ICC (International Coconut Community) atau lembaga internasional yang beranggotakan negara-negara produsen kelapa berkantor pusat di Jakarta, Indonesia. Pulau Sumatera adalah sentra perkebunan kelapa terluas di Indonesia khususnya kabupaten Indragiri Hilir di provinsi Riau, selanjutnya pulau Sulawesi, Jawa, Maluku dan Papua, Nusa Tenggara dan Bali serta Kalimantan. Kondisi saat ini walaupun dengan sejumlah keunggulan diatas dan kualitas sabut kelapa Indonesia berkualitas tinggi serta harga sabut tersebut murah, tetapi ternyata masih kurang dari 5% kebutuhan cocofiber dan cocopeat dunia disupplai oleh Indonesia. 

Untuk menangkap peluang tersebut tentu tidak bisa hanya mengandalkan potensi saja, tetapi juga teknologi produksi yang efektif dan efisien. Salah satu kendala utama peningkatan kapasitas produksi cocofiber dan cocopeat adalah aspek pengeringan. Produksi cocofiber dan cocopeat bisa digenjot sedemikian rupa jika aspek pengeringan yang efisien bisa dilakukan. Dan untuk pengeringan tersebut energi panas mutlak dibutuhkan. Energi panas tersebut bisa didapatkan dengan murah dari excess energy proses pyrolysis. Selain menghasilkan produk utama berupa biochar, excess energy dari proses pyrolysis bisa diandalkan untuk sumber energi atau sumber panas industri pengolahan sabut Kelapa tersebut. Tipe pengering tertentu sesuai karakteristik material yang dikeringkan tersebut juga harus digunakan. Dengan alat pengering modern seperti belt dryer, tray dryer dan drum dryer maka selain kapasitas pengeringan akan tinggi juga kualitas produknya akan standard dan stabil. 

Sedangkan untuk proses pyrolysis dibutuhkan bahan baku berupa limbah-limbah biomasa yang banyak tersedia di lokasi tersebut, bahkan limbah biomasa tersebut bisa bervariasi sesuai dengan ketersediaannya yang kadang tergantung musim. Dalam kasus tertentu pyrolysis juga sangat mungkin diintegrasikan dengan industri kelapa terpadu, sehingga tempurung kelapa menjadi bahan bakunya. Sedangkan apabila lokasi perkebunan kelapa tidak berjauhan dengan perkebunan kelapa sawit maka limbah-limbah biomasa dari perkebunan atau pabrik sawit bisa digunakan untuk pyrolysis tersebut. Bahkan seperti batang sawitnya jika tidak dimanfaatkan dan hanya ditinggalkan membusuk di kebun malah mengundang serangga yang mengganggu kebun kelapa, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Integrasi industri pyrolysis dan pengolahan sabut kelapa tersebut selain mengurangi polusi lingkungan akibat limbah biomasa juga menjadi solusi untuk industri sabut kelapa. Hubungan kedua industri harus saling menguntungkan yakni industri pyrolysis bisa menjual excess energy-nya dengan harga kompetitif dan industri sabut kelapa bisa meningkatkan produksinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...