Sabtu, 30 Oktober 2021

Pohon Nyamplung dan Pohon Kelapa

Pohon nyamplung dan pohon kelapa memiliki persamaan yakni dapat tumbuh dengan baik di area pesisir pantai, semua bagian pohonnya bisa dimanfaatkan dan berbuah sepanjang tahun. Dengan panjang garis pantai Indonesia mencapai 99.093 km maka sangat potensial untuk mengembangkan kedua tanaman tersebut. Pohon nyamplung dengan minyaknya yang tidak bisa untuk pangan (non-edible oil) tetapi produktivitasnya hampir menyamai minyak sawit atau CPO maka sangat potensial untuk produksi biodiesel. Padahal pohon sawit adalah produsen minyak nabati terbanyak. Mengapa tidak produksi biodiesel dari jarak pagar ? Untuk lebih detail jawabannya dibaca disini. Sedangkan pohon kelapa yang sudah sangat terkenal sebagai tanaman multi-manfaat tentu sangat strategis dan potensial untuk dikembangkan, apalagi saat ini populasi pohon kelapa terus menurun akibat rendahnya peremajaan kembali (replanting) kebun-kebun kelapa tua. Tidak seperti pohon nyamplung semua hasilnya bukan produk pangan, produk olahan kelapa banyak berupa produk pangan. Kebutuhan produk pangan dari olahan kelapa terus meningkat seiring meningkatnya populasi jumlah penduduk. Issue pangan dan energi juga sekaligus bisa diatasi dengan kedua tanaman tersebut. 

 

Produktivitas nyamplung sekitar 30 tahun sedangkan kelapa lebih lama yakni mencapai sekitar 80 tahun. Kayu pohon nyamplung memiliki nilai ekonomis tinggi demikian juga pohon kelapa. Ketika masa produktif kedua tanaman itu terus menghasilkan buah dan ketika produktivitasnya turun atau berhenti maka kayunya menjadi produk pamungkas yang bernilai ekonomis tinggi. Apabila dibandingkan dengan pohon sawit ketika usia produktivitasnya habis maka kayu atau batangnya pada umumnya masih menjadi masalah bahkan tidak sedikit yang hanya ditinggal begitu saja di kebun karena tidak ekonomis untuk diolah lanjut, lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan pada kayu-kayu kehutanan lainnya biasanya membutuhkan waktu puluhan tahun sebelum bisa dipanen dan tidak ada hasil lain selain kayu tersebut. Tentu saja hal ini cukup berat secara ekonomi bahkan kadang tidak layak.

Photo diambil dari sini

Pohon nyamplung dan pohon kelapa juga mudah dan murah dalam perawatan, tidak seperti pohon sawit yang butuh air dan pupuk yang banyak. Keduanya juga mendukung agroforestry di pesisir pantai, selain juga sebagai wind breaker dari angin laut. Hal tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah pesisir, bahkan juga menjadi destinasi wisata. Lebih jauh untuk sistem agroforestri salah satunya dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni menjadi fungsi produksi dan fungsi perlindungan. Fungsi produksi misalnya produksi pangan, pakan, bahan bakar seperti biodiesel ini, serat, kayu dan lain-lain. Sedangkan fungsi perlindungan seperti pencegahan dari kerusakan sumber daya lingkungan dan sekaligus pemeliharaan sistem produksi seperti tanaman pagar, penahan air, pencegah kebakaran, konservasi tanah dan air. 

Pemilihan jenis tanaman merupakan hal sangat penting dalam pembuatan pola agroforestri, karena kesalahan yang terjadi akan berdampak panjang dan merugikan. Jenis yang cocok bukan hanya dari segi pertumbuhan, nilai ekonomi dan kemampuan adaptasi pada lingkungan tertentu, tetapi juga kemampuannya membentuk struktur tumbuh yang ideal saat tumbuh berkembang bersama jenis lain pada lahan yang sama. Pemilihan jenis ini sangat tergantung pada keinginan pemilik lahan, kondisi tempat tumbuh, nilai ekonomi dan kemudahan budidaya. 

Jumat, 15 Oktober 2021

Peternakan Ruminansia Sebagai Solusi Tebang Butuh Pada Hutan Rakyat

 

Rata-rata petani hutan rakyat hanya memiliki lahan sempit untuk tanaman kayu kehutanannya, hal ini membuat sulit bagi mereka yang mengandalkan kayu kehutanan tersebut untuk kehidupan harian mereka. Tanaman kayu kehutanan memiliki siklus panjang bahkan untuk spesies tanaman tertentu hingga puluhan tahun. Ketika terjadi kebutuhan mendesak misalnya anak mau masuk sekolah, pernikahan anaknya, dan sebagainya maka tanaman kayu tersebut ditebang walaupun sebenarnya memang belum waktunya, yang biasa dikenal dengan tebang butuh. Selain kualitas kayu bulat (log) yang dihasilkan juga rendah, termasuk harga jualnya demikian juga dengan kuantitas/produktivitasnya. Industri kehutanan dengan kapasitas terpasangnya membutuhkan pasokan kayu bulat jumlah besar dan kualitas standar. Praktek tebang butuh tersebut sebisa mungkin dihindari atau diminimalisir sehingga manfaat optimal akan dirasakan semua pihak, baik petani hutan rakyat maupun industri kehutanan.

Untuk mengatasi masalah kehidupan harian ataupun kebutuhan mendesak tersebut peternakan ruminansia bisa sebagai solusinya. Lahan di sekitar pohon utama bisa sebagai tempat gembalaan dan tanaman legum sebagai tanaman pagar sebagai sumber hijauan. Ketika pohon utama tersebut misalnya sengon masih muda, sejumlah tanaman seperti sayuran dan empon-empon masih bisa ditanam dan memberi hasil baik. Tetapi ketika pohon utama tersebut cukup besar maka tanaman-tanaman tersebut tidak tahan terhadap naungan, sehingga budidayanya selain tidak efektif malah bisa merugi. Tanaman pagar jenis legum seperti kaliandra, gamal/gliricidia dan indigofera bisa ditanam sebagai sumber pakan ternak ruminansia (domba, kambing, sapi atau kerbau). 


Siklus peternakan ruminansia tersebut lebih cepat dibandingkan dengan pohon-pohon kehutanan tersebut. Jenis usaha peternakan yang bisa dilakukan seperti pembibitan (breeding), penggemukan (fattening), produksi susu (milking) bahkan perdagangannya (trading). Walaupun peluang eksport terbuka khususnya domba dan kambing, tetapi pasar dalam negeri juga besar. Sebagai contoh Yogyakarta membutuhkan sampai dengan 4000 ekor domba setiap bulannya khususnya untuk klaster warung sate di jalan Imogiri timur, Yogyakarta. Belum lagi untuk pasar di Jabodetabek dan aqiqah. Sedangkan daging sapi, Indonesia juga masih kekurangan, yang saat ini disuplai daging kerbau dari India yang porsinya mencapai hampir 60% kebutuhan nasional. Peternakan seperti ini bisa menjadi solusi jitu masalah tebang butuh yang menghambat perkembangan hutan rakyat saat ini. Luas hutan rakyat juga tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan di beberapa daerah luas hutan rakyat lebih besar daripada hutan negara. Secara nasional hutan rakyat Indonesia diperkirakan seluas 35 juta hektar, sedangkan hutan negara mencapai 128 juta hektar. 

Sabtu, 02 Oktober 2021

Biochar dan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara

Reklamasi lahan bekas tambang batubara adalah kewajiban pengusaha tambang tersebut, tetapi sering kali hal ini tidak dilakukan dengan baik karena berbagai hal. Hal-hal tersebut terutama karena penegakan aturan yang lemah dan sanksi yang ringan. Dengan luas lahan bekas tambang batubara yang telah mencapai jutaan hektar dan perlu upaya reklamasi tersebut tetapi realisasi di lapangan masih sangat minim membuat kerusakan lingkungan juga semakin besar. Hal yang bisa mendorong upaya perbaikan lahan bekas tambang batubara tersebut adalah faktor keuntungan atau ekonomi yang bisa didapat. Artinya jika upaya reklamasi tersebut juga membawa keuntungan ekonomi -selain manfaat lingkungan, tentu saja- maka para pengusaha batubara tersebut tentu juga dengan senang hati melakukannya. Lantas aktivitas apakah itu ?

Photo dari sini
Setelah deposit batubara diambil, maka lapisan tanah atas (top soil) seharusnya dikembalikan lagi di lahan tersebut. Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kualitas tanah tersebut sehingga bisa digunakan untuk ditanami berbagai tanaman. Dengan perbaikan kualitas tanah maka selain kesuburan tanah bisa dikembalikan bahkan ditingkatkan, juga termasuk mengisolasi (immobilisasi) sejumlah unsur berbahaya dari lahan bekas tambang batubara tersebut. Membuat aktivitas bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan adalah langkah selanjutnya. Tanah yang sudah diperbaiki tersebut selanjutnya bisa ditanami dan tanaman jenis legum adalah pilihan terbaik, hal ini karena tanaman jenis legum selain tipe tanaman perintis dengan kemampuan bertahan hidup tinggi, akarnya kuat dan dalam sehingga mencegah erosi, bintil akar dari simbiosis azetobacter dengan mengikat nitrogen dari atmosfer yang menyuburkan tanah juga memberikan banyak manfaat lainnya. Usaha peternakan ruminansia adalah aktivitas bisnis tersebut yang menguntungkan dan berkelanjutan, karena terutama memanfaatkan daun dari tanaman legum tersebut sebagai sumber pakan. Kotoran ternak tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk semakin memperbaiki kesehatan dan kualitas tanahnya sehingga kesuburan tanah terus meningkat dan terjaga. Kayu dari kebun legum tersebut juga bisa dimanfaakan untuk produksi, briket, briket arang bahkan wood pellet.

Sebagai hal mendasar dan entry point untuk usaha di atas adalah perbaikan kualitas lahan atau tanah bekas tambang batubara tersebut. Ada sejumlah cara bisa dilakukan untuk hal tersebut, tetapi penggunaan biochar adalah salah satu opsi terbaik. Dengan biochar tidak hanya meningkatkan pH atau keasaman tanah sehingga nutrisi akan banyak terserap oleh tanaman dan aktivitas mikroba tanah untuk mengurai bahan organik semakin aktif, tetapi juga mampu menyerap sejumlah unsur kimia berbahaya di tanah, meningkatkan karbon organik tanah yang mampu bertahan ratusan tahun dan juga menyerap gas rumah kaca dari atmosfer. Biochar tersebut bisa dibuat dari sejumlah limbah pertanian, kehutanan dan agroindustri, seperti potongan-potongan kayu dari penebangan hutan maupun dari limbah pabrik sawit seperti tandan kosong dan fiber. Sejumlah daerah di Kalimantan selain kaya dengan deposit batubara dan juga saat ini banyak lahan bekas tambang tersebut terbengkalai juga banyak bahan biomasa seperti limbah hutan dan limbah pabrik sawit tersebut untuk produksi biochar.  


 

Dalam rangka penurunan emisi CO2 di atmosfer, biochar juga mampu menyerap CO2 dari atmosfer (carbon sequenstration) dan merupakan skenario carbon negative. Biochar yang diaplikasikan di tanah tersebut merupakan carbon sink, sebagai salah satu opsi dari carbon credit selain carbon offset. Dalam era dekarbonisasi saat ini upaya menurunkan kadar CO2 di atmosfer adalah hal penting. Di Indonesia dengan masih banyaknya lahan hutan maka carbon credit bisa didapat dari penyerapan CO2 dengan pohon-pohon di hutan tersebut, sehingga hutan sebagai carbon sink juga. Tetapi di negara lain yang penggunaan energi fosilnya sangat besar atau masif, maka mereka harus mengurangi dampak buruk iklim akibat pembakaran bahan energi fosil khususnya batubara. Mereka bisa saja membeli carbon credit pada aplikasi biochar ini.

Batubara adalah energi fosil yang paling banyak digunakan untuk pembangkit listrik di dunia saat ini dan Indonesia adalah salah satu produsen batubara tersebut. Walaupun dalam beberapa waktu ke depan penggunaan batubara ini akan dikurangi dan bahkan di sejumlah negara akan dihentikan sama sekali, tetapi dampak buruk dari pertambangan batubara ini masih banyak, merusak bahkan membahayakan lingkungan. Hal ini menjadi urgensi untuk melakukan perbaikan lahan atau tanah bekas tambang tersebut yang diperkirakan mencapai 8 juta hektar di Indonesia. Di satu sisi pembangkit listrik batubara bisa saja membeli carbon creditnya untuk aplikasi biochar seperti skema di atas. Pabrik sawit di lain sisi juga banyak menghasilkan limbah padat khususnya tandan kosong yang bisa dmanfaatkan untuk produksi biochar tersebut. Perusahaan-perusahaan besar tersebut bisa saja berkolaborasi untuk mengatasi masalah iklim akibat meningkatnya konsentrasi CO2 di amosfer ini. Sampai hari ini dilaporkan dari observatorium Mauna loa, di Hawaii, Amerika Serikat bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer telah melebihi 400 ppm atau masih terjadi kenaikan sekitar 2 ppm setiap tahunnya, padahal target global menurun konsentrasi itu menjadi 350 ppm saja.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...