Selasa, 29 Maret 2022

Domba-Sawit Menyusul Sapi-Sawit

Pada tahun 2050 populasi penduduk bumi diperkirakan mencapai 9 milyar manusia. Kebutuhan pangan khususnya protein juga pasti akan meningkat. Dengan jumlah populasi manusia mencapai 9 milyar tersebut kebutuhan protein diperkirakan mencapai 250 juta ton per tahunnya atau 50% lebih banyak dari produksi protein hari ini. Serangga adalah kandidat kuat untuk mencapai target kebutuhan protein, yang aplikasinya bisa untuk pakan dan pangan. Promosi sumber protein dari serangga tersebut dilakukan oleh sejumlah negara di Eropa. Kelebihan serangga sebagai sumber protein terutama karena dengan jumlah pakan lebih sedikit serangga tersebut dapat menghasilkan jumlah protein yang sama dengan peternakan tradisional. Menurut FAO, serangga sejenis jangkrik butuh pakan enam kali lebih sedikit daripada sapi, empat kali lebih sedikit daripada domba, dan dua kali lebih sedikit dari babi dan ayam broiler untuk menghasilkan jumlah protein yang sama.

Jenis serangga yang diijinkan untuk dikembangbiakkan oleh komisi Eropa untuk maksud tersebut meliputi hanya 7 spesies serangga yakni 3 jenis jangkrik, 2 jenis ulat dan 2 jenis lalat. Sejumlah perusahaan peternakan serangga (produsen serangga) juga banyak bermunculan di Eropa dan diperkirakan dua pertiga serangga tersebut untuk pakan ternak dan sepertiganya untuk pangan atau konsumsi manusia. Protein adalah salah satu unsur penting dalam pangan manusia. Islam mengatur masalah pangan atau makanan ini, sehingga hanya makanan halal yang bisa dikonsumsi oleh muslim di seluruh dunia. Dan akan lebih baik lagi adalah kelompok makanan yang halalan thayibban. Makan serangga seperti jangkrik tersebut sebaiknya dihindari oleh Muslim dan mengupayakan pangan atau makanan lebih baik seperti domba, kambing dan sapi. 

Dalam rangka memenuhi kebutuhan protein tersebut ada sejumlah cara bisa dilakukan untuk antisipasi kebutuhan yang terus meningkat. Indonesia adalah pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas mencapai lebih dari 15 juta hektar atau lebih dari satu setengahnya pulau Jawa dan ini bisa jadi potensi besar apabila bisa memanfaatkannya. Integrasi peternakan sapi di perkebunan sawit telah banyak dilakukan dan hal tersebut bisa dioptimalkan dengan integrasi domba-sawit. Bahkan kedua aktivitas tersebut bisa saling melengkapi karena kedua aktivitas tersebut tidak dilakukan bersamaan pada kebun sawit yang sama. Ketika kebun sawit dilakukan replanting (peremajaan tanaman) maka pada umur pohon sawit kurang dari 3,5 tahun, sapi tidak bisa digembalakkan di lahan tersebut dan lahan yang sama bisa digunakkan untuk peternakan atau penggembalaan domba. Replanting (peremajaan tanaman) kebun sawit tersebut dilakukan secara bergiliran di area kebun sawit, sehingga peternakan atau penggembalaan domba juga mengikutinya.

Domba adalah makanan yang halalan thayibban bahkan digunakan dalam ibadah yakni untuk aqiqah dan qurban. Produksi protein berbasis domba ini tentu sangat dianjurkan sehingga selain memenuhi kebutuhan protein dalam makanan yang halalan thayibban juga untuk menunjang praktek ibadah tersebut. Dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia dan luasnya perkebunan kelapa sawit, mengusahakan peternakan domba sebagai sumber protein tentu akan jauh lebih baik. Dengan luas kebun kelapa sawit mencapai lebih dari 15 juta hektar maka potensi produksi daging dari domba ini juga sangat besar.

Minggu, 27 Maret 2022

Briket Sekam Padi Ditengah Kondisi Melonjaknya Kebutuhan Bahan Bakar Biomasa

"Briket adalah bahan bakar biomasa yang dipadatkan (densified biomass fuel) sebagai alternatif pellet."

Semakin hari semakin meningkat penggunaan energi biomasa sehingga ini sebagai hal positif yang perlu terus didorong. Peningkatan harga batubara (industri dalam negeri diharga $90) dan akibat pencemaran yang diakubatkan khususnya yang menjadi daya dorong penggunaan energi dari biomasa tersebut. Diantara energi biomasa, wood pellet adalah bentuk bahan bakar biomasa paling populer dan paling banyak digunakan. Penggunaan wood pellet selain digunakan oleh industri-industri pengolahan juga oleh pembangkit listrik. Sejumlah industri menengah kecil seperti pabrik tahu, pabrik kerupuk, dan sebagainya . Wood chip sebagai bentuk lebih sederhana ternyata kurang begitu diminati dibandingkan wood pellet walaupun harga lebih murah. Dengan kepadatan rendah membuat biaya transportnya juga menjadi tinggi, selain itu kadar air wood chip kadang juga kurang terkontrol.

Bentuk briket juga kurang populer dibandingkan wood pellet. Briket bisa juga dikatakan sebagai alternatif pellet. Teknologi pembuatan briket sama seperti wood pellet yakni pemadatan biomasa (biomass densification), bedanya ukuran briket lebih besar dari wood pellet. Tidak seperti wood pellet yang hanya menggunakan teknologi roller press untuk produksinya, untuk briket memiliki beberapa varian teknologi untuk produksinya, untuk lebih detail baca disini. Tetapi di Indonesia baru ada satu tipe briket yakni screw press. Memang dalam banyak hal pembriketan lebih mudah dibandingkan pemelletan. Material biomasa yang sulit dipelletkan biasanya mudah untuk dibriketkan. Type boiler tertentu mungkin juga akan lebih cocok dengan briket, dibandingkan wood pellet, lebih detail baca disini. Sehingga untuk itulah penggunaan briket juga seharusnya semakin didorong penggunaannya. 

Selain limbah kayu, limbah-limbah pertanian juga biomasa potensial untuk bahan bakar. Sekam padi adalah limbah pertanian yang melimpah jumlahnya karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi. Diperkirakan jumlah sekam padi adalah 15 juta ton/tahunnya. Tetapi dengan tingginya kandungan abu dan silikanya, sekam padi ini kurang diminati untuk dibuat pellet karena abrasif sehingga memperpendek umur pakai komponen mesin. Demikian juga untuk dibuat briket, tetapi dengan varian teknologi mechanical press masalah abrasif tersebut bisa diminimalisir. Produksi briket sekam padi dengan teknologi mechanical press ini bisa menjadi solusi pemanfaatan limbah sekam padi tersebut. Di tengah kondisi meningkatnya penggunaan bahan bakar biomasa, briket sekam padi bisa menjadi alternatif berikutnya.

Sabtu, 26 Maret 2022

Sektor Pertambangan dan Reklamasi Pasca Tambangnya

Photo diambil dari sini
Diantara sektor pertambangan, batubara adalah produk pertambangan terbesar di Indonesia bahkan menempati peringkat ketiga untuk level dunia. Pada tahun 2021 produksi batubara tercatat 576 juta ton dan diproyeksikan hanya terjadi sedikit penurunan pada tahun 2024 yakni menjadi 570 juta ton. Batubara ini juga menjadi sumber pendapatan negara terbesar setelah minyak bumi Indonesia sudah tidak bisa mengeksport karena produksi habis untuk konsumsi dalam negeri bahkan kurang sehingga harus menjadi pengimport minyak. Tetapi dalam jangka panjang masa depan batubara suram akibat penggunaannya semakin dibatasi karena masalah iklim. Negara-negara yang meratifikasi kesepakatan Paris telah berkomitmen untuk mengurangi bahan bakar fossil khususnya batubara dengan langkah konkritnya yakni tidak membangun lagi PLTU batubara baru, cofiring dengan energi terbarukan pada PLTU batubara, mengubah menjadi PLTU batubara menjadi 100% PLTU biomasa (fulfiring) dan menutup sejumlah PLTU batubara serta menggantikan ke sumber energi terbarukan lainnya. 

Di sisi lain pasca aktivitas pertambangan tersebut ternyata juga menimbulkan banyak kerusakan lingkungan khususnya tanah atau lahan. Kerusakan tanah tersebut akan memicu terjadinya bencana alam yang membahayakan kehidupan manusia. Jangan sampai aktivitas tambangnya mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alamnya (SDA) tetapi juga meninggalkan kerusakan alam yang tidak kalah parahnya. Tentu kondisi ini sangat buruk sekali. Kewajiban reklamasi juga belum dilakukan dengan baik, banyak bahkan yang tidak melakukannya atau hanya melakukan sekedar simbolis, pencitraan dan formalitas semata sementara tujuan reklamasi sendiri tidak tercapai. Ancaman denda 100 milyar rupiah juga diberlakukan bagi perusahaan yang mengabaikan reklamasi tersebut untuk semakin mendorong kegiatan reklamasi tersebut. 

Menurut Rizal Kasli ketua umum Perhapi (Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia) saat ini ada kendala infrastruktur dan sumber daya (biaya) pada pelaksanaan reklamasi tersebut yakni untuk perusahaan tambang menengah dan kecil, untuk lebih detail baca disini. Artinya untuk perusahaan besar dengan volume produksi tambang yang besar seharusnya tidak ada kendala, tetapi dibutuhkan penegakan aturan yang lebih tegas dan keras, begitu menurut Rizal Kasli. Apabila perusahaan-perusahaan tambang besar melakukan reklamasi dengan benar, tentu ini bagus dan menjadi contoh bagi perusahaan tambang menengah kecil, tetapi bila terjadi sebaliknya maka semakin memperparah kerusakan lingkungan. Kompensasi atau keuntungan dari usaha pertambangannya seharusnya sejalan dan sebanding dengan perbaikan tanah atau lahan pasca tambangnya (reklamasi dan rehabilitasi).

Photo diambil dari sini
Mengapa pada umumnya perusahaan-perusahaan tambang tersebut mengabaikan atau mengesampingkan reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambangnya? Selain aturan yang memang tidak ditegakkan secara tegas, tentu saja masalahnya adalah biaya. Perusahaan tambang harus mengeluarkan banyak biaya untuk reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang tersebut, biayanya tergantung kondisi dan luas lahan . Hal tersebut tentu membebani dan mengurangi keuntungan perusahaan tambang itu sendiri sehingga menimbulkan keengganan. Sehingga kalaupun reklamasi dan rehabilitasi lahan dilakukan maka sifatnya hanya simbolis, pencitraan dan formalitas saja. Hal tersebut bisa dikatakan tidak berdampak atau mencapai tujuan reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang itu sendiri. 

Padahal tujuan reklamasi dan rehabilitasi lahan tersebut salahsatunya sebagai upaya menyiapkan lahan subur untuk masa depan. Lalu bagaimana jika reklamasi tersebut ternyata bisa menjadi suatu aktivitas yang menguntungkan ? Hal ini tentu sangat menarik dan memotivasi perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Proyek reklamasi dan rehabilitasi berbasis bioekonomi akan mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan tambang yang melakukannya. Dengan keuntungan tersebut maka program reklamasi dan rehabilitasi lahan akan bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan, sehingga seluruh area pasca tambang bisa tersentuh. Kami sedang mengembangkan program bioekonomi untuk reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang tersebut, untuk info lebih detail silahkan kontak kami di cakbentra@gmail.com

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...