Sabtu, 06 Mei 2023

Bisnis Berkelanjutan di Lahan Pasca Tambang : Sebuah Paradigma Baru

Lahan 8 juta hektar (80.000 km2) adalah lahan yang luas bahkan luasan tersebut kurang lebih setara dengan dua kali luas negara Belanda atau Swiss ataupun seluas Austria. Berbagai jenis tanaman dapat ditanam atau dibudidayakan di lahan tersebut baik tanaman pangan, energi (bioenergi), pakan maupun biomaterial. Hal ini sangat sejalan dengan era saat ini tentang bioekonomi dan dekarbonisasi dimana perhatian dunia tertuju pada pengurangan emisi karbon (CO2) dari bahan bakar fossil hingga menuju nirkarbon yang cara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Dan apalagi lokasi Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa sehingga beriklim tropis sehingga sangat sesuai untuk budidaya tanaman atau produksi biomasa untuk maksud seperti di atas. Lahan 8 juta hektar tersebut adalah lahan tidak produktif atau lebih tepatnya lahan rusak, yakni lahan pasca tambang di Indonesia. Memulihkan (recovery) lahan tersebut hingga kondisinya minimal seperti pra-tambang adalah kewajiban perusahaan pertambangan. Tentu akan lebih baik lagi jika pemulihan tersebut lebih baik dari kondisi pra-tambang mengingat sejumlah usaha pertambangan menghasilkan keuntungan besar sehingga upaya perbaikan lingkungan seperti reklamasi dan rehabilitasi pasca tambang seharusnya bisa dilakukan dengan mudah.

Selain untuk area pemukiman, pariwisata, sumber air dan area pembudidayaan, revegetasi adalah salah satu upaya untuk reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang tersebut (program reklamasi tahap OP lampiran VI Kepmen ESDM No. 1827 K/MEM/2018). Revegetasi untuk tujuan akhir berupa aktivitas bisnis yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan menguntungkan tentu merupakan solusi terbaik. Ciri umum lahan bekas tambang adalah lapisan tanah pucuk (top soil) dan subsoil yang tipis sehingga sedikit pula bahan organik tanah beserta mikroba tanah yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Lahan dengan kondisi ekstrim tersebut tidak mungkin begitu saja direvegetasi, oleh karena itu keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang hanya dapat dicapai dengan memadukan pembenah tanah, pemilihan jenis dan penerapan teknik silvikultur yang tepat. Hal tersebut karena aktivitas bisnis tersebut memberi keuntungan lingkungan, sosial dan finansial. Revegetasi dengan kebun-kebun atau hutan-hutan produktif adalah upaya untuk mencapainya. Seberapa besar keuntungan-keuntungan yang didapat tentu perlu dikaji lebih mendalam tipe kebun-kebun atau hutan-hutan produktif yang akan dibuat tersebut. 

Jenis tambang juga berpengaruh pada pekerjaan reklamasi dan rehabilitasi pasca tambangnya. Pada tambang batubara yang hampir semua tidak ada pengolahan lanjut berbeda dengan tambang mineral yang membutuhkan pengolahan lanjut. Pada tambang batubara reklamasi pasca tambangnya lebih sederhana hanya dengan mengembalikan tanah seperti kondisi semula sedangkan pada tambang mineral, selain mengembalikan tanah seperti pada tambang batubara, masalah tailing (tanah limbah sisa proses pengambilan biji tambang) juga menjadi masalah lainnya, sedangkan pada smelter atau pabrik peleburan (pengolahan / pemurnian) mineral tersebut juga dihasilkan slag (pasca operasi) yang juga bisa menjadi masalah tambahan lainnya. Tanah-tanah rusak di area reklamasi pasca tambang tersebut perlu diperbaiki atau direhabilitasi sehingga bisa seperti kondisi sebelumnya. Penambahan bahan-bahan organik khususnya dari peternakan dan biochar akan mempercepat perbaikan kesuburan tanah tersebut. Percepatan kesuburan tanah tersebut penting dilakukan untuk percepatan pertumbuhan tanaman yang ditanam di area tersebut sehingga mengurangi potensi terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Penggunaan biochar juga bisa memberikan pendapatan tambahan yang besar nilainya dari carbon credit melalui mekanisme carbon sequestration / carbon sink. 

Pada kondisi lahan tersebut tidak semua jenis tanaman atau pepohonan bisa ditanam di lahan tersebut. Pohon atau tanaman yang bisa hidup dan tumbuh pada kondisi marjinal bahkan ekstrim tersebut adalah pilihan untuk kondisi lahan tersebut. Kebun energi dari tanaman legum (fast growing species) dan bambu adalah pilihan terbaik untuk lahan tersebut. Pada kebun energi dari tanaman legum (fast growing species) selain memiliki daya adaptibiltas tinggi terhadap kondisi marjinal termasuk ketersediaan air minimal, bintil akarnya juga bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Kayu dari kebun energi digunakan untuk bioenergi menjadi produk seperti wood pellet, sedangkan daun untuk pakan ternak dan madu dari peternakan lebah yang memanfaatkan bunga tanaman tersebut. Tanaman bambu juga memiliki daya adaptibitas yang tinggi. Produk dari perkebunan bambu bisa berupa pangan yakni dari rebung dan bambu itu sendiri untuk berbagai keperluan. Industrialisasi bambu sehingga menjadi produk-produk bernilai tambah tinggi harus dilakukan. Produk-produk dari kayu bahkan hampir semua bisa digantikan dengan bambu bahkan kualitasnya bisa lebih lebih baik, seperti meubel, papan bambu, ply bamboo dan sebagainya. Dengan adanya industri berkelanjutan yang memanfatkan produk-produk dari lahan reklamasi pasca tambang tersebut maka sejumlah keuntungan seperti tersebut di atas akan didapat. 

Potensi lahan 8 juta hektar akan menghasilkan produk-produk biomasa sangat besar apabila dikelola dengan baik dan benar. Era kendaraan listrik yang juga diperkirakan sebentar lagi akan menjadi trend dunia juga akan membutuhkan energi listrik yang disimpan pada baterainya. Energi listrik yang digunakan seharusnya juga berasal dari energi terbarukan, bukan dari sumber energi fossil. Sumber energi dari biomasa menjadi listrik adalah sumber energi terbarukan yang ideal untuk sumber energi kendaraan listrik tersebut. Produksi biochar dengan pirolisis dan produksi biogas dari kotoran ternak sebagai bahan organik bisa untuk produksi listrik tersebut. Dengan adanya sejumlah daya dorong dan trend ke depan tersebut sehingga pemanfaatan lahan seluas 8 juta hektar tersebut menjadi penting untuk dipertimbangkan.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...