Rabu, 25 Juni 2025

Berlomba-Lomba dalam Kebaikan dalam Menurunkan Suhu Bumi

Berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi adalah sebuah kebaikan. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Dampak buruk dari kenaikan suhu bumi dapat dirasakan di darat dan di laut, sehingga harus diminimalisir. Hal inilah mengapa antar berbagai pihak dalam upaya ini mestinya saling berkolaborasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan tersebut. Aspek bisnis dari kegiatan ini mestinya menjadi prioritas kedua, sehingga semangat berbuat baik dan berkolaborasi serta bersinergi akan tercipta. Secara teknis sektor-sektor strategis yang menjadi poin-poin utama penyebab kenaikan suhu bumi menjadi prioritas penting untuk ditangani, walaupun hal-hal lain yang lebih mendesak juga harus didahulukan. 

Ada kelebihan konsentrasi karbon (CO2) di atmosfer yang membuat suhu bumi naik karena efek gas rumah kaca, tetapi di sisi lain ada milyaran hektar tanah di bumi yang butuh karbon berupa biochar untuk meningkatkan kesuburan tanah sekaligus untuk menyerap CO2 di atmosfer tersebut dengan carbon sequestration / carbon sink. Apabila kedua hal ini bisa disinkronkan maka menjadi solusi jitu bagi penurunan suhu bumi tersebut. Pada tahun 2024 tercatat emisi CO2 dari bahan bakar fossil sekitar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton) dan kosentrasi CO2 terakhir menurut observatorium Mauna Loa di Hawai mencapai 429.25 ppm (pada 24 Juni 2025). Sedangkan di sisi lahan, secara global diperkirakan 1,66 miliar hektar lahan telah terdegradasi akibat aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, penggembalaan berlebihan, irigasi yang salah kelola, dan penggunaan bahan kimia berlebihan.

Bahan bakar biomasa dengan produksi wood chip dan wood pellet atau biofuel sebagai bahan bakar atau sumber terbarukan carbon neutral sehingga akan saling melengkapi dengan biochar. Wood chip dan wood pellet atau biofuel tersebut tidak menambah emisi CO2 dan biochar yang menyerap CO2 tersebut sebagai carbon sink (carbon sequestration) atau carbon negative. 

Sabtu, 21 Juni 2025

Biochar dan Biographite untuk Dekarbonisasi di Industri Besi dan Baja

Trend dekarbonisasi terus berjalan pada semua sektor khususnya pada industri-industri strategis seperti industri energi, industri besi dan baja serta industri alat-alat transportasi. Kontribusi sejumlah industri tersebut dalam menghasilkan emisi CO2 yang menambah konsentrasi di atmosfer (carbon positive) sangat signifikan yakni industri energi khususnya pembangkit listrik menyumbang 27,45%, industri baja menyumbang 8%, dan dari industri sektor transportasi 24%.  Dengan estimasi total emisi CO2 dari bahan bakar fossil pada tahun 2024 sebesar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton), maka kontribusi industri besi dan baja sekitar 2,9 giga ton (2,9 milyar metrik ton). 

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Tetapi penggunaan EAF yang masih menggunakan listrik dari bahan bakar fosil bisa sebagai media transisi sebelum 100% carbon neutral production karena emisi CO2 yang lebih kecil dibanding blast furnace dari kokas yang berasal dari batubara. Emisi CO2 dari blast furnace tersebut sekitar 2,33 ton untuk setiap crude iron / pig iron sedangkan dengan EAF tersebut hanya sekitar 0,66 ton untuk setiap ton crude steel. Bahan baku yang diolah dengan EAF adalah steel scrap dan sekitar 80% steel scrap saat ini didaur ulang dengan EAF. Secara global produksi baja dengan EAF mencapai sekitar 22%. 

Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Pembangunan blast furnace-blast furnace baru tersebut memang cenderung meningkat yang faktanya yakni pada pertengahan 2024 sekitar 207 juta ton per tahun produksi baru telah diumumkan dan sekitar 100 juta ton per tahun dalam tahap pembangunan.   

Hampir semua emisi CO2 pada sektor produksi baja berasal dari blast furnace (BF) untuk pemunrnian bijih besi (iron ore) menjadi crude iron atau pig iron. Tantangannya sangat besar yakni ada sekitar 1.850 pabrik baja di dunia dengan sekitar 1.000 pabrik tersebut menggunakan blast furnace, dengan produksi pig iron mencapai sekitar 1,5 milyar ton per tahun. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Dengan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya.  

Hal ini sehingga penggunaan arang atau charcoal untuk menggantikan kokas dari batubara di blast furnace menjadi penting. Arang yang berasal dari biomasa adalah material terbarukan yang berkelanjutan sebagai reduktor atau bahan bakar di blast furnace sehingga dari reaksi kimia akan memisahkan atom oksigen dari atom besi dan ini akan mengemisikan CO2. Hal ini akan mengubah bijih besi (iron ore) (Fe2O3) menjadi crude (pig) iron. Tetapi bedanya karena sumber karbon sebagai reduktor atau bahan bakar blast furnace berasal dari sumber terbarukan dan berkelanjutan maka hal tersebut menjadi proses yang carbon neutral. Sedangkan apabila menggunakan kokas dari batubara karena berasal dari sumber fossil maka hal tersebut menjadi proses carbon positive. Demikian juga apabila menggunakan gas alam sebagai sumber karbon untuk reduktor atau bahan bakar di blast furnace tersebut, walaupun dikatakan less carbon intensity. 

Tetapi jika menggunakan hidrogen dari sumber energi terbarukan (green hydrogen) sebagai reductor di blast furnace maka tidak dihasilkan emisi karbon tetapi berupa uap air (H2O), sehingga juga merupakan proses carbon neutral, tetapi hal ini masih butuh lama, diprediksi hingga beberapa puluh tahun ke depan untuk implementasinya. Dan untuk menghasilkan proses yang carbon negative maka pabrik besi dan baja yang sudah beroperasi secara carbon neutral tersebut harus dipasang perangkan CCS (Carbon Capture and Storage), tentu akan menjadi tahap lanjutan selanjutnya. Selain itu penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi EAF juga menjadi semakin penting dan harus dipercepat, yang ini seharusnya juga sejalan dengan penggunaan bio-graphite pada EAF tersebut.  

Penggunaan EAF di pabrik besi dan baja diperkirakan mencapai 550 unit di seluruh dunia dengan produksi baja mencapai sekitar 548 juta ton atau sekitar 30% dari produksi baja dunia yang mencapai sekitar 1,8 milyar ton pada tahun 2024. Penggunaan EAF membutuhkan elektrode graphite dan setiap ton baja yang diproduksi membutuhkan rata-rata 3 kg graphite. Sumber graphite saat ini hampir semua berasal dari sumber fossil sehingga menjadi sumber emisi karbon (carbon positive) dan juga saat ini sekitar 80% suplai graphite dunia berasa dari China. Dengan produksi baja dari EAF sebesar 548 juta ton maka kebutuhan graphite per tahun mencapai lebih 1,6 juta ton. Setiap ton produksi graphite dari bahan fossil mengeluarkan emisi CO2 sebesar 17 – 40 ton.  

Hal ini sehingga penggunaan biographite menjadi penting karena emisi CO2 bersifat carbon neutral. Produksi biographite berasal dari biochar atau arang yang melalui proses pemurnian khusus , biochar atau arang tersebut diubah menjadi graphite dengan kemurnian tinggi yang cocok untuk elektroda EAF tersebut. Penggunaan biographite dilakukan karena selain faktor emisi CO2 di atas juga karena faktor teknis berupa kekuatan, kepadatan dan konduktivitas. Graphite yang ditambang secara alami tidak mampu mencapai spesifikasi teknis tersebut, sedangkan graphite sintetik dari bahan fossil tidak ramah lingkungan dan sangat tergantung dari import. Hal inilah daya dorong untuk produksi biographite tersebut.

Kebutuhan akan biochar atau arang untuk reduktor di BF akan sangat besar, sedangkan untuk biographite sebagai elektrode EAF tidak sebesar pada BF. Hal ini sehingga penting untuk mendapatkan sumber bahan baku biomasa sebagai sumber biochar atau arang tersebut dalam volume yang mencukupi, kualitas yang baik dan berkelanjutan. Hal yang sama juga dari sisi produksi biochar atau arang yang terutama menggunakan teknologi pirolisis / karbonisasi, juga harus mampu menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, berkelanjutan dan proses produksi yang memiliki produktivitas tinggi, efisien dan ramah lingkungan. Biochar  atau arang dengan spesifikasi dengan minimal 85% fixed carbon  dan konversi minimal (gravimetric yield) 30% sebagai acuan untuk memilih teknologi pirolisis tersebut.  


Selain dari kelompok limbah biomasa seperti limbah kehutanan dan limbah perkebunan, kebun - kebun energi secara khusus juga bisa dibuat untuk maksud tersebut, lebih detail baca disini.  Kebun – kebun energi tersebut juga mesti dibuat sesuai peruntukkan lahan dan luasan kebun monokultur kebun energi yang sesuai dengan perencanaan dan prosedur yang benar, dan juga teknologi pirolisis /karbonisasi yang efisien, dan ramah lingkungan. Sumber biomasa sebagai bahan baku arang / biochar juga bisa dikatakan berkelanjutan jika produk yang dipanen lebih sedikit atau sama dengan pertumbuhan kayu kebun tersebut.Hal ini supaya tidak terjadi seperti di Brazil yakni di negara bagian Minas Gerais. Akibat luasnya kebun monokultur eucalyptus yang produk kayunya sebagian besar untuk produksi arang untuk pabrik besi dan baja telah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan.Brasil adalah produsen arang terbesar di dunia dan menghasilkan 5,2 juta ton pada tahun 2017, 90% di antaranya digunakan oleh industri besi dan baja, dengan 80% arang diproduksi dari kayu perkebunan eucalyptus. 

Sekitar 70% produksi besi dan baja Brasil terjadi di negara bagian Minas Gerais, dan sektor ini unik karena 34% produksi besi menggunakan arang, bukan kokas mineral/batu bara, dan arang juga banyak digunakan dalam produksi baja. Secara historis, hal ini terjadi karena kurangnya kokas mineral di Brasil, tetapi hutan yang melimpah untuk menghasilkan arang. Di Minas Gerais saat ini terdapat sembilan pabrik baja dan 41 pabrik besi yang menghasilkan 3,1 juta ton crude iron pada tahun 2018, yang sekitar 50% di antaranya diekspor. Pada tahun 2018, Brasil memiliki 5,7 juta hektar kebun eucalyptus, dan Minas Gerais terus memiliki area perkebunan terbesar di negara tersebut, mencakup 24% (1,4 juta hektar) dari eucaliptus Brasil. Bahkan perusahaan-perusahaan besi dan baja tersebut juga memiliki perkebunan eucalyptus sebagai upaya untuk mengamankan pasokan arang untuk pabrik besi dan bajanya. Sedangkan di Indonesia juga ada potensi lahan sangat luas bahkan hingga ratusan juta hektar untuk kebun energi tersebut.   

Selasa, 10 Juni 2025

Produksi Wood Pellet, Solusi Masalah Sampah Biomasa Kayu-Kayuan di Perkotaan

Pemilahan adalah 50% dari solusi untuk masalah sampah perkotaan. Pemilahan terbaik adalah di lokasi sampah itu dihasilkan seperti di rumah tangga di perumahan atau pemukiman warga. Dengan pemilahan maka pengolahan sampah selanjutnya akan jauh lebih mudah. Semakin baik pemilahan dilakukan maka semakin mudah pengolahan sampah tersebut bisa dilakukan. Keengganan masyarakat untuk memilah sampah membuat permasalahan sampah semakin pelik, rawan konflik sosial dan berlarut-larut. Walaupun sulit dan ribet, membudayakan pemilahan sampah harus terus dilakukan karena apabila tidak ditangani akan menjadi masalah lingkungan serius. Paradigma pengolahan sampah juga terus berubah sesuai kondisi, yakni terkait dampak lingkungan, ketersediaan tempat pembuangan sampah, jenis dan volume sampah, seperti dibawah ini.

Apabila sampah perkotaan bisa dipilah dan diolah dengan baik maka lingkungan akan bersih dan sehat. Sebagai contoh pemilahan tersebut misalnya sampah daun-daunan dibuat kompos, sampah organik dari dapur dan sisa makanan untuk pakan atau peternakan magot, sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya untuk produksi wood pellet, dan sampah plastik untuk dipirolisis sehingga menjadi BBM atau naphta.  Dan untuk bisa diolah dengan memadai maka volume sampah juga harus mencukupi dan kontinyu. Hal ini karena pengadaan unit untuk pengolahan sampah juga cukup mahal. Pengolahan sampah juga sebaiknya ter-desentralisasi, sehingga tidak menumpuk di satu tempat saja.  Kapasitas produksi skala kelurahan atau kecamatan kelihatannya cukup baik dan sesuai untuk pembuatan unit pengolahan sampah tersebut.

Diantara sampah perkotaan tersebut adalah sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya yang bisa digunakan untuk produksi wood pellet atau pellet kayu. Sampah kayu-kayuan tersebut bisa berasal dari pemangkasan dan penebangan pohon, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu-kayu yang menyumbat perairan seperti sungai. Penggunaan wood pellet atau pellet kayu tersebut bisa untuk memasak rumah tangga atau industri UMKM. Penggunaan wood pellet selain sebagai bahan bakar atau energi terbarukan yang ramah lingkungan, mudah penyimpanan dan penggunaan serta solusi mengatasi limbah biomasa dan mengurangi import LPG yang nilainya mencapai sekitar 63,5 trilyun setiap tahunnya.

Seiring inovasi yang terus dilakukan kompor-kompor masak berbahan bakar wood pellet semakin mudah digunakan, efisien, bersih dan aman. Bagi pemerintah daerah, produksi wood pellet dari sampah kayu-kayuan ini juga memberi banyak manfaat yakni sebagai solusi penanganan limbah tersebut, menciptakan lapangan kerja dan sosialisasi penggunaan energi terbarukan ramah lingkungan bagi masyarakat. Apabila hal ini sukses dilakukan maka ke depan pemanfaatan limbah-limbah kayu-kayuan tersebut bisa terus dikembangkan. 

Minggu, 08 Juni 2025

Optimalisasi Operasional Pabrik Sawit untuk Memaksimalkan Keuntungan dengan Pemanfaatan Limbah Tankos

Sebagai perusahaan yang berorientasi profit, perusahaan sawit juga akan melakukan berbagai hal yang diperlukan untuk memaksimalkan keuntungannya yakni baik pada operasional pabrik sawitnya maupun pada perkebunannya. Semakin efisien operasional pabrik sawit, demikian juga di perkebunannya maka akan semakin tinggi keuntungan yang didapat. Meminimalisir dampak lingkungan dari limbah yang dihasilkan bahkan zero waste, serta menjadi bagian praktek yang pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan (sustainable) bahkan termasuk bagian dari solusi iklim merupakan bagian penting industri ini yang tidak bisa ditinggalkan. Hal itulah mengapa pabrik-pabrik sawit harus melakukan inovasi untuk mencapai kondisi optimal tersebut.  Untuk mencapai kondisi tersebut bisa dilakukan dengan mengevaluasi praktek yang dilakukan saat ini dan mencari solusi lebih baik tersebut.

Produksi CPO atau minyak mentah sawit membutuhkan kukus / steam untuk proses sterilisasinya. Hal inilah mengapa pabrik sawit pasti membutuhkan boiler untuk proses produksinya, untuk lebih detail baca disini. Steam / kukus dari boiler tersebut juga digunakan untuk pembangkit listrik dengan steam turbine untuk menggerakkan generator. Untuk operasional boiler tersebut umumnya dilakukan dengan membakar sabut (mesocarp fiber) dan sebagian cangkang sawit (palm kernel shell), sehingga sebagian cangkang sawit masih bisa dijual bahkan untuk export. Praktek umum pabrik sawit ini juga sudah berjalan puluhan tahun, tetapi ternyata masih banyak limbah biomasa dari pabrik sawit yang belum termanfaatkan terutama tandan kosong kelapa sawit atau EFB (empty fruit bunch) yang porsinya sekitar 23% dari tandan buah segar (TBS) yang diolah. Tankos sawit atau EFB ini biasanya hanya ditumpuk di belakang pabrik sawit dan cenderung akan mencemari lingkungan.  

Tankos sawit atau EFB tersebut bisa diolah menjadi biochar. Produksi biochar dengan proses thermal baik pirolisis atau gasifikasi akan menghasilkan energi sebagai cogeneration pada pabrik sawit. Cogeneration menjadi solusi jitu untuk produksi biochar sekaligus memasok kebutuhan energi untuk operasional boiler. Dengan cara ini maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau bahkan dieksport artinya keuntungan perusahaan sawit semakin besar. Tetapi untuk memaksimalkan produksi biochar pirolisis adalah pilihan yang cocok. Hal ini karena teknologi gasifikasi adalah untuk memaksimalkan produk gas sedangkan pirolisis untuk memaksimalkan produk padat (biochar).  Produk-produk samping dari pirolisis juga bermanfaat bagi industri sawit. 

Tandan kosong (tankos) atau EFB adalah limbah padat dari produksi minyak sawit atau CPO yang jumlahnya paling banyak. Hal inilah yang membuat banyak produsen mesin yang membuat mesin pengolah tankos ini. Sebagian besar mesin yang dibuat adalah alat untuk memotong dan mengepres tankos tersebut sehingga kadar airnya turun dan ukurannya menjadi lebih kecil. Tetapi baik kadar air dan ukuran tankos sebagai output mesin atau peralatan tersebut masih belum memenuhi syarat untuk bisa diolah lanjut menjadi biochar. Tipikal output tersebut lebih dari 4 inch dan kadar air lebih dari 45%. Tankos atau EFB harus memiliki kadar air rendah yakni 10% dan bisa dengan ukuran kurang dari 1 inch untuk produksi biochar ataupun sebagai bahan bakar di boiler. 

Untuk bisa mendapatkan tankos atau EFB dengan tingkat kekeringan atau kadar air 10%, maka waste heat recovery dari pabrik sawit bisa dimanfaatkan untuk proses pengeringan tersebut. Limbah biomasa lainnya dari industri sawit bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber energi panas untuk pengeringan tankos atau EFB tersebut. Dengan memanfaatkan limbah-limbah biomasa tersebut maka operasional pabrik bisa semakin efisien sehingga keuntungan semakin maksimal dan ramah lingkungan dengan zero waste. 

Berlomba-Lomba dalam Kebaikan dalam Menurunkan Suhu Bumi

Berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi adalah sebuah kebaikan. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Dampak bu...