Minggu, 23 Juni 2024

Kebun Energi :Produksi Wood Pellet atau Wood Charcoal?

Kebun energi mulai berkembang dan produksi wood pellet kapasitas besar bermunculan sejalan dengan perkembangan kebun energi tersebut. Bisa jadi saat ini adalah momentum yang tepat seperti yang diprediksi beberapa tahun oleh penulis di artikel berikut ini. Mungkin juga era Covid-19 yang berlangsung sekitar 3 tahun memperlambat momentum tersebut. Luas hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia yang sangat luas memungkinkan untuk pembuatan kebun energi untuk produksi wood pellet kapasitas besar berikut produk-produk tambahan seperti pakan ternak dan pangan (madu). Produksi wood pellet sebagai bahan bakar biomasa atau carbon neutral fuel terutama dibuat atau diproduksi dalam rangka transisi energi menuju era net zero emission. 

Ditinjau dari sisi bisnisnya maka produksi wood pellet ini adalah demand driven karena upaya pencapaian target net zero emission tersebut maka industri-industri khususnya PLTU batubara perlu melakukan dekarbonisasi dengan bertahap melalui cofiring bahan bakar biomasa (wood pellet) dengan batubara. Target yang semakin dekat jangka waktunya, dengan berbagai upaya yang membutuhkan program terencana dan biaya besar memang membutuhkan upaya serius dan berkelanjutan. Tidak hanya di industri pembangkit listrik khususnya PLTU batubara tetapi demikian juga industri lainnya seperti industri besi dan baja. PLTU batubara berkontribusi menyumbang konsentrasi CO2 40% secara global sedangkan pada industri besi dan baja berkontribusi 9% secara global. 

Pada industri pembangkit listrik saat ini lebih dari sepertiga produksi listrik global masih menggunakan batubara. Porsi tersebut harus turun hingga 4% pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Negara-negara maju seharusnya bisa mencapai kondisi zero coal tersebut lebih cepat karena mereka memiliki posisi keuangan yang lebih kuat daripada negara-negara berkembang yang sebagian besar masih mengandalkan batubara. Dunia memiliki waktu 6 tahun dari sekarang untuk mengurangi penggunaan batubara  pada pembangkit listrik hingga mencapai kurang dari 4% pada tahun 2030, bahkan sejumlah negara telah melakukan langkah cepat dalam penghapusan penggunaan batubara ini bisa dibaca disini.

Sedangkan pada dekarbonisasi industri besi dan baja, faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Intensitas CO2 pada industri ini hanya sedikit mengalami penurunan sehingga penggunaan energi terbarukan menjadi semakin penting dan dipercepat. 

Saat ini kebun-kebun energi besar sudah mulai dibuat dalam rangka transisi energi tersebut. Produksi utama dari kebun energi adalah wood pellet yang bisa dikatakan merupakan carbon neutral fuel. Hampir belum ada kebun energi tersebut yang dirancang untuk produksi charcoal, padahal kebutuhan charcoal juga diproyeksi sangat besar juga. Bedanya wood pellet akan digunakan pada pembangkit listrik sedangkan charcoal untuk industri besi dan baja. Proses produksi wood pellet adalah pemadatan biomasa sedangkan pada charcoal dengan karbonisasi atau pirolisis. Pada era mendatang bisa saja sejumlah kebun energi tersebut dirancang untuk produksi wood pellet sedangkan kebun energi lainnya dirancang untuk produksi wood charcoal. Mengingat target waktu yang disepakati untuk net zero emission tersebut tidak lama lagi maka otomatis pembuatan dan pemanfaatan kebun energi untuk hal-hal tersebut juga tidak akan lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...