Senin, 22 September 2025

Green Aluminium dan Peran Energi Berbasis Biomasa

Kebutuhan alumunium diprediksi semakin besar yakni meliputi sektor konstruksi, transportasi (termasuk pesawat terbang) dan otomatif, peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik. Produksi green alumunium dari pertambangan bauksit lalu diolah menjadi alumina sebagai produk antara dari pemurnian / refining bauksit dan menjadi produk akhir berupa alumunium adalah sangat ideal. Produksi alumunium khususnya dari pengolahan alumina menjadi alumunium membutuhkan energi listrik yang sangat besar, untuk produksi sekitar300.000 ton/tahun alumunium dibutuhkan energi listrik sekitar 1 GW (1.000 MW). Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik tersebut perlu dibangun pembangkit listrik yang sangat besar. Dan apabila menggunakan sumber energi berbasis fossil khususnya batubara maka kebutuhannya akan sangat besar.

PT Inalum di Sumatera Utara adalah contoh produksi green aluminumium pada produksi alumunium dari alumina. Hal ini karena produksi alumunium dari alumina tersebut menggunakan sumber energi dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air) untuk mencukupi kebutuhan listriknya.  Tetapi selama 40 tahun lebih pabrik alumunium tersebut mengimport jutaan ton alumina sebagai bahan bakunya. Dan setelah pabrik alumina dari bauksit di Mempawah, Kalimantan Barat beroperasi maka sebagian besar alumina sebagai bahan baku PT Inalum akan disuplai dari pabrik alumina di Mempawah tersebut. Sekitar 1 juta ton alumina akan dihasilkan dari pabrik alumina di Mempawah, Kalimantan Barat tersebut atau lebih dari 80% dari kebutuhan alumina PT Inalum di Sumatera Utara. 

Produksi alumina dari bauksit juga membutuhkan energi listrik yang besar sehingga perlu adanya pembangkit yang mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk operasional pabrik tersebut. Sebagian besar dari pabrik alumina juga masih menggunakan sumber energi fosil untuk produksi listriknya. Untuk upaya dekarbonisasi maka penggunaan energi terbarukan seperti yang berbasis biomasa yakni wood pellet bisa dilakukan. Penggunaan wood pellet dengan rasio cofiring bertahap bisa dilakukan hingga akhirnya bisa fulfiring atau 100% menggunakan wood pellet atau energi berbasis biomasa lainnya.

 

Kebutuhan energi terbarukan khususnya berbasis biomasa tersebut sangat besar dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan sumber biomasa yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Sumber biomasa tersebut bisa berasal dari biomasa kayu-kayuan maupun biomasa limbah-limbah pertanian. Sumber biomasa kayu-kayuan bisa berasal dari limbah hutan, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu produksi kebun-kebun energi. Sedangkan dari sumber limbah-limbah pertanian bisa berasal dari limbah pertanian dan perkebunan maupun dari limbah agro-industri. Sertifikat keberlanjutan juga perlu mendapat perhatian bahkan dalam beberapa waktu mendatang bisa menjadi suatu kewajiban terkait asal sumber energi berbasis biomasa tersebut.  

Senin, 15 September 2025

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Berkelanjutan

Sabut kelapa menempati porsi 30% atau sekitar sepertiga dari berat buah kelapa. Bahan ini pada umumnya hanya ditinggal di kebun dan sebagian besar masih belum dimanfaatkan sehingga malah cenderung mencemari lingkungan. Dengan produksi kelapa Indonesia yang mencapai sekitar 2,9 juta ton per tahun atau 15,13 butir per tahun, maka potensi sabut kelapa yang dihasilkan sangat besar yakni sekitar. 1 juta ton basah (kadar air rata-rata 60%) atau 500 ribu ton kering (kadar air 10%). 

Jumlah sabut kelapa ini hampir tidak terpengaruh oleh kebijakan export kelapa bulat oleh pemerintah terutama untuk tujuan ke China akhir-akhir ini, seperti video ini. Banyak industri berbasis kelapa yang kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku bahkan hingga menutup pabriknya. Industri-indstri seperti dessicated coconut, santan, arang tempurung dan briket arang, serta activated carbon sangat terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Menjual produk olahan atau produk-produk turunan kelapa yang melalui proses industrialisasi jelas akan memberi nilai tambah lebih besar dan menciptakan lapangan kerja. Dan negara-negara maju juga tidak mengeksport bahan mentah, tapi barang jadi atau minimal barang setengah jadi. 

Industrialisasi produk berbasis kelapa sangat penting dilakukan. Seperti halnya kelapa sawit, produk-produk pengolahan kelapa terutama untuk produk pangan. Pemanfaatan untuk energi atau biofuel juga sangat dimungkinkan, seperti untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel). Bahkan pada minyak sawit penggunaan untuk biofuel berupa campuran wajib minyak sawit dari CPO (crude palm oil) dalam biodiesel 40% (B40) tahun ini dan sedang dikaji menjadi 50% (B50) pada tahun 2026, serta minyak sawit dari PKO (palm kernel oil) untuk campuran 3% untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF pada tahun 2026. Kandungan utama minyak kelapa berupa asam laurat sama seperti minyak kernel sawit atau PKO. Asam laurat yang terdiri 12  atom karbon (C) atau MCFA (medium chain fatty acid) sangat cocok untuk penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF harus memiliki ikatan atom karbon atau ikatan C direntang C10-C15 , untuk lebih detail baca disini

Produktivitas kelapa terus menurun akibat kurang atau lambatnya program replanting, kasus serupa juga dialami oleh kelapa sawit untuk lebih detail baca disini, dan ini menjadi kendala tersendiri. Luas kebun kelapa yang perlu direplanting juga mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektar, sebagai contoh untuk provinsi Riau ditargetkan 43.388 hektar kebun kelapa akan diremajakan pada tahun 2025. Selain produktivitas kelapa bisa ditingkatkan dengan penggunaan bibit unggul, intensifikasi juga perlu dilakukan. Produktivitas kelapa yang tinggi dan harga jual yang tinggi menjadi dorong untuk replanting tersebut.  

Pemanfaatan atau produksi biochar dari sabut kelapa adalah solusi untuk meningkatkan produktivitas kelapa berkelanjutan. Penggunaan biochar juga bisa sangat mendukung untuk perkebunan kelapa organik. Walaupun pada umumnya pohon kelapa tidak dipupuk secara memadai bahkan tidak dipupuk sama sekali tetapi masih tetap berbuah, dengan biochar pemakaian pupuk akan semakin efisien. Hal ini karena biochar adalah sebagai slow release fertilizer agent. Terkait pemupukan, pada kelapa berbeda 180 derajat dengan kelapa sawit yang pemupukan harus dilakukan sehingga pohon sawit bisa berbuah dan ketergantungan dengan pupuk kimia yang tinggi. Bahkan pada perkebunan sawit komponen biaya tertinggi adalah pemupukan itu sendiri. Produk kelapa organik akan menghasilkan produk-produk turunan yang disukai dan harga jual tinggi. 

Potensi pendapatan dari karbon kredit juga akan sangat menarik. Untuk mendapatkan carbon credit atau BCR (Biochar Carbon Removal) credit maka aplikasi biochar termasuk proses produksi harus diverifikasi oleh lembaga karbon standar. Lembaga karbon standar seperti Puro Earth, Verra dan CSI mengembangkan suatu metodologi yang harus diikuti oleh produsen biochar untuk mendapatkan carbon credit tersebut.  

Rabu, 03 September 2025

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit tersebut masih baru sehingga belum banyak aau masih bisa dihitung dengan jari pabrik sawit yang mengaplikasikannya. Salah satu pabrik sawit yang sudah melakukannya adalah Minsawi industries di Kuala Kangsar, Malaysia berkapasitas 45 ton TBS/jam dengan penggunaan AI pabrik tersebut bisa melakukan penghematan RM 1,6 juta (Rp 6,24 milyar) per tahun karena kehilangan minyak lebih kecil dan demikian juga biaya pemeliharaan (maintenance) serta penggunaan tenaga kerja berkurang 33%. Tetapi ada kekhawatiran penggunaan AI untuk pabrik sawit adalah potensi hilangnya sejumlah pekerjaan. Walaupun dengan tenaga kerja lebih sedikit tetapi penghasilan menjadi lebih tinggi. 

Cost to benefit ratio tentu akan menjadi pertimbangan penting suatu teknologi baru termasuk penggunaan AI. Seberapa besar biaya dikeluarkan harus memberi keuntungan yang sepadan atau lebih besar. Dalam hal aplikasi AI pada pabrik sawit tersebut, biaya AI menelan biaya RM 5 juta (~Rp 19,5 Milyar) artinya dengan penghematan sebesar RM 1,6 juta per tahun tersebut maka dalam waktu sekitar 3 tahun investasi untuk perangkat AI tersebut kembali. Pengembalian investasi yang wajar. Tetapi dengan dengan investasi sebesar itu untuk peningkatan efisiensi pada pabrik yang sudah beroperasi atau dimana nilai investasi itu misalnya senilai 15% dari pabrik utama, memang membutuhkan pertimbangan yang komprehensif. 

Sejumlah perangkat diintegrasikan seperti sensor, alat prediktif dan aplikasi AI untuk peningkatan efisiensi produksi minyak sawit atau CPO tersebut. Lebih detailnya komponen-komponen kunci untuk pabrik sawit berbasis AI tersebut meliputi : pertama, advanced sensors. Sensor-sensor tersebut dipasang diseluruh bagian pabrik sawit untuk mendapatkan data real-time pada parameter-parameter penting seperti suhu, tekanan, amper, dan kinerja mesin. Kedua, kamera-kamera CCTV berkemampuan AI. Sejumlah kamera dipasang pada tempat-tempat strategis untuk memonitor area-area kunci, seperti untuk mendeteksi volume TBS, kualitasnya dan menyediakan informasi tersebut untuk mengontrol proses produksi. Ketiga, sistem kontrol yang digerakkan oleh AI. Sistem-sistem tersebut secara otomatis dan mengoptimalkan proses, mengatur operasional peralatan dan pemanfaatan sumber daya berbasis pada real time data analysis. 

Sedangkan pada pengembangan produk baru, berarti akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang ada. Peningkatan nilai tambah ini bisa jauh lebih besar daripada yang didapat dari peningkatan efisiensi pabrik aplikasi dari penggunaan AI. Bahan baku yang sebelumnya tidak dimanfaatkan atau bahkan dibuang begitu saja sehingga mencemari lingkungan bisa mendatangkan banyak keuntungan dari pengembangan produk baru tersebut. Tentu saja mengoptimalkan performa atau kinerja pabrik sangat penting karena menghasilkan efisiensi yang tinggi, tetapi inovasi untuk pengembangan produk baru juga tidak kalah penting. 

Pada industri sawit pengembangan produk baru bisa dilakukan dengan cara yakni membuat berbagai produk turunan dari minyak mentah sawit (CPO) dan mengolah berbagai limbah biomasa dari operasional industri sawit tersebut, baik limbah biomasa dari pabrik sawitnya maupun dari perkebunannya. Ada banyak produk yang bisa dihasilkan dari pengolahan-pengolahan tersebut. Sebagai contoh pada turunan CPO akan dihasilkan biofuel seperti biodiesel, minyak goreng, stearin, olein dan sebagainya sedangkan pengolahan limbah biomasa bisa menjadi bioenergy, biocarbon, biofuel, biomaterial dan biochemical. 

Merancang proses produksi yang efisien sangat penting untuk menghasilkan produk yang kompetitif. Demikian juga dengan produksi yang rendah emisi atau limbah sekecil mungkin bahkan zero waste juga menjadi perhatian penting. Integrasi berbagai proses produksi terutama untuk penghematan energi termasuk waste heat recovery sangat dimungkinkan untuk mencapai tingkat efisiensi atau biaya produksi yang rendah. Keuntungan yang besar karena aplikasi AI pada pabrik sawit atau produksi CPO selanjutnya bisa digunakan untuk pengembangan produk baru termasuk merancang proses produksi seefisien mungkin. 

 

Pada akhirnya apabila pengembangan produk-produk baru tersebut bisa dilakukan dan sekaligus AI  diintegrasikan maka kebutuhan tenaga kerja akan bertambah pada unit-unit bisnis tersebut, walaupun setiap unit bisnis bekerja secara efisien. Produksi berbagai produk turunan hingga specialty chemical sangat dimungkinkan dengan pengembangan produk baru mengikuti perkembangan zaman. Selain itu di sisi perkebunannya juga bisa memanfaatkan AI dan mekanisasi untuk mengurangi 3D (dirty, dangerous, demeaning) jobs, sehingga pekerjaan juga semakin efisien dengan penghasilan meningkat.  Bahkan mekanisasi di perkebunan sawit juga masih rendah sehingga lebih mendesak dilakukan dibanding aplikasi AI.   

Green Aluminium dan Peran Energi Berbasis Biomasa

Kebutuhan alumunium diprediksi semakin besar yakni meliputi sektor konstruksi, transportasi (termasuk pesawat terbang) dan otomatif, peralat...