Minggu, 29 Agustus 2021

Pemanfaatan Lahan Marginal dan Bekas Tambang Batubara untuk Peternakan Ruminansia dan Produksi Briket Arang

Photo dari sini
Luasnya lahan marjinal termasuk lahan kritis dan lahan tidur yang mencapai lebih dari 6 juta hektar serta lahan bekas tambang batubara yang diperkirakan mencapai 8 juta hektar adalah masalah lingkungan yang harus diatasi. Membuat lahan-lahan tersebut kembali menjadi lahan produktif sehingga selain mencegah bencana lingkungan lebih besar juga memberi manfaat lain bagi kehidupan manusia. Salah satu solusi untuk masalah tersebut adalah menanami lahan tersebut dengan tanaman perintis kelompok leguminoceae atau polong-polongan yang akarnya kuat mencengkeram tanah dan bersimbiosis dengan azetobacter sehingga menyuburkan tanah tersebut seperti kaliandra dan gamal (gliricidia) juga daunnya sebagai sumber pakan ternak, bunganya untuk produksi madu dan kayunya untuk produksi briket arang. Atau dengan kata lain pembuatan kebun tersebut selain memiliki manfaat lingkungan sebagai upaya untuk konservasi dan reklamasi lahan berikut konservasi air juga tentunya, juga memberi manfaat untuk peternakan ruminansia atau produksi pakan ternak tersebut dan produksi briket arang. Peternakan ruminansia yakni domba, kambing dan sapi sangat cocok dikembangkan dengan pemanfaatan daun perkebunan tersebut. Kombinasi dengan briket arang yakni dengan pemanfaatan kayu tersebut adalah paduan atau integrasi ideal. Di sejumlah negara briket arang tersebut digunakan untuk bahan bakar memanggang BBQ dari daging domba, kambing dan sapi tersebut. Jadi selain seluruh bagian pohon bisa termanfaatkan juga bahkan produk akhir peternakan berupa daging dan pengolahan kayunya sehingga menjadi briket arang juga bertemu lagi. Paduan atau integrasi yang menarik dan unik.

Kebutuhan daging merah yakni domba, kambing dan sapi di dalam negeri sendiri masih kekurangan sehingga membutuhkan suplai yang mencukupi. Pada daging kambing dan domba kebutuhan untuk daerah Jabodetabek saja masih belum terpenuhi, sehingga disuplai secara bergantian dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung secara bergantian. Selain itu menurut Aspaqin (Asosiasi Pengusaha Aqiqah Indonesia) telah terjadi ketimpangan suplai domba dan kambing akibat banyaknya domba dan kambing betina produktif yang dipotong atau disembelih. Kondisi ini menyebabkan keberlanjutan pasokan domba dan kambing itu sendiri menjadi terganggu. Menurut data Aspaqin (Asosiasi Pengusaha Aqiqah Indonesia) yang dihimpunnya bahwa telah terjadi penyembelihan betina sebanyak 63% dari anggotanya dari total 331.693 ekor yang disembelih. Tentu saja masih banyak yang tidak terdata karena masih banyak pengusaha aqiqah yang tidak menjadi anggota Aspaqin tersebut. Selain itu juga banyak warung-warung makan masakan kambing seperti warung-warung sate yang masih menyembelih domba dan kambing betina produktif. Upaya edukasi dan sosialisasi terus diupayakan Aspaqin untuk memperbaiki kondisi tersebut termasuk usulan untuk memberikan punishment terhadap penyembelihan betina produktif tersebut. 

Sedangkan di sektor sapi potong, Indonesia memiliki keunggulan pada penggemukan sapi (feedlot) tersebut. Dengan tersedianya banyak limbah-limbah pertanian dan limbah agroindustri di Indonesia membuat usaha tersebut sangat kompetitif bahkan Indonesia terbaik. Apalagi ini dengan membuat suatu perkebunan yang dirancang secara khusus untuk sumber pakan tersebut dengan memanfaatkan lahan yang bisa dikatakan tidak produktif pada awalnya. Dengan hanya membutuhkan waktu hanya sekitar 100-120 hari penggemukan tersebut berhasil atau selesai dilakukan walaupun umumnya sapi bibit atau sapi bakalan umumnya masih import dari Australia. Australia khususnya Australia bagian utara adalah sentra sapi bakalan tersebut. Dengan luasnya padang penggembalaan disana membuat biaya produksi sapi bakalan tersebut sangat kompetitif dan belum bisa dilakukan di Indonesia dengan baik. Walaupun sejumlah wacana untuk melakukan produksi sapi bakalan di Indonesia bagian timur dan perkebunan sawit tetapi faktanya masih belum atau masih sangat minim. Selain itu menurut Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia) kebutuhan daging sapi dalam negeri juga belum terpenuhi atau masih kekurangan sekitar 60% dan kekurangan ini diisi dengan import daging kerbau dari India. Daging kerbau dari India tersebut sebenarnya harus dijual lebih murah dari daging sapi, tetapi faktanya malah sama dengan daging sapi. Kondisi tersebut semakin buruk terutama pada masa menjelang hari raya Idul Fitri dengan banyaknya daging haram yang beredar seperti daging babi hutan. 

 
Briket arang adalah produk pengolahan kayu dari kebun tersebut. Produksi briket arang yang menggunakan bahan baku kayu tersebut juga harus dikelola dengan baik sehingga bisa terus berkelanjutan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah panen kayu untuk produksi briket arang tersebut jangan sampai melebihi produksi kayu dari kebun itu sendiri, misalnya kebutuhan kayu untuk produksi briket tersebut 1000 ton/bulan maka kecepatan produksi kayu dari kebun tersebut minimal sama dengan kayu yang dipanen setiap bulan tersebut. Teknik produksi briket arang juga tersedia 2 opsi atau rute seperti skema dibawah ini. Tetapi rute 1 yakni pembriketan sebelum karbonisasi, lebih banyak diminati karena kualitas briket yang dihasilkan lebih baik. Pada rute tersebut bahan baku biomasa kayu yang telah dikecilkan ukurannya (down sizing) sehingga ukuran partikelnya sesuai untuk produksi briket tersebut dan juga tingkat kekeringannya juga sudah disesuaikan lalu dibriket atau di press dalam mesin briket tanpa menggunakan perekat tambahan. Produk briket tersebut selanjutnya dikarbonisasi sehingga menjadi produk akhir berupa briket arang atau biasa dengan nama pasaran sawdust charcoal briquette.

Photo dari sini
Selain untuk konsumsi dalam negeri, domba dan kambing ini juga menjadi komoditas export ke sejumlah negara. Info yang didapat dari Pusdatin Kementan bahwa domba dan kambing Indonesia telah di export antara lain ke Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA). Pada dasarnya pilihan untuk melakukan bisnis export domba dan kambing adalah pilihan peternak itu sendiri dan spesifikasi untuk pasar export juga berbeda untuk kebutuhan lokal. Jika pasar lokal umumnya menggunakan domba dan kambing dengan berat 25-35 kg per ekor, maka untuk pasar export umumnya mensyaratkan berat di atas 35 kg per ekornya. Sebagai contoh untuk pasar domba dan kambing yang besar adalah Arab Saudi khususnya pada musim haji yang mencapai sekitar 2 juta ekor atau seperempat kebutuhan negara tersebut yang berarti mencapai 8 juta ekor per tahunnya.

Dan terakhir, pada dasarnya kebutuhan pangan khususnya protein hewani serta lebih khusus lagi dari ruminansia domba, kambing dan sapi akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri. Penduduk dunia diperkirakan mencapai 10 milyar pada tahun 2050 atau 1,3 kali lipat saat ini dan penduduk Indonesia mencapai 319 juta jiwa pada 2045 atau 1,2 kali lipat dari saat ini. Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah bonus demografi Indonesia. Bonus demografi dengan dominasi angkatan muda produktif seharusnya menjadi kekuatan tersendiri bagi bangsa Indonesia jika didukung dan diarahkan dengan benar. Sektor ini tentu saja menjadi salah satu solusi. Dengan luas lahan di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk usaha ini insyaAllah mengatasi berbagai masalah penting saat ini seperti ketahanan pangan, mencegah kerusakan lingkungan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan taraf hidup, peningkatan kualitas pangan dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dari Karbon Netral ke Karbon Negatif : Pengembangan Baterai, Wood Pellet, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Biochar

Riset untuk pengembangan baterai kapasitas besar terus dilakukan sehingga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan ...