Reklamasi lahan bekas tambang batubara adalah kewajiban pengusaha tambang tersebut, tetapi sering kali hal ini tidak dilakukan dengan baik karena berbagai hal. Hal-hal tersebut terutama karena penegakan aturan yang lemah dan sanksi yang ringan. Dengan luas lahan bekas tambang batubara yang telah mencapai jutaan hektar dan perlu upaya reklamasi tersebut tetapi realisasi di lapangan masih sangat minim membuat kerusakan lingkungan juga semakin besar. Hal yang bisa mendorong upaya perbaikan lahan bekas tambang batubara tersebut adalah faktor keuntungan atau ekonomi yang bisa didapat. Artinya jika upaya reklamasi tersebut juga membawa keuntungan ekonomi -selain manfaat lingkungan, tentu saja- maka para pengusaha batubara tersebut tentu juga dengan senang hati melakukannya. Lantas aktivitas apakah itu ?
Photo dari sini |
Sebagai hal mendasar dan entry point untuk usaha di atas adalah perbaikan kualitas lahan atau tanah bekas tambang batubara tersebut. Ada sejumlah cara bisa dilakukan untuk hal tersebut, tetapi penggunaan biochar adalah salah satu opsi terbaik. Dengan biochar tidak hanya meningkatkan pH atau keasaman tanah sehingga nutrisi akan banyak terserap oleh tanaman dan aktivitas mikroba tanah untuk mengurai bahan organik semakin aktif, tetapi juga mampu menyerap sejumlah unsur kimia berbahaya di tanah, meningkatkan karbon organik tanah yang mampu bertahan ratusan tahun dan juga menyerap gas rumah kaca dari atmosfer. Biochar tersebut bisa dibuat dari sejumlah limbah pertanian, kehutanan dan agroindustri, seperti potongan-potongan kayu dari penebangan hutan maupun dari limbah pabrik sawit seperti tandan kosong dan fiber. Sejumlah daerah di Kalimantan selain kaya dengan deposit batubara dan juga saat ini banyak lahan bekas tambang tersebut terbengkalai juga banyak bahan biomasa seperti limbah hutan dan limbah pabrik sawit tersebut untuk produksi biochar.
Dalam rangka penurunan emisi CO2 di atmosfer, biochar juga mampu menyerap CO2 dari atmosfer (carbon sequenstration) dan merupakan skenario carbon negative. Biochar yang diaplikasikan di tanah tersebut merupakan carbon sink, sebagai salah satu opsi dari carbon credit selain carbon offset. Dalam era dekarbonisasi saat ini upaya menurunkan kadar CO2 di atmosfer adalah hal penting. Di Indonesia dengan masih banyaknya lahan hutan maka carbon credit bisa didapat dari penyerapan CO2 dengan pohon-pohon di hutan tersebut, sehingga hutan sebagai carbon sink juga. Tetapi di negara lain yang penggunaan energi fosilnya sangat besar atau masif, maka mereka harus mengurangi dampak buruk iklim akibat pembakaran bahan energi fosil khususnya batubara. Mereka bisa saja membeli carbon credit pada aplikasi biochar ini.
Batubara adalah energi fosil yang paling banyak digunakan untuk pembangkit listrik di dunia saat ini dan Indonesia adalah salah satu produsen batubara tersebut. Walaupun dalam beberapa waktu ke depan penggunaan batubara ini akan dikurangi dan bahkan di sejumlah negara akan dihentikan sama sekali, tetapi dampak buruk dari pertambangan batubara ini masih banyak, merusak bahkan membahayakan lingkungan. Hal ini menjadi urgensi untuk melakukan perbaikan lahan atau tanah bekas tambang tersebut yang diperkirakan mencapai 8 juta hektar di Indonesia. Di satu sisi pembangkit listrik batubara bisa saja membeli carbon creditnya untuk aplikasi biochar seperti skema di atas. Pabrik sawit di lain sisi juga banyak menghasilkan limbah padat khususnya tandan kosong yang bisa dmanfaatkan untuk produksi biochar tersebut. Perusahaan-perusahaan besar tersebut bisa saja berkolaborasi untuk mengatasi masalah iklim akibat meningkatnya konsentrasi CO2 di amosfer ini. Sampai hari ini dilaporkan dari observatorium Mauna loa, di Hawaii, Amerika Serikat bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer telah melebihi 400 ppm atau masih terjadi kenaikan sekitar 2 ppm setiap tahunnya, padahal target global menurun konsentrasi itu menjadi 350 ppm saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar